Jumat, 19 Januari 2024
Home »
harry potter H
» harry potter H
harry potter H
Januari 19, 2024
harry potter H
Tapi semuanyapun mengabur secara perlahan: semua ketertarikannya, semua
harapannya dan kebahagiannya serasa padam sekaligus, dan dia berdiri sendiri
dalam kegelapan, dan mantra kemenangan sepertinya telah terpatahkan.
“Itu yang dia cari.”
Perubahan dalam suara Harry membuat Ron dan Hermione terlihat semakin
takut.
“Kau-Tahu-Siapa mencari Tongkat Elder.”
Harry membalikkkan badannya dari wajah-wajah yang ragu dan tegang. Dia tahu
bahwa itu adalah yang sebenarnya. Dan semua masuk akal, Voldemort tidak
mencari tongkat baru; dia mencari sebuah tongkat sihir tua, sangat tua
malahan. Harry keluar melalui pintu masuk tenda, melupakan Ron dan Hermione
saat dia melihat ke kegelapan malam, dan berpikir…
Voldemort dibesarkan di panti asuhan Muggle. Tentunya tak seorang pun telah
menceritakan Dongeng Beedle sang Penyair saat dia masih kecil, lebih banyak
daripada yang telah didengar Harry. Sedikit sekali Penyihir yang percaya pada
Deathly Hallows. Apakah mungkin Voldemort telah mengetahuinya?
Harry memandang ke kegelapan, bila Voldemort telah mengetahui tentang
Deathly Hallows, tentunya dia telah mencarinya, melakukan segala cara untuk
memilikinya: tiga benda yang membuat pemiliknya menguasai kematian? Jika dia
dia telah mengetahui tentang Deathly Hallows, dia tidak memerlukan lagi
Horcrux sebagai prioritas. Bukankan sebuah kenyataan bahwa dia telah
memegang sebuah Hallow, dan dia menjadikannya Horcrux, menunjukkan kalau
dia tidak mengetahui rahasia terakhir dunia sihir ini?
Yang berarti bahwa Voldemort mencari Tongkat Elder tanpa menyadari
kekuatan penuhnya, tanpa mengerti bahwa itu adalah salah satu dari tiga…dan
memang tongkat sihir itu adalah Hallow yang tak bisa disembunyikan, yang
kehadirannya telah jelas diketahui…Jejak dari Tongkat Elder telah malang
melintang di halaman-halaman sejarah sihir…
Harry memandang langit yang berawan, bentukan awan abu-abu dan keperakan
melewati wajah sang bulan. Dia merasa pening, heran akan penemuannya.
Dia kembali ke tenda. Suatu kejutan melihat Ron dan Hermione masih tetap
berdiri ditempat dimana ia meninggalkan mereka, Hermione masih memegang
surat Lily, Ron di sampingnya terlihat sedikit gelisah. Tidakkah mereka
menyadari seberapa jauh mereka telah melangkah dalam beberapa menit
berlalu?
“Ini dia?” Ucap Harry, mencoba membawa mereka kedalam keyakinannya, ”ini
menerangkan segalanya. Deathly Hallows benar-benar ada dan aku telah
mendapatkan satu…mungkin dua…”
Dia mengangkat Snitchnya.
“…dan Kau-Tahu-Siapa sedang mencari yang ketiga, tapi dia tidak
menyadarinya…dia hanya berpikir kalau itu hanyalah sebuah tongkat sihir
sakti...”
“Harry,” sergah Hermione, bergerak mendekati Harry dan mengembalikan
surat Lily, “maaf, tapi kupikir apa yang kau temukan ini salah, semuanya
salah.”
“Tapi tidakkah kau melihatnya? Semua ini cocok…”
“Tidak,” jawab Hermione, “tidak sama sekali, Harry, kau baru saja lupa diri,
tolonglah,” katanya sambil melanjutkan, “tolong jawab aku: bila Deathly Hallows
itu benar-benar ada, dan Dumbledore telah mengetahuinya, mengetahui bahwa
siapapun yang memiliki ketiganya akan menguasai kematian…Harry, kenapa dia
tidak memberi tahumu? Kenapa?”
Dia telah menyiapkan jawaban atas pertanyaan tersebut.
“Tapi kau yang mengatakannya, Hermione! Kau harus menemukannya sendiri! Ini
adalah sebuah pencarian!”
“Tapi aku hanya mengatakan untuk mencoba serta membujukmu untuk datang ke
rumah Lovegood!” teriak Hermione jengkel. “Aku tidak benar-benar
mempercayainya!”
Harry tak memperhatikannya.
“Dumbledore biasanya membiarkanku mencari sesuatu sendiri. Dia
membiarkanku mencoba kekuatanku, mengambil resiko. Rasanya ini seperti
sesuatu yang akan dilakukannya.”
“Harry, ini bukan permainan, ini bukan latihan! Ini kenyataan, dan Dumbledore
meninggalkanmu perintah yang sangat jelas: cari dan hancurkan Horcrux! Simbol
itu tak berarti apapun, lupakan Deathly Hallows, kita takkan sempat melakukan
pencarian lain...”
Harry tidak terlalu mendengarkannya. Dia melihat Snitch di tangannya lagi dan
lagi, setengah berharap agar snitch itu terbelah, dan mengungkap Batu
Kebangkitan, untuk membuktikan kepada Hermione kalau semua itu benar,
bahwa Deathly Hallows itu suatu kenyataan.
Hermione mencari dukungan Ron.
“Kau tak mempercayai semua ini kan Ron?”
Harry memandangnya, Ron meragu.
“Aku tak tahu…maksudku…beberapa diantaranya sangat cocok,” ucap Ron ragu.
“Tapi saat kau melihat secara keseluruhan...” dia bernafas panjang. “Kukira kita
harus menyingkirkan Horcrux, Harry. Dumbledore menginginkan kita
melakukannya. Mungkin…mungkin kita harus melupakan tentang Hallow ini.”
“Terimakasih, Ron” ucap Hermione. “Aku akan jaga pertama.”
Hermione melangkah melewati Harry dan duduk di pintu masuk tenda
dengan membuang raut marahnya.
Tapi Harry sangat sulit tidur malam itu. Bayangan bilakah Deathly Hallows
menjadi miliknya, dan dia tak dapat beristirahat saat pikirannya berkecamuk
dalam kepalanya: Tongkat, Batu dan Jubah, bilakah dia dapat memiliki
ketiganya…
Aku terbuka saat tertutup… tapi apanya yang tertutup? Kenapa dia tak bisa
memiliki batu itu sekarang? Bila saja dia memiliki batu itu, dia bisa
menanyakannya pada Dumbledore secara langsung…dan Harry membisikkan katakata kepada Snitch itu dalam kegelapan, mencoba apapun, bahkan Parseltongue,
tapi Bola emas itu tidak mau terbuka juga...
Dan tongkat itu, Tongkat Elder, dimanakah dia bersembunyi? Dimanakah
Voldemort mencarinya saat ini? Harry sangat menginginkan lukanya terbakar
dan memperlihatkan pikiran Voldemort, karena untuk pertama kalinya, dia dan
Voldemort menginginkan sesuatu yang benar-benar sama…Hermione tak akan
suka ide ini, tentunya… bagaimanapun, dia tak mempercayainya…Xenophilius
benar, kata-katanya tentang Hermione… Terbatas, Sempit, Pikiran yang
Tertutup. Sebenarnya Hermione takut dengan kebenaran Deathly Hallows,
terutama Batu Kebangkitan…dan Harry menekan mulutnya ke snitch di
tangannya lagi, menciumnya, hampir mengulumnya, tapi snitch itu tak
bergeming…
Sudah hampir fajar saat dia mengingat Luna, menyendiri di sebuah sel di
Azkaban, dikelilingi Dementor, dan tiba-tiba dia malu pada dirinya sendiri. Dia
telah melupakan Luna dalam keseriusannya merenungi Hallows. Jika saja dia
bisa menyelamatkannya, tapi jumlah Dementor sebegitu banyak mungkin akan
benar-benar sulit dilawan. Kemudian dia juga berpikir tentang tongkat
barunya, dia belum pernah mengeluarkan Patronus menggunakan blackthorn…
dia harus mencobanya besok pagi…
Bila saja dia bisa memiliki Tongkat sihir yang lebih baik...
Dan keinginannya akan Tongkat Elder, Tongkat Maut, tak terkalahkan, tak
terpatahkan, menelannya sekali lagi…
Mereka membereskan tendanya pagi berikutnya dan berpindah menerobos
derasnya hujan. Hujan lebat mengejar mereka hingga ke pantai, dimana mereka
mendirikan tenda malam itu, dan menetap hingga seminggu penuh, bersama
pemandangan membosankan yang membuat Harry merasa suram dan stres. Dia
hanya dapat memikirkan tentang Deathly Hallows. Api telah dinyalakan dalam
dirinya dan tak satupun, tidak ketakpercayaan Hermione yang teguh maupun
keraguan Ron yang gigih, dapat memadamkannya. Dan nafsu untuk memiliki
Hallows telah menyala dalam dirinya, membuatnya menjadi kurang menyenangkan.
Dia menyalahkan Hermione dan Ron: sikap mereka yang melalaikannya seburuk
kehampaan hujan yang membasahi jiwanya, tapi tidak pernah dapat mengikis
keyakinannya, yang tetap mutlak. Keyakinan Harry dan keinginannya akan Hallow
telah sangat banyak menguras dirinya sehingga dia merasa terisolasi dari dua
temannya dan obsesi mereka akan Horcrux.
“Terobsesi?” tanya Hermione dengan suara yang rendah dan marah, saat Harry
dengan cukup ceroboh menggunakan kata itu suatu petang, setelah Hermione
mengingatkannya akan kekurang tertarikannya lagi untuk mencari Horcrux
selanjutnya, “Kami tidak terobsesi, Harry! Kami adalah orang yang ingin
mencoba melakukan apa yang Dumbledore ingin kita lakukan!”
Tetapi dia tidak merespon kritik tersembunyi itu. Dumbledore telah
meninggalkan tanda dari Hallows untuk Hermione pecahkan, dan dia pun sama,
Harry tetap meyakininya, menyimpan Batu Kebangkitan tersembunyi dalam
Snitch emas. Tidak dapat hidup saat yang lainnya selamat...penguasa
kematian...kenapa Ron dan Hermione tak mengerti?
“Musuh terakhir yang harus dikalahkan adalah Kematian,” Harry mengutip
dengan tenang.
“Kukira Kau-Tahu-Siapa yang seharusnya kita lawan,” jawab Hermione, dan
Harry menyerah atas nya.
Misteri Patronus kijang betina, yang sedang sengit didiskusikan oleh dua
temannya, terlihat kurang penting bagi Harry saat ini, menjadi kurang menarik.
Hal lain yang bermasalah baginya adalah lukanya yang mulai menusuk-nusuk lagi,
walaupun dia telah berusaha menyembunyikan kenyataan ini dari kedua temannya.
Dia selalu menyendiri kapanpun itu terjadi, tetapi kecewa dengan apa yang
dilihatnya. Penglihatannya dan Voldemort yang dulu berbagi telah berubah
kualitas; menjadi kabur, dan tak jelas walau dia menajamkan fokusnya. Harry
hanya dapat melihat gambaran yang kabur dari sebuah benda yang mirip tengkorak, dan sesuatu yang mirip sebuah gunung yang lebih banyak bayangannya
daripada bendanya. Dulunya sangat jelas tergambar, seperti nyata, Harry
kebingungan dengan perubahan ini. Dia khawatir hubungan antara dirinya dan
Voldemort telah rusak, hubungan yang mereka berdua takutkan dan, apapun yang
telah dia katakan pada Hermione, syukuri. Bagaimanapun juga Harry terhubung
secara kurang memuaskan, gambar yang samar-samar karena kehancuran
tongkatnya, seakan-akan ini adalah kesalahan dari tongkat blackthorn sehingga
dia tak dapat lagi melihat pikiran Voldemort sebaik sebelumnya.
Bersamaan dengan berlalunya hari, Harry tak dapat berbuat apa-apa tapi
menyadari, meskipun dirinya yang baru selalu asyik sendiri, bahwa Ron
tampaknya mencoba mengambil tanggung jawab. Mungkin karena dia
bertekad mendamaikan dan menghentikan permusuhan diantara mereka,
mungkin juga karena antusiasme dan kualitas kepemimpinan Harry telah
menurun, dan saat ini Ronlah yang sering menyemangati dan memotivasi
kedua temannya untuk beraksi.
”Tinggal tiga Horcrux,” dia selalu mengatakannya, “kita perlu rancana sebelum
bertindak, ayolah! Dimanakah kita belum mencari? Ayo kita menelusurinya
lagi. Panti asuhan...”
Diagon Alley, Hogwarts, Rumah Riddle, Borgin dan Burkes, Albania, setiap
tempat yang mereka tahu Tom Riddle pernah tinggal atau bekerja, berkunjung
atau membunuh, Ron dan Hermione berkumpul lagi, Harry bergabung hanya agar
Hermione berhenti membuatnya kesal. Dia lebih senang duduk sendiri dalam
sepi, mencoba membaca pikiran Voldemort, untuk mengetahui lebih banyak
tentang Tongkat Elder, tapi Ron memaksakan untuk mengunjungi lokasi-lokasi
yang tidak mungkin, hanya -Harry menyadari- agar mereka tetap berjalan.
“Kau takkan pernah tahu,” ucap Ron tertahan, “di bagian atas Flagley terdapat
sebuah desa penyihir, dia mungkin pernah menginginkan untuk tinggal disana.
Ayo kita kesana dan berkeliling”
Seringnya mendatangi wilayah-wilayah sihir membuat mereka dilirik sesekali
oleh para Perampas.
“Beberapa diantara mereka sepertinya seburuk Pelahap Maut,” ucap Ron,
“kebanyakan yang menangkapku sedikit menyedihkan, tapi Bill meyakinkanku
beberapa diantara mereka benar-benar berbahaya. Mereka mengatakannya di
Potterwatch...”
“Di apa?” tanya Harry
“Potterwatch, bukankah sudah kubilang kalau itu namanya? Program yang selalu
aku cari di radio, yang memberikan informasi yang benar tentang apa yang
terjadi! Hampir semua program mendukung Kau-Tahu-Siapa, semua kecuali
Potterwatch, aku benar-benar ingin mendengarnya, tapi agak sulit untuk
melacaknya…”
Ron menghabiskan sore demi sore menggunakan tongkatnya untuk untuk
menghentikan melodi yang keluar dari atas radio saat tombolnya dia putar.
Kadang-kadang mereka menangkap siaran yang menerangkan saran bagaimana
memperlakukan ramuan Naga, dan sesekali beberapa baris “Sekuali Penuh Cinta
Panas dan Pekat” saat dia mencari, Ron terus mencoba menemukan kata sandi
yang benar, membisikan kata-kata secara acak dalam nafasnya .
