Jumat, 19 Januari 2024

harry potter F

sebelahnya. 
Harry berdeham. Harry merasa sedang melakukan hal yang sama seperti 
beberapa tahun yang lalu, saat ia mencoba untuk meminta izin dari profesor 
McGonagall untuk bisa pergi ke Hogsmeade karena paman Vernon tidak 
menandatangani surat izinnya. 
“Hermione, aku sedang berpikir, dan…” 
“Harry, bisakah kau bantu aku?”
Sepertinya Hermione tidak sedang mendengarkan Harry. Hermione maju dan 
menyorongkan Dongeng Beedle si Penyair ke arah Harry.“Lihat simbol ini,” kata 
Hermione sambil menunjuk bagian atas halaman. Di mana terdapat, yang Harry 
anggap sebagai, judul cerita (karena Harry tidak dapat membaca 
huruf rune). Terdapat sebuah simbol segitiga dengan lingkaran di dalamnya, 
yang 
terbelah oleh sebuah garis lurus.
“Aku tidak pernah belajar Rune Kuno, Hermione.”
“Aku tahu, tapi ini bukan huruf rune dan juga tidak ada di kamus. Selama ini aku 
menganggapnya sebagai gambar mata, tapi sepertinya bukan! Ada yang 
menuliskannya di sini, lihat, seseorang telah menggambarnya, simbol ini bukan 
bagian dari buku. Apa kau pernah melihatnya?” 
“Tidak… tunggu.” Harry melihatnya lebih dekat. “Bukankah ini simbol yang sama 
dengan simbol yang dipakai ayah Luna?” “Aku juga memikirkan hal yang sama!” 
“Kalau begitu, itu lambang Grindelwald.” Hermione menatap Harry,
terperangah.“Apa?” 
“Krum menceritakan padaku…” 
Harry mengulang cerita yang Viktor Krum katakan padanya saat di persata 
pernikahan. 
Hermione keheranan.
“Lambang Grindelwald?”
Hermione menatap Harry dan lambang itu bergantian. “Aku tidak pernah 
dengar kalau Grindelwald punya lambang. Tidak pernah disebutkan dalam semua 
buku yang bercerita tentang dirinya.” 
“Sudah kukatakan, Krum bilang bahwa lambang itu terukir di dinding 
Durmstrang, dan 
Grindelwald-lah yang melakukannya.” 
Hermione bersandar di sandaran kursi, dahinya berkerut.
“Aneh. Kalau itu memang lambang Ilmu Hitam, mengapa ada di buku cerita anak￾anak?”
“Ya, aneh,” kata Harry. “Dan Scrimgeour tidak menyadarinya. Dia, kan, Menteri, 
seharusnya dia tahu hal-hal seperti itu.” 
“Aku tahu… mungkin dia juga berpikir bahwa ini adalah gambar mata. Ada 
gambar ini 
di setiap judul cerita.” 
Hermione terdiam dan terus menatap ke lambang aneh itu. Dan Harry 
mencoba lagi.
“Hermione?” 
“Hm?” 
“Aku pikir, aku – aku ingin pergi ke Godric’s Hollow.” 
Hermione mengangkat kepalanya tapi matanya tidak terfokus dan Harry yakin 
ia masih 
memikirkan lambang misterius itu. 
“Ya,” kata Hermione. “Ya, aku juga berpikir hal yang sama. Aku pikir kita 
harus ke 
sana.” 
“Apa kau benar-benar mendengarkan aku?” tanya Harry. 
“Tentu saja. Kau ingin pergi ke Godric’s Hollow. Aku setuju, aku rasa kita harus 
ke sana. 
Maksudku, aku tidak tahu lagi harus pergi ke mana lagi. Berbahaya, memang, 
tapi 
semakin aku memikirkannya, semakin mungkin benda itu ada di sana.” 
“Er – apa yang ada di sana?” tanya Harry. 
Hermione terlihat sama bingungnya dengan Harry. 
“Pedangnya, Harry! Dumbledore pasti tahu kau ingin pergi ke sana. Lagipula 
Godric’s 
Hollow adalah tempat kelahiran Godric 
Gryffindor…” 
“Benarkah? Gryffindor berasal dari Godric’s 
Hollow?” 
“Harry, apa kau tidak pernah membuka Sejarah Sihir?” 
“Erm,” kata Harry, tersenyum untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan. 
Otot-otot di wajahnya terasa kaku. “Aku pernah membukanya, kau tahu, saat 
membelinya… hanya sekali…” 
“Desa itu diberi nama dengan namanya, aku pikir kau bisa melihat 
hubungannya,” kata Hermione. Ia terdengar seperti Hermione yang lama 
daripada Hermione yang akhir-akhir ini. Bahkan Harry setengah berharap 
bahwa ia akan berkata bahwa ia harus pergi ke perpustakaan. “Ada sedikit 
tentang desa itu di Sejarah Sihir, tunggu…” 
Hermione membuka tas manik dan mengaduk-aduknya, dan akhirnya 
mengeluarkan buku pelajaran mereka, Sejarah Sihir oleh Bathilda Bagshot, yang 
Hermione buka ke halaman yang ia maksudkan. 
“’Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Kerahasiaan Internasional pada tahun 
1689, para penyihir mulai bersembunyi. Biasanya, mereka membuat komunitas 
kecil dalam masyarakat. Banyak desa-desa kecil yang dihuni oleh para keluarga 
penyihir, yang tinggal bersama untuk saling mendukung dan melindungi. Desa￾desa seperti Tinworth di Cornwall, Upper Flagey di Yorkshire, dan Ottery St 
Catchpole di pantai selatan Inggris, di mana mereka hidup bersama dengan 
tenang, terkadang bersama Muggle yang ter-Confundus. Daerah paling terkenal 
sebagai tempat permukiman penyihir, mungkin, Godric’s Hollow, sebuah desa di 
West Country di mana penyihir besar Godric Gryffindor dilahirkan, dan di mana 
Bowman Wright, seorang penyihir pandai besi, menempa Golden Snitch pertama. 
Pemakaman di sana dipenuhi oleh nama-nama keluarga penyihir kuno, termasuk 
cerita-cerita yang menyatakan bahwa pemakaman dan gereja kecil di sana telah 
dihantui selama berabad-abad.’” 
“Kau dan orang tuamu tidak disebut,” kata Hermione sambil menutup buku, 
“karena profesor Bagshot tidak menuliskan apa pun setelah akhir abad sembilan 
belasan. Apa kau tidak mengerti Harry? Godric’s Hollow, Godric Gryffindor, 
pedang Gryffindor, bukankah menurutmu Dumbledore akan berharap kau akan 
menyadari hubungannya?” 
“Oh, ya…” 
Harry tidak ingin mengakui bahwa ia sama sekali tidak teringat dengan pedang 
saat mereka berbicara tentang Godric’s Hollow. Baginya, perjalanan ke desa itu 
hanyalah untuk mengunjungi makam orang tuanya, mengunjungi rumah di mana ia 
lolos dari maut, dan untuk menemui Bathilda Bagshot. 
“Ingat kata Muriel?” kata Harry melanjutkan. 
“Siapa?” 
“Tahulah,” kata Harry ragu, ia tidak ingin menyebutkan nama Ron. “Bibi buyut 
Ginny, di pesta pernikahan, yang bilang kalau kakimu terlalu kurus.” 
“Oh,” kata Hermione. 
Itu adalah satu saat yang tidak mengenakkan, karena Harry tahu bahwa 
Hermione merasa bahwa dirinya menghindari menggunakan nama Ron. Harry 
segera melanjutkan, “Dia bilang Bathilda Bagshot masih tinggal di Godrc’s 
Hollow.” 
“Bathilda Bagshot,” gumam Hermione sambil mengusapkan jari telunjuknya 
di atas nama Bathilda yang tertulis di sampul Sejarah Sihir. “Ya, kurasa…” 
Hermione tiba-tiba menahan nafasnya dan membuat Harry terkejut. Harry 
menarik tongkatnya, melihat ke arah pintu masuk, mengira akan ada orang 
yang akan menyibak pintu tenda. Tapi tidak ada apa-apa. 
“Apa?” kata Harry, setengah kesal, setengah lega. “Mengapa kau bertingkah 
seperti itu? Aku kira kau melihat Pelahap Maut sedang memasuki tenda atau 
apa…” 
“Harry, bagaimana kalau pedang itu ada pada Bathilda? Bagaimana kalau 
Dumbledore menitipkannya pada Bathilda?” 
Harry menyadari kemungkinan itu. Bathilda pasti seorang wanita yang sangat 
tua sekarang, dan menurut Muriel, ia sedikit sinting. Apakah Dumbledore 
menitipkan pedang itu pada wanita itu? Kalau memang benar, Harry merasa 
kalau Dumbledore harus berkorban banyak hal. Ia tidak bisa memberitahu siapa 
pun bahwa ia telah menukar pedang itu. Ia juga tidak bisa menyinggung 
pertemanannya dengan Bathilda. Namun, sekarang bukanlah saat yang tepat 
untuk memperdebatkan teori Hermione. Tidak saat Hermione memenuhi 
keinginan terdalam Harry. 
“Ya, bisa saja! Jadi, kita akan pergi ke Godric’s Hollow?” 
“Ya, tapi kita harus memikirkannya dengan hati-hati, Harry.” Hermione duduk 
dengan tegap sekarang. Harry tahu bahwa menyusun rencana baru telah 
membangkitkan semangatnya, layaknya Harry. “Pertama, kita harus berlatih 
untuk ber-Disapparate bersama di bawah Jubah Gaib, dan mungkin juga 
dengan Mantra Disillusionment, lalu kita juga akan menggunakan Ramuan 
Polyjuice. Kalau begitu, kita perlu beberapa helai rambut milik orang lain. Aku 
rasa lebih baik begitu, Harry, semakin tebal penyamaran kita, makin aman.” 
Harry membiarkan Hermione mengoceh, ia terus mengangguk dan menyetujui 
setiap Hermione berhenti. Tapi ia sendiri tidak memerhatikan percakapan 
itu. Untuk pertama kalinya ia merasa senang karena pedang yang ada di 
Gringotts adalah tiruan. 
Harry akan pulang, kembali ke tempat di mana ia pernah tinggal bersama 
keluarganya. Di Godric’s Hollow, dan bila Voldemort tidak pernah ada, ia akan 
tumbuh dan menghabiskan liburannya di sana. Mungkin ia akan bisa mengundang 
teman-temannya untuk menginap… mungkin ia akan memiliki adik… dan mungkin 
ibunya yang akan membuatkan kue ulang tahun ke tujuh belasnya. Bayangan 
kehidupan yang telah dirampas darinya tidak pernah tampak begitu nyata 
sebelumnya, hingga saat ini, saat ia akan mengunjungi tempat di mana segalanya 
telah dirampas darinya. Setelah Hermione pergi tidur malam itu, diam-diam 
Harry mengeluarkan ranselnya dari tas manik Hermione. Dan dari dalam ransel, 
Harry mengeluarkan album foto yang diberikan oleh Hagrid bertahun-tahun 
yang lalu. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, ia kembali memandangi 
potret tua orang tuanya yang sedang tersenyum dan melambaikan tangan dari 
dalam potret
Harry merasa sangat senang karena akan pergi ke Godric’s Hollow keesokan 
harinya, tapi Hermione berpikiran lain. Hermione yakin bahwa Voldemort 
mengharapkan Harry akan kembali ke tempat di mana orang tuanya meninggal, 
dan Hermione tidak ingin pergi ke sana hingga mereka telah mempersiapkan
penyamaran terbaik yang bisa mereka lakukan. Baru seminggu kemudian –
setelah mereka berhasil mengambil beberapa helai rambut sepasang Muggle 
yang sedang berbelanja untuk Natal, dan berlatih ber-Apparate dan ber￾Disapparate bersama di bawah Jubah Gaib – Hermione setuju untuk berangkat. 
Mereka ber-Apparate saat hari sudah gelap, sehingga mereka meminum Ramuan 
Polyjuice saat senja. Harry berubah menjadi Muggle berusia baya yang botak, 
dan Hermione berubah menjadi istrinya yang kecil dan tampak seperti tikus. 
Tas manik yang berisi semua bawaan mereka (tidak termasuk Horcrux yang 
sedang menggantung di dada Harry) berada dalam kantung mantel Hermione. 
Harry memakaikan Jubah Gaib pada mereka berdua, dan sekali lagi mereka 
berada dalam kegelapan yang mencekik. 
Harry membuka mata, jantungnya terasa meloncat ke tenggorokannya. Mereka 
berdiri di jalan bersalju di bawah langit biru gelap yang dihiasi oleh bintang 
yang berkelap-kelip lemah. Pondok-pondok berdiri berjajar di samping jalanan 
yang tidak terlalu panjang itu, hiasan Natal menghiasi jendela. Tak jauh di 
depan mereka, berdiri lampu jalan yang bercahaya keemasan sebagai titik 
tengah desa itu. 
“Salju!” bisik Hermione di bawah Jubah. “Mengapa kita bisa lupa dengan salju? 
Dengan semua penyamaran ini, kita tetap meninggalkan jejak! Kita harus 
menghapusnya – kau berjalan di depan, dan aku yang akan…” 
Harry tidak ingin masuk ke desa itu dengan kuda Troya. Bersembunyi di 
bawah semua penyamaran ini dan menghapusi jejak. 
“Lepaskan saja Jubahnya,” kata Harry dan saat melihat Hermione yang cemas, 
“ayolah, kita tidak tampak seperti kita, dan tidak ada orang di jalanan.” 
Harry menyimpan Jubah Gaib di dalam jaketnya dan berjalan tanpa hambatan. 
Angin dingin menerpa wajah mereka saat mereka berjalan melewati pondok￾pondok itu, pondok di mana mungkin Lily dan James pernah tinggal, atau tempat 
Bathilda tinggal. Harry memperhatikan setiap pintu, atap yang tertutup salju, 
dan beranda depan pondok-pondok itu, berharap akan mengenali salah satunya, 
walau ia tahu kalau hal itu hampir tidak mungkin. Karena ia baru berumur satu 
tahun saat ia meninggalkan tempat ini. Harry bahkan tidak yakin kalau ia akan 
bisa melihat pondok tempat tinggalnya dulu, karena ia tidak tahu apa yang 
terjadi pada Mantra Fidelius bila subyek yang dimantrai meninggal. Lalu saat 
mereka berjalan di jalanan yang berbelok ke kiri menuju jantung desa, terlihat 
sederetan bangunan. 
Dihiasi dengan lampu berwarna-warni, di tengah-tengahnya tampak sesuatu 
seperti monumen perang, berbentuk seperti pohon Natal yang tertiup angin. 
Di sekitarnya terdapat beberapa toko, kantor pos, sebuah café, dan gereja di 
mana cahaya dari jendela mereka menerangi bangunan itu. 
Salju di jalanan itu berbeda dengan salju di sepanjang jalan tadi. Salju di sana 
keras dan licin karena telah diinjak-injak banyak orang. Para penghuni desa 
berlalu lalang diterangi oleh lampu jalan. Harry dan Hermione dapat mendengar 
orang-orang tertawa dan musik pop saat pintu café dibuka tutup, dan mereka 
juga mendengar lagu pujian dari gereja. 
