Jumat, 19 Januari 2024

harry potter M

berdebu di dalam ruangan yang dianggapnya dulu sebagai tempat yang 

mengajarkannya rahasia kemenangan, Harry akhirnya mengerti kalau dia tak 

semestinya selamat. Tugasnya adalah melangkah tenang ke dalam pelukan 

Kematian sekaligus memutuskan hubungan yang masih tersisa antara Voldemort 

dengan kehidupan. Maka ketika akhirnya dia melemparkan diri menghadapi 

Voldemort dan tidak menghunus tongkatnya untuk membela diri, kesudahannya 

akan jelas, dan tugas yang mestinya telah tuntas di Godric’s Hallow akhirnya 

akan selesai. Tak seorangpun akan hidup, tak seorangpun akan selamat. 

Dia merasakan gemuruh jantung yang berdentam-dentam dalam dadanya. 

Betapa anehnya, dalam ketakutannya akan maut jantung itu malah memompa 

dengan begitu kencangnya, menjaganya tetap hidup. Tapi jantung itu mesti 

berhenti, segera. Detaknya tinggal menghitung waktu. Berapa banyak waktu 

yang diperlukan, sementara dia bangkit dan melangkah sepanjang kastil itu 

untuk terakhir kalinya, untuk berjalan keluar dan pergi memasuki hutan? 

Rasa ngeri mencengkeramnya ketika berbaring di lantai, dan genderang 

penguburan bertalu-talu dalam jantungnya. Akankah kematian itu menyakitkan? 

Selama ini dia telah menduga bahwa itu akan terjadi, dan dia akan selamat, dan 

tak pernah dia memikirkan tentang kematian itu sendiri. Kemauannya untuk hidup 

jauh lebih besar dibanding rasa takut akan kematian. Namun sekarang tak 

terpikir olehnya sama sekali untuk mencoba mengelak, untuk melarikan diri dari 

Voldemort. Semua sudah berakhir, dia tahu, dan yang tersisa hanyalah satu hal: 

mati. 

Seandainya saja dia mati di malam musim panas lalu ketika meninggalkan Privet 

Drive No.4 untuk terakhir kalinya, ketika tongkat sihir berbulu Phoenix 

menyelamatkannya! Seandainya saja dia mati seperti Hedwig, begitu cepat 

sampai dia tak menyadarinya! Atau seandainya saja dia melemparkan diri 

menerima serangan tongkat demi menyelamatkan orang yang 

dicintainya…Sekarang dia iri dengan kematian kedua orangtuanya. Langkah dingin 

menuju kehancurannya sendiri memerlukan jenis keberanian yang lain. 

Dirasakannya jari-jemarinya agak gemetaran dan dia berusaha mengendalikannya 

meski tak seorangpun melihat; potret-potret di dinding semua kosong tak 

berpenghuni. 

Dengan amat perlahan dia duduk dan mulai merasa lebih hidup dan lebih sadar 

akan tubuhnya dibanding sebelumnya. Kenapa tak pernah dia menghargai betapa 

dia adalah sebuah keajaiban, otak dan saraf dan jantung yang berdetak? Semua 

itu akan berlalu, atau setidaknya dia akan berlalu dari semua itu. Nafasnya mulai 

melambat dan dalam, dan mulut serta tenggorokannya kering sama sekali, tapi 

begitu pula dengan matanya. 
Pengkhianatan Dumbeldore hampir tak ada artinya. Tentu saja telah ada rencana 

yang lebih besar; Harry saja yang terlalu bodoh untuk melihatnya, dia baru 

menyadarinya sekarang. Tak pernah dia pertanyakan keyakinannya bahwa 

Dumbledore ingin dia hidup. Sekarang dia menyadari bahwa rentang umurnya 

ditentukan oleh seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menghancurkan 

semua Horcrux. Dumbledore telah meneruskan tugas itu kepadanya, dan dengan 

taat dia terus menerus memotong putus tali-tali yang menyokong nyawa, bukan 

hanya nyawa Voldemort, tapi nyawanya juga! Betapa rapinya, betapa elegannya, 

tak lagi mengorbankan banyak nyawa tapi memberikan tugas berbahaya itu 

kepada seorang anak yang selama ini telah dicap untuk disembelih, dan yang 

kematiannya bukan lagi sebuah malapetaka, melainkan satu hantaman lagi 

terhadap Voldemort. 

Dan Dumbledore telah tahu bahwa Harry tak akan mengelak, dia akan terus 

berjalan hingga kesudahan, meski itu adalah kesudahan bagi dirinya, karena 

bukankah selama ini Dumbledore telah bersusah payah untuk mengenalnya? 

Dumbledore tahu, dan Voldemort juga, kalau Harry takkan membiarkan orang 

lain mati demi dia setelah jelas bahwa dialah yang punya kekuatan untuk 

menghentikannya. Bayangan Fred, Lupin dan Tonks yang sedang terbaring mati 

di Great Hall (Aula Besar) memenuhi pikiran Harry begitu hebatnya sampai￾sampai untuk sejenak dia tak sanggup bernafas. Sungguh Maut tak punya 

kesabaran…. 

Tapi Dumbledore terlalu tinggi menilai Harry. Dia telah gagal: sang ular selamat. 

Masih ada satu Horcrux yang menambatkan Voldemort ke bumi, bahkan setelah 

terbunuhnya Harry. Memang benar, hal itu akan lebih memudahkan tugas orang 

berikutnya. Dia mengira-ngira siapakah orangnya…Ron dan Hermione tentu akan 

tahu apa yang harus dilakukan…Itulah sebabnya mengapa Dumbledore ingin 

Harry mempercayai kedua orang itu….supaya jika dia menemukan takdirnya lebih 

dini, mereka akan melanjutkannya. 

Bagaikan hujan di jendala yang dingin, semua pikiran ini berdera-derai 

menghantam dinding kebenaran, yaitu dia harus mati. Harus mati. Harus 

berakhir. 

Ron dan Hermione terasa jauh sekali, di negara lain di belahan lain bumi; 

rasanya mereka sudah berpisah begitu lama. Harry yakin takkan ada salam 

perpisahan, atau penjelasan. Ini perjalanan yang tak mungkin mereka lalui 

bersama, dan upaya mereka untuk menghentikannya akan menghamburkan 

waktunya yang berharga. Harry menatap arloji emas tua hadiah ulang tahun 

ke-17-nya. Hampir setengah dari waktu yang diberikan Voldemort baginya 

untuk menyerah telah habis. Dia berdiri. Jantungnya masih berdegup kencang. Mungkin jantungnya 

menyadari kalau tinggal sedikit waktu baginya, mungkin bertekad untuk 

menunaikan tugasnya untuk kali terakhir. Dia tak menoleh ke belakang ketika 

menutup pintu ruangan itu. 

Kastil dalam keadaan kosong. Berjalan sendirian di sana dia merasa seakan-akan 

sudah mati. Para penghuni portret di dinding masih belum kembali; kastil itu 

diam dalam atmosfir yang membuat merinding, seakan-akan sisa kehidupan 

tempat itu terpusat di Aula Besar yang penuh dengan mayat-mayat dan orang￾orang yang menangisinya 

Harry menyelubungi tubuhnya dengan Jubah Gaib dan turun lantai demi 

lantai, akhirnya menuruni anak tangga marmer menuju aula depan. Dia 

setengah berharap akan dikenali, terlihat atau dihentikan tapi Jubah itu 

menutupinya dengan sempurna dan dia sampai ke pintu depan dengan mudah. 

Kemudian Neville hampir saja berjalan melaluinya. Dia bersama seorang lain 

sedang menggotong sesosok tubuh. Harry melirik ke bawah dan merasa satu 

pukulan hebat lagi di dalam perutnya: Colin Creevey, meskipun masih di bawah 

umur, pastilah ikut menyelinap masuk, sebagaimana Malfoy, Crabbe dan Goyle 

juga. Dia terlihat kurus dalam matinya. 

“Rasanya aku bisa menggotongnya sendiri Neville”, kata Oliver Wood, dan 

memanggul tubuh Colin di pundaknya meniru cara petugas pemadam 

kebakaran, dan membawanya masuk Aula Besar. 

Neville bersandar sejenak pada kusen pintu dan menyeka dahinya dengan 

punggung tangan. Dia terlihat bagai seorang pria tua. Lalu dia bergerak kembali, 

melangkah ke kegelapan untuk mengangkat lebih banyak mayat. 

Harry melirik ke belakangnya, ke arah pintu masuk Aula Besar. Orang-orang 

sibuk bergerak ke sana kemari, saling menghibur, minum, berlutut di samping 

jenazah, tapi tak dilihatnya satupun orang-orang yang dia sayangi, baik 

Hermione, Ron, Ginny atau anggota keluarga Weasley lainnya, Luna juga tidak 

terlihat. Rasanya dia rela menyerahkan sisa waktu yang dia miliki demi satu 

kesempatan terakhir memandang mereka, tapi seandainya itu terjadi, cukup 

kuatkah dia untuk berhenti memandang? Lebih baik begini. 