“Mereka biasanya ada hubungannya dengan Orde,” dia memberitahu mereka. “Bill
dapat dengan tepat menebak mereka. Aku yakin akan menemukannya pada
akhirnya...”
Tapi tak sampai Maret akhirnya keberuntungan menghampiri Ron. Saat itu Harry
sedang duduk di pintu masuk tenda, dalam tugasnya berjaga, memandang dengan
malas seonggok buah yang mirip anggur yang hampir mendekati dinginnya tanah,
dan Ron pun berteriak dengan kegirangan dari dalam tenda.
“Aku menemukannya, Kata sandinya ‘Albus’! Masuklah Harry!”
Untuk pertama kalinya dia bangkit setelah seharian menyendiri mendalami
Deathly Hallows, Harry buru-buru masuk kedalam tenda dan menemui Ron dan
Hermione yang berlutut di lantai dekat sebuah radio kecil. Hermione, yang
baru saja membersihkan pedang Gryffindor karena tak ada kerjaan, duduk
ternganga, memandang speaker kecil, dimana sebuah suara yang tak asing
berbicara.
“...Maafkan kami yang harus sementara absen di udara, karena di wilayah
kita sibuk menghadapi para Pelahap Maut yang menawan.”
“Tapi itu kan Lee Jordan!” ucap Hermione.
“Aku tahu,” jawab Ron. “Keren kan?”
“…kini kita kita telah menemukan tempat lain yang aman,” kemudian Lee
melanjutkan, “dan dengan bangga aku beritahukan pada anda kalau dua
kontributor kita telah bergabung denganku sore ini, Selamat sore, Kawan!”
”Hai.”
“Selamat sore, River.
“’River’,” “itu Lee,” terang Ron. “Mereka mempunyai nama samaran, tapi kau
biasanya dapat membe…”
“Ssst,” potong Hermione.
“Tapi sebelum kita mendengarkan Royal dan Romulus,” Lee melanjutkan, “mari
kita dengar laporan siapa saja yang telah meninggal yang oleh Wizarding
Wireless Network News dan Daily Prophet dirasa tidak terlalu penting untuk
disebutkan. Dengan sangat menyesal kita sampaikan kepada para pendengar
mengenai meninggalnya Ted Tonks dan Dirk Cresswell.”
Harry terkejut dan merasakan perutnya seperti dililit. Dia, Ron dan
Hermione saling memandang dengan ngeri.
“Goblin dengan nama Gornuk juga telah terbunuh. Kelahiran-Muggle Dean
Thomas dan goblin kedua, yang dipercaya telah bepergian dengan Tonks,
Creswell dan Gornuk, mungkin masih selamat. Bila Dean mendengarkan, atau bila
anda mengetahui dimana posisinya, orang tua dan saudara perempuannya sangat
mengharapkan berita darinya.
“Sementara itu, di Gaddley, satu keluarga Muggle yang terdiri atas lima orang
ditemukan mati dalam rumahnya. pihak muggle mencurigai adanya kebocoran gas,
tapi para anggota Orde Phoenix menginformasikan bahwa itu adalah Mantra
Pembunuh-- bukti tambahan, bila dibutuhkan, tentang kenyataan bahwa
pembantaian muggle tidak lebih telah dijadikan sebagai olahraga penghibur
dibawah rezim baru.”
“Terakhir, dengan sangat menyesal kami beritakan pada para pendengar bahwa
sisa-sisa tubuh dari Bathilda Bagshot telah ditemukan di Godric Hallow. Bukti
menunjukkan bahwa dia telah mati beberapa bulan lalu. Dan informasi dari
Orde Phoenix mengungkapkan bahwa ditubuhnya terdapat luka-luka yang
diakibatkan oleh sihir hitam.”
“Para pendengar, kami ingin mengajak anda semua untuk bersama-sama kami
dalam satu menit mengheningkan cipta untuk mereka: Ted Tonks, Dick Creswell,
Bathilda Bagshot, Gornuk dan yang tak dapat disebut, juga simpati yang sama
bagi para Muggle yang dibunuh oleh Pelahap Maut.”
Kesunyian pun datang, Harry, Ron dan Hermione pun terdiam. Separuh dari diri
Harry sangat ingin mendengar lebih banyak, tapi separuhnya lagi sangat takut
dengan apa yang akan terjadi berikutnya. Ini adalah pertama kalinya dia merasa
sepenuhnya terhubung dengan dunia luar setelah sekian lama.
“Terimakasih,” ucap Lee, “dan kini kita bisa kembali ke kontributor kita Royal,
untuk berita terbaru mengenai bagaimana pengaruh tatanan dunia sihir baru
terhadap dunia Muggle”
“Terimakasih River,” terdengar suara yang jelas, dalam, teratur, mengayomi.
“Kingsley!” ucap Ron semangat.
“Kami Tahu,” ucap Hermione mendiamkannya.
“Para Muggle masih belum mengetahui sebab penderitaan yang membuat
mereka terusmenerus menjadi korban,” ucap Kingsley, “bagaimanapun juga, kita
masih terus mendengar cerita-cerita yang penuh inspirasi tentang penyihir
yang mau mengorbankan keselamatan dirinya demi melindungi teman-teman dan
tetangga Muggle, tanpa sepengetahuan Muggle tersebut. Aku ingin mengajak
kepada semua pendengar untuk mencontoh mereka, mungkin dengan
memberikan mantra pelindung di sekitar tempat tinggal Muggle di daerah anda.
Banyak nyawa yang bisa diselamatkan bila hal-hal sederhana biarpun kecil, bisa
kita lakukan”.
“Dan apa yang ingin kau sampaikan, Royal, kepada para pendengar yang
berpendapat bahwa di saat-saat berbahaya ini, seharusnya ‘penyihir duluan’
menjadi prioritas?” tanya Lee.
“Menurutku ini hanya langkah pendek dari ‘Penyihir duluan’ ke ‘Darah Murni
duluan’ dan kemudian menjadi ‘Pelahap Maut’” jawab kingsley, “kita semua
manusia kan? Setiap kehidupan punya hak sama, dan berhak untuk diselamatkan”.
“Jawaban yang sempurna, Royal, dan kau mendapatkan suaraku untuk menjadi
Menteri Sihir bila nanti kita berhasil keluar dari kemelut ini,” ucap Lee lagi, “dan
kini, kita beralih ke Romulus yang kita ketahui sebagai ‘Teman Dekat Potter’.”
“Terimakasih River, sahut suara lain yang juga tak asing. Ron mulai berbicara
lagi, tapi Hermione mencegahnya dengan bisikan.
“Kita tahu itu Lupin.”
“Romulus, apakah kau tetap berkeras, dalam setiap kehadiranmu di program
kami kau selalu yakin kalau Harry Potter masih hidup?”
“Ya,” ucap Lupin tegas, “tiada keraguan sedikitpun, menurut saya kematiannya
akan disebarkan seluas mungkin oleh Pelahap Maut, bila itu terjadi, karena hal ini
dapat mejatuhkan moral orang-orang yang menentang rezim baru. ‘Anak yang
Bertahan Hidup’ adalah sebuah simbol dari semua perlawanan kami: kemenangan
bagi kebaikan, kekuatan bagi yang tak bersalah, pentingnya untuk tetap
melawan.”
Campuran dari ucapan terimakasih dan malu berseteru dalam diri Harry,
apakah Lupin telah memaafkannya atas semua kekasaran kata-katanya saat
terakhir dia bertemu dengannya?
“Dan apakah yang ingin anda katakan pada Harry siapa tahu dia sedang
mendengarkan, Romulus?”
“Aku ingin mengatakan bahwa semangat kami selalu bersamanya,” ucap
Lupin, lalu dengan sedikit ragu mengucapkan, “dan aku ingin menyarankannya
untuk mengikuti instingnya, yang tepat dan hampir selalu benar!”
Harry memandang Hermione, yang matanya dipenuhi airmata.
“Hampir selalu benar,” Hermione mengulangi,
“Oh, bukankah sudah kuberi tahu?” ucap Ron dengan nada terkejut, “Bill
memberi tahuku bahwa Lupin tinggal dengan Tonks lagi! Dan tampaknya
Tonks kini terlihat bertambah besar…!”
“…dan adakah berita terbaru dari teman-teman Harry Potter yang sedang
menderita demi kesetiaannya?” Lee pun melanjutkan.
“Baiklah, seperti biasa para pendengar, beberapa lagi yang secara jelas
mendukung Harry Potter sekarang telah ditawan, termasuk Xenophilius
Lovegood, si mantan editor The Quibler,” terang Lupin.
“Setidaknya dia masih hidup!” bisik Ron.
“Kita juga mendengar bahwa beberapa jam lalu Rubeus Hagrid” --ketiganya
menahan nafas, dan hampir saja kehilangan potongan kalimat terakhir--
“dikenal sebagai penjaga di Sekolah Hogwarts, telah lolos dari penangkapan di
lantai dasar Hogwarts, dia telah digosipkan mengadakan pesta ‘Dukung Harry
Potter’ di rumahnya. Untungnya Hagrid tidak ditahan, dan sedang -kami yakindalam pelarian.”
“Kukira akan sangat membantu, saat kau melarikan diri dari Pelahap Maut,
bila kau memiliki saudara laki-laki setinggi enam belas kaki?” tanya Lee.
“Bisa menjadi senjata,” Lupin menyetujui dengan parau, “kalau boleh aku ingin
menambahkan bahwa saat kita disini di Potterwatch bertepuk tangan atas
semangat Hagrid, kami ingin menyerukan bahkan kepada pendukung terdekat
Harry untuk tidak mengikuti cara Hagrid. Pesta ‘Dukung Harry Potter’ adalah
sesuatu yang tak bijaksana pada keadaan seperti saat ini.”
“Benar sekali, Romulus,” ucap Lee, “jadi kami menyarankan agar anda terus
menunjukkan kesetiaan anda kepada orang yang mempunyai bekas luka
berbentuk petir dengan mendengarkan Potterwatch! Dan kini mari kita
mendengarkan berita tentang penyihir yang telah terbukti selicin Harry
Potter. Kami ingin menanyakan tentang Pemimpin Pelahap Maut, dan disini telah
hadir diantara kita narasumber yang akan memberikan pandangan tentang
beberapa gosip gila yang beredar mengenai dirinya. Kami perkenalkan
narasumber baru kita, Rodent?”
“Rodent” ucap suara yang tak asing lain, Harry, Ron dan Hermione berteriak
bersamasama.
“Fred!”
“Bukan…apakah dia George?”
“Itu Fred, kukira,” ucap Ron, mencondongkan tubuhnya mendekat,
mendengarkan apapun yang si kembar katakana.
“Aku tak mau menjadi Rodent, tak mau. Aku telah memberi tahumu kalau
aku ingin menjadi ‘Rapier’!”
“Oh baiklah, Rapier, dapatkah kau menceritakan pada kami berbagai cerita
yang telah kau dengar mengenai Pemimpin Pelahap Maut ini?”
“Tentu saja River,” ucap Fred, “sebagaimana yang diketahui para pendengar -
kecuali mereka berlindung di bawah kolam di taman atau ditempat yang
sejenisnya- strategi Kau-Tahu-Siapa yang tetap menjadi bayangan membuat
keadaan menjadi panik. Perhatikanlah, bila semua berita mengenai
penampakannya adalah asli, kita akan menemukan 19 sosok Kau-Tahu-Siapa
berlarian di sekeliling kita”
“Yang memang cocok baginya, tentunya,” ucap Kingsley, “hawa misterius
menciptakan teror yang lebih besar dari pada langsung menampakkan dirinya.”
“Setuju,” lanjut Fred, “jadi, pendengar, marilah kita berusaha tenang sedikit.
Segalanya sudah cukup parah tanpa kepanikan anda. Satu contoh, ide baru KauTahu-Siapa ini dapat membunuh seseorang hanya dengan lirikan matanya saja.
Itu adalah Basilisk, pendengar. Satu tes sederhana: pastikan apakah sesuatu
yang bercahaya mengarah padamu memiliki kaki. Bila punya, cukup aman untuk
menatap matanya, walaupun itu benar-benar Kau-Tahu-Siapa, yang mungkin saja
itu hal yang terakhir bisa kau lakukan.”
Untuk pertama kalinya dalam berminggu-minggu, Harry tertawa lepas:
dia dapat merasakan beban berat meninggalkannya.
“Dan bagaimana dengan gosip yang telah menyebar tentang sering terlihatnya
dia?”
“Yah, siapa yang tak menginginkan sedikit liburan yang menyenangkan setelah
kerja keras yang di lakukan?” Tanya Fred. “Maksudnya adalah, jangan terlalu
membesarkan rasa aman yang palsu, memikirkan dia sedang pergi keluar negeri.
Mungkin ya, mungkin tidak, tapi kenyataannya dia bisa bergerak lebih cepat
daripada Severus Snape yang berhadapan dengan sampo saat dia mau, jadi
jangan terlalu mengandalkan cerita dia sedang berada jauh bila kau akan
mengambil resiko. Aku tak pernah mengira aku akan mendengar diriku sendiri
mengatakannya, tapi Keselamatan adalah yang utama!”
“Terimakasih untuk saran-saran yang bijak, Rapier,” ucap Lee. “Pendengar,
Rapier telah mengakhiri perjumpaan kita di Potterwatch kali ini. Kami belum
tahu waktu yang memungkinkan bagi kami untuk siaran lagi, tapi percayalahlah
kami akan kembali. Tetaplah pada saluran anda: kata sandi berikutnya adalah
‘Mad-Eye’, salinglah menjaga keselamatan bersama, tetap semangat, selamat
malam.”
Tombol di radio itu berputar dan cahaya dibalik panel tuning padam. Harry,
Ron dan Hermione masih tersenyum-senyum. Mendengar suara yang tak asing
dan bersahabat adalah obat kuat yang luar biasa; Harry menjadi sudah tebiasa
dengan keterisolasiannya dan dia hampir lupa bahwa masih ada orang lain yang
melawan Voldemort. Baginya ini semua bagaikan terbangun dari tidur yang
panjang.
“Bagus kan?” Ucap Ron bahagia.
“Brilian,” sambut Harry.
“Mereka sangat berani” ucap Hermione memuji, “tapi kalau mereka ditemukan…”
“Mereka tetap bergerak kan?” ucap Ron. “Seperti kita.”
“Tapi apakah kau dengar apa yang Fred katakan?” Harry bertanya dengan
bergairah: kini siaran itu telah usai, pikirannya kembali lagi pada obsesinya
semula. “Dia sedang pergi! Dia masih mencari tongkat sihir itu, aku tahu!”
“Harry...”
“Ayolah Hermione, kenapa kau tak mau mengakuinya! Vol--”
“HARRY, TIDAK!”
--demort tengah mencari Tongkat Elder.”
“Nama itu tabu,” Ron berbisik, melompat ketika mendengar suara berderik
dari sesuatu yang patah diluar tenda. “Sudah kubilang, Harry, sudah kubilang
kita tak boleh mengucapkan namanya lagi-- kita harus membuat perlindungan
lagi disekitar kita— cepat-- itu adalah cara mereka menemukan--!”