“Harry, aku rasa sekarang Malam Natal!” kata Hermione. 
“Benarkah?” 
Harry sudah tidak lagi memerhatikan tanggal, mereka juga sudah 
berminggu-minggu tidak membaca koran. 
“Iya,” kata Hermione sambil menatap gereja. “Mereka… mereka pasti ada di 
sana, kan? Ayah dan ibumu? Aku bisa melihat pemakaman di belakang sana.” 
Harry merasakan sesuatu yang lebih besar dari rasa senangnya, seperti rasa 
takut. Sekarang setelah begitu dekat, Harry ragu apakah ia akan pergi. Mungkin 
Hermione tahu perasaannya, karena Hermione meraih tangan Harry dan 
mengajaknya. Di tengah jalan, Hermione tiba-tiba berhenti. 
“Harry, lihat!” 
Hermione menunjuk monumen perang itu. Saat mereka melewatinya, mereka 
dapat melihat bentuknya. Bukannya tugu yang dipenuhi nama-nama, monumen itu 
berupa patung tiga manusia. Seorang pria berkaca mata dengan rambut 
berantakan. Seorang wanita berambut panjang dengan wajah cantik dan ramah. 
Dan, seorang bayi yang berada dalam gendongan ibunya. Salju menghiasi kepala 
mereka layaknya topi putih. 
Harry berjalan mendekat, memandangi wajah orang tuanya. Ia tidak pernah 
membayangkan bahwa mereka dijadikan patung… rasanya aneh melihat dirinya 
sebagai batu berbentuk bayi tanpa bekas luka di dahinya… 
“Ayo,” kata Harry setelah puas memandanginya. Dan mereka berjalan menuju 
gereja. Saat mereka menyebrangi jalan, Harry menoleh dan melihat bahwa 
patung itu telah berubah menjadi monumen perang lagi. 
Lagu-lagu pujian semakin keras terdengar saat mereka mendekati gereja, dan 
membuat tenggorokan Harry tercekat. Membuatnya teringat akan Hogwarts. 
Teringat akan Peeves yang menyanyikan lagu pujian kasar karangannya sendiri 
dari dalam baju besi. Teringat akan Great Hall dengan dua belas pohon Natal. 
Teringat akan Dumbledore yang memakai pita yang ia dapat dari petasan. 
Teringat akan Ron memakai sweater rajutan… 
Terdapat sebuah pintu gerbang yang tertutup di pintu masuk pemakaman. 
Hermione mendorongnya sepelan mungkin agar tidak bersuara dan mereka 
berjalan masuk. Di tiap sisi jalan setapak licin menuju gereja, terdapat 
tumpukan salju tebal yang tidak tersentuh. Mereka keluar dari jalan setapak 
dan berjalan di atas salju. Meninggalkan parit yang cukup dalam saat mereka 
mengitari gereja, berjalan di bawah bayangan jendela. 
Di belakang gereja, berbaris-baris nisan yang dihiasi salju dengan pantulan
warna biru gelap dan pantulan cahaya berwarna merah, emas, hijau, atau 
warna apa pun yang terpantul dari jendela ke atas salju. Menjaga tangannya 
sedekat mungkin dengan tongkatnya, Harry berjalan menuju nisan terdekat. 
“Lihat! Abbot! Bisa jadi keluarga jauh Hannah!” 
“Rendahkan suaramu,” pinta Hermione. 
Mereka menjelajahi semakin dalam di pemakaman itu, ditemani bayangan gelap 
mereka yang jatuh di atas salju, berhenti di setiap nisan untuk melihat tulisan 
di atasnya, lalu berkedip dalam kegelapan memastikan tidak ada yang 
mengikuti. 
“Harry, kemari!” 
Hermione berada dua baris jauhnya. Jantung Harry berdegup kencang. 
“Apakah itu…” 
“Bukan, tapi coba lihat!” 
Hermione menunjuk ke sebuah nisan. Harry menatap sebuah nisan granit yang 
ditumbuhi lumut yang membeku, dengan tulisan Kendra Dumbledore dan di 
bawahnya ada tanggal lahir dan tanggal kematiannya, tulisan dan putrinya, 
Ariana. Dan sebuah kutipan: 
Di mana harta karunmu berada, di sanalah hatimu berada. 
Jadi, Rita Skeeter dan Muriel ada benarnya juga. Keluarga Dumbledore pernah 
tinggal di sini, dan meninggal di sini. 
Melihat langsung sebuah makam lebih buruk daripada hanya mendengarnya. 
Harry tidak dapat berhenti berpikir bahwa ia dan Dumbledore terikat dengan 
pemakaman ini, dan seharusnya Dumbledore memberitahukannya, walau Harry 
tidak tahu mengapa. Harry dan Dumbledore bisa saja mengunjungi tempat ini 
bersama-sama. Untuk sesaat Harry membayangkan bagaimana ia pergi kemari 
bersama Dumbledore, merasakan ikatan di antara mereka, dan betapa 
berartinya hal itu baginya. Tapi, menurut Dumbledore, fakta bahwa keluarga 
mereka terbaring di pemakaman yang sama bukanlah hal yang penting, dan 
mungkin, tidak ada hubungannya dengan misi yang harus Harry selesaikan. 
Hermione melihat Harry, dan Harry senang bahwa wajahnya tersembunyi dalam 
gelap. Harry membaca kutipan itu lagi. Di mana harta karunmu berada, di 
sanalah hatimu berada. Ia tidak mengerti maksud kalimat itu. Jelas 
Dumbledore yang telah memilihnya, sebagai anggota keluarga tertua setelah 
ibunya meninggal. 
“Kau yakin Dumbledore tidak pernah…” mulai Hermione. 
“Tidak,” potong Harry. “Ayo kita teruskan mencari,” dan Harry berpaling, 
berharap ia 
tidak pernah melihat batu nisan itu. Tidak ingin campur aduk rasa senang, takut, 
dan 
keragu-raguannya dinodai dengan kemarahan. 
“Ini!” teriak Hermione beberapa saat kemudian dari dalam gelap. “Oh, bukan, 
maaf! Aku 
kira Potter.” 
Hermione menggosok batu nisan kotor yang sudah hampir hancur, menatapnya, 
dan 
terlihat terkejut. 
“Harry, kembalilah kemari.” 
Harry tidak ingin menyimpang dari tujuannya lagi, dan dengan kesal ia berjalan 
kembali 
mendekati Hermione.
“Apa?” 
“Lihat ini!” 
Batu nisan itu begitu tua, membuat Harry kesulitan untuk melihat nama di 
atasnya. 
Hermione menunjukkan sebuah lambang di sana. 
“Harry, ini lambang yang ada di buku!” 
Harry menatap ke arah yang Hermione tunjuk. Batu itu begitu usang dan 
membuat Harry 
susah untuk melihat apa yang terukir di atasnya, tapi ia bisa melihat lambang 
segitiga di 
dekat nama yang tidak terbaca. 
“Bisa jadi…”
Hermione menyalakan tongkatnya dan mengarahkannya ke nama di batu nisan 
itu. 
“Tertulis, Ig-Ignotus, sepertinya…” 
“Aku akan mencari nisan orang tuaku,” kata Harry pada Hermione, dan 
Harry pergi melanjutkan pencariannya, meninggalkan Hermione sendiri 
bersama nisan tua itu. 
Selanjutnya Harry terus menemukan nama keluarga, seperti Abbott, yang 
juga ia temukan di Hogwarts. Terkadang ada juga beberapa generasi 
keluarga penyihir yang dimakamkan di pemakaman itu, Harry dapat 
melihatnya dari tanggal kematian yang tertulis di sana. Tapi mungkin ada 
juga anggota keluarga yang tidak lagi tinggal di Godric’s Hollow. Harry 
berjalan semakin dalam di pemakaman, dan setiap ia melihat batu nisan 
baru, ia berjalan lebih lambat dan sedikit berharap. 
Kegelapan dan keheningan tiba-tiba semakin pekat. Harry memerhatikan 
sekitar, merasa cemas, takut akan adanya Dementor. Lalu ia sadar bahwa lagu￾lagu pujian telah berhenti dinyanyikan, dan obrolan para jemaat gereja 
perlahan menghilang saat mereka kembali ke jalanan, dan seseorang yang 
berada di dalam gereja telah mematikan lampu. 
Lalu suara Hermione memanggil lagi untuk yang ketiga kalinya dari dalam 
kegelapan. 
“Harry, di sini… mereka di sini.” 
Dan Harry tahu bahwa Hermione telah menemukan makam ayah dan ibu Harry 
kali ini. Harry berjalan dengan dipenuhi perasaan berat yang membebani 
dadanya. Perasaan yang sama saat Dumbledore meninggal, rasa sedih yang 
membebani jantung dan paru-parunya. 
Makam itu hanya berjarak dua baris dari nisan milik Kendra dan Ariana. 
Nisannya terbuat dari marmer putih, sama seperti nisan Dumbledore, dan 
membuatnya lebih mudah untuk dibaca, karena terlihat terang dalam gelap. 
Harry bahkan tidak butuh berlutut dan mendekat untuk membaca tulisan yang 
terukir di atasnya. 
James Potter, lahir 27 Maret 1960, meninggal 31 
Oktober 1981 Lily Potter, lahir 30 Januari 1960, 
meninggal 31 Oktober 1981 
Musuh yang terakhir yang akan dihadapi adalah kematian. 
Harry membaca kutipan itu perlahan, seakan ia hanya punya satu 
kesempatan untuk memahami kalimat itu, lalu ia mengulanginya dengan 
suara keras. 
“’Musuh yang terakhir yang akan dihadapi adalah kematian’…” Sebuah 
pemikiran mengerikan muncul dan membuatnya sedikit ketakutan. “Bukankah 
terdengar seperti pemikiran para Pelahap Maut? Mengapa mereka 
menggunakan kutipan itu?” 
“Artinya bukan menghadapi kematian seperti para Pelahap Maut, Harry,” kata 
Hermione, suaranya begitu lembut. “Artinya adalah… hidup setelah mati. 
Kehidupan setelah kematian.” 
Tapi mereka tidak hidup, pikir Harry, mereka sudah pergi. Kata-kata itu tidak 
menutupi kenyataan bahwa orang tuanya terbaring di dalam tanah, di bawah 
batu dan salju. Dan air matanya menetes bahkan sebelum Harry menyadarinya, 
terasa hangat lalu berubah dingin saat menyentuh wajahnya. Dan Harry tidak 
ingin menghapusnya dan berpura-pura. Ia membiarkan air matanya menetes, 
bibirnya terkatup kuat, menatap ke arah salju yang menutupi tempat di mana 
Lily dan James terbaring, sebagai tulang belulang, atau mungkin debu. Tidak 
tahu bahwa putra mereka berdiri begitu dekat, dengan jantung yang masih 
berdegup. Masih hidup karena pengorbanan mereka. Mereka juga tidak tahu 
kalau putranya, untuk sesaat, juga ingin berbaring di bawah salju bersama 
mereka. 
Hermione meraih tangan Harry lagi dan menggenggamnya erat. Harry tidak 
bisa menatapnya, dan hanya balas menggenggam. Ia menghirup dalam-dalam 
udara malam yang dingin, mencoba untuk menenangkan diri. Seharusnya 
Harry membawa sesuatu untuk diletakkan di atas nisan mereka, tapi Harry 
lupa. Sedangkan setiap tanaman di pemakaman itu tidak lagi berdaun dan 
telah membeku. Tapi Hermione mengangkat tongkatnya, mengayunkannya, 
dan muncul seikat mawar mekar. Harry menangkapnya dan meletakkannya di 
atas nisan orang tuanya. 
Setelah Harry berdiri, ia merasa ingin cepat-cepat pergi. Harry merasa kalau ia 
tidak akan tahan untuk berada di sana. Harry merangkul bahu Hermione, dan 
Hermione merangkul pinggang Harry, dan mereka berjalan dalam diam, melewati 
makam ibu dan adik Dumbledore, kembali ke gereja yang sudah gelap, menuju 
pintu gerbang yang tertutup. 
Bab 17 Bathilda's Secret Rahasia Bathilda 
“Harry, berhenti.” 
“Ada apa?” 
Mereka baru saja sampai di makam Abbot yang tidak dikenal. 
“Ada seseorang di sana. Aku yakin seseorang sedang memperhatikan kita. Di 
sana. Di belakang semak.” 
Mereka berdiri diam, saling berpegangan tangan, sambil memandang ke 
kegelapan yang pekat di sekitar pemakaman. Harry tidak dapat melihat apapun. 
“Apa kau yakin?” 
“Aku melihat sesuatu bergerak, aku bersumpah aku…” 
Dia melepas tangan Harry dan segera menyiapkan tongkat di tangannya. 
“Kita terlihat seperti muggle,” kata Harry. 
“Muggle yang meletakkan bunga di atas makam ayahmu? Harry, aku yakin ada 
seseorang di sana!” 
Harry teringat Sejarah Sihir, makam yang angker, bagaimana jika -? Tapi 
kemudian dia mendengar suara berkeresekan dan melihat salju berjatuhan 
dari semak yang ditunjuk Hermione. Hantu takkan dapat menggerakan salju. 
“Itu seekor kucing,” kata Harry, setelah beberapa saat, “Atau seekor burung. 
Jika itu Pelahap Maut, kita sudah mati sekarang. Tapi, ayo pergi dari sini, dan 
pakai Jubah Gaib.” 
Mereka kembali berjalan melalui jalan ke pemakaman. Harry, yang sekarang 
merasa tidak seyakin ketika meyakinkan Hermione, merasa senang ketika 
sampai di pagar dan jalan yang licin. Mereka menyelubungi diri mereka sendiri 
dengan Jubah Gaib. Rumah minum terlihat lebih penuh daripada sebelumnya: 
terdengar suara-suara yang menyanyikan pujian yang sama seperti yang mereka 
dengar saat mendekati gereja. Untuk beberapa saat, Harry ingin menyarankan 
untuk masuk ke sana, tetapi sebelum dia dapat mengatakan apapun, Hermione 
berbisik, “Ayo lewat sini!” sambil mendorong Harry turun ke jalan gelap yang 
mengarah ke desa yang berlawanan dengan jalan dari tempat mereka datang. 
Harry dapat menebak kemana pondok-pondok berakhir dan jalan itu menuju ke 
daerah terbuka lagi. 
Mereka berjalan secepat keberanian mereka, melewati jendela yang 
berkilau dengan banyak warna, dan bayangan gelap pohon natal di belakang 
tira jendela. 
“Bagaimana cara kita menemukan rumah Bathilda?” tanya Hermione, yang 
sedikit gemetar dan tetap memandang berkeliling di atas bahunya. 
“Harry? Apa yang kau pikirkan? Harry?” 
Hermione memegang tangan Harry, tetapi Harry tidak memperhatikannya. Dia 
melihat sosok gelap di deretan rumah paling akhir. Lalu dia mempercepat 
langkah. Menarik Hermione bersamanya, Hermione terpeleset sedikit di atas 
es. 
“Harry-” 
“Lihat… lihat itu, Hermione…” 
“Aku tidak… oh!” 