Dia turuni anak tangga dan keluar menuju kegelapan. Hampir jam 4 pagi, dan 

keheningan jalan yang menyeramkan terasa seolah mencengkeram nafasnya, 

menunggu apakah dia sanggup melakukan apa yang harus dia lakukan. 

Harry bergerak ke arah Neville yang sedang membungkuk di atas mayat lain. Neville.” 

“Blimey, Harry, kau hampir bikin aku jantungan!” 

Harry sudah menarik Jubahnya. Gagasan itu timbul begitu saja dalam 

pikirannya, lahir dari keinginpastian. 

“Mau kemana sendirian?” tanya Neville curiga. 

“Itu bagian dari rencananya”, kata Harry. “Ada yang mesti aku lakukan. Dengar –

Neville-“ 

“Harry!” mendadak Neville ketakutan. “Harry, kau tidak berpikir mau 

menyerahkan diri bukan?” 

“Tidak”, Harry dengan mudah berbohong. “Tentu saja tidak…ini soal lain. Tapi 

aku mungkin akan menghilang sebentar. Kau tahu kan ular milik Voldemort? Dia 

punya seekor ular besar. Namanya Nagini…” 

“Aku sudah dengar…memangnya kenapa?” 

“Ular itu mesti dibunuh. Ron dan Hermione tahu tentang itu, tapi siapa tahu 

mereka–“ 

Membayangkan kemungkinan yang mengerikan itu membuat Harry sejenak 

tercekat, sampai dia tak sanggup meneruskan kalimatnya. Tapi dia kembali 

mengendalikan dirinya: Ini masalah genting, dia haruslah seperti Dumbledore, 

berkepala dingin, memastikan ada tenaga cadangan, orang yang melanjutkan. 

Sebelum meninggal Dumbledore sudah tahu ada tiga orang yang masih tahu soal 

Horcrux-horcrux ini; sekarang Neville akan mengambil alih tempat Harry: jadi 

akan tetap ada 3 orang yang tahu akan rahasia itu. 

“Kalau-kalau mereka – sibuk – dan kau punya kesempatan-“ “Membunuh ular itu?” 

“Membunuh ular itu”, ulang Harry. 

“Baiklah Harry. Kau baik-baik saja kan?” 

“Aku baik-baik saja. Makasih Neville” 

Tapi Neville mencekal tangan Harry ketika dia hendak beranjak. 

“Kami semua akan terus berjuang, Harry. Kau tahu kan?” 

“Yah, aku –“
Perasaan tercekik melenyapkan akhir kalimat itu; dia tak sanggup 

meneruskannya. Neville tak merasakan adanya keanehan. Dia menepuk pundak 

Harry, melepaskannya dan menjauh untuk mencari lebih banyak mayat. 

Harry menangkupkan Jubah ke tubuhnya dan terus berjalan. Ada seseorang 

sedang bergerak tak jauh darinya, membungkuk di atas sesosok mayat. Mereka 

hanya berjarak satu kaki ketika dia menyadari orang itu adalah Ginny. 

Dia berhenti. Ginny sedang berjongkok dekat seorang gadis yang 

sedang berbisik memanggil ibunya. 

“Tidak apa-apa”, kata Ginny. “Tidak apa-apa. Kami akan membawamu masuk” 

“Tapi aku mau pulang”, bisik gadis itu. “Aku nggak mau bertarung lagi” 

“Aku tahu”, kata Ginny, dan suaranya serak. “Semua akan baik-baik saja” 

Gelombang dingin menyapu kulit Harry. Betapa ingin dia berteriak, ingin Ginny 

menyadari kehadirannya, ingin Ginny tahu kemana dia hendak pergi. Dia ingin 

dihentikan, diseret, dikirim pulang… 

Tapi dia sudah di pulang. Hogwards adalah rumah pertama dan terbaik yang 

pernah dia kenal. Dia dan Voldemort dan Snape, para anak laki-laki yang 

terlantar, sudah menemukan rumah di sini… 

Ginny sekarang sedang berlutut disamping gadis yang terluka itu, menggenggam 

tangannya. Dengan usaha keras, Harry memaksa terus melangkah. Rasanya dia 

melihat Ginny memandang ke sekeliling ketika Harry melewatinya, dan bertanya￾tanya apakah inderanya menangkap adanya seseorang berjalan di sana, tapi 

Harry tak bicara, dan tak melihat ke belakang. 

Pondok Hagrid muncul dari kegelapan. Tak ada cahaya, tak ada suara Fang 

mengonggong menyambutnya. Seluruh kunjungannya ke Hagrid, dan kemilau kuali 

tembaga di atas tungku, dan kue-kue keras dan makanan-makanan besar, dan 

wajah besarnya yang dipenuhi jenggot, dan Ron yang muntah, dan Hermione yang 

menolongnya menyelamatkan Norbert… 

Dia terus berjalan, dan sekarang mencapai tepi hutan, lalu dia berhenti. 

Sekawanan dementor sedang meluncur di antara pepohonan; dia bisa rasakan 

hawa dingin mereka, dan dia tak yakin apakah bisa lewat dengan selamat. Dia tak 

punya kekuatan lagi untuk mengeluarkan Patronus. Dia tak bisa lagi 

mengendalikan gemetar tubuhnya. Ternyata tak semudah itu untuk mati. Dalam 

setiap tarikan nafasnya, bau rerumputan dan udara dingin di wajahnya terasa 
begitu berharga; kalau memikirkan betapa orang memiliki tahun demi tahun, 

waktu untuk dibuang percuma, sementara dia bergelantung pada setiap detik. 

Pada saat yang bersamaan dia berpikir tak sanggup lagi untuk melanjutkan, 

sekaligus sadar kalau dia harus. Pertandingan yang panjang berakhir sudah, 

Snitch telah tertangkap, waktunya untuk meninggalkan udara… 

Snitch. Jemarinya sejenak meraba-raba kantung di lehernya, lalu dia menarik 

benda itu keluar. 

I open at the close. 

Dengan nafas yang kencang dia menatap benda itu. Sekarang ketika dia ingin 

waktu bergerak selambat mungkin, rasanya dia makin cepat, dan 

pemahamannya datang begitu cepatnya seolah-olah telah melewatinya. Inilah 

the close (penutupannya). Inilah saatnya. 

Dia tekankan logam keemasan itu ke bibirnya dan berbisik, “Aku segera akan 

mati” 

Kulit logam itu pecah terbuka. Dia rendahkan tangannya yang gemetaran, 

mengangkat tongkat Draco di bawah Jubah dan menggumam, “Lumos” 

Batu hitam yang retak bergerigi ke bagian tengah terletak di dalam Snitch yang 

terbelah dua. Batu Bertuah (Resurrection Stone) itu telah retak secara vertikal, 

melambangkan Tongkat Sihir Tua-tua (Elder Wand). Segitiga dan lingkaran 

melambangkan Jubah dan batu itu masih bisa terlihat sebagai batu. 

Dan lagi-lagi Harry mengerti tanpa harus berpikir. Tak perlu membawa 

mereka kembali, karena dia sendiri akan bergabung dengan mereka. Bukan dia 

yang menjemput mereka. Merekalah yang menjemputnya. 

Dia menutup mata dan diputarnya batu itu dalam tangannya tiga kali. 

Dia tahu hal itu sudah terjadi karena dia mendengar gerakan-gerakan kecil di 

sekelilingnya, seperti gerakan tubuh-tubuh lemah yang menggeser pijakannya di 

atas tanah bertabur ranting-ranting yang menandai tepi luar hutan itu. Dia buka 

matanya dan memandang ke sekeliling. 

Mereka bukanlah hantu bukan pula tubuh jasmani, itulah yang dia lihat. Mereka 

lebih kelihatan seperti Riddle yang lolos dari perpustakaan di waktu dulu sekali, 

yaitu ingatan yang hampir-hampir membentuk zat padat. Kurang dari tubuh￾tubuh yang hidup, tapi lebih dari hantu. Mereka bergerak ke arahnya. Dan pada 

tiap wajah mereka tersungging senyum penuh kasih sayang. 
Tinggi James persis sama dengan Harry. Dia mengenakan pakaian yang 

dipakainya ketika meninggal, dan rambutnya acak-acakan, dan kacamatanya 

agak berat sebelah, seperti kepunyaan Tuan Weasley. 

Sirius jangkung dan tampan, dan jauh lebih muda dibanding yang pernah Harry 

lihat ketika dia masih hidup. Dia melompat dengan anggun, tangan di dalam saku 

dan wajah menyeringai. 

Lupin juga jauh lebih muda, dan lebih langsing, dan rambutnya lebih lebat dan 

hitam. Dia terlihat bahagia kembali ke tempat yang sangat dia kenal ini, tempat 

yang begitu banyak dia jelajahi di masa mudanya. 

Senyuman Lily adalah yang paling lebar. Dia sibakkan rambut hitamnya ke 

belakang sementara dia mendekati Harry, dan mata hijaunya, begitu mirip 

dengan matanya, memandangi wajah Harry tanpa puas, seakan-akan takkan 

pernah cukup baginya memandangnya. 