Tapi Ron berhenti bicara dan Harry mengetahui apa sebabnya. Teropong
Pengintai telah menyala dan mulai berputar diatas meja; mereka mendengar
suara-suara yang semakin dekat: kasar dan bersemangat, Ron menarik
Deluminator dari sakunya dan mengkliknya, lampu di tenda mati semua.
“Keluarlah dari sana dan angkat tanganmu!” terdengar suara parau dari
kegelapan. “Kami tahu kau ada didalam! Ada setengah lusin tongkat sihir
mengarah kepadamu dan kami tak peduli siapa yang akan kami kutuk!”
* Pengertian sementara dari Elder Wand, mengacu pada bab 21, yang
menyatakan tongkat itu dibuat dari elder tree # Resurrection Stone **
Nature’s Nobility: A Wizarding Genealogy
BAB 23 Malfoy's Manor Kediaman Keluarga Malfoy
Harry melihat sekeliling pada dua orang lainnya, sekarang semuanya diliputi
kegelapan. Dia melihat Hermione mengacungkan tongkatnya, ke arah luar, tetapi
malah mengarah ke wajahnya; terdengar suara keras, kilatan cahaya putih, dan
dia menunduk kesakitan, tak bisa melihat. Dia bisa merasakan wajahnya
membengkak dengan cepat dibalik tangannya saat langkah-langkah berat
mengelilinginya.
"Bangun, orang hina."
Tangan tak dikenal menarik Harry kasar dari lantai, sebelum dia bisa
menghentikan mereka, seseorang menggeledah sakunya dan mengeluarkan
tongkat blackthorn. Harry mencengkeram wajahnya yang luar biasa sakitnya,
yang terasa tak dikenali di dalam jarijarinya, ketat, bengkak dan gembung seolah
dia menderita reaksi alergi hebat. Matanya menyempit hingga tinggal celah dan
sulit untuk melihat; kacamatanya jatuh saat dia keluar dari tenda: semua yang
bisa terlihat hanyalah bentuk kabur dari empat atau lima orang bergulat dengan
Ron dan Hermione di luar.
"Minggir—dari—dia!" Ron berteriak. Terdengar suara yang tidak diragukan lagi
adalah suara buku-buku jari menghantam daging: Ron menggerung kesakitan dan
Hermione berteriak, "Jangan! Tinggalkan dia sendiri, tinggalkan dia sendiri!"
"Pacarmu akan jadi lebih buruk dari ini kalau dia ada di daftarku," kata sebuah
suara parau mengerikan yang terdengar familiar. "Gadis yang lezat… traktiran
bagus… Aku akan menikmati kelembutan kulitnya…"
Perut Harry jungkir balik. Dia tahu siapa ini, Fenrir Greyback, manusia
serigala yang diizinkan memakai jubah Pelahap Maut sebagai bayaran atas
keikutsertaannya.
"Cari ke seluruh tenda!" ujar suara yang lain.
Harry dilempar ke tanah dengan muka lebih dulu. Suara gedebuk
memberitahunya bahwa Ron telah dilumpuhkan di sebelahnya. Mereka bisa
mendengar suara langkah kaki dan suara benda bertabrakan; orang-orang itu
menyingkirkan kursi-kursi di dalam tenda saat mereka mencari.
"Sekarang, mari kita lihat siapa yang kita dapat," kata suata tamak Grayback
dari atas kepala mereka, dan Harry diputar punggungnya. Sorotan sinar dari
tongkat menyinari wajahnya dan Greyback tertawa.
"Aku bakal perlu butterbeer untuk mencuci ini. Apa yang terjadi padamu, jelek?"
Harry tidak segera menjawabnya.
"Kubilang," ulang Greyback, dan Harry menerima pukulan di perutnya yang
membuat rasa sakitnya berlipat ganda. "Apa yang terjadi padamu?"
"Disengat," Harry bergumam. "Tadi tersengat."
"Yeah, sepertinya sih," kata suara kedua.
"Siapa namamu?" gertak Greyback.
"Dudley," jawab Harry.
"Dan nama depanmu?"
"Aku—Vernon. Vernon Dudley."
"Cek daftarnya, Scabior," kata Greyback, dan Harry mendengar dia malahan
bergerak ke
samping melihat Ron. "Dan kau, jahe?""Stan Shunpike," kata Ron."Jangan
bohong," kata pria yang dipanggil Scabior. "Kami tahu Stan Shunpike, dia
bergabung dengan kami."
Terdengar suara pukulan lagi.
"Agu Bardy," jawab Ron, dan Harry bisa bilang mulutnya penuh dengan
darah.
"Bardy Weasley."
"Seorang Weasley?" teriak Greyback kasar. "Jadi kau berhubungan dengan
darah
pengkhianat meski kau bukan Darah-Lumpur. Dan terakhir, temanmu yang
cantik..." nafsu makan dalam suaranya membuat Harry merinding.
"Tenang, Greyback," kata Scabior ditimpali ejekan yang lain."Oh, aku tak akan
mengigitnya dulu. Kita lihat apakah dia lebih cepat mengingat namanya daripada
Barny. Siapa namamu, cewek?"
"Penelope Clearwater," jawab Hermione. Suaranya terdengar ketakutan,
tetapi
meyakinkan.
"Apa status darahmu?"
"Darah-campuran," kata Hermione.
"Cukup mudah untuk dicek," kata Scabior. "Tapi mereka semua kelihatannya
masih
dalam usia 'ogwarts—"
"Kabi keluar," kata Ron.
"Keluar, kau bilang, jahe?" kata Scabior. "Dan kalian memutuskan untuk kemping?
Dan
kau pikir, 'anya untuk tertawaan, kau mengucapkan nama Pangeran Kegelapan?"
"Bugan derdawaan," kata Ron. "Gecelagaan.""Kecelakaan?" lebih banya ejekan lain
yang terdengar."Kau tahu, siapa yang sering mengucapkan nama Pangeran
Kegelapan, Weasley?" geram
Greyback, "Orde Phoenix. Apa itu berarti sesuatu buatmu?"
"Didak."
"Mereka tidak menunjukkan penghormatan yang seharusnya pada Pangeran
Kegelapan,
jadi namanya dilarang. Beberapa anggota Orde dilacak dengan cara begitu. Kita
lihat
nanti. Ikat mereka dengan dua tawanan lain!" Seseorang merenggut rambut
Harry, menyeretnya sebentar, mendorongnya ke posisi duduk, kemudian mulai
mengikatnya dengan punggung berhadap-hadapan dengan tawanan lain. Harry
masih setengah buta, hanya bisa melihat sedikit melalui matanya yang bengkak.
Saat akhirnya orang yang mengikat mereka menjauh, Harry berbisik pada
tawanan lainnya.
"Ada yang masih punya tongkat?"
"Tidak," jawab Ron dan Hermione dari kedua sisinya.
"Ini semua salahku. Aku mengucapkan namanya. Maaf—"
"Harry?"
Terdengar suara baru, tetapi familiar, dan sumbernya dari tepat di belakang
Harry, dari
orang yang diikat di sisi kiri Hermione.
"Dean?"
"Itu kau! Kalau mereka tahu siapa yang mereka dapat -! Mereka penjambret,
mereka
hanya mencari pembolos untuk dijual demi emas –"
"Tidak buruk untuk malam ini," terdengar Greyback berkata, bersamaan dengan
suara
boot berpaku yang terdengar berjalan di dekat Harry dan mereka mendengar
lebih banyak
suara benturan dari dalam tenda. "Seorang Darah-Lumpur, Goblin pelarian, dan
para pembolos ini. Sudah kau cek nama mereka di daftar, Scabior?"
raungnya."Yeah, tak ada Vernon Dudley di sini, Greyback.""Menarik," kata
Greyback. "Itu menarik."Dia menunduk di sebelah Harry, yang melihat, meski
melalui celah kecil yang tertinggal
di atara kelopak matanya yang bengkak, wajah yang ditutupi rambut dan kumis
abu-abu
gelap, dengan gigi runcing kecoklatan dan luka di sudut mulutnya. Greyback
berbau
seperti waktu di menara saat Dumbledore meninggal: bau lumpur, keringat
dan darah.
"Jadi kau tidak diinginkan, kalau begitu, Vernon? Atau kau ada di daftar
dalam nama
yang berbeda? Kau di asrama mana di Hogwarts?"
"Slytherin," jawab Harry otomatis.
"Lucu bagaimana mereka semua berpikir kita ingin mendengar itu," ejek
Scabior dari
balik baying-bayang. "Tapi tak ada satupun dari mereka yang bisa
memberitahu kami
dimana ruang rekreasinya."
"Ruang rekreasinya di bawah tanah," kata Harry jelas. "Kau masuk melalui
dinding.
Dindingnya penuh tengkorak dan benda lain dan terletak di bawah danau, jadi
cahayanya
hijau semua."
Hening sejenak.
"Well, well, sepertinya kita benar-benar menangkap Slytherin kecil," kata
Scabior.
"Bagus untukmu, Vernon, karena tak banyak Slytherin berdarah Lumpur.
Siapa
Ayahmu?"
"Dia bekerja di Kementrian," Harry berbohong. Dia tahu bahwa seluruh
ceritanya akan runtuh dengan penyelidikan terkecil, tapi di sisi lain, dia hanya
punya kesempatan sampai wajahnya pulih kembali sebelum permainan selesai
karena alasan apapun. "Departemen Bencana dan Kecelakaan Sihir."
"Kau tahu, Greyback," ujar Scabior. "Kurasa ada Dudley di sana."
Harry hampir tak bisa bernapas: Bisakah keberuntungan,
keberuntungan tipis,
membebaskan kereka dari situasi ini?
"Well, well," kata Greyback, dan Harry bisa mendengar setitik keraguan di
suaranya yang tanpa belas kasihan, dan tahu kalau Greyback sedang penasaran
apakah dia baru saja menyerang dan menawan anak Pegawai Kementrian. Jantung
Harry berdetak kencang dibalik tali yang melingkari dadanya; dia tak akan
terkejut kalau Greyback bisa melihatnya. "Kalau kau memberitahukan yang
sebenarnya, jelek, kau tak perlu takut kalau kita pergi ke Kementrian. Kuharap
ayahmu akan memberi hadiah karena kami menjemputmu."
"Tapi," kata Harry, mulutnya kering, "kalau kau membiarkan kami—"
"Hei!" Terdengar seruan dari dalam tenda. "Lihat ini, Greyback!"
Sesosok gelap datang tergesa-gesa ke arah mereka, dan Harry melihat
kilatan cahaya perak dari cahaya tongkat mereka. Kereka telah menemukan
pedang Gryffindor."Sa-a-ngat bagus," ujar Greyback senang, mengambil
pedang itu dari rekannya. "Oh,
benar-benar bagus. Buatan-goblin, sepertinya, ini. Dari mana kau dapat benda
seperti ini?"
"Itu punya Ayahku," Harry berbohong, berharap pada harapan bahwa sekarang
terlalu gelap bagi Greyback untuk melihat nama yang dipahat tepat di bawah
pangkalnya. "Kami meminjamnya untuk memotong kayu bakar –" "Tunggu
sebentar, Greyback! Lihat ini, di Prophet!" Saat Scabior berbicara, bekas luka
Harry, yang tertarik kencang sepanjang dahinya yang bengkak, terbakar hebat.
Lebih jelas daripada yang bisa dia lihat di sekelilingnya, dia melihat sebuah
bangunan yang menjulang tinggi, sebuah benteng suram, berwarna hitam pekat
dan terlarang: pikiran Voldemort tiba-tiba menjadi setajam pisau cukur lagi; dia
meluncur menuju bangunan raksasa itu dengan perasaan tenang tapi bertujuan...
Sangat dekat... sangat dekat...
Dengan usaha dan hasrat yang sangat besar Harry menutup pikirannya dari
pikiran Voldemort, menarik dirinya sendiri kembali ke tempat dia duduk,
terikat ke Ron, Hermione, Dean, dan Griphook di kegelapan, mendengarkan
Greyback dan Scabior. "'Hermione Granger," kata Scabior, "Darah Lumpur
yang diketahui bepergian dengan 'arry Potter."
Bekas luka Harry terbakar dalam diam, tapi dia berupaya sekuat mungkin untuk
membuat dirinya tetap sadar, tidak juga untuk menyelinap ke pikiran Voldemort.
Dia mendengar bunyi derap sepatu bot Greyback saat dia menunduk di depan
Hermione.
"Kau tahu, cewek? Fotonya benar-benar mirip denganmu."
"Bukan! Itu bukan aku!"
Cicit ketakutan Hermione sudah seperti sebuah pengakuan.
"...diketahui bepergian dengan Harry Potter," ulang Greyback
pelan.
Keheningan terbentuk menutupi tempat itu. Bekas luka Harry benar-benar
menyakitkan, tapi dia berusaha dengan seluruh kekuatannya melawan tarikan
pikiran Voldemort. Sebelumnya tak pernah sepenting ini untuk tetap berada
pada pikirannya sendiri.
"Well, ini mengubah semuanya, kan?" bisik Greyback. Tak ada yang berbicara:
Harry merasakan gerombolan Penjambret menonton, membeku, dan merasakan
lengan Hermione gemetaran di dekatnya. Greyback berdiri dan mengambil
beberapa langkah ke tempat Harry duduk, membungkuk lagi untuk menatap
sosoknya yang tak berbentuk.
"Apa itu di dahimu, Vernon?" tanyanya lembut, napasnya terasa di cuping hidung
Harry saat dia menekankan jarinya yang kotor ke bekas luka Harry.
"Jangan sentuh!" Harry berteriak; dia tak bisa menghentikan dirinya sendiri,
dia merasa dia akan muntah gara-gara rasa sakitnya.
"Kupikir kau memakai kacamata, Potter?" dengus Greyback.
"Aku nemu kacamata!" salak salah satu dari Penjambret yang menyelinap di
belakang. "Ada kacamata di tenda, Greyback, tunggu –"
Dan sedetik kemudian kacamata Harry dipasangkan lagi ke wajahnya. Para
Penjambret mendekat sekarang, melihatnya.
"Ini dia!" teriak Greyback dengan suara paraunya. "Kita menangkap Potter!"
Mereka semua mundur beberapa langkah, terpaku pada apa yang telah mereka
lakukan. Harry, masih berjuang untuk tetap sada di pikirannya sendiri yang
sedang terbagi, tak bisa memikirkan apapun untuk dikatakan. Penggalan
penglihatan memecah di permukaan pikirannya –
--Dia bersembunyi di sekitar dinding tinggi benteng hitam itu—
Tidak, dia Harry, terikat dan tanpa tongkat, sedang dalam bahaya besar –
--melihat, ke jendela paling atas, ke menara paling tinggi—
Dia Harry, dan mereka sedang mendiskusikan nasibnya dalam suara rendah—
--Waktunya untuk terbang...