Harry dapat melihatnya, mantra Fidelius pasti rusak bersama kematian James 
dan Lily. Tanaman pagar telah tumbuh liar selama 16 tahun sejak Hagrid 
mengambil Harry dari reruntuhan di antara rumput tinggi. Sebagian besar 
bagian rumah masih berdiri, seluruhnya telah dilapisi oleh tumbuhan liar yang 
merambat dan salju, tapi bagian samping di lantai atas telah hancur. Harry 
yakin, di situlah kutukan diluncurkan. Dia dan Hermione berdiri di depan pagar, 
memandang reruntuhan yang dulunya merupakan rumah utuh seperti yang 
lainnya. 
“Aku penasaran kenapa tak ada yang memperbaikinya kembali?” bisik Hermione. 
“Mungkin kau tidak dapat memperbaikinya kembali” Harry menjawab, 
mungkin itu seperti luka dari sihir hitam dan kau tidak dapat memperbaiki 
kerusakannya?” 
Dia mengeluarkan tangannya dari dalam jubah gaib dan mencengkram pagar 
yang bersalju dan berkarat, tidak berharap melepaskannya, hanya untuk 
memegang sebagian dari rumahnya. 
“Kau tidak bermaksud masuk ke dalam, kan? Kelihatannya tidak aman, 
mungkin saja__oh, Harry, lihat!” 
Sepertinya sentuhan Harry lah yang melakukannya. Sebuah tanda muncul dari 
dalam tanah tepat di depan mereka, muncul di antara rumput liar yang tidak 
terawat, seperti bunga aneh yang tumbuh dengan cepat. Dan di atas kayu 
tersebut terdapat kata-kata yang ditulis dengan tinta emas: 
Di tempat ini, pada malam tanggal 31 Oktober 1981, James dan Lily Potter 
kehilangan nyawanya. Anak mereka, Harry, merupakan satu-satunya penyihir 
yang selamat dari kutukan kematian. Rumah yang dalam kondisi runtuh dan 
tersembunyi dari muggle ini, telah dijadikan monumen untuk keluarga Potter, 
dan pengingat bagi kekejaman yang menyakitkan bagi keluarga mereka. 
Di sekeliling tulisan yang rapi ini, telah ditambahkan coretan cakar ayam oleh 
para penyihir yang datang untuk melihat tempat ‘Anak yang Bertahan Hidup’ 
berhasil lolos. Beberapa penyihir hanya menulis nama mereka dengan Tinta 
Abadi. Yang lain mengukir inisialnya pada kayu, dan yang lain telah meninggalkan 
pesan mereka. Sebagian pesanpesan tersebut, bersinar terang lebih dari 16 
tahun yang berharga dalam coretan sihir, menyebutkan hal yang sama. 
Semoga berhasil, Harry, di manapun kau berada.
Jika kau membaca ini, Harry, kami semua ada di sampingmu!
Semoga panjang umur, Harry Potter.
“Mereka seharusnya tidak mencoretnya di atas tanda.” Kata Hermione, naik 
darah. 
Harry menatapnya 
“Ini mengagumkan, aku senang mereka melakukannya. Aku…” 
Dia terdiam, sebuah sosok berselendang berat telah muncul di depan mereka, 
dibayangi dengan cahaya terang di perempatan yang jauh. Harry berpikir, 
merasa sulit untuk memastikan, bahwa sosok itu adalah seorang wanita. Wanita 
itu bergerak perlahan-lahan, mungkin karena takut terpeleset di atas tanah 
yang bersalju. Badannnya yang bungkuk, lemah, cara berjalannya yang menyeret 
menyiratkan umurnya yang sudah sangat tua. Mereka mengawasi dalam diam 
ketika wanita itu mendekat. Harry menunggu untuk melihat apakah wanita itu 
akan berbalik ke pondok yang telah dilewatinya. Tapi perasaannya tahu bahwa 
wanita itu tidak akan berbelok. Dan akhirnya wanita itu hanya berjarak 
setengah yard kurang dari mereka dan berdiri biasa di tengah jalan yang beku, 
sambil memandang mereka. 
Harry tidak membutuhkan pukulan Hermione pada tangannya. Tak ada 
kemungkinan wanita ini adalah seorang muggle: dia berdiri di sana sambil 
memandang rumah yang seharusnya sangat tersembunyi darinya, karena dia 
bukan seorang penyihir. Bahkan jika dia seorang penyihir, merupakan kebiasaan 
aneh untuk keluar di malam yang dingin seperti ini, hanya untuk memandangi 
reruntuhan tua. Lagi pula, berdasarkan aturan sihir normal, dia seharusnya tidak 
dapat melihat Harry dan Hermione sama sekali. Meskipun begitu, Harry punya 
perasaan kuat bahwa wanita ini tahu mereka berdua ada di sana. Baru saja 
Harry mendapat kesimpulan yang tidak biasa ini, wanita itu mengangkat tangan 
dan memberikan isyarat. 
Hermione merapat pada Harry di bawah Jubah, tangannya mencengkram tangan 
Harry. 
“Bagaimana dia tahu?” 
Harry menganggukkan kepalanya. Wanita itu memberi isyarat lagi, lebih 
bersemangat. Harry tidak dapat memikirkan banyak alasan untuk tidak 
menerima panggilannya, dan kecurigaannya tentang indentitas siapa wanita itu 
tumbuh semakin kuat sejalan dengan waktu ketika mereka berdiri 
berhadapan di atas jalan kosong itu. 
Apakah mungkin dia telah menunggu mereka bulan-bulan terakhir ini? Apakah 
Dumbledore telah memintanya untuk menunggu bahwa Harry akan datang 
kemari? Tampaknya bukan tidak mungkin bahwa wanita inilah yang bergerak 
dalam bayangan di pemakaman dan mengikuti mereka ke tempat ini? Bahkan 
kemampuannya untuk melihat, mereka anggap sebagai kekuatan Dumbledore 
yang belum tertandingi. 
Akhirnya Harry berbicara, yang menyebabkan Hermione menarik napas dan 
meloncat. 
“Apakah Anda Bathilda? 
Sosok berkerudung itu mengangguk dan memberi isyarat lagi. 
Di bawah jubah, Harry dan Hermione saling pandang. 
Harry mengangkat alis, Hermione memberi anggukan gugup yang lemah 
Mereka melangkah ke arahnya, dan pada saat bersamaan, wanita itu berputar 
dan kembali berjalan ke jalan tempat mereka datang. Setelah memimpin mereka 
melewati beberapa rumah, dia masuk ke sebuah pagar. Mereka mengikutinya 
hingga jalan depan sebuah kebun yang hampir seliar kebun yang baru saja 
mereka tinggalkan. Dia mencoba membuka pintu dengan kunci, lalu membukannya 
dan bergerak minggir untuk membiarkan mereka lewat. 
Wanita itu berbau busuk, atau rumahnya yang berbau busuk. Harry 
mengerutkan hidung ketika mereka melewatinya dan melepaskan jubah. 
Sekarang wanita itu di belakang meraka. Harry baru sadar betapa kurusnya dia, 
badannya bungkuk hingga dada Harry. Wanita itu menutup pintu di belakang 
mereka, buku jarinya biru-biru dan dipenuhi bintik di kulitnya. Kemudian dia 
berbalik dan menatap wajah Harry dengan teliti. Matanya tertutup katarak 
tebal dan tenggelam dalam lipatan kulit yang transparan, seluruh wajahnya 
dipenuhi bercak dengan pembuluh darah rusak dan bintik-bintik. Harry ingin 
tahu apakah wanita ini dapat mengungkap siapa Harry sebenarnya, kalaupun dia 
mampu, yang dia lihat adalah seorang muggle botak yang ia curi identitasnya. 
Bau busuk dari debu, pakaian yang tidak dicuci dan makanan basi yang sudah 
lama tercium tajam ketika dia membuka selendang bercadarnya, menunjukkan 
kepala dengan rambut tipis beruban yang terlihat jelas. 
“Bathilda ?” Harry mengulangi. 
Wanita itu mengangguk lagi. Harry menjadi sadar akan kalung yang ada di 
kulitnya. Sesuatu yang ada di dalamnya yang kadang-kadang berdetik dan 
berdetak telah bangun. Dia dapat merasakan kalung itu berlapis emas yang 
dingin. Apakah kalung itu tahu, dapatkah ia merasakan, bahwa sesuatu yang 
dapat menghancurkannya telah dekat? 
Bathilda berjalan sambil menyeret melewati mereka, mendorong Hermione ke 
pinggir seakan dia tidak pernah melihatnya, dan menghilang kedalam ruangan 
yang kelihatannya seperti ruang duduk. 
“Harry, aku tidak yakin tentang ini,” desah Hermione. 
“Lihat keadaan wanita itu, kita dapat mengatasinya dengan mudah bila kita 
mau,” kata Harry. “Dengar, aku seharusnya memberitahumu, aku tahu dia tidak 
ada di sana, Muriel menyebutnya ‘lucu’”. 
“Kemari!” panggil Bathilda dari ruang yang lain. 
Hermione melompat dan menyambar tangan Harry. 
“Tidak apa-apa,” kata Harry sambil menenangkan, dan dia berjalan ke arah 
ruang duduk. 
Bathilda berjalan terhuyung-huyung dan berkeliling sambil meletakan lilin yang 
bercahaya, tapi keadaan masih tetap sangat gelap, terlalu kotor untuk 
dikatakan. Debu tipis bergesekan di bawah kaki mereka, dan hidung Harry 
mendekteksi, selain bau lumut dan lembab, sesuatu yang busuk, seperti daging 
yang busuk. Harry ingin tahu kapan terakhir kali seseorang masuk ke rumah 
Bathilda untuk memeriksa apakah dia pernah melakukan bersih-bersih. Dia 
sepertinya juga telah lupa bahwa dia dapat melakukan sihir, karena dia dengan 
canggung menyalakan lilin dengan tangan, kancing berendanya yang kecil sangat 
berbahaya bila terkena api. 
“Biar saya saja yang melakukannya,” Harry menawarkan dan dia mengambil 
korek api dari Bathilda. Dia berdiri sambil memperhatikan Harry hingga dia 
selesai menyalakan sepotong lilin, yang berdiri dalam cawan di sekeliling 
ruangan, menggantungnya dengan kesulitan di atas tumpukan buku dan di 
samping meja yang dijejali dengan gelas-gelas retak dan berjamur. 
Permukaan terakhir tempat Harry meletakkan lilin adalah sebuah meja setinggi 
dada di mana berdiri banyak foto. Ketika api lilin telah menyala terang, 
cahayanya jatuh di atas benda perak dan kaca yang berdebu. Harry melihat 
gerakan kecil dalam foto-foto itu. Ketika Bathilda meraba-raba dengan 
sebatang tongkat menuju api, Harry bergumam: Targeo. Debu menghilang dari 
foto-foto itu dan Harry sadar seketika bahwa kurang dari setengah bingkai 
yang terbesar dan berukir telah hilang. 
Harry ingin tahu apakah Bathilda atau orang lain telah memindahkannya. 
Kemudian gambar dari sebuah foto di belakang koleksi-koleksi itu menarik 
perhatiannya, dan dia mengambilnya. 
Itu adalah gambar seorang pemuda berambut keemasan, berwajah kurus yang 
telah Harry lihat pada saat mendapatkan penglihatan tentang Gregorovitch, 
tersenyum malas-malasan kepada Harry dari dalam bingkai perak. Dan Harry 
segera ingat kapan dia pernah melihat peemuda itu sebelumnya: dalam buku ‘The 
Life and Lies of Albus Dumbledore’, saling merangkul dengan Dombledore muda, 
dan foto-foto yang hilang pasti ada pada buku Rita. 
“Mrs… Miss Bagshot?” katanya, dan suaranya terasa kecil. “Siapa ini?” 
Bathilda sedang berdiri di tengah ruangan sambil memperhatikan Hermione 
menyalakan api untuknya. 
“Miss Bagshot?” ulang Harry, dan dia mendekat dengan gambar di tangannya 
karena nyala api telah menyala di perapian. Bathilda mencari suara Harry, dan 
Horcrux menjadi lebih cepat panas di lehernya. 
“Siapa orang ini?” Harry bertanya padanya, mendorong maju gambar itu. 
Dia memandang gambar itu perlahan, kemudian memandang Harry. 
“Apakah anda tahu siapa ini?” ulang Harry lebih lambat dan lebih keras dari 
biasanya. “Laki-laki ini? Apakah anda mengenalnya? Siapa namanya?” 
Bathilda menatap foto itu samar-samar. Harry merasa sedikit putus asa. 
Bagaimana Rita Skeeter dapat mengorek keterangan dari Bathilda? 
“Siapa laki-laki ini?” dia mengulangi lebih keras. 
“Harry, apa yang kau lakukan?” tanya Hermione. 
“Foto ini, Hermione, ini pencurinya, pencuri yang telah mencuri dari 
Gregorovitch! Saya 
mohon!” dia berbicara pada Bathilda. “Siapa ini?”
Tapi Bathilda hanya memandang Harry.
“Mengapa anda mengajak kami kemari, Mrs… Miss Bathilda?” tanya Hermione, 
meninggikan suaranya sendiri. “Apakah ada sesuatu yang ingin disampaikan 
kepada 
kami?”
Dia tidak memberi tanda apakah dia mendengar Hermione, Bathilda sekarang 
bergeser 
beberapa langkah mendekat ke Harry. Dengan sebuah sentakan kecil 
kepalanya, dia 
melihat ke ruang depan.
“Anda ingin kami pergi?” tanya Harry.
Dia mengulangi gerak isyarat, kali ini menunjuk terlebih dahulu ke Harry, lalu ke 
ke 
dirinya, kemudian pada langit-langit.
“Oh, begitu… Hermione, kurasa dia ingin aku pergi ke atas dengannya.”
“Baiklah,” kata Hermione, “Ayo.”
Tetapi ketika Hermione bergerak, Bathilda menggedikkan kepalanya dengan 
tegas dan 
mengejutkan, sekali lagi menunjuk pertama kali pada Harry, lalu pada 
dirinya.
“Dia ingin aku pergi dengannya, sendirian.”
“Kenapa?” tanya Hermione, dan suaranya menjadi jelas dan tajam dalam 
ruangan 
berpenerangan lilin itu. Wanita tua itu menggedikkan kepalanya kepada 
Hermione sedikit 
ketika mendengar suara keras.
“Mungkin Dumbledore memberitahunya untuk memberikan pedang padaku, dan 
hanya 
padaku?”
“Apakah kau benar-benar yakin dia tahu siapa kau?”
“Ya,” kata Harry, melihat melalui mata berwarna susu yang terpaku pada 
matanya, 
“Kupikir dia sudah tahu.”
“Baiklah kalau begitu, tapi cepat, Harry.”
“Silakan tunjukkan jalannya!” Harry memberitahu Bathilda.