“Kau telah bertindak sangat berani” 

Dia tak sanggup bicara. Matanya terpusat kepada Lily, dan dia pikir dia 

mau berdiri memandanginya untuk selamanya, dan itu saja sudah cukup. 

“Kau sudah hampir sampai”, kata James. “Dekat sekali. Kami….sangat 

bangga terhadapmu” 

“Sakitkah rasanya?” 

Pertanyaan kekanak-kanakan itu terlontar begitu saja dari mulut Harry 

tanpa bisa dicegahnya. 

“Mati? Tidak sama sekali”, kata Sirius. “Lebih cepat dan lebih mudah 

daripada jatuh tertidur” 

“Dan dia akan menginginkan cepat terjadinya. Dia ingin semua berakhir”, kata 

Lupin. 

“Aku tidak menginginkan kalian mati”, jawab Harry. Kata-kata ini terlontar 

begitu saja. “Kalian semua. Maafkan aku –“ 

Kata-kata itu lebih ditujukannya kepada Lupin dibanding yang lain, dengan nada 

memohon. 

“- tepat setelah kau punya anakmu…Remus, aku menyesal-“ 

“Aku juga menyesal”, kata Lupin. “Menyesal tak lagi bisa mengenalnya…tapi dia 
akan tahu mengapa aku mati dan aku harap dia akan mengerti. Aku telah mencoba 

membuat sebuah dunia dimana dia bisa menjalani hidup yang lebih bahagia” 

Hembusan angin dingin yang seolah keluar dari pusat hutan itu mengangkat 

rambut di bagian kening Harry. Dia tahu mereka akan tidak akan menyuruhnya 

pergi. Dia sendirilah yang harus mengambil keputusan itu. 

“Kalian akan menemaniku?” 

“Sampai pada akhirnya”, kata James. 

“Mereka tak akan bisa melihat kalian?” 

“Kami adalah bagian dirimu”, kata Sirius. “Tak terlihat oleh siapapun” 

Harry menatap ibunya. 

“Dekatlah terus denganku”, ucapnya lirih. 

Dan dia beranjak. Hawa dingin membeku dari Dementor tidak mengalahkannya, 

dia lewat bersama para pengiringnya, dan mereka bertindak bagaikan Patronus￾Patronus untuknya, dan bersama-sama mereka beriringan melewati pepohonan 

tua yang tumbuh rapat, cabang-cabangnya saling melilit, akar-akarnya 

berbonggol-bonggol dan berpilin-pilin di bawah kaki mereka. Harry menutupi 

dirinya rapat-rapat dengan Jubah Gaib dalam kegelapan, berjalan masuk dan 

masuk terus ke dalam hutan, tanpa punya gambaran dimana Voldemort berada 

tapi yakin Voldemort akan menemukannya. Di sampingnya James, Sirius, Lupin 

dan Lily berjalan hampir tanpa menimbulkan suara, dan kehadiran mereka adalah 

keberaniannya, dan alasan yang membuatnya mampu menggerakkan kakinya ke 

depan. 

Tubuh dan pikirannya secara aneh rasanya terpisah sekarang, anggota-anggota 

tubuhnya bekerja tanpa instruksi, seolah-olah dia adalah seorang penumpang, 

bukan juru mudi atas tubuh yang sebentar lagi akan dia tinggalkan. Orang-orang 

mati yang berjalan di sisinya menembus hutan terasa lebih nyata dibanding 

mereka yang masih hidup dalam kastil: Ron, Hermione, Ginny dan semua orang 

lainlah yang terasa seperti hantu sementara dia tertatih-tatih menyongsong 

akhir hidupnya, menuju Voldemort. 

Terdengar suara berdebuk dan bisikan: ada makhluk lain dekat sini. Harry 

berhenti di bawah Jubah, mengamati keadaan sekeliling, mendengar, dan ayah￾ibunya, Lupin dan Sirius turut berhenti. 

“Ada orang di situ”, terdengar bisikan kasar dari jarak dekat sekali. “Dia punya 
Jubah Gaib. Apa mungkin –?“ 

Dua sosok muncul dari balik pohon dekat sana. Tongkat mereka menyala, dan 

Harry melihat Yaxley dan Dolohov menatap ke dalam kegelapan, tepat ke 

tempat Harry dan yang lainnya berdiri. Rupanya mereka tak melihat apapun. 

“Tadi aku yakin dengar sesuatu”, kata Yaxley. “Menurutmu apa, binatang?” 

“Hagrid memelihara banyak binatang di sini”, kata Dolohov sambil melirik lewat 

bahunya. 

Yaxley melihat jamnya. 

“Waktunya hampir habis. Porter tak datang” 

“Sebaiknya kita kembali”, kata Yaxley. “Kita cari tahu ada rencana apa sekarang” 

Dia dan Dolohov berbalik dan berjalan masuk ke dalam hutan. Harry mengikuti 

mereka, tahu kalau mereka akan memandunya tepat ke tempat yang ingin dia 

capai. Dia melirik ke samping, dan ibunya tersenyum kepadanya, dan ayahnya 

mengangguk memberi semangat. Mereka baru berjalan sebentar ketika Harry 

melihat cahaya di depan, dan Yaxley dan Dolohov melangkah ke sebuah tempat 

terbuka yang diketahui Harry sebagai lokasi dimana Aragog yang mengerikan itu 

pernah tinggal. Sisa-sisa jaringnya masih ada, tapi kawanan anak-anak yang dia 

telurkan telah diusir oleh para Pelahap Maut untuk berperang bagi mereka. 

Api menyala di tengah tempat terbuka itu, dan kerlap-kerlipnya menerangi 

segerombol Pelahap Maut yang duduk waspada dalam kebisuan. Sebagian dari 

mereka masih mengenakan topeng dan tudung kepala, sebagian lagi menampakkan 

wajah. Dua raksasa berdiri di sisi luar kelompok itu, menghasilkan bayangan yang 

besar sekali, wajah mereka kejam dan kasar seperti batu. Harry melihat Fenrir 

mengendap-endap sambil menggigit kuku panjangnya; Rowle si pirang sedang 

menjilati bibirnya yang berdarah. Dia melihat Lucius Malfoy, yang terlihat kalah 

dan ketakutan, dan Narcissa yang matanya yang cekung dan penuh keprihatinan. 

Setiap mata tertuju pada Voldemort, yang berdiri dengan kepala tertunduk, dan 

sementara tangannya yang putih terlipat di atas Tongkat Tua-tua (Elder Wand) 

di depannya. Dia agaknya sedang berdoa, atau menghitung dalam hati. Di 

belakang kepalanya si besar Nagini masih melayang meliuk-liuk di dalam 

kandangnya yang gemerlapan, seperti lingkar halo yang mengerikan. 

Ketika Dolohov dan Yaxley kembali bergabung dengan lingkaran itu, 

Voldemort mengangkat kepala. 

“Tak ada tanda-tanda keberadaannya Tuanku”, kata Dolohov. 
Raut wajah Voldemort tak berubah. Mata merah itu terlihat terbakar di 

dalam cahaya api. Dengan perlahan ditariknya Tongkat Tua-tua (Elder Wand) 

di antara jemarinya yang panjang. 

“Tuanku –“ 

Bellatrix berbicara: dialah yang duduknya paling dekat dengan Voldemort, kusut 

dan sedikit berdarah tapi selain itu tidak terluka. 

Voldemort mengangkat tangan menyuruhnya diam, dan diapun tak 

mengucapkan apapun lagi, tapi menatapnya dengan pandangan terpukau 

seorang pemuja. 

“Aku kira dia akan datang”, kata Voldemort dalam nada tinggi jernih, matanya 

tertuju pada cahaya api. “Aku berharap dia akan datang”. 

Tak seorangpun berbicara. Mereka terlihat sama takutnya dengan Harry, yang 

saat ini merasakan jantungnya melompat-lompat mendesak dadanya seakan￾akan berniat melesat dari tubuhnya yang segara akan dienyahkan..Tangannya 

basah oleh keringat sementara dia menarik lepas Jubah Gaib dan menaruhnya 

dibawah jubahnya, beserta tongkatnya. Dia tak ingin digoda untuk bertarung. 

“Aku, agaknya…keliru”, kata Voldemort. 

“Kau tidak keliru” 

Harry mengucapkannya senyaring dia mampu, dengan mengumpulkan seluruh 

kekuatan yang dia sanggup himpun: dia tak ingin terdengar takut. Batu Bertuah 

(Resurrection Stone) menggelincir dari antara jemarinya yang mati rasa, dan 

dari sudut matanya dia melihat orangtuanya, Sirius dan Lupin menghilang pada 

saat dia melangkah masuk kedalam cahaya api. Pada saat itu dia merasa tak 

seorangpun yang panting selain Voldemort. Kini hanya tinggal mereka berdua 

saja. 