"...ke Kementrian?"
"Masa bodoh dengan Kementrian," geram Greyback. "Mereka yang akan dapat
penghargaan, kita tak akan dipandang. Kubilang kita bawa dia langsung ke KauTahu-Siapa."
"Kau mau panggil dia? Di sini?" kata Scabior, terdengar kagum sekaligus
ketakutan.
"Tidak," geram Greyback, "Aku belum –mereka bilang dia menggunakan tempat
Malfoy sebagai markas. Kita bawa bocah ini ke sana."
Harry pikir dia tahu kenapa Greyback tidak memanggil Voldemort. Para manusia
serigala mungkin diizinkan memakai jubah Pelahap Maut saat mereka ingin
memakainya, tapi hanya orang-orang dalam Voldemort yang ditandai dengan
Tanda Kegelapan: Greyback belum diberkahi kehormatan itu.
Bekas luka Harry terbakar lagi –
-dan dia naik ke kegelapan malam, terbang lurus ke jendela di menara paling
tinggi –
"…benar-benar yakin itu dia? Soalnya kalau bukan, Greyback, kita bakal mati."
"Siapa yang memimpin di sini?" raung Greyback, menutupi saat-saat
ketidakmampuannya. "Kubilang kalau itu Potter, dan dia dengan tongkatnya, dua
ribu Galleon tepat di sana! Tapi kalau kalian terlalu pengecut untuk ikut,
siapapun, semuanya untukku, dan kalau beruntung, akan kupastikan gadis itu
dilempar!"
-Jendelanya seperti celah sempit di batu hitam, tidak cukup besar
untuk orang masuk…sosok sekurus tengkorak terlihat melalui jendela,
meringkuk di bawah selimut…Mati, atau tidur?
"Baiklah!" kata Scabior. "Oke, kami ikut! Dan bagaimana dengan sisanya,
Greyback, apa yang akan kita lakukan dengan mereka?"
"Mungkin lebih baik kita bawa juga. Kita dapat dua Darah Lumpur, dapat
sepuluh Galleon. Berikan pedangnya padaku. Kalau itu rubi, kita dapat
keberuntungan kecil lagi."
Para tahanan ditarik berdiri. Harry bisa mendengar napas Hermione,
cepat dan ketakutan.
"Ambil mereka dan pegang yang kuat. Aku ambil Potter!" kata Greyback,
meraih segenggam rambut Harry; Harry bisa merasakan kuku kuningnya
yang panjang menggaruk kulit kepalanya. "Hitungan ketiga! Satu – dua –tiga
–"
Mereka ber-Disapparate, menarik para tahanan bersama mereka. Harry
berjuang, berusaha melepaskan tangan Greyback, tapi sia-sia: Ron dan
Hermione ditekan kuat ke arahnya dari sisi yang lain; dia tidak bisa
memisahkan diri dari grup, dan saat dia bernapas bekas lukanya terbakar lebih
sakit –
– saat dia mendorong dirinya sendiri melalui celah kecil jendela seperti
ular dan mendarat, dengan ringan seperti uap di dalam ruangan yang
seperti kamar –
Para tahanan bertubrukan satu sama lain saat mereka mendarat di sebuah
pedesaan. Mata Harry, masih bengkak, membutuhkan waktu untuk terbiasa,
kemudian melihat sepasang gerbang dari besi tempa di ujung apa yang terlihat
seperti jalan panjang. Dia sudah berpengalaman untuk mempercayai nasib baik
terkecil sekalipun. Yang terburuk belum terjadi: Voldemort tidak ada di sini. Dia,
Harry tahu, karena dia sedang bertarung untuk melawan penglihatan itu, ada di
suatu tempat asing, seperti benteng, di puncak menara. Berapa lama waktu yang
dibutuhkan Voldemort untuk sampai ke sini, saat dia tahu harry ada di sini, itu
masalah lain...
Salah satu penjambret itu berjalan menuju gerbang dan mengguncangnya.
"Bagaimana kita masuk? Pintunya dikunci, Greyback, aku tak bisa –blimey!"
Dia menyentakkan tangannya dengan ketakutan. Besinya menyeringai, membelit
sendiri dari bentuk gulungan dan lilitan abstrak menjadi sebentuk wajah
menakutkan, yang berbicara dalam suara berdentang dan bergema. "Nyatakan
tujuanmu!"
Kami dapat Potter!" Greyback meraung senang. "Kami menangkap Harry Potter!"
Gerbangnya terbuka.
"Ayo!" kata Greyback pada orang-orangnya, dan para tahanan diseret melewati
gerbang ke arah jalan, diantara pagar tanaman tinggi yang meredam langkah
mereka. Harry melihat sosok putih bagai hantu di atasnya, dan menyadari itu
adalah merak albino. Dia tersandung dan diseret oleh Greyback; sekarang dia
berjalan terhuyung-huyung sepanjang tepi jalan, terikat dengan punggung saling
berhadapan dengan tahanan lainnya. Menutup matanya yang bengkak, dia
mengizinkan rasa sakit di bekas lukanya menguasai dia sesaat, ingin tahu apa
yang sedang Voldemort lakukan, apakah dia sudah tahu kalau Harry
tertangkap...
Sosok kurus itu bergerak di bawah selimut tipisnya dan berguling ke arahnya,
matanya tebuka di wajah yang seperti tengkorak... Pria lemah itu berdiri,
matanya yang amat cekung menatap pasti ke arahnya, ke arah Voldemort, dan
kemudian dia tersenyum. Sebagian besar giginya sudah hilang...
"Jadi, kau sudah datang. Kukira kau akan... suatu hari. Tapi perjalananmu sia-sia.
Aku tak pernah memilikinya."
"Kau bohong!"
Saat kemarahan Voldemort berdenyut dalam dirinya, bekas luka Harry seakanakan mau pecah saking sakitnya, dan dia merenggut pikirannya kembali ke
tubuhnya sendiri, bertarung untuk tetap sadar saat para tahanan didorong ke
atas batu kerikil.
Cahaya menerangi mereka semua.
"Apa ini?" ujar sebuah suara dingin wanita.
"Kami di sini untuk bertemu Dia-Yang-Namanya-Tak-Boleh-Disebut!" teriak
Greyback parau.
"Siapa kau?"
"Kau kenal aku!" terdengar kejengkelan dalam suara mausia serigalanya.
"Fenrir Greyback! Kami menangkap Harry Potter!"
Greyback menangkap Harry dan menyeretnya agar menghadap cahaya, memaksa
tahanan lain ikut terseret juga.
"Aku ta'u dia bengkak, Ma'am, tapi ini dia!" teriak Scabior. "Kalau Anda melihat
lebih dekat, Anda bisa lihat bekas lukanya. Dan ini, lihat perempuan ini? Darah
Lumpur yang diketahui bepergian dengan Harry Potter, Ma'am. Tidak ragu lagi,
ini dia, dan kita dapat tongkatnya juga! Ini, Ma'am –"
Melalui kelopak matanya yang bengkak Harry melihat Narcissa Malfoy meneliti
dengan cermat. Scabior menyodorkan tongkat blackthorn padanya. Dia
menaikkan alisnya.
"Bawa mereka masuk," katanya.
Harry dan yang lain didorong dan ditendang menaiki tangga batu lebar
memasuki aula yang dindingnya penuh lukisan.
"Ikuti aku,"kata Narcissa, memimpin jalan melewati aula. "Anakku, Draco, ada di
rumah untuk liburan Paskah. Kalau itu Harry Potter, dia akan tahu."
Ruang tamu terlihat menyilaukan setelah kegelapan di luar; bahkan dengan
matanya yang hampir tertutup Harry bisa melihat ruangan dengan cukup jelas.
Sebuah tempat lilin dari kristal tergantung di langit-langit, dan lebih banyak lagi
lukisan tergantung di dinding berwarna ungu gelap. Dua sosok bangkit dari kursi
di depan perapian marmer penuh hiasan dan ornamen saat para tahanan didorong
ke ruangan oleh para Penjambret.
"Apa ini?"
Sebuah suara yang sangat dikenal Harry, suara Lucius Malfoy yang terdengar
dipanjangpanjangkan terdengar di telinga Harry. Dia panik sekarang. Dia bisa
melihat tak ada jalan keluar, dan lebih mudah, saat ketakutannya meluap, untuk
menutup pikiran Voldemort, meski bekas lukanya masih terasa terbakar.
"Mereka bilang mereka mendapat Potter," ujar suara dingin Narcissa. "Draco,
kemari."
Harry tidak berani menatap langsung Draco, tapi melihatnya sekilas; sosok
langsing yang lebih tinggi dari sebelumnya, bangun dari kursi berlengan, wajahnya
pucat dan tersamarkan dibawah rambut pirang keperakannya.
Greyback mendorong para tahanan untuk berbalik lagi agar Harry berada
tepat dibawah tempat lilin.
"Well, nak?" kata si manusia serigala parau.
Harry menghadap ke sebuah cermin di seberang perapian, benda berkilau
besar dengan bingkai berbelit rumit. Melalui celah di matanya dia melihat
bayangan dirinya sendiri untuk pertama kalinya sejak meninggalkan Grimmauld
Place.
Wajahnya besar, bersinar, dan kemerahan, setiap bagiannya berubah garagara mantera Hermione. Rambut hitamnya mencapai bahu dan ada bayangan
gelap di bawah rahangnya. Kalau saja dia tidak tahu siapa yang berdiri di sana,
dia akan heran siapa yang memakai kacamatanya. Dia memutuskan untuk tidak
berbicara, dia yakin suaranya akan dikenali; meski dia masih menghindari
kontak mata dengan Draco saat dia tiba.
"Well, Draco?" kata Lucius Malfoy. Dia terdengar sangat tertarik. "Apa itu dia?
Apa itu Harry Potter?"
"Aku tidak –Aku tidak yakin," kata Draco. Dia menjaga jarak dengan
Greyback dan terlihat sama takutnya seperti Harry takut melihatnya.
"Tapi lihat baik-baik, lihat! Ayo mendekat!"
Harry tidak pernah mendengar Lucius setertarik ini.
"Draco, kalau kita orang yang menyerahkan Harry Potter pada Pangeran
Kegelapan, semua akan dimaaf—"
"Sekarang, kita tak akan lupa siapa yang sebenarnya menangkap dia, Mr.
Malfoy?" kata Greyback mengancam.
"Tentu tidak, tentu tidak!" kata Lucius tidak sabar. Dia mendekati Harry,
sangat dekat sehingga Harry bisa melihat wajah bertampang lesu, pucat dengan
detail yang tajam meski melalui matanya yang bengkak. Dengan wajah
bengkaknya yang seperti topeng, Harry merasa seperti dia mengintip lewat
jeruji sel.
"Apa yang kau lakukan padanya?" Lucius bertanya pada Greyback. "Bagaimana dia
bisa jadi begitu?"
"Bukan kami."
"Kelihatannya seperti Kutukan Sengat bagiku," kata Lucius.
Mata abu-abunya menusuri kening Harry.
"Ada sesuatu di sana," bisiknya. "Bisa jadi bekas luka, tertarik ketat... Draco,
kemari, lihat baik-baik! Bagaimana menurutmu?"
Harry melihat wajah Draco terangkat dekat sekarang, tepat disamping ayahnya.
Mereka benar-benar mirip, kecuali sementara ayahnya memandang Harry
dengan ketertarikan, ekspresi Draco terlihat sangat enggan, bahkan seperti
takut.
"Aku tidak tahu," katanya, dan dia berjalan menjauh menuju perapian dimana
Ibunya berdiri memperhatikan.
"Sebaiknya kita yakin, Lucius," Narcissa memanggil suaminya dalam suaranya
yang dingin dan jelas. "Benar-benar yakin bahwa itu Potter, sebelum kita
memanggil Pangeran Kegelapan... Mereka bilang ini miliknya" –dia meneliti
tongkat blackthorn itu– "tapi ini tidak menyerupai deskripsi
Ollivander...Kalau kita salah, kalau kita memanggil Pangeran Kegelapan kesini
tidak untuk apapun... Ingat apa yang dia lakukan pada Rowle dan Dolohov?"
"Bagaimana dengan Darah Lumpurnya, kalau begitu?" geram Greyback. Harry
hampir terlempar saat para Penjambret mendorong para tahanan lagi, sehingga
cahaya menerangi Hermione sekarang.
"Tunggu," kata Narcissa tajam. "Ya – ya, dia ada di Madam Malkin's dengan
Potter! Aku melihat fotonya di Prophet! Lihat, Draco, bukankah ini si
Granger itu?"
"Aku...mungkin...yeah."
"Dan lagi, itu si Weasley!" teriak Lucius, meluncur mengelilingi tahanan yang
diikat untuk menghadap Ron. "Itu mereka, teman-teman Potter –Draco, lihat
dia, bukankah itu anak Arthur Weasley, siapa namanya –?"
"Yeah," ujar Draco lagi, punggungnya menghadap para tahanan. "Bisa jadi."
Pintu ruang tamu terbuka di belakang Harry. Seorang wanita berkata, dan
suaranya menaikkan rasa takut Harry.
"Apa ini? Apa yang terjadi, Cissy?"
Bellatrix Lestrange berjalan perlahan di sekitar para tahanan, dan berhenti
di sebelah kanan Harry, menatap Hermione melalui matanya yang berpelupuk
tebal.
"Tapi tentu saja," katanya pelan, "Ini cewek Darah Lumpur itu? Ini Grander?"
"Ya, ya, ini Granger!" jerit Lucius, "Dan disampingnya, kami kira, Potter!
Potter dan teman-temannya, akhirnya tertangkap!"
"Potter?" Bellatrix tertawa terbahak-bahak, dan dia mundur, agar bisa melihat
Harry lebih jelas.
"Apa kau yakin? Kalau begitu, Pangeran Kegelapan harus diberi tahu segera!"
Dia menarik lengan baju kirinya: Harry melihat Tanda Kegelapan dibakarkan di
lengannya, dan tahu dia akan menyentuhnya, untuk memanggil Master yang
dipujanya
"Aku baru saja mau memanggil dia!" kata Lucius, dan tangannya langsung
mendekati pergelangan tangan Bellatrix, mencegah dia menyentuh Tanda
Kegelapan-nya. "Aku akan memanggilnya, Bella. Potter sudah dibawa ke
rumahku, dan dia disini dibawah kekuasaanku –" "Kekuasaanmu!" dia
menyeringai, dalam usahanya merenggut tangannya dari genggaman Lucius.
"Kau kehilangan kekuasaanmu saat kau kehilangan tongkatmu, Lucius!
Beraninya kau! Lepaskan tanganmu!"
"Tak ada urusannya denganmu, kau tidak menangkap anak itu –"
"Mohon maaf, Mr. Malfoy," sela Greyback. "Tapi kami yang menangkap
Potter, dan kami yang akan mengklaim emasnya –"
"Emas!" Bellatrix tertawa, masih berusaha melepaskan diri dari saudara
iparnya, tangannya yang bebas meraba-raba sakunya mencari tongkatnya.