Dia tampak mengerti, karena dia bergeser memutarinya menuju pintu. Harry 
memandang 
sekilas pada Hermione dengan senyuman yang menenangkan, tapi dia tidak 
yakin Hermione melihatnya, Hermione berdiri memeluk dirinya sendiri di 
tengah ruangan berpenerangan lilin, memandang ke arah rak buku. Ketika 
Harry berjalan keluar dari ruangan, tidak terlihat oleh Hermione dan 
Bathilda, dia memasukkan foto berbingkai perak dari pencuri tak dikenal 
itu ke dalam jaketnya. 
Tangga itu curam dan sempit, Harry setengah tergoda untuk meletakkan 
tangannya di punggung Bathilda untuk menguatkannya agar tidak terjatuh ke 
belakang dan menimpanya, yang tampak sangat mungkin terjadi. Dengan 
perlahan, terhuyung sedikit, Bathilda mendaki ke lantai atas, belok dengan 
segera ke kanan, dan memimpin Harry ke kamar tidur dengan langit-langit 
rendah. 
Ruangan itu adalah loteng yang gelap dan berbau mengerikan. Harry telah 
membuat sebuah belangga yang menonjol keluar dari bawah tempat tidur 
sebelum Bathilda menutup pintu dan kegelapan menelan dengan pasti. 
“Lumos,” kata Harry, dan tongkat sihirnya menyala. Dia baru tahu; 
Bathilda telah bergerak mendekat ketika kegelapan beberapa saat tadi, 
dan dia tidak mendengar pergerakannya. 
“Apakah kau Potter?” dia berbisik. 
“Ya, benar.” 
Dia mengangguk dengan perlahan, dengan khidmat. Harry merasa Horcrux 
berdetak cepat, lebih cepat dari jantungnya. Rasanya menyenangkan, 
mengguncang perasaan. 
“Apakah ada sesuatu yang ingin anda berikan untuk saya?” Harry bertanya, tapi 
perhatian Bathilda teralihkan oleh ujung tongkat Harry yang bercahaya. 
“Apakah ada sesuatu yang ingin anda berikan untuk saya?” Harry mengulangi. 
Kemudian Bathilda menutup matanya dan beberapa kejadian terjadi pada saat 
bersamaan; bekas luka Harry menusuk menyakitkan; Horcrux berkedut sehingga 
bagian depan sweaternya bergerak; ruangan yang busuk dan gelap menghilang 
untuk sekejap. Harry merasa sebuah lompatan gembira dan berbicara dengan 
nada tinggi dan dingin: 
Tahan dia! 
Harry terguncang di tempat dia berdiri: ruangan yang gelap dan berbau busuk 
itu terasa menekannya lagi; dia tidak tahu apa yang sedang terjadi. 
“Apakah ada sesuatu yang ingin anda berikan untuk saya?” Harry bertanya 
untuk ketiga kalinya, lebih kuat. 
“Di sini,” dia berbisik, menunjuk ke sudut. Harry mengangkat tongkatnya dan 
melihat sebentuk meja tulis yang berantakan di bawah jendela bertirai. 
Kali ini Bathilda tidak membimbingnya. Harry berjalan ke pinggir di antara 
Bathilda dan tempat tidur yang berantakan, tongkatnya terangkat. Dia tidak 
mau jauh-jauh darinya. 
“Apa itu?” dia bertanya ketika dia sampai di meja tulis, yang terlihat dan 
baunya seperti tumpukan pakaian kotor. 
“Di situ,” dia berkata, menunjuk ke suatu benda yang tidak berbentuk. 
Dan segera setelah dia melihatnya, mata Harry mengerling sebuah pangkal 
pedang yang berantakan, berbutir ruby, Bathilda bergerak aneh; dia melihatnya 
dari sudut matanya; kepanikan membuatnya berbalik dan dia menyaksikan tubuh 
tua itu rebah dan seekor ular besar keluar dari tempat di mana lehernya 
berada. 
Ular itu menabraknya ketika dia mengangkat tongkatnya. Gigitan kuat pada 
tangan kanannya membuat tongkatnya terpental ke langit-langit; cahayanya 
berputar memusingkan di sekitar ruangan dan kemudian padam. Lalu sebuah 
pukulan yang kuat dari ekor ular ke rongga dadanya telah membuatnya 
kehabisan napas. Dia merasa jatuh ke belakang ke atas meja tulis, ke 
gundukan pakaian busuk￾Harry berguling ke samping, sedikit menghindar dari ekor ular yang memukul 
ke bawah dari atas meja ke tempat di mana dia berada beberapa detik 
sebelumnya. Pecahan kaca berjatuhan di atasnya ketika dia mengenai lantai. 
Dari bawah dia mendengar Hermione memanggil, “Harry?” 
Dia tidak mempunyai cukup napas di paru-parunya untuk menjawab. Kemudian 
suatu benda yang berat memukulnya ke lantai dan dia merasakan ular itu 
melata di atasnya, sangat kuat dan berotot. 
“Tidak!” dia terengah-engah, tertahan di lantai. 
“Ya,” bisik suara itu, “Yaaa… menahanmu… menahanmu…” 
“Accio… Accio Tongkat…” 
Tapi tidak ada yang terjadi dan dia membutuhkan tangannya untuk mencoba 
melepaskan ular itu dari tubuhnya karena ular itu telah membelit sekeliling 
dadanya, mencengkram udara darinya, menekan keras Horcrux ke dadanya, 
sebuah kalung sedingin es yang berdenyut hidup, beberapa inchi dari 
jantungnya yang kalut, dan otaknya dibanjiri rasa dingin, cahaya putih, semua 
pikiran lenyap, napasnya ditenggelamkan, langkah di kejauhan, semuanya 
menjadi… 
Sebuah jantung besi bersuara keras di luar dadanya, dan sekarang dia 
melayang, melayang dengan kemenangan jantungnya, tanpa membutuhkan 
sapu atau thestral… 
Harry terbangun dengan tiba-tiba dalam kegelapan yang berbau masam; 
Nagini telah membebaskannya. Dia bangkit dengan ketakutan dan melihat 
sosok ular itu berlawanan dengan cahaya di lantai. Ular itu menabrak dan 
Hermione melompat ke pinggir sambil menjerit, kutukan yang dia lontarkan 
mengenai jendela bertirai, yang kemudian hancur. Udara beku mengisi ruangan 
ketika Harry menunduk untuk menghindari hujan pecahan kaca yang lain dan 
kakinya terpeleset sesuatu yang seperti pensil -- tongkatnya. 
Dia membungkuk dan menyambarnya, tapi ruangan sekarang dipenuhi ular, 
ekornya memukul; Hermione tidak terlihat di manapun dan untuk sesaat 
Harry memikirkan sesuatu yang buruk, tetapi kemudian ada ledakan keras 
dan kilatan cahaya merah, dan ular itu terpental ke udara, menabrak muka 
Harry, bergulung gulungan demi gulungan naik hingga ke langit-langit. Harry 
mengangkat tongkatnya, tetapi ketika dia melakukannya, bekas lukanya 
menjadi sangat sakit, lebih sakit dari pada tahun-tahun sebelumnya. 
“Dia datang! Hermione, dia datang!” 
Ketika dia berteriak, ular tersebut mendesis liar. Sumuanya kacau balau; Harry 
menabrak rak di dinding, dan serpihan keramik China berserakan ke mana-mana 
ketika Harry meloncat melewati tempat tidur dan menabrak suatu sosok gelap 
yang dia tahu adalah Hermione. 
Hermione menjerit kesakitan ketika Harry menariknya melewati tempat tidur. 
Ular itu membebatnya lagi, tapi Harry tahu bahwa sesuatu yang lebih buruk 
telah datang, mungkin sudah sampai di gerbang, kepalanya serasa terbuka 
dengan rasa sakit di bekas lukanya. 
Ular itu menyerbu ketika dia mengambil langkah untuk berlari, menarik 
Hermione bersamanya; ketika menabrak, Hermione menjerit, “Confringo!” dan 
mantranya terbang di sekitar ruangan, meledakkan kaca hias, dan memantul ke 
arah mereka, melompat dari lantai ke langit-langit; Harry merasakan rasa 
panas menghanguskan bagian belakang tangannya. Kaca menggores lehernya, 
sambil menarik Hermione, dia meloncat dari tempat tidur ke meja tulis dan 
langsung mendobrak jendela ke luar, teriakan Hermione bergaung di udara 
malam ketika mereka berputar di tengah udara. 
Dan kemudian bekas lukanya serasa meledak, dia menjadi Voldemort dan dia 
berlari melintasi kamar tidur yang bau, jari panjangnya yang putih 
mencengkram kusen jendela ketika dia melihat sekilas seorang pria botak dan
perempuan kecil berputar dan menghilang, dan dia menjerit dengan kemarahan, 
jeritan yang bercampur dengan jeritan si perempuan, yang bergaung sepanjang 
kebun gelap diiringi dentang bel gereja di hari natal. 
Dan jeritannya adalah jeritan Harry… rasa sakitnya adalah rasa sakit Harry… 
yang bisa terjadi di sini, di mana pernah terjadi sebelumnya… di sini, dalam 
pandangan rumah itu di mana dia telah datang begitu dekat untuk mengetahui 
apakah dia telah mati… mati…sakitnya sungguh mengerikan… merobek 
tubuhnya… tetapi jika dia tidak mempunyai tubuh, mengapa kepalanya sangat 
sakit; jika dia telah mati, bagaimana bisa dia merasa sangat sakit yang tak 
tertahankan, bukankah rasa sakit berhenti bila mati, bukankah ia hilang. 
Malam yang lembab dan berangin, dua orang anak berpakaian labu berjalan 
terhuyunghuyung melintasi perempatan, dan jendela toko ditutupi oleh jaring 
laba-laba, semua perangkap muggle semu tapi tidak berharga menjebak dunia 
yang tidak mereka percayai… dan dia meluncur, suatu perasaan untuk tujuan dan 
kekuatan dan kebenaran dalam dirinya yang selalu dia ketahui untuk urusan￾urusan ini… bukan kemarahan… yang hanya diperuntukkan untuk jiwa yang lebih 
lemah darinya… tapi kemenangan, ya… dia telah menanti hal ini, dia telah 
mengharapkannya… 
“Kostum keren, Tuan!” 
Dia melihat laki-laki kecil tersenyum ragu ketika dia berlari cukup dekat 
untuk melihat yang ada di bawah penutup kepala jubah, rasa takut terbayang 
di wajahnya. Kemudian anak kecil itu berbalik dan lari… di bawah jubah, dia 
memegang tongkat sihirnya… dengan gerakan yang sederhana dan anak itu 
tidak akan bertemu lagi dengan ibunya… tapi tidak perlu, sangat tidak perlu… 
Dan sepanjang jalan yang baru dan gelap, dia berjalan, dan akhirnya sampai ke 
tempat tujuannya, Mantra Fidelius rusak, ia pikir mereka pasti belum tahu… 
dan dia membuat sedikit suara yang melebih suara keresekan daun mati di 
sepanjang jalan aspal ketika menaiki undakan pagar gelap dan 
menyingkirkannya… 
Mereka belum menutup tirainya; dia melihat mereka cukup jelas di dalam ruang 
duduk mereka yang kecil, pria tinggi berambut hitam dengan kacamata, 
membuat asap berwarna keluar dari tongkat sihirnya untuk menghibur anak 
kecil berambut hitam yang memakai piyama biru. Anak itu tertawa dan 
mencoba untuk menangkap asap itu, menangkapnya dengan jemarinya yang 
kecil… 
Sebuah pintu terbuka dan ibunya masuk, mengucapkan kata yang tidak 
dapat didengarnya, rambutnya yang panjang jatuh di sekitar wajahnya. 
Sekarang ayahnya menggendong anak itu dan memberikannya kepada sang 
ibu. Laki-laki itu melempar tongkatnya ke atas sofa dan menguap… 
Pagar berderit sedikit ketika dia mendorongnya terbuka, tapi James Potter 
tidak mendengarnya. Tangan putihnya menarik tongkat sihir di bawah jubahnya 
dan menunjuk ke pintu, yang meledak terbuka. 
Dia berada di ambang pintu ketika James datang sambil berlari cepat ke
ruang depan. Ini mudah, sangat mudah, dia bahkan tidak perlu mengambil 
tongkatnya… 
“Lily, ambil Harry dan pergi! Itu dia! Pergi! Lari! Aku akan menahannya!” 
Menahannya, tanpa sebuahh tongkat sihir di tangannya?... Dia tertawa 
sebelum mengucapkan kutukan… 
“Avada Kedavra!” 
Cahaya hijau memenuhi seluruh ruang depan, kutukan itu melempar kereta 
bayi ke dinding, membuat sandaran tangga terbakar seperti cambuk yang 
menyala, dan James Potter jatuh seperti boneka marionete yang dipotong 
talinya… 
Dia dapat mendengar teriakan perempuan dari ruangan atas, terjebak, tapi dia 
berpikir, dia, akhirnya, tidak merasakan ketakutan lagi… dia memanjat anak 
tangga, mendengarkan hiburan jemu pada saat perempuan itu melindungi 
dirinya… perempuan itu juga tidak memegang tongkat sihir… betapa bodohnya 
mereka, dan betapa mudah percayanya, berpikir bahwa keselamatan mereka 
ada pada seorang teman, bahwa senjata-senjata dapat disepelekan bahkan 
hanya untuk sementara… 
Dia membuat pintu terbuka, menyingkirkan kursi dan kotak-kotak yang 
menghalanginya ke samping dengan satu lambaian malas tongkat sihirnya… dan di 
sana perempuan itu berdiri, anak itu ada di dekapannya. Akhirnya perempuan itu 
menatapnya, dia meletakkan anaknya di meja di belakangnya dan merentangkan 
tangannya, berharap ini bisa berguna, yang dia pilih dengan segera dan berharap 
dapat melindungi anak ini dari pandangan… 
“Jangan Harry, jangan Harry, kumohon jangan Harry!” 
“Minggir kau perempuan bodoh… minggir sekarang.” 
“Jangan Harry, kumohon jangan, bunuh aku sebagai gantinya.” 
Ini peringatanku yang terakhir.” 
“Jangan Harry! Kumohon… jangan sakiti dia… kasihanilah dia… Jangan 
Harry! Jangan Harry, kumohon… aku bersedia melakukan apapun.” 
“Minggir. Minggir, perempuan.” 
Dia tidak dapat membuat perempuan ini minggir dari depan meja, tapi 
kelihatannya menyenangkan untuk menghabisi mereka semua… 
Cahaya hijau berkilatan di sekitar ruangan dan perempuan itu terjatuh seperti 
suaminya. Anak itu tidak menangis selama ini terjadi. Dia dapat berdiri, 
mencengkram pinggiran mejanya dan melihat keatas ke wajah si penyusup 
dengan ketertarikan yang besar, mungkin berpikir bahwa itu adalah ayahnya 
yang berada di bawah jubah, membuat cahaya indah, dan ibunya akan meloncat 
sebentar lagi, tertawa. 
Dia menunjukkan tongkatnya dengan hati-hati ke wajah anak itu. Dia ingin 
melihatnya terjadi, penghancuran kali ini, bahaya yang tidak dapat dipahami. 
Anak itu mulai menangis. Dia telah melihat bahwa si penyusup bukan James. Dia 
tidak senang anak itu menangis, dia tidak pernah berselera mendengar 
rengekan anak yatim piatu. 