Ilusi itu segera lenyap secepat datangnya. Kedua raksasa itu meraung 

sementara para Pelahap Maut serentak bangkit, dan banyak yang menjerit, 

terhenyak bahkan tertawa. Voldemort membeku diam di tempatnya berdiri, 

tapi mata merahnya telah menemukan Harry, dan dia menatap terus 

sementara Harry bergerak ke arahnya, tanpa sesuatupun di antara mereka 

kecuali api. 

Kemudian terdengar seruan, “HARRY! JANGAN!” 

Dia berbalik: Hagrid terikat pada sebatang pohon, tubuhnya terbelit tali-
 temali. Tubuh besarnya mengguncang cabang-cabang di atasnya ketika dia 

berusaha mati-matian memberontak. 

“JANGAN! JANGAN! HARRY, APA YANG KAU –““ 

“DIAM!” teriak Rowley, dan dengan kibasan tongkatnya Hagrid terdiam. 

Bellatrix yang telah berdiri mengalihkan matanya dengan penuh minat dari 

Voldemort ke Harry, dadanya membusung. Yang bergerak saat ini hanyalah lidah 

api dan si ular, meliuk-liuk di dalam kandang di belakang kepala Voldemort. 

Harry bisa merasakan tongkatnya menekan dadanya, tapi dia tak berusaha 

menghunusnya. Dia tahu bahwa si ular terlalu terlindungi, tahu bahwa jika dia 

berhasil mengarahkan tongkatnya ke arah Nagini, lima puluh kutukan akan 

menghantamnya lebih dulu. Voldemort dan Harry masih memandang satu sama 

lain, dan sekarang Voldemort memiringkan kepalanya sedikit, menimbang-nimbang 

anak yang sedang berdiri di hadapannya, dan sebentuk senyum tanpa 

kegembiraan melengkung di mulutnya yang tanpa bibir. 

“Harry Potter,” katanya dengan suara sangat halus. Tapi suaranya seakan-akan 

terbuat dari lontaran api. “Anak Yang Selamat” 

Tak satupun dari Pelahap Maut yang bergerak. Mereka menunggu. Segalanya 

menunggu. Hagrid memberontak dan Bellatrix terengah-engah, dan Harry 

entah kenapa memikirkan Ginny, parasnya yang bercahaya, dan bibirnya yang 

dia rasakan di -

Voldemort telah mengangkat tongkatnya. Kepalanya masih miring ke satu sisi, 

seperti anak kecil yang penasaran akan apa yang terjadi jika dia meneruskannya. 

Hary balas menatap ke dalam mata merah itu, menginginkannya terjadi saat itu 

juga, cepat, selagi dia masih bisa berdiri, sebelum dia lepas kendali, sebelum 

rasa takutnya terkuak Dia melihat mulut yang bergerak dan kilatan cahaya 

hijau, dan lenyaplah semuanya. 

BAB 35: KINGS CROSS 

Dia berbaring tertelungkup, mendengar kesunyian. Tak ada yang mengawasi. Tak 

ada orang lain di sana. Dia sendiri tak yakin berada dimana. 

Lama sesudahnya, atau tanpa ada jeda waktu sama sekali, timbul pikirannya 

bahwa dia pastilah ada, pastilah lebih dari sekadar pikiran tanpa tubuh, karena 

dia sedang berbaring, benar-benar sedang berbaring di atas permukaan 

sesuatu. Karenanya dia punya indera perasa, dan benda yang menahan 

tubuhnya tentunya ada juga. 
Segera setelah dia mencapai kesimpulan ini, Harry menjadi sadar bahwa dia 

telanjang. Yakin sedang sendirian di sana, dia tak kuatir, tapi keadaan itu 

membuatnya sedikit penasaran. Dia bertanya-tanya apakah sebagaimana dia 

bisa merasa, dia juga bisa melihat? Ketika membukanya, sadarlah dia bahwa dia 

punya mata. 

Dia berbaring di kabut yang terang, sekalipun bukan jenis kabut yang pernah 

dialaminya. Sekelilingnya tak tertutup uap berawan; atau tepatnya uap berawan 

belum lagi terbentuk di sekelilingnya. Lantai dimana dia berbaring terlihat 

berwarna putih, tidak hangat tidak pula dingin, benda datar yang semata-mata 

ada di sana. 

Dia duduk. Tubuhnya tampak tak terluka. Disentuhnya wajahnya. Dia tak lagi 

mengenakan kacamata. 

Lalu suatu bunyi mencapainya melalui ke-tiadaan yang mengelilinginya; hentakan￾hentakan kecil dari sesuatu yang tertekuk, terpukul, dan memberontak. Suara 

yang menyedihkan, namun terdengar agak tak pantas. Dia merasa sedang diam￾diam mencuri dengar sesuatu yang memalukan. 

Untuk pertama kali dia berharap dia mengenakan pakaian. 

Begitu pikiran itu muncul di kepalanya, terlihatlah sepotong jubah di dekatnya. 

Dia mengambil lalu mengenakannya. Jubah itu lembut, bersih dan hangat. 

Sungguh luar biasa bagaimana jubah itu muncul entah dari mana begitu dia 

menginginkannya…. 

Dia berdiri, melihat sekeliling. Apakah dia sedang berada di Ruang Kebutuhan? 

(Room of Requirement)? Makin lama dia memandang, makin banyak yang bisa 

terlihat. Atap melengkung berukuran besar berkilauan diterpa sinar matahari, 

tinggi di atas kepalanya. Mungkin ini sebuah istana. Suasananya sangat hening 

dan tenang, kecuali bunyi gebukan dan rintihan yang terasa dekat di dalam 

kabut. 

Harry perlahan berputar di tempat, dan sekelilingnya seolah terbentuk sendiri 

di depan matanya. Ruangan terbuka yang lebar, terang dan bersih, aula yang 

lebih besar dibanding Aula Besar (Great Hall) dengan atap melengkung yang 

terbuat dari kaca jernih. Ruang itu sepertinya kosong. Hanya dia yang ada di 

sana, kecuali – Dia terlonjak mundur. Terlihat olehnya benda yang menghasilkan 

bunyi itu. Bentuknya seperti anak kecil, bergelung telanjang di lantai, dagingnya 

kasar kemerahan seolah-olah telah dikuliti, dan dia berbaring gemetaran di 

bawah sebuah kursi dimana dia telah ditinggalkan, diterlantarkan, dienyahkan 

dari pandangan, dan sedang berjuang untuk bernafas. 
Harry takut akan benda itu. Meski terlihat rapuh dan terluka, dia tak ingin 

mendekatinya. Namun tetap saja dia melangkah makin dekat, siap melompat 

ke belakang setiap saat. Segera saja dia sudah cukup dekat untuk 

menyentuhnya, tapi dia tak mampu. Dia merasa bagaikan pengecut. Dia 

semestinya menenangkannya, tapi sosok itu membuatnya jijik. 

“Kau tak bisa menolong” 

Dia terlonjak memutar. Albus Dumbledore sedang melangkah ke arahnya, 

langkahnya tegak dan sigap, dia mengenakan jubah panjang berwarna biru kelam. 

“Harry”. Dibukanya kedua lengannya lebar-lebar, dan kedua tangannya utuh dan 

putih dan tak rusak sama sekali. “Kau anak hebat. Kau pria yang sangat berani. 

Mari kita berjalan”. 

Tertegun, Harry mengikuti sementara Dumbledore menjauh dari anak tanpa 

kulit yang sedang merintih itu, membawanya menuju dua kursi yang sebelumnya 

tidak terlihat olehnya, di bawah atap yang berkilauan. Dumbledore duduk di 

salah satu kursi dan Harry menjatuhkan diri di kursi yang lain tanpa melepaskan 

pandangannya ke wajah Kepala Sekolahnya itu. Rambut dan jenggot perak 

Dumbledore, mata biru tajam di balik kacamata berlensa separuh bulat, hidung 

bengkok: semua persis seperti yang dia ingat. Namun begitu… 

“Tapi Anda sudah wafat”, kata Harry 

“Oh, benar”, sahut Dumbledore terus terang. 

“Kalau begitu….aku sudah mati juga?” 

“Ah”, kata Dumbledore, senyumnya makin lebar. “Itu yang jadi 

pertanyaannya, bukan? Aku pikir tidak” 

Mereka saling memandang, kakek itu masih berseri-seri. 

“Tidak?” ulang Harry 

“Tidak”, sahut Dumbledore. 

“Tapi…” secara naluriah Harry mengangkat tangannya ke bekas lukanya yang 

berbentuk petir. Bekas luka itu sepertinya sudah hilang. “Tapi aku mestinya 

sudah mati – Aku tidak membela diri. Aku sungguh-sungguh membiarkan dia 

membunuhku!” 

“Dan itulah”, kata Dumbledore, “yang menurutku membuat semuanya jadi 

berbeda” 
Kebahagiaan seolah-olah memancar dari Dumbledore bagaikan cahaya; bagaikan 

api: Harry tak pernah melihat orang yang begitu puas dan nyaman dengan diri 

sendiri. 