"Ambil emasmu, pemakan bangkai kotor, apa urusanku dengan emas? Aku hanya
mencari penghormatan darinya – untuk –"
Dia berhenti berontak, matanya yang gelap menatap sesuatu yang Hary tak
bisa lihat. Kegirangan karena Bellatrix menyerah, Lucius melempar tangannya
dan menggulung lengan bajunya sendiri –
"BERHENTI!" jerit Bellatrix, "Jangan sentuh, kita semua akan musnah kalau
Pangeran Kegelapan datang sekarang!"
Lucius membeku, jari telunjuknya melayang di tas Tanda Kegelapan miliknya.
Bellatrix meluncur keluar dari penglihatan Harry yang terbatas.
"Apa itu?" dia mendengar Bellatrix berkata.
"Pedang," geram seorang Penjambret tak-terlihat.
"Berikan padaku."
"Itu bukan milikmu, Nona, ini punyaku, kupikir aku menemukannya."
Terdengar benturan dan kilatan cahaya merah; Harry tahu si Penjambret
telah dipingsankan. Terdengar raungan kemarahan dari kelompoknya:
Scabior menarik tongkatnya.
"Kaupikir apa yang kau lakukan, perempuan?"
"Stupefy!" dia berteriak, "Stupefy!"
Mereka bukan tandingan Bellatrix, meski mereka berempat melawan dia
sendiri: Dia penyihir wanita, setahu Harry, dengan kemampuan luar biasa dan
tanpa nurani. Mereka jatuh di tempat mereka berdiri, semua kecuali Greyback,
yang telah didorong ke posisi berlutut, lengannya tertarik. Diluar sudut
matanya Harry melihat Bellatrix mengangkat manusia serigala itu, pedang
Gryffindor tergenggam erat di tangannya, wajahnya memucat.
"Dari mana kau mendapat pedang ini?" dia berbisik pada Greyback saat dia
menarik tongkat Greyback dari benggaman tangannya yang longgar.
"Beraninya kau?" dia menantang, mulutnya satu-satunya yang bisa dia gerakkan
saat dia didorong untuk memandang Bellatrix. Dia menunjukan gigi-gigi tajamnya.
"Bebaskan aku, perempuan!"
"Dari mana kau mendapat pedang ini?" ulangnya, melambai-lambaikan
pedangnya di wajah Greyback, "Snape mengirim ini ke lemari besiku di
Gringotts!"
"Itu dari tenda mereka," kata Greyback. "Bebaskan aku, kataku!"
Dia mengayunkan tongkatnya, dan si manusia serigala meloncat di kakinya, tapi
terlihat terlalu waspada untuk mendekati Bellatrix. Dia bersembunyi di belakang
kursi berlengan, kukunya yang kotor melengkung menggenggam bagian
belakangnya.
"Draco, pindahkan sampah itu keluar," kata Bellatrix, menunjuk pria yang tak
sadarkan diri. "Kalau belum punya keberanian untuk menyelesaikan dia,
tinggalkan di halaman untukku."
"Jangan berani-berani bicara pada Draco seperti –" kata Narcissa marah, tapi
Bellatrix berteriak.
"Diam! Situasinya lebih genting dari yang bisa kau bayangkan, Cissy! Kita
punya masalah yang sangat serius!"
Dia berdiri, sedikit terengah-engah, melihat ke arah pedang, memeriksa
pangkalnya. Kemudian dia berbalik, menghadap para tahanan yang terdiam.
"Kalau dia benar-benar Potter, jangan sakiti," dia bergumam, lebih kepada
dirinya sendiri. "Pangeran Kegelapan ingin melenyapkan Potter sendiri...
Tapi kalau dia menemukan... Aku harus... Aku harus tahu..."
Dia berbalik mengadap adiknya lagi.
"Para tahanan harus ditempatkan di gudang bawah tanah sementara aku
memikirkan apa yang harus dilakukan!"
"Ini rumahku, Bella, jangan beri perintah di –"
"Lakukan! Kau tak tahu bahaya yang sedang kita hadapi!" jerit Bellatrix. Dia
terlihat ketakutan, marah; aliran kecil api menyembur dari tongkatnya dan
membakar karpet, membentuk sebuah lubang.
Narcissa tertegun sesaat, kemudian memandang si manusia serigala.
"Bawa tahanan ini ke gudang bawah tanah, Greyack."
"Tunggu!," kata Bellatrix tajam. "Semua kecuali... kecuali si Darah Lumpur."
Greyback mengeluarkan dengkuran senang.
"Tidak!" teriak Ron. "Kau bisa menahanku, tahan aku!"
Bellatrix memukul wajahnya: suara pukulannya menggema di seluruh ruangan.
"Kalau dia mati saat ditanyai, kau yang berikutnya," katanya. "Darah pengkhianat
adalah yang berikutnya setelah Darah Lumpur di bukuku. Bawa mereka turun,
Greyback, dan pastikan mereka aman, tapi jangan lakukan apapun pada mereka –
belum."
Dia melemparkan tongkat Greyback kembali, lalu mengeluarkan pisau perak
pendek dari balik jubahnya. Dia membebaskan Hermione dari tahanan lain, dan
menyeret rambutnya ke tengah ruangan, sementara Greyback mendorong sisa
tahanan lainnya berjalan menyeret kaki mereka menyebrangi ruangan ke pintu
lain, masuk ke gang gelap, tongkatnya teracung di depannya, mengeluarkan
kekuatan besar yang tak terlihat.
"Kira-kira dia bakal membiarkanku menggigit sedikit gadis itu saat dia
selesai dengannya?" Greyback bersenandung saat mendorong mereka
sepanjang koridor. "Kubilang aku bakal dapet satu atau dua gigitan,
bagaimana, jahe?"
Harry bisa merasakan Ron gemetar. Mereka didorong menuruni tangga curam,
masih diikat dengan punggung berhadapan dan dalam bahaya tergelincir dan
mematahkan leher mereka kapan saja. Di bawah terdapat pintu berat. Greyback
membuka kuncinya dengan ketukan tongkatnya, dan mendorong mereka masuk ke
ruangan lembab dan berbau apak dan meninggalkan mereka dalam kegelapan
total. Gema suara pintu gudang yang dibanting masih terdengar saat terdengar
suara jeritan mengerikan tepat dari atas mereka.
"HERMIONE!" Ron melenguh, dan dia mulai menggeliat dan berusaha
membebaskan diri dari tali yang mengikat mereka bersama, membuat Harry
menggeliat. "HERMIONE!"
"Diamlah!" kata Harry. "Diam. Ron, kita harus mencari jalan –"
"HERMIONE! HERMIONE!"
"Kita perlu rencana, berhenti berteriak – kita perlu melepaskan diri dari tali ini –
"
"Harry?" terdengar bisikan dari kegelapan. "Ron? Apa itu kau?"
Ron berhenti berteriak. Terdengar suara gerakan mendekati mereka, dan
Harry melihat sebuah bayangan mendekat.
"Harry? Ron?""Luna?""Ya, ini aku! Oh, tidak, aku tak mau kau tertangkap!""Luna,
bisa kau bantu kami melepaskan tali ini?" kata Harry."Oh ya, kuharap bisa... Ada
paku tua yang kami gunakan kalau kami perlu merusak
sesuatu... Tunggu sebentar..."
Hermione menjerit lagi dari atas, dan mereka bisa mendengar Bellatrix menjerit
juga, tapi kata-katanya tak terdengar, karena Ron berteriak lagi, "HERMIONE!
HERMIONE!" "Mr. Ollivander?" Harry bisa mendengar Luna berkata. "Mr.
Ollivander, Anda punya
pakunya? Kalau Anda bisa bergerak edikit...Kurasa pakunya di sebelah tempat
air."
Dia kembali sedetik kemudian.
"Kau harus diam," katanya.
Harry bisa merasakan dia menggali serabut-serabut talinya untuk membuka
simpulnya.
Dari atas mereka mendengar suara Bellatrix."Aku tanya kau sekali lagi! Dimana
kau dapat pedang ini? Di mana?""Kami menemukannya –kami menemukannya –
KUMOHON!" Hermione menjerit lagi;
Ron berjuang lebih keras lagi, dan paku karatan itu tergelincir ke pergelangan
tangan
Harry.
"Ron, tolong, diamlah!" Luna berbisik. "Aku tak bisa melihat apa yang sedang
kulakukan –"
"Sakuku!" kata Ron, "Di sakuku, ada Deluminator, dan penuh cahaya!"Beberapa
detik berikutnya, terdengar suara ceklikan, dan bola cahaya yang diserap
Deluminator dari lampu di tenda terbang ke gudang: Tak bisa kembali ke
sumbernya, bola cahaya tu hanya tergantung di sana, seperti matahari kecil,
membanjiri ruang bawah tanah itu dengan cahaya. Harry melihat Luna, matanya
memandang wajahnya yang putih, dan sosok tak bergerak Mr. Ollivander si
pembuat tongkat, bergelung di lantai di sudut. Menjulurkan lehernya ke
sekeliling, dia melihat tahanan lainnya: Dean dan
Griphook si goblin, yang terlihat baru sadar, tetap berdiri karena tali yang
mengikatnya
ke manusia.
"Oh, itu jauh lebih baik, thanks, Ron," kata Luna, dan dia mulai memaku tali
mereka
lagi. "Halo, Dean."
Dari atas terdengar suara Bellatrix.
"Kau bohong, Darah Lumpur kotor, dan aku tahu itu! Kau sudah masuk ke lemari
besiku di Gringotts! Katakan yang sebenarnya, katakan yang sebenarnya!"
Terdengar teriakan mengerikan lainnya –
"HERMIONE!"
"Apa lagi yang kau ambil? Apa lagi yang kau punya? Beri tahu aku yang
sebenarnya, atau, aku bersumpah, aku akan mengulitimu dengan pisau ini!"
"Ini!"
Harry merasakan talinya jatuh dan memutar, menggosok pergelangan tangannya,
melihat Ron berlari mengelilingi gudang, melihat ke langit-langit rendah, mencaricari pintu jebakan. Dean, wajahnya penuh memar dan berdarah, mengucapkan
"terima kasih" pada Luna dan berdiri di sana, gemetaran, sementara Griphook
terjatuh ke lantai gudang, terlihat terhuyung-huyung dan tak terbiasa, bilurbilur terlihat di wajahnya yang kehitaman.
Ron sekarang mencoba ber-Dissapparate tanpa tongkat.
"Tak ada jalan keluar, Ron," kata Luna, menonton usahanya yang tidak
berhasil. "Gudang ini benar-benar tahan-kabur. Aku mencobanya, dulu. Mr.
Ollivander sudah lama di sini, dia sudah mencoba segalanya."
Hermione menjerit lagi: Suaranya menerpa Harry seperti sakit badannya. Baru
saja sadar dari rasa sakit hebat yang menusuk di bekas lukanya, dia juga mulai
berlarian berkeliling ruangan, meraba dindingnya untuk sesuatu yang hampir dia
tidak sadari apa, mengetahui dalam hatinya kalau itu sia-sia.
"Apa lagi yang kau ambil, apa lagi? JAWAB AKU! CRUCIO!"
Jeritan Hermione bergema di dinding di atas, Ron setengah terisak saat dia
memukul dinding dengan kepalan tangannya, dan Harry dalam keputusasaannya
mengeluarkan dompet dari Hagrid dari lehernya dan meraba-raba ke dalamnya:
Dia menarik keluar Snitch Dumbledore dan mengguncangnya, mengharap
sesuatu yang dia tidak tahu apa – tak ada yang terjadi – dia melambaikan
patahan tongkat phoenixnya, tapi tongkatnya tidak bernyawa –pecahan kaca
jatuh dan berkilau di lantai, dan dia melihat kilatan biru terang –
Mata Dumbledore menatapnya dari dalam cermin.
"Tolong kami!" dia berteriak pada cermin itu dalam keputusasaan. "Kami di
gudang bawah tanah Kediaman Malfoy, tolong kami!"
Mata itu mengedip dan hilang.
Harry bahkan tidak yakin itu benar-benar terjadi. Dia memiringkan pecahan
kacanya dalam berbagai cara, dan melihat tak ada apapun yang terpantul di
situ kecuali dinding dan langit-langit penjara mereka, dan di atas Hermione
menjerit lebih buruk dari sebelumnya, dan di sebelahnya Ron melenguh,
"HERMIONE! HERMIONE!"
"Bagaimana kau masuk ke lemari besiku?" mereka mendengar Bellatrix menjerit.
"Apa goblin kecil kotor di gudang itu yang membantumu?"
"Kami baru bertemu dia malam ini!" Hermione terisak. "Kami tak pernah
masuk ke lemari besimu...Ini bukan pedang yang asli! Ini hanya tiruan, hanya
tiruan!"
"Tiruan?" Bellatrix bercicit. "Oh, cerita yang bagus!"
"Tapi kita bisa menemukannya dengan mudah!" terdengar suara Lucius. "Draco,
ambil goblin itu, dia bisa memberitahu kita pedang ini asli atau bukan!"
Harry bergerak cepat menyebrangi gudang ke tempat di mana Griphook
membungkuk di lantai.
"Griphook," dia berbisik ke telinga runcing si goblin, "kau harus memberi tahu
mereka kalau pedangnya palsu, mereka tak boleh tahu itu yang asli, Griphook,
kumohon –"
Dia bisa mendengar langkah kaki teredam seseorang di gudang; saat
berikutnya, suara gemetaran Draco berbicara dari balik pintu.
"Mundur. Berbaris di dekat tembok belakang. Jangan coba-coba lakukan
apapun, atau aku akan membunuh kalian!"
Mereka berdiri seolah mereka masih diikat; saat kunci diputar, Ron
menjentikkan Deluminator dan cahanyanya tersapu kembali ke kantungnya,
mengembalikan kegelapan gudang. Pintu terbuka; Malfoy melangkah masuk,
tongkatnya teracung di depannya, pucat dan penuh tekad. Dia mengangkat goblin
kecil itu di lengannya dan keluar lagi, menyeret Griphook dengannya. Pintu
dibanting menutup dan di saat yang sama suara krak keras terdengar menggema
di dalam gudang.
Ron menjentikkan Deluminator. Tiga bola cahaya terbang lagi ke udara dari
sakunya, memperlihatkan Dobby, si peri rumah, yang baru saja ber-Apparate
ke tengahtengah mereka.
"DOB -!"
Harry memukul Ron di lengannya untuk menghentikan dia berteriak, dan Ron
terlihat ketakutan karena kesalahannya. Langkah kaki terdengar di langit-langit:
Draco membawa Griphook ke Bellatrix.
Mata Dobby yang sangat besar dan seperti bola tenis melebar; Dia gemetar dari
ujung kakinya ke ujung telinganya. Dia kembali ke rumah tuannya yang lama, dan
terlihat jelas kalau dia membeku ketakutan.