“Avada Kedavra!” 
Dan kemudian dia hancur; dia bukan apa-apa, tak ada yang lain selain rasa 
sakit dan teror, dan dia harus menyembunyikan dirinya, bukan di sini di puing￾puing rumah runtuh, di mana anak itu terperangkap dan menjerit, tapi jauh… 
pergi sangat jauh… 
“Tidak,” dia meratap 
Sang ular berdesir di lantai yang kotor dan bau, dan dia telah membunuh anak 
itu, dan kemudian dia adalah anak kecil itu… 
“Tidak…” 
Dan sekarang dia berdiri di jendela rumah Bathilda yang rusak, terbenam 
dalam kenangan kegagalannya yang terbesar, dan di kakinya seekor ular 
besar berdesir di antara kaca dan porselen yang rusak… dia melihat ke 
bawah dan melihat sesuatu… sesuatu yang luar biasa… 
“Tidak…”
“Harry, tidak apa-apa, kau baik-baik saja?
Dia menjangkau kebawah, dan mengambil sebuah foto yang terlempar. Itu dia, 
pencuri yang sedang dia cari… 
“Tidak… aku menjatuhkannya…aku menjatuhkannya…”
“Harry, tidak apa-apa, bangun, bangun!”
Dia adalah Harry… Harry, bukan Voldemort… dan sesuatu yang berdesir itu 
bukan 
seekor ular… dia membuka matanya.
“Harry,” Hermione berbisik. “Apa kau ba… baik-baik saja?”
“Ya,” katanya.
Dia di dalam tenda, berbaring di salah satu ranjang rendah di bawah timbunan 
selimut. 
Dia menduga bahwa hari hampir fajar karena suasana senyap dan dingin, 
cahaya datarpun terlihat dari celah tenda. Harry basah kuyup oleh 
keringat, dia dapat merasakannya di atas seprai dan selimut. 
“Kita berhasil lolos.” “Ya,” kata Hermione, “aku telah menggunakan Mantra 
Melayang untuk mengangkatmu ke atas ranjang, aku tak dapat mengangkatmu. 
Kau telah menjadi… well, kau tidak lagi…” 
Ada rona ungu dibawah mata coklatnya dan Harry menyadari sebuah busa di 
tangannya. Hermione telah mengelap wajah Harry. 
“Kau terluka,” dia melanjutkan, “cukup terluka.” 
“Berapa lama kita meninggalkan tempat itu? 
“Beberapa jam yang lalu, hari hampir fajar.” 
“Dan aku telah… apa, pingsan?” 
“Tidak juga” kata Hermione tidak nyaman, “ kau berteriak dan meratap 
dan…sesuatu,” dia menambahkan dalam nada yang membuat Harry gelisah. Apa 
yang telah dilakukannya? Meneriakkan kutukan seperti Voldemort, menangis 
seperti bayi dalam ayunan? 
“Aku tidak dapat melepaskan Horcrux darimu.” Hermione berkata, dan dia tahu 
dia ingin mengalihkan perhatian. “Horcrux itu tersangkut, tersangkut di dadamu. 
Itu membuat bekas di dadamu; aku menyesal, aku telah menggunakan mantra 
potong untuk melepasnya. Ular itu menggigitmu juga, tapi aku telah 
membersihkan lukanya dan memberikan sedikit dittany di atasnya.” 
Harry melepaskan kaos berkeringat yang telah dipakainya dari tubuhnya dan 
melihat ke bawah. Ada semacam bentuk lonjong merah padam diatas jantungnya 
di mana kalung itu membakarnya. Dia juga dapat melihat tusukan setengah 
sembuh di tangan kanannya. 
“Di mana kau meletakkan Horcrux-nya?” 
“Dalam tasku. Aku pikir kita seharusnya menyimpannya untuk sementara.” 
Dia berbaring lagi di bantalnya dan melihat ke wajah Hermione yang 
kelabu bekas terjepit. 
“Kita tidak seharusnya pergi ke Godric’s Hollow. Ini salahku, ini semua 
salahku, Hermione, aku minta maaf.” 
“Ini bukan salahmu, aku juga ingin pergi, aku sangat yakin Dumbledore 
mungkin meninggalkan pedang itu di sana untukmu.” 
“Yah, well… kita salah, kan?” 
“Apa yang terjadi, Harry? Apa yang terjadi ketika dia membawamu ke atas? 
Apakah ular itu bersembunyi di suatu tempat? Apakah ular itu datang dan 
membunuhnya dan menyerangmu?” 
“Tidak,” dia berkata, “dia adalah ularnya… atau ular itu adalah dia… begitulah.”
“Ap… Apa?”
Dia menutup matanya. Dia masih dapat mencium rumah Bathilda. Ini membuat 
semua 
bayangan yang mengerikan menjadi hidup.
“Bathilda pasti sudah mati sebelumnya. Ular itu ada… ada di dalam 
tubuhnya. Kau￾Tahu-Siapa meletakkannya di Godric’s Hollow, untuk menunggu. Kau benar. Dia 
tau aku kembali.”“Ular itu di dalam tubuhnya?”Harry membuka matanya lagi. 
Hermione kelihatannya jijik dan muak. “Lupin 
mengatakan ada sihir yang tidak bisa kita bayangkan,” Harry berkata, 
“Bathilda tidak mau berbicara di depanmu, karena bahasanya adalah 
Parseltongue, semuanya Parseltongue, dan aku tidak menyadarinya, tapi tentu 
saja aku memahaminya. Ketika kami berada di atas, ular itu mengirim berita 
pada Kau-Tahu-Siapa. Aku mendengar itu terjadi di dalam kepalaku, aku 
merasa Voldemort menjadi tertarik, dia berkata untuk menahanku di situ… 
dan kemudian…” 
Dia ingat ular itu keluar dari leher Bathilda; Hermione tak perlu tahu rinciannya.
“…dia berubah, berubah menjadi ular, dan menyerang.”
Dia melihat ke bawah pada luka merah padam itu.
“Ular itu seharusnya tidak berusaha membunuhku, hanya untuk menahanku di 
sana 
sampai Kau-Tahu-Siapa tiba.”
Jika dia dapat membunuh ular itu sebelumnya, keadaan tidak mungkin 
seburuk ini, 
semuanya… merasa sakit pada jantungnya, dia duduk dan menggeser 
selimutnya.
“Harry, jangan, aku yakin kau harus istirahat!”
“Kau adalah orang yang lebih membutuhkan istirahat. Jangan membantah, kau 
terlihat 
sangat lelah. Aku baik-baik saja. Aku akan berjaga-jaga sebentar. Di mana 
tongkatku?”
Hermione tidak menjawab, dia melihat Harry dengan bimbang.
“Di mana tongkatku, Hermione?”
Hermione menggigit bibirnya, dan air mata berlinang di matanya.
“Harry…”
“Di mana tongkatku?”Dia menjangkau ke bawah di samping tempat tidur dan 
menyerahkannya.Tongkat kayu holly dan bulu phoenix hampir terbelah dua. 
Sebuah inti bulu phoenix yang 
rapuh menahan dua bilah itu tetap menyatu. Kayunya telah terpisah sama 
sekali. Harry meletakkan di tangannya seolah tongkat itu suatu mahluk hidup 
yang menderita karena luka yang menyakitkan. Harry tidak dapat berpikir 
dengan baik. Semuanya kabur dalam kepanikan dan ketakutan. Kemudian dia 
menyodorkan tongkatnya kepada Hermione. 
“Perbaikilah, kumohon!”“Harry, aku rasa tak bisa. Jika rusaknya seperti 
ini.”“Kumohon, Hermione, cobalah!”“R-Reparo.”Patahan di tengah tongkat 
menyatu sendiri. Harry mengambilnya.“Lumos!”Tongkat itu berkedip sekejap, 
lalu padam. Harry menunjuk pada Hermione.“Expelliarmus!”Tongkat Hermione 
bergerak sedikit, tetapi tidak terlepas dari tangannya. Menghasilkan 
sihir ringan merupakan hal yang sulit bagi tongkat Harry, yang terbelah menjadi 
dua lagi. 
Dia tertegun memandangnya, tidak percaya apa yang dilihatnya… tongkat yang 
telah 
menyelamatkan nyawanya, sangat…
“Harry,” Hermione berbisik sangat pelan, Harry dapat mendengarnya dengan 
susah 
payah. “Aku minta maaf sekali, kupikir itu kesalahanku. Ketika kita pergi, kau 
tahu, ular 
itu mendatangi kita, dan karenanya aku mengucapkan Mantra Penghancur, dan 
mantra itu 
menyebar kemana-mana, dan mantra itu pasti… mantra itu pasti mengenai…”
“Itu sebuah kecelakaan,” kata Harry dengan cepat. Dia merasa hampa, terdiam. 
“Kita 
akan… kita akan mencari cara untuk memperbaikinya.”
“Harry, kurasa kita tidak mampu melakukannya.” Kata Hermione. Air mata 
mengalir di 
wajahnya, “ingat… ingat Ron? Ketika dia merusak tongkatnya, waktu kecelakaan 
mobil? 
Tongkatnya tidak pernah lagi sama seperti sebelumnya, dia akhirnya membeli 
tongkat 
yang baru.”
Harry memikirkan Olivander, yang diculik dan ditawan Voldemort; memikirkan 
Gregorovitch, yang sudah mati. Bagaimana bisa dia menemukan orang yang 
dapat memberinya tongkat baru? 
“Yah,” katanya, dalam nada itu-bukan-masalah, “yah, sepertinya aku akan 
meminjam tongkatmu mulai sekarang, sementara aku berjaga.” 
Wajah Hermione dipenuhi air mata, Hermione menyerahkan tongkatnya dan
Harry meninggalkannya duduk di tempat tidurnya, tidak ada yang dia 
inginkan selain pergi darinya. 
Bab 18 Dunia dan Dusta Albus Dumbledore The Life and Lies of Albus 
Dumbledore 
Matahari mulai terbit: jernih, langit tanpa warna terbentang luas diatasnya, 
tidak peduli padanya maupun pada penderitaannya. Harry duduk di pintu masuk 
tenda dan menghirup udara bersih dalam-dalam. Masih bisa hidup untuk 
menyaksikan matahari terbit diatas sisi bukit bersalju yang berkilau sebenarnya 
merupakan harta paling berharga di dunia; ia belum bisa menghargainya: 
perasaannya telah terpaku oleh malapetaka kehilangan tongkatnya. Ia 
memandang lembah yang diselimuti salju, lonceng gereja di kejauhan berdentang 
melalui kesunyian yang gemerlap. 
Tanpa sadar, ia meraba lengan dengan jari-jarinya seperti sedang mencoba 
melawan rasa sakit. Dia telah menumpahkan darahnya sendiri lebih sering 
daripada yang bisa dihitungnya; dia kehilangan semua tulang di lengan kanannya 
sekali; perjalanan ini telah memberinya luka di dada dan lengan bawah untuk 
menambah luka sebelumnya di dahi dan tangannya, tapi tak pernah, sampai saat 
ini, dia merasakan perasaan lemah, mudah diserang, dan tanpa perlindungan yang 
parah, karena bagian terbaik dari kemampuan sihirnya telah tercabik darinya. 
Ia tahu pasti apa yang akan dikatakan Hermione jika dia mengatakan hal ini: 
bahwa tongkat sama baiknya dengan pemiliknya. Tapi Hermione salah, kasusnya 
berbeda. Dia tidak merasakan tongkat berputar seperti jarum kompas dan 
menembakkan api keemasan pada musuhnya. Ia kehilangan perlindungan dari inti 
kembar dan sekarang saat sudah hilang barulah ia menyadari betapa ia 
tergantung pada tongkatnya. 
Ia menarik potongan tongkat yang patah dari sakunya dan, tanpa 
memandangnya, memasukkannya ke dalam kantong Hagrid yang tergantung di 
lehernya. Kantong itu sekarang penuh dengan barang-barang rusak dan tidak 
berguna. Tangan Harry menyikat snitch tua pada mokeskin dan untuk sekejap 
dia harus menahan diri untuk tidak menarik dan membuangnya jauh-jauh. Berat 
untuk dijalani, tanpa bantuan, tanpa guna seperti segala yang Dumbledore 
tinggalkan –-
Dan kemarahannya kepada Dumbledore menghancurkannya seperti lahar, 
membakarnya didalam, menyapu bersih perasaannya yang lain. Diluar, rasa putus 
asa atas keyakinan mereka bahwa jawabannya ada di Godric’s Hollow, berusaha 
meyakinkan diri sendiri bahwa mereka harus kembali kesana, bahwa itu adalah 
bagian dari beberapa jalan rahasia yang disiapkan Dumbledore untuk mereka: 
tapi ternyata sama sekali tak ada petunjuk, tak ada rencana. Dumbledore telah 
meninggalkan mereka untuk meraba-raba dalam kegelapan, untuk bergulat 
dengan teror-teror tak dikenal dan tak terbayangkan, sendiri dan tanpa 
bantuan: tak ada yang dijelaskan, tak ada yang diberikan dengan gratis, mereka 
tidak punya pedang, dan sekarang, Harry tidak punya tongkat. Dan dia telah 
menjatuhkan foto si Pencuri, dan pasti sangat mudah bagi Voldemort sekarang 
untuk menemukannya…. 
Voldemort mempunyai semua informasi sekarang….. 
“Harry?” 
Hermione tampak ketakutan seolah Harry mungkin akan mengutuknya dengan 
tongkatnya sendiri. Wajahnya penuh dengan air mata, dia meringkuk 
disamping Harry, dua cangkir teh bergetar di tangannya dan ada sesuatu 
yang besar di bawah lengannya. 
“Terima kasih,“ ata Harry, mengambil satu cangkir. 
“Tidak keberatan aku bicara denganmu?“ 
“Tidak, “ dia mengatakannya agar tidak menyakiti perasaan Hermione. 
“Harry, kau ingin tahu kan siapa orang di foto itu. Well...aku punya bukunya.“ 
Dengan takut-takut ia mendorong buku itu ke pangkuan Harry, cetakan asli 
Dunia dan Dusta Albus Dumbledore. 
”Dimana – bagaimana --?“ 
”Ada di ruang tamu Bathilda, tergeletak begitu saja...Catatan ini ada diatasnya.“ 
Hermione membaca dengan keras beberapa baris tulisan kehijauan, yang 
bentuknya tajam-tajam seperti paku. 
“’’Kepada Bally, terima kasih atas bantuanmu. Ini bukunya, semoga kau 
menyukainya. Kau mengatakan segalanya, bahkan walaupun kau tidak 
mengingatnya. Rita.’ Kurasa ini datang ketika Bathilda masih hidup, tapi apa 
mungkin ia tidak dalam keadaan sehat untuk membacanya?” 
“Mungkin begitu keadaannya.” 
Harry memandang wajah Dumbledore dan merasakan gelombang kesenangan 
yang mengganas: sekarang ia akan tahu semua yang Dumbledore pikir tak cukup 
berarti untuk disampaikan padanya, terlepas Dumbledore menginginkannya atau 
tidak. 