“Jelaskan”, kata Harry 

“Kau sendiri sudah tahu”, kata Dumbledore. Digerak-gerakkannya kedua 

jempolnya.

“Aku biarkan dia membunuhku”, kata Harry, “Begitu kan?”“Betul. 

Teruskan!”“Sehingga bagian jiwanya yang ada dalam diriku…”Dumbledore 

mengangguk-anggukkan kepalanya makin antusias, mendorong Harry untuk 

melanjutkan, senyum lebar di wajahnya membangkitkan keberanian.“…apa 

bagian itu sudah hilang?”“Oh ya!”, kata Dumbledore. “Ya, dia 

menghancurkannya. Jiwamu utuh, dan sepenuhnya

milikmu, harry”“Tapi kalau begitu…”Harry melirik lewat bahunya ke makhluk kecil 

lumpuh yang gemetaran di bawa kursi.“Itu apa, Professor?”“Sesuatu yang tak 

mungkin bisa kita tolong”, kata Dumbledore.“Tapi kalau Voldemort menggunakan 

Kutukan Pembunuh (Killing Curse)”, Harry kembali

memulai, “dan kali ini tak ada yang mati untukku – bagaimana bisa aku masih 

hidup?”

“Aku pikir kau tahu”, kata Dumbledore. “Coba pikir kembali. Ingat apa yang dia 

lakukan dalam ketidakacuhannya, dalam ketamakan dan kekejamannya” Harry 

berpikir. Dia biarkan pandangannya menerawang ke sekelilingnya. Jika benar 

tempat 

ini istana, ini istana yang aneh, yang kursi-kursinya disusun berderet-deret 

dengan pagar di 

sana sini, hanya dan dia dan Dumbledore dan makhluk di bawah kursi itulah yang 

berada di 

sana. Lalu jawabannya keluar dari bibirnya dengan mudahnya, sama sekali tanpa 

usaha. 

“Dia mengambil darahku”, kata Harry. 

“Tepat sekali!”, kata Dumbledore. “Dia ambil darahmu dan dibentuknya kembali 

hidupnya 
dengan darah itu! Darahmu di nadinya, Harry, perlindungan dari Lily di dalam 

kalian berdua! Dia menambatkan dirimu pada kehidupan selama dia hidup!”“Aku 

hidup, selama dia hidup? Tapi kukira…kukira justru sebaliknya! Aku kira kami

berdua mesti mati! Atau keduanya sama saja?

Dia terusik oleh suara rintihan dan hentakan makhluk di belakang mereka dan dia 

kembalimeliriknya.“Anda yakin kita tak bisa berbuat sesuatu?”

“Tak mungkin ada pertolongan” 

“Kalau begitu jelaskanlah…lebih banyak”, kata Harry, dan Dumbledore 

tersenyum. “Engkaulah Horcrux yang ketujuh, Harry, Horcrux yang tak pernah 

dia perkirakan akan dia ciptakan. Dia telah membuat jiwanya begitu tak stabil 

sehingga jiwa itu terpecah ketika dia melakukan perbuatan yang begitu jahat, 

membunuh kedua orangtuamu, mencoba membunuhmu. Tapi yang lolos dari 

ruangan itu lebih sedikit dari yang dia tahu. Dia meninggalkan lebih dari sekedar 

tubuhnya saja. Dia meninggalkan bagian dari dirinya padamu, bakal-korban yang 

telah selamat. 

“Dan pengetahuannya masih juga tak lengkap, Harry! Itulah yang tidak 

dihargai oleh Voldemort, dia tak merasa perlu memahami. Tentang peri rumah 

dan cerita anak-anak, tentang cinta, kesetiaan dan kemurnian. Voldemort 

tidak mengetahui dan memahami apa-apa. Apapun tidak. Dia tak pernah 

memahami bahwa hal-hal itu lebih kuat dibanding kekuatannya sendiri, 

kekuatan yang melampaui semua sihir. 

“Dia mengambil darahmu karena tahu itu akan membuatnya kuat. Dia masukkan 

ke dalam tubuhnya bagian kecil dari apa yang ditaruh ibumu kepadamu ketika 

dia mati demi kau. Tubuhnya menyimpan pengorbanan ibumu yang terus hidup, 

dan selama bagian itu terus hidup, begitu juga kau, dan begitu juga yang 

diharapkanVoldemort untuk dirinya. 

Dumbledore tersenyum kepada Harry, dan Harry menatapnya. 

“Dan Anda sudah tahu ini semua sejak awal?” 

“Aku menebak-nebak, tapi biasanya tebakanku tepat”, kata Dumbledore dengan 

gembira, dan mereka duduk dalam diam untuk sekian lama, sementara makhluk 

di belakang mereka masih terus merintih dan gemetar. 

“Masih ada lagi”, kata Harry. “Kenapa tongkatku mematahkan tongkat yang dia 

pinjam?
“Kalau soal itu, aku tidak begitu yakin” 

“Kalau begitu cobalah menebak”, kata Harry dan Dumbledore tertawa. 

“Yang harus kau pahami, Harry, adalah bahwa kau dan Tuan Voldemort telah 

bepergian bersama ke dalam alam gaib yang hingga kini belum dikenal dan belum 

diuji. Tapi aku pikir beginilah yang terjadi, dan ini peristiwa yang belum pernah 

terjadi sebelumnya, dan tak satu pembuat tongkatpun yang pernah meramalkan 

atau menjelaskan hal ini kepada Voldemort. 

“Sebagaimana kau tahu sekarang, bahwa tanpa dia inginkan Voldemort telah 

melipatduakan ikatan antara kalian berdua ketika dia kembali ke wujud manusia. 

Sebagian jiwanya masih melekat ke jiwamu, dan dia mengambil bagian dari 

pengorbanan ibumu ke dalam dirinya karena mengira itu akan memperkuat 

dirinya. Seandainya saja dia memahami kekuatan yang hebat dari pengorbanan 

itu, dia mungkin tak akan berani menyentuh darahmu…Tapi kalau dia bisa 

memahaminya tentu dia bukanlah Voldemort dan dia tak akan pernah melakukan 

pembunuhan. 

“Setelah memastikan ikatan timbal-balik ini, setelah membungkus takdir kalian 

lebih pasti daripada yang pernah terjadi diantara dua ahli sihir manapun dalam 

sejarah, Voldemort berlanjut dengan menyerangmu menggunakan sebuah 

tongkat yang bahan intinya sama dengan kepunyaanmu. Dan sekarang hal yang 

sangat aneh terjadi. Inti tongkat itu bereaksi sebagaimana Voldemort -yang 

tak pernah tahu kalau tongkatmu adalah kembaran tongkatnya￾menginginkannya. 

“Dia lebih ketakutan dibanding kau malam itu, Harry. Kau telah menerima, bahkan 

menyambut kemungkinan mati, suatu hal yang takkan pernah mampu dilakukan 

Voldemort. Keberanianmu telah menang, tongkatmu memngungguli tongkatnya. 

Dan ketika terjadi, sesuatu terjadi dengan kedua tongkat itu, sesuatu yang 

mencerminkan hubungan antara masing-masing tuannya.. 

“Aku percaya tongkatmu telah menyerap sebagian kekuatan dan sifat tongkat 

Voldemort malam itu, yang berarti tongkatmu mengandung sebagian kecil dari 

diri Voldemort sendiri. Jadi tongkatmu mengenalinya ketika dia mengejarmu, 

mengenali pria yang adalah kerabat sekaligus musuh bebuyutan, dan tongkatmu 

memuntahkan sebagian dari sihir Voldemort melawan dia sendiri, sihir yang jauh 

lebih hebat dibanding yang pernah dilakukan oleh tongkat Lucius. Tongkatmu 

sekarang mengandung daya hebat dari keberanianmu, plus keahlian Voldemort 

sendiri: bagaimana mungkin tongkat Lucius Malfoy bisa bertahan? 

“Tapi jika tongkatku begitu hebatnya, kenapa Hermione sanggup mematahkannya?” tanya Harry. 

“Anakku sayang, efeknya hanya tertuju kepada Voldemort saja, yang begitu 

menyimpang terhadap hukum-hukum sihir terdalam. Hanya terhadap dialah 

tongkat itu secara tak biasa menjadi berkekuatan hebat. Di luar itu, tongkat 

itu cuma sebuah tongkat biasa saja, sama seperti yang lain, walaupun aku yakin 

tetaplah tongkat yang bagus”, Dumbledore mengakhiri. 

Harry duduk merenungkan semua itu untuk beberapa lama, atau bisa jadi 

hanya sekian detik. Sukar sekali mengetahui hal-hal semacam waktu di 

tempat ini. 

“Dia membunuhku dengan tongkatmu” 

“Dia gagal membunuhmu dengan tongkatku”, koreksi Dumbledore. “Aku pikir 

kita bisa setujui bahwa kau tidak mati – walau, tentu saja, “katanya 

menambahkan, seakan takut bersikap telah lancang, “Aku tak menganggap 

remeh penderitaanmu, yang pastilah sangat luar biasa” 

“Tapi saat ini aku merasa senang”, kata Harry sambil memandangi tangan 

Dumbledore yang bersih tanpa cacat. “Kita ini sebenarnya ada di mana?” 