"Harry Potter," dia mencicit dengan suara gemetar yang palng kecil, "Dobby
telah datang untuk menyelamatkan Harry Potter."
"Tapi bagaimana kau –"
Jeritan mengerikan menenggelamkan kata-kata Harry:Hermione disiksa lagi. Dia
langsung ke tujuan.
"Kau bisa ber-Dissapparate keluar gudang ini?" dia menanyai Dobby, yang
mengangguk,
telinganya mengepak.
"Dan kau bisa membawa manusia bersamamu?"
Dobby mengangguk lagi.
"Baiklah, Dobby, aku ingin kau memegang Luna, Dean, dan Mr. Ollivander,
dan
membawa mereka – membawa mereka ke –"
"Tempat Bill dan Fleur," kata Ron, "Shell Cottage di luar Tinworth!"Peri rumah
itu mengangguk untuk yang ketiga kalinya."Dan kemudian kembali lagi," kata
Harry. "Bisa kau lakukan, Dobby?""Tentu saja, Harry Potter," bisik peri rumah
kecil itu. Dia berjalan tergesa menuju Mr.
Ollivander, yang kelihatannya baru sadar. Dia mengambil salah satu lengan si
pembuat tongkat dengan tangannya, dan mengulurkan yang lain pada Luna dan
Dean, tak ada diantara mereka yang bergerak.
"Harry, kami ingin membantumu!" Luna berbisik.
"Kami tak bisa meninggalkanmu di sini," kata Dean.
"Pergi, kalian berdua! Kami akan menemui kalian di tempat Bill dan Fleur."
Saat Harry berbicara, bekas lukanya terbakar lebih buruk dari sebelumnya, dan
untuk
beberapa saat dia melihat ke bawah, yang terlihat bukan si pembuat tongkat,
tapi pria lain yang setua dan sekurus dia, tapi tertawa menghina.
"Bunuh aku, kalau begitu. Voldemort, aku menyambut kematian! Tapi kematianku
tidak akan membawamu pada apa yang kau cari... Terlalu banyak yang tidak kau
mengerti..."
Dia merasakan kemarahan Voldemort, tapi saat Hermione menjerit lagi
dia juga berteriak, kembali ke gudang dan ketakutan dengan
kehadirannya sendiri.
"Pergi!" Harry memohon pada Luna dan Dean. "Pergi! Kami akan mengikuti,
sekarang pergi!"
Mereka mengenggam jari si peri rumah. Terdengar suara crack yang lain, lalu
Dobby, Luna, Dean, dan Ollivander menghilang.
"Apa itu?" teriak Lucius dari atas kepala mereka. "apa kau mendengar itu? Apa
suara di gudang itu?"
Harry dan Ron saling pandang.
"Draco –tidak, panggil Wormtail! Suruh dia pergi dan periksa!"
Langkah kaki terdengar bersilangan menyebrangi ruangan, dan kemudian sunyi.
Harry tahu orang-orang di ruang tamu mendengarkan suara lain dari gudang.
"Kita harus mencoba menangani dia," dia berbisik pada Ron. Mereka tidak punya
pilihan: Saat siapapun yang memasuki ruangan dan melihat ketidakhadiran tiga
tahanan, mereka kalah. "Biarkan cahayanya menyala," tambah Harry, dan saat
mereka mendengar seseorang melangkah mendekat di luar pintu, mereka mundur
ke tembok di sisi yang lain.
"Mundur," terdengar suara Wormtail. "Mundur dari pintu. Aku masuk."
Pintu mengayun terbuka. Untuk sedetik Woemtail memandang ke ruangan yang
kosong, dibutakan oleh cahaya dari tiga miniatur matahari yang melayang di
udara. Kemudian Harry dan Ron menampakkan diri mereka di depannya. Ron
menarik tangan Wormtail yang menggenggam tongkat dan mendorongnya ke atas.
Harry menutup tangannya ke mulutnya, membungkam suaranya. Mereka berjuang
dalam diam: tongkat Wormtail memancarkan cahaya; tangan peraknya menutup di
sekeliling tenggorokan Harry.
"Ada apa, Wormtail?" panggil Lucius dari atas.
"Tak ada!" Ron berteriak kembali, cukup mirip dengan suara Wormtail yang
mencicit. "Semua baik-baik saja!"
Harry hampir tidak bisa bernapas.
"Kau mau membunuhku?" Harry sesak napas, berusaha melepaskan diri dari
jari-jari metal itu. "Setelah aku menyelamatkan nyawamu? Kau berhutang
padaku, Wormtail!"
Jari-jari perak itu mengendur. Harry tidak menyangkanya: dia menarik
dirinya bebas, terpesona, tangannya tetap menutup mulut Wormtail. Dia
melihat matanya yang kecil dan berair seperti tikus melebar karena
ketakutan dan terkejut: Dia terlihat sama terkejutnya seperti Harry atas
apa yang tangannya lakukan, pada saat kebaikan yang terkhianati, dan dia
terus berjuang lebih keras, seperti ingin memperbaiki saat-saat
kelemahannya.
"Dan kami akan ambil ini," bisik Ron, menarik tongkat Wormtail dari
tangannya yang lain.
Tanpa tongkat, tidak berdaya, pupil Pettigrew membesar karena ketakutan.
Matanya teralih dari wajah Harry ke sesuatu yang lain. Jari peraknya sendiri
bergerak menuju tenggorokannya tanpa bsa dicegah.
"Tidak –"
Tanpa berhenti untuk berfikir, Harry mencoba menarik tangan itu, tapi tak
bisa menghentikannya. Alat perak yang Voldemort berikan pada pelayannya
yang paling penakut telah berbalik melawan pemiliknya yang tak berguna dan
terlucuti; Pettigrew mendapat balasan untuk keragu-raguannya, saat
menyedihkannya; dia dicekik di depan mata mereka.
"Tidak!"
Ron telah melepaskan Wormtail juga, dan bersama-sama Harry dia mencoba
menarik jari-jari metal itu dari sekeliling tenggorokan Wormtail, tapi tak
berguna. Pettigrew berubah jadi biru.
"Relashio!" ujar Ron, mengarahkan tongkatnya ke tangan perak, tapi tak terjadi
apa-apa; Pettigrew terjatuh di lututnya, dan pada saat yang sdama, Hermione
meneriakkan teriakan mengerikan dari atas kepala mereka. Mata Wormtail
berputar di wajahnya yang ungu; dia memberikan puntiran terakhir, dan hening.
Harry dan Ron saling berpandangan, kemudian meninggalkan tubuh Wormtail di
lantai di belakang mereka, berlari menaiki tangga dan kembali ke gang gelap yang
menuju ke ruang tamu. Mereka bergerak pelan-pelan dengan sangat hati-hati
sampai mereka mencapai pintu ruang tamu, yang terbuka sedikit. Sekarang
mereka bisa melihat dengan jelas. Bellatrix melihat Griphook, yang memegang
pedang Gryffindor di tangannya yang berjari panjang. Hermione terbaring di
kaki Bellatrix. Dia terlihat kacau.
"Well?" kata Bellatrix pada Griphook. "Apa ini pedang yang asli?"
Harry menunggu, menahan napasnya, berjuang melawan rasa sakit dari bekas
lukanya.
"Bukan," kata Griphook. "Ini palsu."
"Kau yakin?" kata Bellatrix terengah. "Benar-benar yakin?"
"Ya," kata si goblin.
Kelegaan terlihat di wajahnya, semua ketegangan hilang.
"Bagus," katanya, dan dengan jentikan santai tongkatnya dia menorehkan goresan
dalam lain ke wajah si goblin, dan dia menjerit terjatuh di kaki Bellatrix. Dia
menendang goblin itu ke tepi. "Dan sekarang," dia berkata dalam suara yang
meledak dengan kemenangan, "kita panggil Pangeran Kegelapan!"
Dan dia mendorong lengan bajunya dan menyentuhkan jari telunjuknya ke
Tanda Kegelapan.
Saat itu, bekas luka Harry terasa seperti akan terbuka lagi. Keadaan
sekitarnya yang sebenarnya hilang. Dia adalah Voldemort, dan penyihir kurus di
depannya tertawa memperlihatkan giginya yang ompong padanya; dia marah
sekali pada panggilan yang dia rasakan –dia sudah memperingatkan mereka, dia
sudah memberitahu mereka jangan memanggilnya kecuali untuk Potter. Kalau
mereka salah...
"Bunuh aku, kalau begitu!" tuntut si pria tua. "Kau tak akan menang, kau tak
bisa menang! Tongkat itu tak akan, tak akan pernah jadi milikmu –"
Dan kemarahan Voldemort pecah: Secercah sahaya hijau memenuhi ruang
tahanan, dan tubuh tua yang lemah itu terangkat dari tempat tidurnya yang
keras, dan kemudian terjatuh lagi, tanpa kehidupan, dan Voldemort kembali ke
jendela, kemarahannya hampir tak bisa terkontrol... Mereka akan menderita
dalam pembalasannya kalau mereka tidak punya alasan yang bagus untuk
memanggilnya...
"Dan kurasa," kata Bellatrix, "Kita bisa melenyapkan Darah Lumpur ini.
Greyback, ambil kalau kau mau dia."
"TIDAAAAAK!"
Ron menghambur ke ruang tamu; Bellatrix melihat sekeliling, terkejut; dia
mengarahkan tongkatnya ke wajah Ron – "Expelliarmus!" dia meraung,
mengarahkan tongkat Wormtail ke arah Bellatrix, dan tongkatnya terbang di
udara dan ditangkap oleh Harry, yang berlari setelah Ron. Lucius, Narcissa,
Draco dan Greyback bergerak maju; Harry berteriak, "Stupefy!" dan Lucius
Malfoy terjatuh tak sadarkan diri. Kilatan cahaya meluncur dari tongkat Draco,
Narcissa dan Greyback; Harry melemparkan dirinya ke lantai, berguling di
belakang sofa untuk menghindari mereka.
"BERHENTI ATAU DIA MATI!"
Terengah-engah, Harry mengintip dari ujung sofa. Bellatrix mengangkat
Hermione, yang terlihat tidak sadar, dan memegang pisau perak pendeknya ke
tenggorokan Hermione.
"Jatuhkan tongkat kalian," dia berbisik. "Jatuhkan, atau kita akan lihat tepatnya
seberapa kotor darahnya!"
Ron berdiri kaku, memegang tongkat Wormtail. Harry berdiri, masih
mengenggam tongkat Bellatrix.
"Kubilang jatuhkan!" dia berteriak, menekan pisaunya ke tenggorokan Hermione:
Harry melihat beberapa tetes darah muncul di sana.
"Baiklah!" serunya, dan dia menjatuhkan tongkat Bellatrix ke lantai di dekat
kakinya, Ron melakukan hal yang sama dengan tongkat Wormtail. Keduanya
mengangkat tangan di atas bahu.
"Bagus!" liriknya. "Draco, ambil tongkatnya! Pangeran Kegelapan akan datang,
Harry Potter! Kematianmu sudah dekat!"
Harry tahu; bekas lukanya seperti terbakar oleh rasa sakit, dan dia bisa
merasakan Voldemort terbang di langit dari tempat yang jauh, melewati laut
yang gelap dan berbadai, dan akan cukup dekat untuk ber-Apparate ke tempat
mereka, dan Harry melihat tak ada jalan keluar.
"Sekarang," kata Bellatrix lembut, saat Draco kembali padanya membawa
tongkat. "Cissy, kurasa kita harus mengikat pahlawan kecil ini lagi, sementara
Greyback mengurus Nona Darah Lumpur. Aku yakin Pangeran Kegelapan tak
akan iri padamu karena mendapatkan gadis itu, Greyback, setelah apa yang
kau lakukan malam ini."
Pada kata-kata terakhir terdengar suara berat yang aneh dari atas. Semuanya
melihat ke atas tepat pada waktunya untuk melihat tempat lilin kristal itu
bergetar; kemudian, dengan suara derak dan bunyi gemerincing tak
menyenangkan, mulai jatuh. Bellatrix berdiri tepat di bawahnya; menjatuhkan
Hermione, dia melemparkan dirinya ke samping dengan jeritan. Tempat lilin itu
manimpa lantai dalam ledakan kristal dan rantai, jatuh di atas Hermione dan si
goblin, yang masih memegang pedang Gryffindor. Pecahan kristal yang berkilauan
terbang ke segala arah; Draco terkena, tangannya menutupi wajahnya yang
berdarah.
Saat Ron berlari untuk menarik Hermione keluar dari kekacauan, Harry
mengambil kesempatan: dia melompati kursi berlengan dan merebut tiga
tongkat tersebut dari pegangan Draco, mengacungkan semuanya ke arah
Greyback, dan berteriak, "Stupefy!" Manusia serigala itu terangkat kakinya
oleh mantra triple, terbang ke langit-langit dan manghantam lantai.
Saat Narcissa menarik Draco keluar dari kekacauan lebih jauh, Bellatrix
melompat, rambutnya melayang saat dia melambaikan pisau peraknya; tapi
Narcissa telah mengacungkan tongkatnya ke arah pintu.
"Dobby!" dia menjerit dan bahkan Bellatrix membeku. "Kau! Kau menjatuhkan
tempat lilinnya -?"
Peri rumah kecil itu berderap masuk ke dalam ruangan, tangannya yang
gemetar menunjuk Nyonya lamanya.
"Kau tak boleh melukai Harry Potter," dia mencicit.
"Bunuh dia, Cissy!" jerit Bellatrix, tapi terdengar suara derak keras lain,
dan tongkat Narcissa juga terbang dan mendarat di sisi lain ruangan.
"Kau monyet kecil kotor!" jerit Bellatrix. "Beraninya kau mengambil tongkat
seorang penyihir, beraninya kau pada tuamnu?"
"Dobby tak punya tuan!" cicit si peri. "Dobby peri rumah bebas, dan Dobby
datang untuk menyelamatkan Harry Potter dan teman-temannya!"
Bekas luka Harry membuatnya buta dengan rasa sakit. Samar-samar dia tahu
mereka punya waktu, beberapa detik sebelum Voldemort datang.
"Ron, tangkap –dan PERGI!" dia berteriak, melemparkan salah satu tongkat ke
arahnya; kemudian dia menunduk untuk menarik Griphook keluar dari bawah
tempat lilin. Mengangkat goblin yang merintih, yang masih menggenggam pedang,
di satu pundak, Harry mengangkat tangan Dobby dan berputar ke titik
Disapparate.
Saat dia menuju ke kegelapan di luar dia menangkap kilasan terakhir dari
pemandangan di ruang tamu pada sosok Narcissa dan Draco yang pucat dan
membeku, kilasan merah yang merupakan rambut Ron, dan kilasan biru dari
sesuatu yang perak yang terbang, saat pisau Bellatrix terbang melintasi ruangan
di tempat dia telah menghilang –
Tempat Bill dan Fleur...Shell Cottage...Tempat Bill dan Fleur...