“Kau masih marah kepadaku, kan?“ ujar Hermione; Harry memandangnya,
melihat airmata segar keluar dari matanya, dan menyadari bahwa kemarahan 
pastilah terlihat di wajahnya. 
“Tidak,” katanya kalem. “Tidak, Hermione, aku tahu itu kecelakaan. Kau 
berusaha membawa kita keluar hidup-hidup, dan kau luar biasa. Aku pasti 
sudah mati jika kau tidak disana untuk menolongku.” 
Dia mencoba membalas senyum Hermione yang basah, kemudian kembali 
memperhatikan buku. Puggungnya kaku; jelas belum pernah dibuka sebelumnya. 
Dia menjelajahi halaman, mencari foto-foto. Ia segera sampai pada salah satu 
foto, Dumbledore muda dan rekannya yang tampan, tertawa terbahak-bahak 
oleh lelucon lama. Mata Harry tertuju pada tulisan dibawahnya. 
Albus Dumbledore, segera setelah kematian ibunya,
Bersama temannya Gellert Grindelwald.
Harry terpaku pada kalimat terakhir untuk beberapa waktu. Grindelwald. 
Temannya Grindelwald. Dia melihat kesamping pada Hermione, yang masih 
merenungkan nama itu seolah-olah tidak mempercayai penglihatannya. Perlahan 
dia menatap Harry. 
“Grindelwald!“ 
Mengabaikan sisa foto yang lain, Harry mencari halaman sekitar untuk 
menemukan lagi nama yang membawa bencana itu. Dia segera menemukannya 
dan membacanya dengan rakus, tenggelam didalamnya: Sangat penting untuk 
kembali ke masa lalu demi memahami ini semua dan akhirnya dia sampai pada 
permulaan bab berjudul “Manfaat yang Lebih Besar.” Bersama-sama, dia dan 
Hermione mulai membaca: 
Mendekati ulang tahun ke-18, Dumbledore meninggalkan Hogwarts dengan 
kejayaan yang berkibar-kibar, Ketua Murid, Prefek, Pemenang Penghargaan 
Barnabus Finkley untuk Pembuatan Mantra Luar Biasa, Perwakilan Pemuda 
Inggris untuk Wizengamot, Pemenang Medali Emas untuk Kontribusi yang Luar 
Biasa pada Konferensi Alkemis Internasional di Kairo. Dumbledore bermaksud, 
selanjutnya, untuk menjalani tour besar bersama Elphias “Dogbreath” Doge, 
yang tidak terlalu pintar tetapi merupakan sahabat karib yang setia yang 
ditemuinya di sekolah. 
Kedua anak muda tinggal di Leaky Cauldron di London, mempersiapkan 
keberangkatan ke Yunani keesokan paginya, ketika seekor burung hantu datang 
membawa berita kematian ibu Dumbledore. “Dogbreath” Doge, yang menolak 
untuk diwawancarai untuk buku ini, telah memberikan versi sentimentalnya 
sendiri kepada masyarakat tentang apa yang terjadi selanjutnya. Dia 
menggambarkan kematian Kendra sebagai peristiwa tragis, dan keputusan 
Dumbledore untuk tidak melanjutkan ekspedisinya merupakan sebuah 
pengorbanan diri yang mulia. 
Tentu saja Dumbledore segera kembali ke Godric’s Hollow, untuk 
’merawat’ adikadiknya menurut dugaan. Tapi apakah ia benar-benar
merawat mereka? 
“Dia menjadi kepala keluarga karena Aberforth,” kata Enid Smeek, yang 
keluarganya tinggal di pinggiran Godric’s Hollow pada saat itu, “menjadi liar. 
Tentu saja kau akan merasa menyesal karena ayah dan ibunya telah meninggal 
dunia, hanya saja ia selalu membuatku kesal. Kurasa Albus tidak mau repot￾repot dengannya. Lagipula aku tidak pernah melihat mereka bersama-sama.” 
Lalu apa yang dilakukan Albus, jika tidak menenangkan adik laki-lakinya yang 
liar? Jawabannya, tampaknya, adalah memastikan kelanjutan hukuman penjara 
bagi adik perempuannya. Walaupun orang yang memenjarakannya pertama 
telah meninggal, tak ada perubahan terhadap kondisi mengenaskan Ariana 
Dumbledore. Keberadaannya hanya diketahui oleh sedikit sekali orang luar 
yang, seperti “Dogbreath” Doge, bisa diandalkan untuk mempercayai cerita 
“gangguan kesehatan”nya. 
Ada lagi teman keluarga yang cukup meyakinkan yaitu Bathilda Bagshot, 
sejarawan sihir ternama yang tinggal di Godric’s Hollow selama bertahun-tahun. 
Kendra, tentu saja, telah menampik Bathilda ketika pertama kali mencoba untuk 
menyambut keluarga itu di desanya. Beberapa tahun kemudian, ternyata sang 
penulis mengirimkan burung hantu kepada Albus di Hogwarts, karena terkesan 
oleh tulisannya tentang transformasi antarspesies di Transfiguration Today. 
Ikatan awal ini mengarahkannya untuk berkenalan dengan seluruh anggota 
keluarga Dumbledore. Pada saat kematian Kendra, Bathildalah satu-satunya 
orang di Godric’s Hollow yang dapat bercakap-cakap dengan ibu Dumbledore 
tersebut. 
Sayang sekali, kecemerlangan yang Bathilda tunjukkan di awal hidupnya kini 
telah redup. “Apinya menyala, tapi kualinya kosong,” sebagaimana Ivor 
Dillonsby katakan kepadaku, atau, dalam ungkapan yang lebih sederhana 
menurut Enid Smeek, “Dia sinting seperti tupai.” Namun, kombinasi dari 
teknik laporan coba-dan-uji memungkinkanku untuk menyaring bongkahan 
fakta yang cukup berat dan merangkai semuanya menjadi kisah skandal yang 
utuh. 
Seperti umumnya di dunia sihir, Bathilda menghubungkan kematian dini Kendra 
dengan kesalahan mantra, suatu cerita yang diulang-ulang oleh Albus dan 
Aberforth di tahuntahun selanjutnya. Bathilda juga mengikuti saja apa kata 
keluarga mereka tentang Ariana, menyebutnya “lemah” dan “sulit”. Di satu sisi, 
bagaimanapun, Batildha cukup berharga dalam usahaku memperoleh 
veritaserum, karena dia, dan hanya dia, yang mengetahui kisah lengkap rahasia 
kehidupan Albus Dumbledore yang disimpan rapatrapat. Kini terbuka untuk 
yang pertama kalinya, menjawab pertanyaan tentang hal-hal yang dipercayai 
para pemuja Dumbledore: dugaan atas kebenciannya terhadap sihir hitam, 
perlawanannya terhadap penindasan Muggle, bahkan pengabdiannya lepada 
keluarganya. 
Musim panas yang sama saat Dumbledore pulang ke Godric’s Hollow, sekarang 
sebagai seorang yatim piatu dan kepala keluarga, Bathilda Bagshot menerima 
kedatangan keponakan-jauhnya di rumahnya, yaitu Gellert Grindelwald. 
Nama Gellert Grindelwald sangat tenar: Ada dalam daftar Penyihir Hitam Paling 
Berbahaya, ia keluar dari daftar teratas hanya karena keberadaan Kau-Tahu￾Siapa, satu generasi sesudahya untuk mengambil alih mahkotanya. Karena 
Grindelwald tidak pernah memperluas kampanye terornya sampai ke Inggris, 
sehingga, kebangkitan kekuatannya tidak terlalu dikenal disini. 
Dididik di Durmstrang, sebuah sekolah terkenal dengan toleransinya yang 
sangat disayangkan terhadap sihir hitam, Grindelwald menunjukkan kecerdasan 
yang sama seperti Dumbledore. Alih-alih menyalurkan kemampuannya untuk 
meraih penghargaan dan hadiah, malahan, Gellert Grindelwald mengabdikan 
dirinya untuk pencarian lain. Dalam usia 17 tahun, bahkan Durmstrang merasa 
bahwa mereka tidak lagi dapat merubah mata gelap Gellert Grindelwald menuju 
percobaan sebaliknya, dan ia pun dikeluarkan. 
Sampai sekarang ini, pergerakan Grindelwald yang dikenal adalah “berkelana 
beberapa bulan“. Kini terbuka kenyataan bahwa Grindelwald memilih untuk 
mengunjungi bibijauhnya di Godric’s Hollow, dan bahwa disana, amat 
mengejutkan walaupun akan banyak yang mendengarnya, dia memulai 
persahabatan tiada lain dengan Albus Dumbledore. 
“Bagiku ia anak yang menarik,“ celoteh Bathilda, “apapun yang terjadi padanya 
kemudian. Tentu saja aku memperkenalkannya pada si malang Albus, yang 
kehilangan teman-teman sebayanya. Dengan segera anak-anak itu saling 
memperhatikan satu sama lain.“ 
Tentu saja demikian. Bathilda menunjukkan sebuah surat kepadaku, yang 
disimpannya ketika Albus Dumbledore mengirimkannya kepada Geller
Grindelwald di akhir malam. 
“Ya, meskipun setelah mereka berdiskusi seharian — keduanya anak muda yang 
brilian, mereka seperti kuali diatas api — kadang-kadang aku mendengar 
burung hantu mengetuk jendela kamar tidur Gellert, mengantarkan surat dari 
Albus! Satu ide muncul di kepalanya dan ia segera memberitahu Gellert!” 
Dan ide mereka luar biasa. Hal yang sangat mengejutkan akan ditemui para 
fans Albus Dumbledore, ini dia pemikiran pahlawan tujuh-belas-tahun mereka, 
seperti yang disampaikan kepada sahabat barunya. (salinan surat asli bisa 
dilihat di halaman 463) 
Gellert —
Pendapatmu tentang dominasi penyihir UNTUK KEBAIKAN PARA MUGGLE 
SENDIRI 
— ini, menurutku, adalah titik kritis. Ya, kita telah diberi kekuatan dan ya, 
kekuatan itu memberikan kita hak untuk mengatur, tapi ini juga memberi kita 
tanggung jawab terhadap peraturan. Kita harus menekankan hal ini, karena ini 
akan menjadi batu pondasi bangunan kita. Dimana kita bertentangan, dan pasti 
kita akan begitu, ini akan menjadi dasar dari pertentangan pendapat kita. Kita 
mengendalikan UNTUK MANFAAT YANG LEBIH BESAR. Dan dari hal tersebut, 
jika kita menghadapi perlawanan, kita menggunakan kekuatan hanya jika 
diperlukan, tidak lebih. (Ini kesalahanmu di Durmstrang! Tapi aku tidak 
mengeluh, karena jika kau tidak dikeluarkan, kita tak akan pernah bertemu) 
Albus 
Mungkin pemujanya akan heran dan terkejut, surat ini digunakan untuk 
menyusun Undang-undang Kerahasiaan dan menghasilkan Penguasaan Penyihir 
terhadap Muggle. Pukulan bagi mereka yang selalu menggambarkan Dumbledore 
sebagai pembela kelahiran-Muggle sejati! Betapa tak berdayanya pidato 
mengenai pembelaan hak-hak Muggle tersebut ketika bukti baru yang 
memberatkan ini mulai terbuka! Betapa tercela tampaknya Albus Dumbledore, 
sibuk merencanakan kebangkitan kekuatannya ketika ia seharusnya berduka cita 
atas kematian ibunya dan merawat adiknya! 
Tak diragukan lagi mereka yang memutuskan untuk tetap membela 
Dumbledore diatas tumpuannya yang hancur akan mengakui bahwa dia tidak, 
bagaimanapun juga, merealisasikan rencananya, bahwa dia pasti mengalami 
perubahan perasaan, dan kembali ke akal sehatnya. Bagaimanapun, kebenaran 
bisa lebih mengejutkan. 
Baru saja dua bulan jalinan persahabatan mereka yang luar biasa, Dumbledore 
dan Grindelwald terpisah, tak pernah bertemu lagi hingga pertarungan mereka 
yang legendaris (selanjutnya, baca bab 22). Apa yang menyebabkan 
pertarungan ini pecah? Apakah Dumbledore menjadi sadar? Apakah ia 
mengatakan pada Grindelwald bahwa ia tidak lagi mengambil bagian dalam 
rencananya? Sayang sekali tidak. 
“Kematian Ariana kecil yang malang, kurasa, yang menyebabkannya,” kata 
Bathilda. “Hal itu merupakan goncangan berat. Gellert ada disana ketika itu 
terjadi, dan dia kembali kerumahku dengan menggigil, mengatakan padaku kalau 
dia ingin pulang keesokan harinya. Benar-benar keadaan yang sulit, kau tahu, 
jadi aku mengatur portkey dan itulah terakhir kali aku melihatnya.” 
“Albus ada disampingnya saat kematian Ariana. Benar-benar menyedihkan 
untuk kedua bersaudara itu. Mereka telah kehilangan semuanya, tinggal diri 
mereka sendiri. Tak heran suhu menjadi naik. Aberforth menyalahkan Albus, 
kau tahu, sebagaimana orang yang berada dalam kondisi memprihatinkan 
seperti ini. Tapi Aberforth memang selalu berbicara sedikit kacau, anak yang 
malang. Sama saja, mematahkan hidung Albus saat pemakaman bukanlah 
tindakan memperbaiki tabiatnya. Akan menghancurkan hati Kendra jika melihat 
putra-putranya berkelahi seperti itu, disisi mayat anak permpuannya. Sayang 
sekali Gellert tidak dapat menghadiri pemakaman. Ia akan membuat Albus 
merasa nyaman, paling tidak.... 
Percekcokan disamping-mayat yang memprihatinkan ini, hanya diketahui sedikit 
orang yan g menghadiri pemakaman Ariana Dumbledore, menyisakan beberapa 
pertanyaan. Mengapa Aberforth Dumbledore menyalahkan Albus Dumbledore 
atas kematian Ariana? Apakah ini sebagaimana yang dianggap “Bally”, adalah 
ungkapan duka cita yang emosional belaka? Ataukah ada alasan yang sebenarnya 
atas kemarahannya? Grindelwald, dikeluarkan dari Durmstrang karena serangan 
yang hampir-fatal kepada teman-teman sekolahnya, meninggalkan negara ini 
hanya beberapa jam setelah kematian gadis itu, dan Albus (karena malu atau 
takut?) tidak pernah melihatnya lagi, tidak hingga dipaksa untuk melakukannya 
karena kepentingan dunia sihir. 
Tak satupun dari Dumledore atau Grindelwald yang tampaknya pernah 
mengungkitungkit hubungan persahabatan masa muda itu.selanjutnya. 
Bagaimanapun, tak diragukan lagi Dumbledore telah menunda, lima tahun akan 
kekacauan, kematian dan kehilangan ataukah kekuatiran akan terbongkar fakta 
bahwa ia pernah menjadi sahabatnya-lah yang membuat Dumbledore ragu￾ragu? Ataukah hanya rasa enggan Dumbledore untuk berangkat menangkap 
orang yang dulu dengan senang hati ia temui? 