“Wll, justru aku yang ingin bertanya kepadamu”, kata Dumbledore 

sambil melihat sekeliling. “Menurutmu kita ada di mana?” 

Harry tak tahu sebelum Dumbledore bertanya. Tapi sekarang dia tahu dia sudah 

siap dengan jawaban. 

“Kelihatannya”, katanya perlahan, “seperti stasiun King’s Cross. Kecuali yang 

ini lebih bersih dan kosong, dan tak kelihatan ada kereta api” “Stasiun King’s 

Cross!” Dumbledore tertawa kecil, “Wah, betulkah?” 

“Memangnya Anda pikir dimana?” tanya Harry, sedikit membela diri. 

“Nak, aku tak tahu sama sekali. Ini, ibarat kata orang, adalah pestamu” 

“Harry tak mengerti apa artinya itu; Dumbledore sedang membuatnya marah. 

Harry meliriknya, lelu teringat akan pertanyaan yang lebih penting dibanding 

soal tempat ini. 

“Deathly Hallows”, katanya, dan dia senang melihat kata-kata itu menghapus 

senyuman di wajah Dumbledore. 

“Ah, ya”, katanya. Dia malah terlihat agak kuatir. 
Well?” 

Untuk kali pertama sejak Harry bertemu Dumbledore, dia terlihat seperti 

bukan seorang yang berumur tua, sangat kurang dari itu. Sekilas dia terlihat 

bagaikan anak kecil yang tertangkap basah melakukan pelanggaran. 

“Bisakah kau memaafkanku?”, katanya. “Bisakah kau memaafkanku yang tidak 

mempercayaimu? Tidak menceritakan kepadamu, Harry? Aku Cuma takut kau 

akan gagal sebagaimana aku telah gagal. Aku cuma kuatir kau akan melakukan 

kesalahan yang aku lakukan. Aku mengharapkan pengampunanmu Harry. 

Sakarang aku menyadari kalau kau ternyata lebih baik daripada yang aku kira” 

“Anda ini bicara apa?” tanya Harry yang kaget dengan nada suara 

Dumledore, dengan airmata yang mendadak ada di matanya. 

“Hallows, Hallows,” gumam Dumbledore. “Impian seorang yang putus asa!”“Tapi 

itu nyata!”“Nyata dan berbahaya, dan pemikat orang-orang bodoh”, kata 

Dumbledore. “Dan aku salah 

satu orang bodoh itu. Tapi kau tahu bukan? Aku tak punya rahasia lagi darimu. 

Kau tahu”“Aku tahu apa?”Dumbledore memutar tubuhnya menghadap Harry, 

dan airmata masih berkilauan di mata

biru terangnya.

“Penguasa Maut , Harry, penguasa Maut! Apakah pada akhirnya aku lebih baik 

dariVoldemort?”“Tentu saja”, kata Harry. “Tentu saja – kenapa Anda bisa 

bertanya begitu? Anda tak pernah 

membunuh jika Anda bisa menghindarinya”“Betul, betul”, kata Dumbledore, dan 

dia bagaikan anak kecil yang mencari peneguhan. “Namun begitu, aku juga 

mencari cara mengalahkan kematian, Harry”

“Tapi tidak dengan cara yang dia lakukan”, jawab Harry. Setelah semua 

amarahnya terhadap Dumbledore, rasanya ganjil duduk di sini, di bawah 

langit-langit berkubah, dan membela Dumbledore terhadap dirinya sendiri.

“Hallows, bukan Horcrux” 

“Hallows,” gumam Dumbledore, “bukan Horcrux. Tepat sekali.” 

Ada jeda sejenak. Makhluk di belakang mereka merintih, tapi Harry tak lagi 

menoleh. 

“Grindelwald juga mencarinya?” tanyanya. 
Dumbledore menutup matanya sejenak, lalu mengangguk. 

“Itulah hal utama yang menarik kami bersama”, katanya perlahan. “Dua anak 

pintar dan sombong dengan obsesi bersama. Dia ingin menjadi Godric’s Hollow, 

sebagaimana aku yakin kau sudah bisa menebaknya, karena makam Ignotus 

Peverell. Dia ingin menjelajahi tempat dimana sang saudara ke-3 wafat”. 

“Jadi itu semua benar?” tanya Harry, “Peverell bersaudara –“ 

“- adalah tiga bersaudara hikayat itu”, kata Dumbledore sambil mengangguk. “Ya, 

aku pikir begitu. Kalau tentang apakah mereka berjumpa dengan Maut di jalanan 

sunyi…aku kira lebih condong kalau Peverell bersaudara adalah ahli-ahli sihir 

berbakat dan berbahaya yang berhasil menciptakan benda-benda jimat tersebut. 

Hikayat bahwa mereka adalah benda Keramatnya (the Hallows) sang Maut 

sendiri, rasanya cuma legenda yang mungkin timbul di sekitar jimat-jimat ciptaan 

mereka itu. 

“Jubah Gaib, sebagaimana kau tahu, diteruskan turun temurun abad demi abad, 

ayah ke anak laki-laki, ibu ke anak perempuan, terus sampai kepada keturunan 

terakhir Ignotus yang masih hidup, yang tempat lahirnya sama dengan Ignotus, 

di Godric’s Hollow” 

Dumbledore tersenyum kepada Harry 

“Aku?” 

“Kau. Aku tahu kau sendiri sudah menduga-duga, kenapa Jubah itu ada di 

tanganku di malam kedua orangtuamu wafat. James memperlihatkannya kepadaku 

beberapa hari sebelumnya. Hal itu membuat jelas sejumlah pelanggarannya yang 

tak terdeteksi di sekolah! Aku hampir-hampir tak percaya apa yang aku lihat. 

Aku minta pinjam, untuk memeriksanya. Aku sudah lama berhenti bermimpi untuk 

menyatukan benda-benda Keramat itu (the Hallows) tapi aku tak sanggup 

menahan diri, tak sanggup menahan diri untuk tidak melihat lebih dekat…itu 

adalah Jubah jenis yang belum pernah aku lihat sebelumnya, sangat tua, 

sempurna dari segala segi, dan kemudian ayahmu wafat, dan akhirnya aku 

memiliki dua Benda Keramat, untuk diriku sendiri!” 

Nada suaranya jelas terdengar pahit. 

“Tetap saja Jubah itu tak bisa membantu mereka selamat”, kata Harry cepat. 

“Voldemort tahu dimana ayah dan ibu. Jubah itu tak bisa membuat mereka 

tahan kutukan”. 

“Benar,” Dumbledore mendesah. “Benar.
Harry menunggu, tapi Dumbledore tak bicara, jadi dia bertanya.. 

“Jadi Anda sudah berhenti mencari Benda-benda Keramat ketika melhat Jubah 

Gaib?” 

“Oh ya”, sahut Dumbledore lirih. Sepertinya dia memaksakan diri menatap 

mata Harry. “Kau tahu apa yang terjadi. Kau tahu. Kau tak bisa membenci aku 

lebih dari aku benci diri sendiri” 

“Tapi aku tak membenci Anda -” 

“Seharusnya kau benci”, kata Dumbledore. Dia menarik nafas dalam-dalam. 

“Kau tahu rahasia sakitnya saudara perempuanku, apa yang dilakukan para 

Muggle itu, jadi apa dia jadinya. Kau tahu kalau ayahku membalas dendam, 

dan membayar harganya, mati di Azkaban. Kau tahu kalau ibuku 

mengorbankan hidupnya demi memelihara Ariana” 

“Aku benci itu semua Harry” 

Dumbledore mengatakan hal itu terus terang, dengan nada dingin. Dia sekarang 

memandang lewat atas kepala Harry, ke kejauhan. 

“Aku punya bakat, aku hebat. Aku ingin melarikan diri. Aku ingin bersinar-sinar. 

Aku ingin kemuliaan” 

“Jangan salah mengerti”, katanya, rasa pedih memancar di wajahnya sehingga dia 

kembali terlihat sangat tua. “Aku sayang mereka, sayang orangtuaku, sayang 

saudaraku laki-laki dan perempuan, tapi aku egois, Harry. Lebih egois daripada 

yang bisa kau - orang yang sangat tidak mementingkan diri sendiri- bisa 

bayangkan. 

“Jadi sewaktu ibuku wafat, dan kepadaku jatuh tanggung jawab menjaga saudara 

perempuan yang sudah rusak dan saudara laki-laki yang tidak patuh, aku kembali 

ke kampungku dengan rasa marah dan pahit. Terperangkap dan disia-siakan, 

pikirku! Dan tentu saja, dia datang…” 

Dumbledore kembali menatap langsung ke dalam mata Harry. 

“Grindelwald. Kau tak bisa bayangkan betapa gagasan-gagasannya menawanku 

Harry, membakarku. Para Muggle dipaksa tunduk. Kami para ahli sihir berkuasa. 