Dia menghilang ke suatu tempat yang tidak dikenal; yang bisa dia lakukan
hanyalah mengulang nama tempat tujuannya dan berharap itu cukup untuk
membawanya ke sana. Rasa sakit di dahinya menusuknya, dan berat si goblin
membebaninya,; dia bisa merasakan bagian tajam dari pedang Gryffindor
membentur punggungnya: tangan Dobby tersentak di tangannya; dia penasaran
apakah Dobby sedang mencoba untuk mengambil alih tanggung jawab, menarik
mereka ke tempat yang tepat, dan mencoba, dengan tekanan pada jari-jarinya,
memberi tanda bahwa mereka baik-baik saja...
Dan kemudian mereka membentur tanah keras dan mencium udara asin. Harry
jatuh di lututnya, melepaskan tangan Dobby, dan mencoba menurunkan Griphook
dengan lembut ke tanah.
"Kau tak apa-apa?" katanya karena goblin itu terlihat kacau, tetapi
Griphook hanya merengek.
Harry mengerdip ke sekeliling dalam kegelapan. Di sana terlihat sesuatu
seperti sebuah cottage tak jauh dibawah langit berbintang, dan dia pikir dia
melihat gerakan di dalamnya.
"Dobby, apa ini Shell Cottage?" dia berbisik, menggenggam dua tongkat yang
dia bawa dari tempat Malfoy, siap bertarung jika diperlukan. "Apa kita datang
ke tempat yang tepat? Dobby?"
Dia melihat ke sekeliling. Peri rumah itu berdiri satu kaki darinya.
"DOBBY!"
Peri rumah itu bergoyang pelan, bintang-bintang terpantul di matanya yang
lebar dan bersinar. Bersama-sama, dia dan Harry melihat ke pangkal perak
dari pisau yang menonjol keluar dari dada Dobby yang bergerak naik turun.
"Dobby –tidak –TOLONG!" Harry melenguh ke arah cottage, ke orang
orang yang bergerak di dalam. "TOLONG!"
Dia tidak tahu atau tidak peduli apakah mereka penyihir atau Muggle, kawan atau
lawan; semua yang dia pedulikan hanyalah noda gelap yang tersebar di bagian
depan Dobby, bahwa dia menjulurkan tangannya ke arah Harry dengan tatapan
memohon. Harry menangkapnya dan membaringkannya di tepi jalan di rumput
yang dingin.
"Dobby, tidak, jangan mati, jangan mati –"
Mata si peri rumah menemukan matanya, dan bibirnya bergetar dengan
usahanya membentuk kata-kata.
"Harry... Potter..."
Dan kemudian diringi gemetar kecil Dobby terdiam, dan matanya tak lebih dari
bola kaca besar, bersinar karena cahaya bintang yang tak bisa mereka lihat.
Bab 24 The Wandmaker Pembuat Tongkat
Rasanya seperti tenggelam ke dalam mimpi buruk lama; dalam sekejap, Harry
seperti berlutut lagi di samping tubuh Dumbledore di kaki menara tertinggi
Howarts, tapi kenyataannya dia sedang memAndang tubuh kurus yang ada di atas
rumput, tertusuk oleh pisau perak Bellatrix. Suara Harry masih menyebut,
”Dobby… Dobby…” meskipun dia tahu bahwa peri itu telah pergi ke tempat
dimana ia tak dapat memanggilnya kembali.
Setelah beberapa menit atau sekitar itu, dia sadar bahwa dia, akhirnya, telah
datang ke tempat yang benar, ketika Bill dan Fleur, Dean dan Luna, berkumpul di
sekitarnya ketika dia berlutut di samping peri itu.
“Hermione.” Akhirnya dia berkata, “Dimana dia?”
“Ron telah membawanya ke dalam.” Kata Bill, “Dia akan baik-baik saja.”
Harry melihat ke belakang pada Dobby lagi. Dia menggenggamkan
tangannya dan mencabut pisau tajam itu dari tubuh Dobby, kemudian
melepaskan jaketnya dan menutupi tubuh Dobby dengannya seperti
selimut.
Laut menghantam karang disuatu tempat yang dekat; Harry mendengarkannya
sementara yang lain berbicara mendiskusikan masalah yang tidak dapat
diperhatikannya, membuat keputusan, Dean membawa Griphook yang terluka ke
dalam rumah, Fleur mengikuti mereka; sekarang Bill mengerti apa yang dia
katakan, ketika dia melakukannya, dia memAndang kebawah pada tubuh kecil itu,
dan lukanya menjadi sakit dan serasa terbakar, dan di salah satu bagian
pikirannya, seperti memAndang dari ujung teleskop yang salah, dia melihat
Voldemort menghukum mereka yang tinggal di rumah Keluarga Malfoy.
Kemarahannya sangat mengerikan dan belakangan Harry bersyukur pada Dobby
yang kelihatannya menyebabkannya, sehingga itu menjadi sebuah badai yang jauh
dan menggapai Harry dari seberang laut, lautan yang sunyi.
“Aku ingin melakukannya sendiri,” adalah kata pertama yang diucapkan Harry
ketika dia benar-benar sadar, “tidak dengan sihir, apakah kau punya sekop?” dan
tak lama kemudian dia mulai bekerja, sendirian, menggali kubur di tempat yang
ditunjukkan Bill di pinggir kebun, diantara semak. Dia menggali dengan sedikit
kemarahan, melampiaskannya pada kerja moral, membanggakan nonsihir di
dalamnya, pada tiap tetes keringatnya dan tiap lepuh merasakan duka cita bagi
peri yang telah menyelamatkan nyawa mereka.
Bekas lukanya terasa terbakar, tapi dia menguasai sakitnya, dia merasakannya,
masih belum jauh darinya. Dia akhirnya belajar bagaimana mengendalikannya,
belajar menutup pikirannya dari Voldemort, sesuatu Dumbledore inginkan ia
pelajari dari Snape. Hanya karena Voldemort tidak mampu menguasai Harry
ketika Harry dipenuhi duka untuk Sirius, sehingga dia berpikir bahwa Voldemort
tidak mampu menguasai pikirannya sekarang ketika dia berduka atas Dobby.
Duka cita kelihatannya membuat Voldemort kalah… yang menurut Dumbledore,
tentunya, bisa dikatakan sebagai cinta.
Dalam penggalian Harry, dalam dan lebih dalam lagi ke tanah yang dingin dan
keras, menumpahkan duka citanya dalam keringat, mengabaikan sakit di
bekas lukanya. Dikegelapan, dengan kesunyian setelah suara napasnya dan
deburan laut yang tetap menemaninya, sesuatu yang terjadi di rumah Malfoy
teringat lagi, sesuatu yang dia dengar kembali lagi padanya, dan pengertian
terbentuk di kegelapan.
Irama tetap dari gerakan tangannya beriringan dengan pikirannya, Hallows…
Horcrux… Hallows… Horcrux… tak lama kemudian terbakar dalam keanehan itu,
obsesi yang panjang. Rasa kehilangan dan ketakutan menyedotnya, dia merasa
bahwa dia tersentak bangun lagi.
Lebih dalam dan lebih dalam lagi Harry menggali kedalam makam, dan dia tahu
dimana Voldemort sebelumnya malam ini, dan siapa yang telah dibunuhnya di sel
paling atas Numengard, dan sebabnya… Dan dia memikirkan Wormtail, meski
karena dorongan tak sadar sebuah belas kasihan… Dumbledore telah
meramalkannya… berapa banyak lagi yang dia tahu?
Harry kehilangan ukuran waktu, yang dia tahu hanya kegelapan telah merebak
semakin gelap ketika Dean dan Ron datang menenaminya lagi.
“Bagaimana Hermione?”
“Lebih baik” kata Ron, “Fleur sedang menjaganya.”
Harry telah mempersiapkan alasan jika mereka menanyakan mengapa dia tidak
membuat makam yang lebih baik dengan sihir, tapi dia tidak membutuhkannya.
Mereka berdua meloncat kedalam lubang yang Harry buat dengan sekop dan
mereka bekerja bersama dalam diam hingga lubang itu kelihatannya sudah cukup
dalam. Harry menyelimuti peri itu lebih rapi dengan jaketnya, Ron duduk di
pinggiran lubang dan melepaskan sepatu dan kaus kakinya yang lalu dipakaikannya
di kaki telanjang si peri, Dean memberikan topi wol, yang Harry pakaikan dengan
hati-hati diatas kepala Dobby, menutupi telinga kalelawarnya. “Kita seharusnya
menutup matanya.”
Harry tidak mendengar yang lain datang dalam kegelapan. Bill memakai jubah
perjalanannya, Fleur memakai sebuah celemek lebar berwarna putih; dari
sakunya muncul sebuah ujung botol, yang Harry kenali sebagai Skele-Gro.
Hermione terbungkus gaun panjang pinjaman, dengan wajah pucat, dan berdiri
sedikit goyah diatas kakinya; Ron meletakkan sebelah tangannya, merangkulnya
ketika dia mendekati Ron. Luna, yang memakai salah satu mantel Fleur,
membungkuk dan meletakkan jemarinya dengan perlahan di atas kelopak mata
Dobby, menutupnya di atas tatapan kosong. “Begitulah,” katanya lembut,
“sekarang dia dapat tertidur”.
Harry meletakkan Dobby ke dalam makam, mengatur kaki kecilnya sehingga dia
kelihatannya seperti beristirahat, lalu memanjat keluar dan memandang untuk
terakhir kalinya kepada tubuh kecil itu. Harry berusaha tidak kecewa ketika
mengingat acara pemakaman Dumbledore, baris demi baris kursi emas, dan
mentri sihir di deretan paling depan, pidato tentang penghargaan kepada
Dumbledore, makam marmer putih yang indah. Dia merasa Dobby layak
mendapatkan acara pemakaman yang lebih baik dari ini, tapi kenyataannya di sini
terbaring peri itu dalam sebuah lubang kasar dalam tanah diantara semak.
“Kupikir kita harus mengucapkan sesuatu,” Luna mulai bicara, “aku yang pertama,
boleh?”
Dan ketika semua orang melihat padanya, dia memAndang jasad peri di dasar
lubang itu. “Terima kasih banyak, Dobby, karena telah menyelamatkan kami dari
penjara itu. Sangat tidak adil kau meninggal karena kau sangat berani dan baik.
Aku akan selalu mengingat apa yang kau lakukan untuk kami. Kuharap kau bahagia
sekarang.”
Dia berpaling dan menatap dengan penuh harap kepada Ron, yang membasahi
tenggorokannya dan berbicara dalam suara yang kecil, “Yeah… terima kasih,
Dobby.”
“Terima kasih,” gumam Dean.
Harry melanjutkan, “Selamat tinggal, Dobby.” dia mengatakannya dengan susah
payah, tapi Luna telah mengatakan semuanya untuk Dobby. Bill mengangkat
tongkatnya, dan gundukan tanah disamping makam terangkat ke udara dan
menutup perlahan diatasnya, sebuah tanah merah yang kecil.
Mereka menggumamkan kata-kata yang tidak dapat didengar Harry; dia
merasakan tepukan halus pada punggungnya, dan mereka semua berbalik untuk
berjalan ke pondok lagi, meninggalkan Harry sendirian di samping si peri.
Dia melihat berkeliling: ada beberapa batu lebar berwarna putih, dihaluskan oleh
laut, menandai batas untuk tempat tumbuh bunga. Dia mengambil satu yang
terlebar dan meletakkannya, seperti bantal, di atas tempat dimana kepala Dobby
beristirahat sekarang. Kemudian dia mengambil tongkat yang ada di sakunya. Ada
dua tongkat. Dia telah lupa; sepertinya dia telah menyambar tongkat-tongkat itu
dari tangan seseorang. Dia memilih tongkat yang lebih pendek, yang terasa akrab
di tangannya. Ketika Harry berdiri lagi, di batu itu tertulis:
DISINI TERBARING DOBBY, PERI YANG BEBAS
Dia memandang hasil pekerjaan tangannya beberapa saat; lalu berjalan
pergi, bekas lukanya masih berdenyut sedikit, dan pikirannya dipenuhi suatu
pikiran yang didapatkannya ketika di makam tadi, rencana yang menjadi
tajam di kegelapan tadi, rencana yang sangat menarik dan sekaligus
menakutkan.
Yang lain sedang duduk di ruang duduk ketika dia masuk ke dalam ruang depan
yang kecil, perhatian mereka terpusat pada Bill, yang sedang berbicara. Ruangan
itu berwarna cerah, indah, dengan api kecil dari kayu api yang terbakar riang di
perapian. Harry tidak mau menjatuhkan lumpur di atas karpet, sehingga dia
berdiri di pintu masuk, ikut mendengarkan.
“…Beruntung Ginny sedang liburan. Jika dia sedang berada di Hogwarts, mereka
dapat menangkapnya sebelum kita berhasil membawanya. Sekarang kita tahu
dia aman juga.” Dia memandang berkeliling dan melihat Harry berdiri disana.
Aku telah memindahkan mereka semua dari the Burrow,” dia menjelaskan.
“Memindahkan mereka ke rumah bibi Muriel.” Para pelahap maut sekarang tahu
Ron ada bersamamu, mereka bermaksud membatasi gerak keluarga… Jangan
minta maaf,” dia menambahkan pada ekspresi Harry. “ini hanya masalah waktu,
Dad telah mengatakannya berbulan-bulan yang lalu. Kami adalah keluarga
berdarah pengkhianat paling besar yang pernah ada.”
"Bagaimana melindungi mereka?” tanya Harry.
“Mantra Fidelius.” Kata Bill. “Dad Penjaga Rahasianya. Dan kami melakukannya
untuk pondok ini juga; aku adalah Penjaga Rahasia di sini. Tak ada seorang pun
diantara kami yang bisa pergi bekerja, tapi hal ini adalah yang terpenting untuk
saat ini. Begitu Ollivander dan Griphook sudak cukup sehat, kami akan
memindahkannya juga ke rumah Muriel. Tak ada cukup kamar di sini, tapi di
rumah Muriel ada banyak. Kaki Griphook sedang diperbaiki. Fleur memberinya
Skele-Gro… kita mungkin dapat memindahkan mereka sekitar satu jam lagi
atau…”
“Tidak,” kata Harry dan Bill berpaling padanya. ”Aku membutuhkan mereka
berdua di sini. Aku ingin berbicara dengan mereka. Ini penting.” Dia mendengar
kekuasaan dalam suaranya, suara yang meyakinkan, suara dari rencana yang
telah datang padanya ketika dia menggali makam Dobby. Wajah mereka semua
yang melihatnya penuh tanda tanya.