Dan bagaiman Ariana yang misterius meninggal? Apakah ia korban kecerobohan 
ritual sihir hitam? Apakah dia secara kebetulan menemukan sesuatu yang tidak 
seharusnya, saat kedua anak muda tersebut mempraktekkan sesuatu dalam 
usahanya mencapai kejayaan dan dominasi? Apakah mungkin Ariana Dumbledore 
adalah orang pertama yang mati “untuk manfaat yang lebih besar”? 
Bab tersebut berakhir disini dan Harry mendongak. Hermione telah 
mencapai akhir halaman sebelum dia. Hermione menyentakkan buku itu dari 
tangan Harry, terlihat sedikit gelisah karena ekspresi Harry, menutupnya 
tanpa memandang buku itu, seperti menyembunyikan sesuatu yang 
memalukan. 
“Harry—“ 
Tapi Harry menggelengkan kepalanya. Suatu rasa yang dalam seperti 
menghancurkan hatinya, sama pesis seperti yang ia rasakan setelah 
kepergian Ron. Dia telah mempercayai Dumbledore, percaya bahwa ia 
merupakan perwujudan kebaikan dan kebijaksanaan. Semuanya seperti debu; 
Berapa banyak lagi yang akan hilang? Ron , Dumbledore, tongkat phoenix.... 
“Harry.” Hermione tampaknya bisa mendengar pikiran Harry. “Dengarkan aku. 
Ini – ini bukan bacaan yang baik—“ 
“Yah, kau bisa bilang –“ 
“—tapi jangan lupa, Harry, ini tulisan Rita Skeeter.” 
“Kau membaca surat untuk Grindelwald, kan?” 
“Ya, a—aku membacanya.” Ia ragu-ragu, tampak kecewa, menggerak-gerakkan 
teh di tangannya yang dingin. “Kurasa itu yang membuatnya parah. Aku tahu 
Bathilda berpikir itu hanya obrolan, tapi ‘Untuk manfaat yang lebih besar’ 
kemudian menjadi slogan Grindelwald, pembenarannya atas kekejian yang ia 
lakukan selanjutnya. Dan...dari hal itu...tampaknya Dumbledore memberinya ide 
itu. Mereka bilang ‘Untuk Manfaat yang Lebih Besar’ bahkan diukir di pintu 
masuk Nurmengard.” 
“Apa itu Nurmengard?” 
“Penjara yang dibangun Grindelwald untuk menahan lawan-lawannya. Dia sendiri 
berakhir disana, ketika Dumbledore menangkapnya. Bagaimanapun, meng --
mengerikan rasanya ternyata ide Dumbledore membantu Grindelwald berkuasa. 
Tapi disisi lain, bahkan Rita tidak mengelak bahwa mereka saling mengenal 
selama beberapa bulan di suatu musim panas ketika mereka masih sangat muda, 
dan –“ 
“Kurasa kau mengatakannya,” ucap Harry. Ia tidak ingin kemarahannya tumpah 
kepada Hermione, tapi sulit menjaga suaranya tetap stabil. “Kurasa kau 
berkata ‘mereka masih muda’. Usia mereka sama dengan kita sekarang. Dan 
inilah kita, mempertuhkan nyawa melawan sihir hitam, dan ia disana, berkumpul 
dengan karib barunya, merencanakan kekuasaan mereka atas Muggle.” 
Kemarahannya tak perlu diragukan lagi: ia berdiri dan berjalan, berusaha 
menghilangkan ketegangan jiwanya. 
“Aku tidak sedang mencoba membela apa yang ditulis Dumbledore,” kata 
Hermione. “Semua sampah ‘hak untuk mengatur’, ‘sihir adalah kekuatan’ lagi￾lagi. Tapi Harry, ibunya baru saja meninggal dan ia terjebak sendiri dirumah 
itu—“ 
“Sendiri? Ia tidak sendiri! Ia punya adik-adik untuk menemaninya, adik 
perempuannya yang Squib terkunci—“ 
“Aku tidak percaya,” ucap Hermione. Dia juga berdiri. “Apapun yang terjadi 
pada gadis itu, kurasa ia bukan Squib. Dumbledore yang kita kenal tak akan 
pernah, tak akan membiarkan –“ 
“Dumbledore yang kita rasa kita kenal tidak ingin menguasai Muggle dengan 
kekerasan!” Harry berteriak, suaranya bergema di puncak bukit yang sepi, dan 
beberapa burung hitam terbang mengangkasa, berkoak dan berputar di langit 
yang berkilau. 
“Dia berubah, Harry, dia berubah! Semudah itu! Mungkin ia percaya hal-hal 
tersebut ketika ia berusia 17, tapi sisa hidupnya diabdikan untuk melawan 
sihir hitam! Dumbledore-lah orang yang menghentikan Grindelwald, orang 
yang membela perlindungan Muggle dan hak-hak kelahiran Muggle, yang 
melawan Kau-Tahu-Siapa dari awal, dan yang meninggal dalam usaha 
menjatuhkannya!” 
Buku Rita tergeletak terbuka di lantai antara mereka, sehingga wajah Albus 
Dumbledore tersenyum pada keduanya. 
“Harry, maafkan aku, tapi kurasa alasan sebenarnya mengapa kau begitu 
marah adalah karena Dumbledore tidak pernah menceritakan sendiri hal ini 
kepadamu.” 
“Mungkin iya!” Harry berteriak, dan ia merentangkan lengannya diatas 
kepalanya, sulit untuk mengetahui apakah ia mencoba menahan kemarahannya 
ataukah ia melindungi dirinya sendiri dari beratnya kekecewaan. “Lihat apa 
yang ia minta dariku, Hermione! Pertaruhkan nyawamu, Harry! Dan lagi! Dan
lagi! Dan jangan harapkan aku menjelaskan semuanya, percaya saja, percaya 
bahwa aku tahu yang kulakukan, percayalah walaupun aku tidak mempercayaimu! 
Tidak pernah kebenaran yang utuh! Tidak pernah!” 
Suaranya pecah karena tegang, dan mereka berdiri saling memandang dalam 
keputihan alam dan kehampaan, dan Harry merasa mereka sama tidak 
berartinya dengan serangga di angkasa luas. 
“Dia menyayangimu,” Hermione berbisik. “Aku tahu dia menyayangimu.” 
Harry menurunkan lengannya. 
“Aku tak tahu siapa yang ia sayangi, Hermione, tapi itu bukan aku. Itu bukan 
sayang, kekacauan yang ia tinggalkan padaku. Ia lebih memilih berbagi 
pemikirannya dengan Gellert Grindelwald daripada denganku.” 
Harry mengambil tongkat Hermione, yang ia jatuhkan di salju, dan kembali 
duduk di pintu masuk tenda. 
“Terima kasih atas tehnya. Akan kuselesaikan pengawasan. Masuklah agar 
hangat.” 
Hermione tampak ragu, tapi menyadari itu penolakan. Dia mengambil buku itu 
dan berjalan kembali ke tenda melewati Harry, sambil mengelus kepala Harry 
dengan tangannya. Harry menutup matanya saat Hermione menyentuhnya, dan 
membenci dirinya sendiri karena berharap perkataan Hermione benar: bahwa 
Dumbledore benarbenar menyayanginya. 
Bab 19 THE SILVER DOE RUSA BETINA PERAK 
Salju turun saat Hermione mengambil alih tugas untuk berjaga-jaga tengah 
malam. Mimpi-mimpi Harry sangat mengganggu & membuatnya bingung: Nagini 
menyelinap di antara mereka: awalnya melalui cincin raksasa yang sudah retak, 
lalu melalui karangan bunga mawar untuk Natal. Ia terbangun berulang-ulang, 
panik, dan sangat yakin bahwa seseorang berteriak memanggil namanya dari 
kejauhan, serta membayangkan angin yang menderu di sekitar tenda sebagai 
langkah kaki, atau suara-suara. 
Akhirnya ia terbangun dalam kegelapan dan bergabung dengan Hermione yang 
sedang meringkuk di pintu tenda membaca Sejarah Sihir dengan bantuan 
cahaya dari tongkatnya. Salju masih turun dengan lebat, dan Hermione 
menyambut dengan senang hati usul Harry untuk berkemas dan pindah. 
Kita akan pindah ke tempat yang lebih terlindung,” Hermione setuju, menggigil 
saat ia mengenakan sweater di atas piamanya. “Aku terus menerus berpikir 
bahwa aku bisa mendengar ada orang bergerak di luar. Aku bahkan mengira 
telah melihat seseorang, sekali atau dua kali.” 
Harry berhenti sejenak saat mengenakan baju tebalnya sambil melempar 
pandangan sekilas ke arah Sneakoscope yang hening dan tak bergerak di 
atas meja. 
“Aku yakin aku cuma membayangkannya,” sahut Hermione, terlihat gugup, “salju 
dalam kegelapan pasti menipu mataku … tapi mungkin kita harus ber-Disapparate 
di dalam Jubah Gaib, untuk berjaga-jaga?” 
Setengah jam kemudian, setelah tenda selesai dikemasi, Harry mengalungkan 
Horcruxnya, Hermione mengepit tas manik-maniknya, mereka ber-Dissaparate. 
Perasaan sesak, seperti biasa, meliputi mereka; kaki Harry berpisah dengan 
tanah yang bersalju, lalu terhempas keras di suatu tempat yang rasanya seperti 
tanah beku tertutup dedaunan. 
“Dimana kita sekarang?” tanya Harry, sambil mengamati pepohonan di 
sekelilingnya, saat Hermione membuka tas manik-maniknya dan mengeluarkan 
tiang tenda. 
”Hutan Dean,” sahut Hermione, ”aku pernah berkemah di sini sekali dengan 
Mum dan Dad.” 
Di sini salju juga menumpuk di mana-mana dengan dingin yang menusuk, tapi 
setidaknya mereka terlindung dari angin. Mereka menghabiskan sebagian besar 
waktu mereka hari itu di dalam tenda, bergelung agar hangat di sekeliling 
cahaya biru terang. Hermione sangat ahli membuatnya, api itu bisa diambil dan 
dibawa ke mana-mana dalam stoples. Harry merasa seperti dia baru saja sembuh 
dari penyakit berat dalam waktu yang singkat, kesan tersebut dikarenakan oleh 
rasa cemas Hermione. Butiran-butiran salju sore itu mulai berjatuhan ke arah 
mereka, bahkan tempat berlindung mereka yang baru saja dibersihkan kini 
sudah ditutupi oleh salju. 
Setelah dua malam kurang tidur, indera Harry menjadi lebih peka dari biasanya. 
Pelarian mereka dari Godric’s Hollow sangat kritis sehingga membuat Voldemort 
rasanya lebih dekat dengan mereka, lebih mengancam. Saat kegelapan mulai 
menyelimuti lagi, Harry menolak tawaran Hermione untuk berganti giliran jaga 
dan menyuruhnya untuk tidur. 
Harry memindahkan sebuah bantal tua ke mulut tenda dan duduk, mengenakan 
semua sweater yang ia punya, tapi masih saja menggigil kedinginan. Kegelapan 
semakin terasa seiring berjalannya waktu, hingga akhirnya benar-benar tidak 
terlihat apa-apa. Ia sudah mau mengeluarkan Peta Perompak agar bisa melihat 
titik berlabel Ginny, sebelum akhirnya ingat bahwa sekarang libur Natal, dan 
berpikir bahwa Ginny pasti sudah pulang ke The Burrow. 
Bahkan gerakan sekecil apapun nampak menjadi lebih besar oleh luasnya hutan 
tersebut. 
Harry tahu bahwa hutan ini pasti dipenuhi oleh makhluk hidup lainnya, dan Ia 
sangat berharap mereka tetap diam tak bersuara, agar ia bisa membedakan 
langkah mereka yang merupakan makhluk hutan normal, dengan gerakan-gerakan 
makhluk-makhluk lain yang mencurigakan dan terdengar berbahaya. Ia teringat 
suara jubah mendesir di atas dedaunan gugur beberapa tahun yang lalu, dan 
sejenak ia mengira mendengarnya lagi saat ini, sebelum batinnya mengguncang 
dirinya sendiri agar sadar. Mantra Perlindungan mereka telah bekerja selama 
berminggu-minggu, bagaimana mungkin mereka dapat menembusnya sekarang? 
Tapi Ia tetap tidak dapat melepaskan perasaan bahwa ada sesuatu yang 
berbeda malam ini. 
Beberapa kali ia tersentak, lehernya sakit karena jatuh terlelap pada posisi 
yang salah. Malam sudah mencapai titik tergelapnya hingga ia merasa berada 
di antara Disapparate dan Apparate. Ia sedang mengangkat tangan kedepan 
wajahnya untuk memastikan apakah ia dapat menghitung jarinya sendiri, saat 
sesuatu terjadi. 
Seberkas cahaya keperakan terang muncul tepat di depannya, bergerak di 
antara pepohonan. Apapun sumbernya, cahaya itu bergerak tanpa suara. 
Cahaya itu terlihat melayang dan mengarah tepat padanya. 
Harry melompat berdiri, suaranya membeku di kerongkongan, dan mengangkat 
tongkat Hermione. Ia menyipitkan matanya saat cahaya itu bertambah 
menyilaukan, pepohonan di depannya menjadi gelap seperti siluet, dan cahaya 
itu masih saja terus mendekat… 
Kemudian sumber cahaya itu keluar dari balik pohon oak. Seekor rusa betina 
putih keperakan, terselimuti cahaya bulan, menyilaukan, memesona, melangkah 
hati-hati masih tak bersuara, dan tanpa meninggalkan jejak di salju. Rusa betina 
itu melangkah ke arah Harry, kepalanya yang indah, dengan bulu mata yang 
cantik, berdiri tegak. 
Harry memandang makhluk itu dengan kagum, bukan pada keanehannya, tapi 
karena Harry merasa seolah sudah lama mengenalnya, perasaan yang tidak dapat 
dijelaskan. Ia merasa seperti sudah lama menanti kedatangannya, tapi ia sudah 
melupakannya, sampai saat ini datang, saat yang sebenarnya sudah mereka atur 
untuk bertemu. Niatnya semula untuk berteriak memanggil Hermione sudah 
terlupakan. Harry tahu, ia akan mempertaruhkan nyawanya pada makhluk ini, 
bahwa makhluk ini datang hanya padanya, pada Harry sendiri. 
Mereka bertukar pandang cukup lama, kemudian rusa betina itu berbalik dan 
menjauh. 
”Tidak,” sahut Harry, suaranya seperti tertahan, ”Kembali!” 
Tapi rusa betina itu terus saja melangkah dengan mantap di antara pepohonan, 
segera saja cahayanya menghilang tertutup bayangan dari pepohonan. Sejenak 
Harry ragu.berpikir sejenak: mungkin saja ini jebakan, pemikat, perangkap. Tapi 
nalurinya, naluri yang meluap-luap, mengatakan bahwa ini bukan Sihir Hitam. 
Harry pun segera mengejar. 
Salju berderak di bawah kaki Harry, tapi rusa itu tidak menimbulkan bunyi saat 
melewati pepohonan, itu karena ia tak lebih dari cahaya. Semakin jauh rusa itu 
menuntun Harry kedalam hutan semakin cepat pula Harry berjalan, percaya 
kalau rusa itu berhenti, rusa itu akan mengijinkannya untuk mendekatinya. Lalu 
rusa itu akan berbicara, mengatakan apa yang perlu Harry ketahui. 