Grindelwald dan aku sendiri, pemimpin revolusi yang muda yang agung. 

“Aku punya sejumlah ganjalan dalam hati. Aku tenangkan kata hatiku dengan 

kata-kata kosong. Tujuannya kan untuk kebaikan yang berskala lebih besar dan 

setiap kerugian yang ditimbulkan akan dibayar beratus kali lipat demi 
kepentingan para ahli sihir. Tahukah aku di dasar hatiku, siapa Gellert 

Grindelwald itu? Aku rasa aku tahu, tapi aku menutup mata. Kalau rencana kami 

terwujud, semua mimpiku akan jadi kenyataan. 

Dan pusat dari rencana kami adalah Benda-benda Keramat sang Maut (Deathly 

Hallows)! Betapa benda-benda itu memukaunya, memukau kami berdua! Tongkat 

yang tak terkalahkan, senjata yang akan memberikan kami kekuasaan! Batu 

Kebangkitan (Resurrection Stone) – bagi dia, walau aku pura-pura tak tahu, itu 

artinya pasukan Inferi! Buatku, aku akui, itu artinya kembalinya kedua 

orangtuaku, dan terangkatnya tanggung jawab dari pundakku” 

“Dan Jubah Gaib…entah kenapa kita tak pernah bicara banyak tentang Jubah itu, 

Harry. Kita berdua cukup mampu menyembunyikan diri tanpa Jubah itu; Jubah 

itu memang punya sihir sejati yaitu bisa menyembunyikan dan melindungi baik 

pemiliknya maupun orang lain. Aku pikir jika kami menemukannya Jubah itu akan 

dapat digunakan menyembunyikan Ariana, tapi ketertarikan kami terhadap Jubah 

itu utamanya adalah bahwa ia akan membuat trio Benda-benda Keramat itu, 

karena menurut legenda barangsiapa bisa menyatukan ketiga benda itu, dia akan 

menjadi penguasa maut yang sejati, yang dalam pengertian kami berarti ‘tak 

terkalahkan’”

“Penguasa maut yang tak terkalahkan, Grindelwald dan Dumbledore! Dua 

bulan penuh kegilaan, mimpi-mimpi kejam, dan penelantaran 2 anggota 

keluarga yang ditinggalkan kepadaku” 

“Dan kemudian…kau tahu apa yang terjadi. Kenyataan datang kembali lewat 

saudara laki-lakiku yang buta huruf dan jauh lebih disukai orang. Aku tak ingin 

mendengar kebenaran yang diteriakkannya kepadaku. Aku tak mau dengar bahwa 

aku tak mungkin bisa pergi mencari Benda-benda Keramat dengan adanya 

saudara perempuan yang rapuh dan tak stabil bersamaku.” 

“Pertengkaran berubah jadi perkelahian. Grindelwald lepas kendali. Itulah yang 

selama ini aku rasakan tentang dia, walau aku pura-pura tidak merasakannya, 

tapi sekarang menjadi kenyataan. Dan Ariana…setelah selama ini dijaga dan 

dilindungi ibu…terbaring mati di lantai.” 

Dumbledore tersendat dan mulai menangis tanpa sungkan. Harry menyodorkan 

tangan dan gembira ternyata bisa menyentuhnya: Dia cengkeram lengannya 

dengan erat dan perlahan Dumbledore kembali bisa mengontrol diri. 

“Well, Grindelwald kabur, sebagaimana semua orang -kecuali aku- perkirakan. 

Dia lenyap, bersama dengan rencananya untuk merampas kekuasaan, menyiksa 

para Muggle, dan mimpinya akan Benda-benda Keramat, mimpi yang disemangati 
dan ditolong olehku sendiri. Dia kabur, sedangkan aku ditinggal untuk 

menguburkan saudaraku, dan untuk belajar hidup bersama rasa bersalah dan 

penyesalan, harga noda di wajahku” 

“Tahun-tahun berlalu. Terdengar rumor tentang dia. Ada yang bilang dia telah 

memperoleh sebuah tongkat yang berkekuatan luar biasa. Sementara itu aku 

ditawari posisi di Kementerian Sihir, bukan hanya sekali, tapi beberapa kali. 

Dengan serta merta aku menolak. Aku telah belajar kalau kepadaku tak 

seharusnya dipercayakan kekuasaan”. 

“Tapi Anda pasti lebih baik, jauh lebih baik dibanding Fudge atau Scimgeour!” 

seru Harry. 

“Begitukah”, tanya Dumbledore. “Aku tak yakin. Sudah terbukti, sewaktu anak 

muda, kalau kekuasaan adalah kelemahan dan godaan buatku. Kekuasaan adalah 

sesuatu yang bikin penasaran, Harry, tapi mungkin orang yang cocok memegang 

kekuasaan adalah orang yang tak pernah menginginkannya. Orang yang, seperti 

kau sendiri, disodori jubah kepemimpinan, dan menerimanya karena memang 

harus, dan terkejut karena mereka mengenakannya secara benar. 

“Aku lebih aman berada di Hogwarts. Aku pikir aku ini guru yang baik –“ 

“Anda yang terbaik –“ 

“- kau baik sekali, Harry. Tapi sementara aku menyibukkan diri dengan 

melatih ahli-ahli sihir muda, Grindelwald menyusun pasukannya. Mereka bilang 

dia takut kepadaku, dan mungkin itu benar, tapi tidak sebesar takutku 

kepadanya” 

“Oh, bukan kematian”, kata Dumbledore menjawab pandangan bertanya Harry. 

“Bukan apa yang dapat dilakukannya secara sihir kepadaku. Aku tahu kami sama 

kuat, mungkin aku sedikit lebih unggul. Kebenaranlah yang aku takutkan. Soalnya 

aku tak pernah tahu siapa diantara kami pada pertarungan terakhir yang 

mengerikan itu yang telah mengeluarkan kutukan yang membunuh saudaraku. Kau 

boleh menyebutku pengecut; kau bisa jadi benar Harry. Aku takut sekali 

melebihi apapun kalau ternyata akulah yang telah membunuhnya, bukan semata￾mata dengan kecongkakan dan ketololanku, melainkan bahwa akulah yang benar￾benar mengeluarkan serangan yang mencabut nyawanya. 

“Aku kira dia tahu mengenai hal itu. Aku kira dia tahu apa yang membuatku

takut. Aku tunda-tunda berjumpa dengannya hingga akhirnya terasa terlalu 

memalukan kalau menolak terus. Orang-orang bermatian dan dia tampaknya tak 

terhentikan, dan aku harus melakukan apa yang aku bisa.” 
Well, kau tahu apa yang terjadi selanjutnya. Aku memenangkan duel 

itu. Aku memenangkan tongkat itu.” 

Kembali hening. Harry tidak menanyakan apakah Dumbledore sudah tahu siapa 

yang membunuh Ariana. Dia tak ingin tahu, dan lebih tak ingin lagi Dumbledore 

memberitahunya. Akhirnya dia tahu apa yang Dumbledore akan lihat sewaktu dia 

memandang ke dalam cermin Erised, dan kenapa Dumbledore begitu mengerti 

akan pesona cermin itu atas Harry. 

Mereka duduk dalam diam untuk beberapa lama, dan rintihan makhluk di 

belakang mereka tak lagi mengusik Harry. 

Akhirnya dia berkata, “Grindelwald mencoba mencegah Voldemort mengejar 

tongkat itu. Dia berbohong, berpura-pura dia tak pernah memilikinya, walau 

Anda tahu.” 

Dumbledore mengangguk, menunduk, air mata masih berkilauan di hidung 

bengkoknya. 

“Orang-orang bilang dia menyesal bertahun-tahun sesudahnya, sendirian di 

selnya di Nurmengard. Aku harap itu benar. Aku ingin dia merasa ngeri dan malu 

akan apa yang telah dilakukannya. Mungkin saja kebohongannya terhadap 

Voldemort adalah bentuk upayanya untuk menebus kesalahannya…mencegah 

Voldemort merebut Benda-benda Keramat itu…” 

“…atau mencegahnya menerobos makam Anda?”, Harry berpendapat, dan 

Dumbledore menyeka matanya. 

Setelah jeda pendek Harry berkata, “Anda mencoba menggunakan Batu 

Kebangkitan (Resurrection Stone)” 

Dumbledore mengangguk. 

“Ketika kutemukan setelah begitu lama, terkubur di rumah Gaunts yang 

terlantar, Benda Keramat yang paling aku dambakan, meskipun di masa mudaku 

aku menginginkannya untuk maksud yang sama sekali lain – aku lupa diri, Harry, 

aku lupa kalau kini aku adalah sebuah Horcrux, bahwa cincin itu pasti akan 

membawa kutukan. Aku mengambilnya, aku mengenakannya, dan untuk sedetik 

lamanya aku membayangkan akan bertemu Ariana, dan ibuku, dan ayahku, dan 

mengatakan berapa aku sangat, sangat menyesal. Aku…” 

“Aku bodoh sekali, Harry. Setelah begitu lama aku tak belajar apapun. Aku tak 

layak menyatukan Benda-benda Keramat, aku sudah membuktikannya dulu, dan 

yang ini adalah bukti terakhir. 
“Kenapa?”, kata Harry. “Itu wajar! Anda ingin bertemu mereka kembali. Apa 

salahnya?” 