“Aku ingin membersihkan diri,” Harry berkata pada Bill sambil melihat pada
tangannya yang masih ditutupi oleh lumpur dan darah Dobby. “Kemudian aku ingin
bertemu mereka, langsung.” Dia berjalan ke dalam dapur yang kecil, ke sebuah
baskom di bawah jendela yang berpemandangan laut. Fajar sedang merekah di
cakrawala, berwarna merah jambu dan emas, ketika dia mencuci, dia memeriksa
lagi rangkaian pikiran yang telah datang padanya dalam kegelapan di kebun tadi…
Dobby mungkin tidak akan pernah dapat memberitahu mereka siapa yang telah
mengirimkannya ke penjara itu, tapi Harry tahu apa yang telah dilihatnya.
Sebuah kilatan mata berwarna biru telah melihatnya dari pecahan cermin, dan
kemudian bantuan datang.
Bantuan akan selalu diberikan di Hogwarts untuk mereka yang membutuhkannya.
Harry mengeringkan tangannya, tertarik pada keindahan pemandangan di luar
jendela dan pada gumaman yang lain di ruang duduk. Dia melihat pada laut di
luar sana dan merasa dekat, fajar ini, lebih dekat di hatinya lebih dari kapan
pun.
Dan bekas lukanya masih tetap berdenyut, dan dia tahu Voldemort ada di sana
juga. Harry sudah mengerti dan belum mengerti pada saat bersamaan.
Perasaannya mengatakan suatu hal, tapi otaknya mengatakan lain. Dumbledore
dalam pikiran Harry tersenyum, meneliti Harry di atas jari-jarinya, yang
menelengkup seperti sedang berdoa…
Kau memberi Ron Deluminator… Kau memahaminya… Kau memberinya jalan untuk
kembali…
Dan kau juga mengerti Wormtail… Kau tahu ada sedikit penyesalan di sana, di
suatu
tempat…
Dan jika kau memahami mereka… Apa yang kau pahami tentangku, Dumbledore?
Apa ini berarti aku hanya boleh tahu dan bukannya untuk mencari? Apakah kau
tahu
betapa sulit merasakannya? Apakah itu sebabnya kau membuat ini menjadi sulit?
Sehingga aku perlu waktu untuk mengerjakannya?
Harry berdiri diam, melihat pemandangan, mengamati tempat dimana sinar
keemasan matahari yang cerah terbit di cakrawala. Kemudian dia melihat ke
bawah pada tangannya yang sudah bersih dan sedikit terkejut melihat pakaian
yang ia genggam. Dia meletakkannya dan kembali ke ruang depan, dan ketika dia
melakukannya, dia merasakan bekas lukanya berdenyut marah, dan kemudian
kilatan melewati pikirannya, cepat seperti bayangan capung di atas air, sebuah
bentuk bangunan yang dia kenal dengan baik.
Bill dan Fleur berdiri di kaki tangga.
“Aku ingin bebicara dengan Griphook dan Ollivander.” kata Harry.
“Tidak,” kata Fleur. “kau ‘arus menunggu, ‘Arry. Mereka berdua sangat
kelela’an…”
“Aku minta maaf,” dia berbicara dengan tenang, ”tapi aku tidak dapat
menunggu. Aku perlu berbicara dengan mereka sekarang, sendirian… dan
terpisah. Ini penting.”
“Harry, apa yang terjadi?” tanya Bill. “Kau datang kemari dengan seorang peri
rumah yang mati dan goblin yang setengah sadar, Hermione seperti telah kena
siksa, dan Ron menolak untuk memberitahuku apapun…”
“Kami tidak dapat memberitahumu apa yang kami lakukan,” kata Harry datar.
Kau di Orde, Bill. Kau tahu Dumbledore memberikan kami sebuah tugas. Kami
tidak seharusnya memberitahu orang lain tentang ini.”
Fleur mengeluarkan suara tidak sabar, tapi Bill tidak melihat padanya; dia
memandang Harry. Wajahnya yang terluka yang dipenuhi bekas luka dalam
sulit untuk dibaca. Akhirnya, Bill berkata, “Baiklah, siapa yang ingin kau ajak
bicara lebih dahulu?”
Harry bimbang. Dia tahu apa yang menggantung dalam keputusannya. Tak banyak
waktu yang tersisa; sekarang adalah waktunya untuk memutuskan: Horcrux atau
Hallows?
“Griphook,” Harry berkata. “Aku akan berbicara dengan Griphook lebih dahulu.”
Jantungnya bedegup kencang seakan dia telah berlari kencang dan telah
menyelesaikan rintangan yang besar.
“Ke atas sini, kalau begitu.” Kata Bill, memimpin jalan.
Harry telah melangkah ke atas beberapa langkah sebelum dia berhenti dan
melihat ke belakang.
“Aku membutuhkan kalian berdua,” dia memanggil Ron dan Hermione, yang
telah menyelinap, setengah tersembunyi di pintu ruang duduk.
Mereka bergerak ke dalam cahaya, melihat dengan sedikit aneh.
“Bagaimana keadaanmu?” Harry bertanya pada Hermione. “Kau luar biasa bisa
bertahan dengan cerita itu ketika dia menyakitimu seperti itu…”
Hermione tersenyum lemah ketika Ron meremas sebelah lengannya.
“Apa yang kita lakukan sekarang, Harry?” Ron bertanya.
“Kau akan tahu, ayo”
Harry, Ron dan Hermione mengikuti Bill naik ke tangga keatas ruangan yang
sempit. Ada tiga pintu disana.
“Di dalam sini.” Kata Bill, membuka pintu ruang kamarnya dan Fleur, ruangan itu
mempunyai pemandangan laut, yang sekarang dipenuhi warna keemasan sinar
matahari. Harry bergerak ke jendela, membalik punggungnya ke pemandangan
luar biasa itu, dan menunggu, lengannya terlipat, bekas lukanya berdenyut.
Hermione duduk di kursi disamping meja rias, Ron duduk di lengan kursinya.
Bill datang lagi, menggendong seorang goblin kecil, yang diletakkannya dengan
hati-hati di atas tempat tidur. Griphook mengucapkan terima kasih, dan Bill
pergi, menutup pintu di depan mereka.
“Aku minta maaf mengganggu istirahatmu,” kata Harry. “Bagaimana keadaan
kakimu?”
“Sakit,” jawab si goblin. “tapi membaik.”
Dia masih memegang pedang Gryffindor, dan kelihatan aneh, setengah galak,
setengah licik. Harry memperhatikan kulitnya yang pucat, jari-jarinya yang kurus
panjang, mata hitamnya. Fleur telah melepas sepatunya; telapak kakinya yang
panjang kotor. Dia sedikit lebih besar daripada peri rumah, tapi tidak terlalu.
Kepala bulatnya sedikit lebih besar dari kepala manusia.
“Mungkin kau tidak ingat…” Harry memulai.
“—bahwa aku adalah goblin yang menuntunmu ke ruang penyimpananmu, pada
saat pertama kalinya kau mengunjungi Gringotts?” kata Griphook. “Aku ingat,
Harry Potter. Bahkan diantara para goblin, kau sangat terkenal.”
Harry dan goblin itu saling bertatapan, saling menilai. Bekas luka Harry masih
berdenyut. Dia ingin menyelesaikan pembicaraan ini dengan cepat, dan pada saat
bersamaan merasa takut telah melakukan kesalahan. Sementara dia memutuskan
cara terbaik untuk menyampaikan permintaannya, goblin itu memecah kesunyian.
“Kau menguburkan peri itu,” dia berkata, kedengaran seperti tanpa belas kasihan
yang
tidak terduga.
“Ya,” kata Harry.
Griphook memandangnya lewat sudut matanya yang hitam.
“Kau penyihir yang tidak biasa, Harry Potter.”
“Dibagian mana?” kata Harry, menggosok bekas lukanya
“Kau menggali sebuah makam.”
“Jadi?”
Griphook tidak menjawab. Harry berpikir bahwa goblin itu mencemoohnya karena
berbuat seperti muggle, tapi itu bukan masalah apakah Griphook menyetujui
makam
Dobby atau tidak. Dia mempersiapkan dirinya untuk menyerang.
“Griphook, aku ingin bertanya…”
“Kau juga menyelamatkan goblin.”
“Apa?”
“Kau membawaku kemari. Menyelamatkanku.”
“Well, kurasa kau tidak menyesal?” kata Harry sedikit tidak sabar.
“Tidak, Harry Potter,” kata Griphook, dan dengan satu jari dia memilin janggut
kecil di
dagunya, “tapi kau penyihir yang sangat aneh.”
“Baiklah.” kata Harry. “Well, aku membutuhkan beberapa pertolongan, Griphook,
dan kau dapat memberikannya.” Goblin itu tidak memperlihatkan ketertarikan,
tetapi masih melanjutkan memandang
Harry seakan dia belum pernah melihat sesuatu sepertinya.
“Aku ingin menerobos ke dalam ruang penyimpanan Gringgots.”
Harry tidak bermaksud mengatakannya begitu buruk; kata-kata yang terucap
darinya
ketika rasa sakit terasa di bekas lukanya dan dia melihat, lagi, bentuk bangunan
Hogwarts. Dia menutup pikirannya. Dia butuh kesepakatan dengan Griphook
terlebih
dahulu. Ron dan Hermione memandang Harry seperti dia sudah gila.
“Harry—” kata Hermione, tapi dia dipotong oleh Griphook.
“Menerobos ke ruang penyimpanan Gringotts?” ulang si goblin, mengernyit
sedikit ketika dia berubah posisi di atas tempat tidur. “Itu tidak mungkin.”
“Tidak, itu tidak benar,” Ron menentangnya, “itu sudah pernah dilakukan.”
“Yeah,” kata Harry, “pada hari yang sama ketika aku bertemu denganmu,
Griphook. Saat ulang tahunku, tujuh tahun yang lalu.”
“Ruang penyimpanan yang kalian maksud sudah dikosongkan pada hari itu juga.”
timpal si goblin, dan Harry mengerti bahwa meskipun Griphook telah
meninggalkan Gringotts, dia tertahan pada rencana untuk melanggar
pertahanannya. “pengamanan ruang itu minimal.”
“Well, ruang penyimpanan yang kami inginkan tidak kosong, dan aku rasa
pengamanannya akan sangat kuat,” kata Harry. “Ruang itu milik keluarga
Lestrange.”
Dia melihat Ron dan Hermione saling berpandangan, keheranan, tapi ada banyak
waktu untuk menjelaskan setelah Griphook telah memberikan jawabannya.
“Kau tidak memiliki kesempatan,” kata Griphook datar. “Tak ada kemungkinan
sama sekali. Jika kau mencari dibawah lantai kami, harta yang tak berhak
kaumiliki…"
“Pencuri, kau telah diperingatkan, waspadalah… yeah, aku tahu, aku ingat,” kata
Harry. “Tapi aku bukan mencoba mengambil harta apapun untukku, aku tidak
bermaksud mendapatkan keuntungan pribadi. Dapatkah kau mempercayainya?”
Goblin itu memandang condong ke Harry, dan bekas luka sambaran kilat di dahi
Harry berdenyut, tapi dia mengacuhkannya, menolak untuk merasakan sakitnya
atau undangannya.
“Jika ada penyihir yang dapat aku percaya bahwa mereka tidak mencari
keuntungan pribadi,” akhirnya Griphook berkata, “itu adalah kau, Harry Potter.
Para goblin dan peri belum pernah mendapatkan perlindungan dan penghormatan
seperti yang kau tunjukkan malam ini. Tidak dari para pembawa-tongkat.”
“Pembawa-tongkat.” Ulang Harry: istilah itu kedengaran aneh di telinganya
ketika bekas lukanya berdenyut, ketika Voldemort melayangkan pikirannya ke
utara, dan ketika Harry merencanakan pertanyaan untuk Ollivanders di pintu
selanjutnya.
“Kesepakatan untuk mempunyai sebuah tongkat sihir,” kata si goblin dengan
pelan, “telah dibuat lama sebelumnya diantara para penyihir dan goblin.”
Well, para goblin dapat melakukan sihir tanpa tongkat sihir,” kata Ron.
“Bukan itu masalahnya! Para penyihir menolak untuk berbagi rahasia pembuatan
tongkat dengan mahluk sihir lainnya, mereka mengira kami bermaksud untuk
memperkuat kekuatan kami!”
“Well, para goblin juga tidak mau membagikan rahasia mereka,” kata Ron, “Kau
tidak mau memberitahu kami bagaimana membuat pedang-pedang dan pakaian
perang seperti yang kalian lakukan. Para goblin tahu bagaimana bekerja dengan
logam dengan cara yang para penyihir tidak…”
“Itu tidak masalah,” kata Harry, memperhatikan perubahan warna Griphook.
“Ini bukan tentang para penyihir lawan para goblin atau jenis mahluk sihir
lainnya…”
Griphook tertawa tidak menyenangkan.
“Tapi ini memang benar, ini masalah sebenarnya! Ketika Penguasa Kegelapan
menjadi lebih kuat, ras kalian berada lebih tinggi di atas kami! Gingotts tunduk
di bawah peraturan penyihir, peri rumah dijadikan budak, dan siapa diantara para
pembawa-tongkat yang keberatan?”
“Kami!” kata Hermoine. Dia telah duduk tegak, matanya bersinar. “Kami
keberatan! Dan aku diburu seperti setiap goblin dan peri rumah, Griphook! Aku
adalah Darah Lumpur!”
“Jangan sebut dirimu…” Ron bergumam.
“Kenapa tidak?” kata Hermione. “Darah Lumpur, dan aku bangga karenanya! Aku
tidak memiliki posisi yang lebih tinggi dari pada kau sekarang, Griphook! Aku
yang mereka pilih untuk disiksa, di rumah Malfoy!”
Sementara dia berbicara, dia mendorong ke samping gaun di lehernya
kesamping untuk menunjukkan goresan kecil yang telah dibuat Bellatrix, bekas
luka di atas tenggorokannya.
“Apakah kau tahu bahwa Harry lah yang membebaskan Dobby?” dia bertanya.
“Apakah kau tahu kami memperjuangkan kebebasan peri selama bertahuntahun?”(Ron bergerak tidak nyaman di lengan kursi Hermione) “Kau tidak ingin
Kau-Tahu-Siapa menghalangi apa yang kami lakukan, Griphook!”
Goblin itu memandang Hermione dengan pandangan aneh yang sama seperti
yang diberikannya pada Harry.
Apa yang kau cari di ruang penyimpanan keluarga Lestrange?” dia tiba-tiba
bertanya. “Pedang yang ada di ruang penyimpanan itu palsu. Ini yang asli.” Dia
melihat mereka satu per satu. “Aku rasa kau telah mengetahui ini. Kau
memintaku berbohong pada waktu di sana.”
“Tapi pedang yang palsu itu bukan satu-satunya benda yang ada di sana, kan?”
tanya Harry. “Mungkin kau pernah melihat benda lain di sana?”
Jantungnya berdetak lebih cepat dari pada kapanpun. Dia melipatgandakan
keinginannya
untuk mengacuhkan denyutan di bekas lukanya.
Goblin itu memilin lagi janggut di dagunya.
“Itu melanggar peraturan kami jika berbicara rahasia Gringotts pada yang lain.
Kami
adalah penjaga harta-harta be