Akhirnya rusa itu berhenti. Ia menolehkan kepalanya yang cantik pada Harry 
sekali lagi, Harry berlari, sebuah pertanyaan muncul dalam benaknya, tapi saat 
Harry membuka mulut untuk bertanya, rusa itu lenyap. 
Walau kegelapan telah menelan rusa betina itu, bayang-bayang cahayanya masih 
jelas tercetak di selaput mata Harry, pandangannya kabur, namun menjadi 
terang saat ia merendahkan kelopak matanya, penglihatannya menjadi sedikit 
kacau. Saat ini ketakutan muncul, kehadiran rusa betina tadi menjanjikan 
keselamatan. 
”Lumos!” ia berbisik, dan ujung tongkatnya menyala. 
Jejak bayang rusa betina itu manjadi samar-samar dan menghilang sejalan 
dengan tiap kedipan matanya, saat Harry berdiri di sana, mencoba 
mendengarkan suara hutan, gemeretak ranting di kejauhan, desir salju yang 
terdengar lembut. Apakah ia akan diserang? Apakah rusa betina itu 
membawanya menuju perangkap? Ataukah hanya bayangannya saja, bahwa di 
luar jangkauan cahaya tongkat ada seseorang yang sedang mengawasinya? 
Harry mengangkat tongkat lebih tinggi. Tak seorangpun menyerangnya, tak ada 
percikan cahaya hijau dari balik pepohonan. Kalau begitu, mengapa rusa betina 
itu menuntunnya ke tempat ini? 
Sesuatu terlihat berkilauan di bawah cahaya tongkat. Harry berputar, yang 
dia lihat adalah sebuah kolam kecil, beku, permukaannya retak dan gelap 
berkilat saat Harry mengangkat tongkat lebih tinggi untuk memeriksanya. 
Ia maju mendekat, lebih waspada, dan melihat ke bawah. Es memantulkan 
bayangan yang tak sempurna dari Harry dan kilauan cahaya tongkatnya, tapi 
jauh di kedalaman lapisan kerang yang tebal berwarna kelabu ada sesuatu 
yang lain. Berkilat, seperti salib perak yang besar... 
Jantungnya berdetak kencang. Harry berlutut di sisi kolam, mengarahkan 
tongkatnya untuk menerangi kolam itu. Kilau merah tua ... sebuah pedang 
dengan batu rubi di pangkalnya ... pedang Gryffindor tergeletak di dasar 
kolam hutan itu. 
Nyaris tak bernapas, Harry mengamatinya. Bagaimana ini bisa terjadi? 
Bagaimana mungkin pedang itu bisa tergeletak di kolam hutan, sedekat ini ke 
tempat mereka berkemah? Apakah ada sihir tertentu yang menarik Hermione 
ke tempat ini, apakah rusa betina, yang ia anggap sebagai Patronus, adalah 
semacam penjaga kolam ini? Atau apakah pedang itu diletakkan di kolam 
setelah mereka tiba, tepatnya karena mereka berada di sini? Apapun alasannya, 
di manakah orang yang berniat memberikannya pada Harry? Harry 
mengarahkan lagi tongkatnya ke pepohonan dan semak-semak, mencari sosok 
manusia, kilatan mata, namun ia tak dapat menemukan seorangpun. Semuanya 
terlihat sama, sedikit rasa takut bercampur dengan rasa girangnya saat ia 
kembali menaruh perhatiannya pada pedang yang tergeletak di dasar kolam 
beku. 
Harry mengacungkan tongkat pada benda keperakan itu dan bergumam, ”Accio 
pedang.” 
Pedang itu tak bergeming. Seperti yang sudah diduganya. Kalau memang 
semudah itu, pedang itu pasti sudah tergeletak di tanah menunggu untuk 
dipungut, bukan di kedalaman kolam yang beku. Harry berjalan mengelilingi es, 
berpikir keras mengenai saat terakhir pedang itu menyerahkan diri pada Harry. 
Harry saat itu berada dalam bahaya mengerikan, dan memerlukan pertolongan. 
”Tolong,” gumam Harry, tapi pedang itu tetap berada di dasar kolam, tak 
tergoyahkan, tak bergerak. 
Apa maksudnya, Harry bertanya pada dirinya sendiri (sambil berjalan lagi) , 
yang dikatakan Dumbledore padanya saat terakhir kalinya ia memperoleh 
pedang itu? Hanya seorang Gryffindor sejati yang dapat menarik pedang itu 
keluar dari Topi. Dan apa kualitas yang menggambarkan seorang Gryffindor 
sejati? Sebuah suara kecil di kepala Harry menjawabnya: keberanian, 
keteguhan hati, & sikap ksatria adalah hal yang membedakan seorang 
Gryffindor dari yang lain. 
Harry berhenti berjalan, menghembuskan nafas panjang, uap napasnya 
buyar dengan cepat di udara beku. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Jujur 
saja, pikiran ini yang muncul pertama kali saat melihat pedang itu di bawah 
es. 
Ia mengamati berkeliling lagi, tapi ia yakin sekarang bahwa tidak akan ada 
yang menyerangnya. Mereka punya kesempatan menyerang saat ia berjalan 
sendiri di hutan, mereka punya banyak kesempatan saat ia memeriksa kolam. 
Satu-satunya alasan untuk menunda hanyalah karena kesempatannya sama 
sekali tidak tepat. 
Dengan tangan gemetar Harry melepas bajunya yang berlapis-lapis. Saat ini 
adalah saat untuk menunjukkan sifat ‘kekesatriaan’, dan dengan menyesal ia 
pikirkan, walaupun tidak terlalu yakin, bahwa ’kekesatriaan’ disini adalah 
termasuk tidak memanggil Hermione untuk menggantikannya. 
Seekor burung hantu entah di mana ber-uhu pelan saat Harry melepas 
pakaiannya, membuatnya kembali memikirkan Hedwig dengan hati pedih. Dia 
gemetar kedinginan sekarang, giginya gemeletuk, dan dia terus melepaskan 
pakaiannya hingga tinggal pakaian dalamnya, kaki telanjang di tengah salju. Ia 
meletakkan kantong berisi tongkatnya yang patah, surat ibunya, pecahan 
cermin Sirius, dan Snitch tua di atas pakaiannya, lalu mengarahkan tongkat 
Hermione pada es. 
“Diffindo.” 
Es itu berderak dengan suara seperti peluru memecah keheningan; 
permukaan kolam retak dan potongan es gelap mengguncang air hingga 
beriak. Dugaan Harry, kolam itu tidak dalam, tapi untuk memperoleh pedang 
itu, ia harus menyelam. 
Memikirkannya lama-lama tidak akan membuat hal tersebut makin mudah atau 
membuat air menjadi hangat. Harry melangkah ke tepi kolam, meletakkan 
tongkat Hermione di atas tanah, masih menyala. Lalu tanpa mencoba 
membayangkan rasa dingin seperti apa yang akan Ia hadapi nanti atau seperti 
apa dia akan gemetar, dia melompat. 
Tiap lobang pori-pori tubuhnya menjerit protes; udara di paru-parunya padat 
membeku saat ia terbenam sampai bahu di dalam air beku. Sulit sekali 
bernapas; gemetar begitu hebatnya hingga air menepuk-nepuk tepi kolam, ia 
merasa seperti ada mata pisau di kakinya yang kebas. Ia hanya ingin 
menyelam sekali. 
Harry menunda saat menyelam dari detik ke detik, terengah-engah dan 
gemetar, hingga ia mengatakan pada diri sendiri bahwa ini harus dilakukan, 
mengumpulkan keberanian, dan menyelam. 
Rasa dingin itu seperti siksaan; menyerang Harry seperti api. Otaknya serasa 
membeku saat ia menembus air yang gelap hingga ke dasar, meraba-raba dan 
menjangkau pedang. Jemarinya menggenggam pedang; ia menariknya. 
Kemudian sesuatu mencekik lehernya. Semula ia mengira itu ganggang, walau ia 
tak merasa ada yang menyapunya saat ia menyelam. Ia mengangkat tangannya 
yang kosong untuk membebaskan diri. Itu bukan ganggang, rantai Horcrux 
telah mengetat dan perlahan menjerat saluran tenggorokannya. 
Harry menendang kesana-kemari dengan liar, mencoba untuk kembali ke 
permukaan, tapi justru mendorong dirinya ke bagian berbatu karang di kolam 
itu. Menggelepar, kekurangan udara, ia berjuang melawan rantai yang mencekik,
jemarinya yang membeku tidak berhasil melonggarkannya, dan sekarang sedikit 
cahaya meletup dalam benaknya, Ia akan tenggelam, tak akan ada lagi yang 
tersisa, tak ada yang bisa ia lakukan, dan lengan yang melingkar di dadanya 
pastilah Kematian … 
Tersedak dan muntah-muntah, basah kuyup dan rasa dingin yang belum pernah 
ia rasakan sebelumnya, ia telah keluar dari air, menelungkup di salju. Dekat 
dengannya, seseorang terengah-engah, batuk dan berjalan terhuyung-huyung. 
Hermione datang lagi, seperti saat ia datang waktu ular menyerang … tapi 
suaranya tidak terdengar seperti Hermione. Suara Hermione tidak berat 
seperti yang Harry dengar sekarang, juga ditilik dari bobot langkahnya … 
Harry tidak punya kekuatan untuk mengangkat kepalanya dan melihat siapa 
penolongnya. Yang bisa dilakukannya hanya mengangkat tangannya yang 
gemetar ke kerongkongannya, merasakan tempat dimana liontin itu terasa 
mengikat erat dagingnya. Liontin itu tidak ada, seseorang sudah memotongnya. 
Sebuah suara terdengar terputusputus dari atas kepalanya. 
”Apa—kau—gila?” Terkejut mendengar suara itu agaknya memberi Harry 
kekuatan untuk bangkit. Gemetar hebat, ia sempoyongan berdiri. Berdiri di 
hadapannya Ron, berpakaian lengkap tapi basah 
kuyup, rambutnya melekat rapat di wajahnya, pedang Gryffindor di satu tangan 
dan Horcrux berjuntai dari rantainya di tangan yang satu. “Kenapa juga,” Ron 
masih terengah, memegang Horcrux yang berayun di rantainya yang 
sudah pendek, “kau tadi tidak melepas ini dulu sebelum menyelam?” Harry tidak 
menjawab. Rusa betina perak itu sama sekali tidak ada artinya dibandingkan 
dengan kemunculan Ron, ia tidak bisa percaya ini. Gemetar karena kedinginan, ia 
mengambil tumpukan baju yang masih tergeletak di tepi air dan mulai 
memakainya. Saat ia mengenakan sweater demi sweater dari kepalanya, Ia 
memandang Ron, setengah 
mengharapkan ia lenyap tiap kali Ron tak terpandang olehnya, tapi Ron benar￾benar ada, ia baru saja menyelam ke dalam kolam, dia baru saja menyelamatkan 
hidup Harry. “K-kau?” akhirnya Harry menyahut, giginya gemeletuk, suaranya 
lebih lemah 
dibandingkan biasanya.
“Well, yeah,” sahut Ron, nampak canggung.
“K-kau yang merapal rusa betina itu?”
“Apa? Tidak, tentu saja bukan. Kukira itu kau!”
”Patronusku rusa jantan.”
”Oh ya. Sudah kukira berbeda. Tidak ada tanduknya.”
Harry menyimpan kantong Hagrid seperti semula melingkari lehernya, memakai 
sweater 
terakhir, membungkuk untuk memungut tongkat Hermione, dan memandang 
Ron lagi.
”Bagaimana kau bisa ke sini?”
Jelas-jelas Ron berharap masalah ini akan ditanyakan lain waktu, atau tidak 
sama sekali 
...
”Well, aku—kau tahu—aku kembali. Kalau—” Ron membersihkan tenggorokannya, 
”Kau tahu. Kalau kau masih menginginkanku.”
Sunyi sejenak. Masalah tentang perginya Ron seperti menimbulkan kekakuan di 
antara 
mereka. Tapi dia di sini. Dia sudah kembali. Dan dia sudah menyelamatkan hidup 
Harry. Ron memandang tangannya. Sejenak dia terkejut melihat apa yang 
sedang dia pegang. 
”Oh, yeah; aku mengeluarkannya,” sahutnya, percakapan yang tidak perlu 
sebenarnya, 
mengangkat pedang itu agar bisa diamati Harry. ”Ini yang menyebabkan kau 
melompat 
ke dalam kolam, kan?”
”Yeah,” sahut Harry. ”Tapi aku tidak paham. Bagaimana bisa kau sampai ke sini? 
Bagaimana kau bisa menemukan kami?”
”Ceritanya panjang,” sahut Ron, ”Aku sudah mencarimu hingga berjam-jam, ini 
hutan 
yang besar kan? Dan baru saja aku mengira aku harus menginap di bawah pohon 
dan 
menunggu pagi, sampai aku lihat ada seekor rusa lewat, dan kau mengikutinya.”
”Kau tidak melihat orang lain?”
“Tidak,” sahut Ron, “Aku—“
Tapi dia ragu, memandang dua pohon yang tumbuh berdekatan, beberapa yard 
jauhnya.
“—Aku mengira aku melihat sesuatu yang bergerak disana, tetapi aku sedang 
berlari ke 
kolam pada saat itu karena kau sudah masuk ke kolam,dan untuk beberapa saat 
kau tak 
keluar-keluar, jadi aku tidak jadi, hey—“ Harry sudah bergegas ke tempat yang 
dimaksud Ron. Dua pohon oak itu tumbuh berdekatan; ada celah beberapa inci 
setinggi mata, ideal untuk mengamati dan tidak terlihat. Tanah di sekitar akar 
bebas dari salju dan Harry tidak melihat ada jejak kaki. Ia kembali ke tempat di 
mana Ron menunggu, masih memegang pedang dan Horcrux. 
“Ada sesuatu?” tanya Ron.
“Tidak,” ujar Harry.
“Jadi bagaimana pedang itu bisa ada di dalam kolam?”
“Siapapun yang merapal Patronus pastilah telah menaruhnya di sana.”
Mereka memandangi pedang perak berhias itu, gagangnya yang bertatahkan rubi 
berkilat 
di bawah cahaya tongkat Hermione.
”Kau pikir ini asli?” tanya Ron.
”Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya kan?” sahut Harry.
Horcrux itu masih berayun di tangan Ron. Liontin itu berkedut sedikit. Harry 
tahu bahwa 
sesuatu di dalamnya mulai gelisah lagi. Benda itu merasakan kehadiran pedang 
Gryffindor dan sudah mencoba membunuh Harry agar Harry tidak bisa memiliki 
pedang itu lagi. Sekarang bukan waktunya untuk diskusi panjang lebar; sekarang 
adalah waktu yang tepat untuk menghancurkan liontin itu untuk selamanya. 
Harry melihat berkeliling, memegang tongkat Hermione tinggi-tinggi, dan 
melihat suatu tempat: sebuah batu rata terletak di bawah bayangan pohon 
sycamore. 
”Di sini,” sahutnya dan berjalan mendahului, member