“Mungkin yang bisa menyatukan Benda-benda Keramat adalah satu di antara 

sejuta, Harry. Aku cuma layak memiliki yang paling tak berarti, yang paling tak 

luar biasa. Aku layak memiliki Elder Wand (tongkat Tua-tua) dan tidak 

menyombongkannya dan tidak memakainya untuk membunuh. Aku diperlayakkan 

memakai dan menjinakkannya, karena aku mengambilnya bukan demi keuntungan, 

tapi demi menyelamatkan orang lain darinya” 

“Tapi Jubah Gaib, aku mengambilnya karena penasaran, ajdi Jubah itu takkan 

pernah bisa berfungsi untukku sebagaimana ia berfungsi untukmu, pemilik 

sejatinya. Batu itu aku akan pakai untuk memanggil kembali mereka yang sudah 

tenang di alam sana, bukan untuk mempraktekkan pengorbanan diri, seperti yang 

kau lakukan. Kaulah yang pantas jadi pemilik Benda-benda Keramat itu.” 

Dumbledore menepuk tangan Harry, dan Harry menatap mata kakek itu dan 

tersenyum; tak bisa ditahannya dirinya. Siapa yang masih bisa marah kepada 

Dumbledore sekarang? 

“Kenapa Anda harus membuatnya begitu sukar?” 

Senyum Dumbledore bergetar. 

“Aku mengandalkan Nona Granger untuk memperlambat kau, Harry. Aku kuatir 

kepala panasmu itu akan menguasai hatimu yang baik. Aku takut kalau aku 

beberkan semuanya lengkap dengan fakta-fakta tentang benda-benda penuh 

godaan itu, kamu akan merebut Benda-benda Keramat seperti yang aku lakukan, 

pada waktu yang keliru, untuk tujuan yang keliru. Jika kau memegang benda￾benda itu, aku mau kau melakukannya dengan cara selamat. Kaulah penguasa 

sejati maut, karena penguasa sejati tak akan lari dari Maut. Dia pasrah bahwa 

dia akan mati, dan dia mengerti bahwa ada hal-hal yang jauh lebih buruk di dunia 

orang hidup dibanding dunia orang mati. 

“Dan Voldemort tak pernah tahu tentang Benda-benda Keramat itu?” 

“Aku pikir begitu, karena dia tak mengenali Batu Kebangkitan yang dia ubah 

menjadi sebuah Horcrux. Tapi seandainyapun dia tahu, Harry, Aku ragu dia akan 

tertarik dengannya kecuali benda yang pertama. Dia tak akan merasa butuh 

JubahGaib, dan mengenai batu itu, memangnya siapa yang dia ingin hidupkan lagi? 

Dia takut alam kematian. Dia tidak punya cinta” 

“Tapi Anda memperkirakan dia akan mencari tongkat itu?” 

“Tapi Anda ingin agar aku kembali?” 

“Aku pikir”, kata Dumbledore, “jika kau memilih untuk kembali, ada kemungkinan 

dia akan tamat riwayatnya untuk selamanya. Aku tak bisa menjamin. Tapi satu hal 

yang kutahu, Harry adalah ini: apa yang kau takutkan kalau kau kembali, tidaklah 

sebesar apa yang ditakutkan olehnya” 

Harry kembali melirik makhluk kasar yang sedang gemetar dalam bayang-bayang 

di bawah kursi itu. 

“Jangan kasihani mereka yang mati, Harry. Kasihanilah mereka yang hidup, dan 

yang terutama, mereka yang hidup tanpa cinta. Dengan kembalinya kau, bisa 

dipastikan akan berkruang jiwa-jiwa yang disiksa, berkurang keluarga-keluarga 

yang dicerai-beraikan. Jika menurutmu itu cukup sebagai tujuan, maka untuk 

saat ini kita ucapkan selamat berpisah”. 

Harry mengangguh dan mendesah. Meninggalkan tempat ini takkan sesukar 

berjalan masuk hutan sebelumnya, tapi di sini hangat, terang dan damai dan dia 

tahu dia akan kembali ke tampat dimana ada kesakitan dan rasa takut akan lebih 

banyak korban. Dia bangkit berdiri, dan Dumbledore berbuat yang sama, dan 

mereka saling berpandangan begitu lamanya. 

“Terakhir, seritahukan satu hal”, kata Harry. “Apa ini sungguh-sungguh nyata? 

Atau hanya terjadi dalam kepalaku?” 

Wajah Dumbledore berseri-seri, dan suaranya terdengar kencang dan kuat 

dalam telinga Harry meskipun kabut terang mulai tirun kembali, menutupi 

sosoknya. 

“Tentu saja ini terjadi dalam kepalamu, Harry, tapi kenapa pula dianggap 

tidak sungguh-sungguh nyata?” 

BAB 36: KELEMAHAN DALAM RENCANA 

Dia kembali terbaring menghadap tanah. Bau hutan memenuhi lubang hidungnya. 

Dia bisa merasakan tanah keras dan dingin dibawah pipinya, dan gagang 

kacamatanya yang terhantam dari samping akibat jatuhnya mengiris pelipisnya. 

Seluruh tubuhnya gatal, dan bagian dimana Kutukan Pembunuh (Killing Curse) 

menghantamnya terasa seperti luka akibat tinju besi. Dia tak bergerak tapi 

tetap berada di tempat dia jatuh, dengan kedua lengan tertekuk membentuk 

sudut aneh, dan mulut terbuka. 

Dia berharap mendengar sorak-sorai kemenangan dan kegembiraan atas 

kematiannya, namun yang terdengar memenuhi udara adalah langkah kaki yang
tergopoh-gopoh, bisik-bisik dan gumaman. 

“Tuanku…Tuanku…” 

Itu suara Bellatrix, dan suaranya seolah ditujukan buat seorang kekasih. Harry 

tak berani membuka mata tapi membiarkan indera lainnya mengenali situasi. 

Dia tahu tongkatnya masih terselip dibawah jubahnya karena bisa dirasakannya 

terjepit di antara tanah dan dadanya. Sedikit tekanan dibagian perutnya 

memberitahu bahwa Jubah Gaib masih ada di sana, tersembunyi dari 

pandangan. 

“Tuanku…” 

“Itu sudah cukup…” suara Voldemort. 

“Langkah kaki makin banyak. Sejumlah orang mundur dari satu titik Sangat 

ingin melihat apa yang sedang terjadi dan apa sebabnya, Harry membuka 

matanya sesedikit mungkin. 

Voldemort terlihat mencoba berdiri. Sejumlah Pelahap Maut buru-buru 

menjauh darinya, kembali ke gerombolan yang melingkari tempat terbuka itu. 

Hanya Bellatrix yang tetap Tinggal di belakang, berlutut di sisi Voldemort. 

Harry menutup mata kembali dan mempertimbangkan apa yang telah dilihatnya. 

Para Pelahap Maut tadi berkerumun di sekeliling Voldemort, yang sepertinya 

telah terjatuh ke tanah. Sesuatu telah terjadi ketika dia menghantam Harry 

dengan Kutukan Pembunuh. Apa Voldemort tadi pingsan? Sepertinya begitu. 

Mereka berdua sama-sama jatuh tak sadarkan diri, dan sekarang keduanya 

kembali… 

“Tuanku, Biar aku –“ 

Aku tak butuh bantuan”, kata Voldemort dingin, dan meski tak bisa melihatnya 

Harry membayangkan Bellatrix menjulurkan tangan hendak menolong. “Anak 

itu…sudah matikah dia?” 

Keheningan yang amat sangat di tempat itu. Tak ad ayang mendekati Harry, tapi 

dia merasakan tatapan mata berpusat kepadanya; seolah-olah tatapan itu 

mendesaknya masuk ke tanah, dan dia takut sewaktu-waktu jari atau kelopak 

matanya bergerak. 

“Kau”, kata Voldemort dan terdengar suara letupan dan jeritan kecil. “Periksa 

dia. Beritahu apa dia sudah mati” 

Harry tak tahu siapa yang diperintah itu. Dia hanya bisa berbaring di sana 
dengan jantung yang berdebum-debum kencang, dan menunggu diperiksa, tapi 

pada saat yang sama sedikit lega karena Voldemort kuatir mendekatinya, karena 

Voldemort curiga rencananya tidak berjalan baik… 

Tangan-tangan, lebih lembut dari yang dia perkirakan, menyentuh wajah Harry, 

menarik kelopak matanya, menyelinap ke balik bajunya, turun ke dadanya dan 

merasakan jantungnya. Dia bisa mendengar nafas pendek-pendek wanita itu, 

rambutnya yang panjang menggelitik wajahnya. Harry tahu dia bisa merasakan 

dentaman jantungnya. 

“Apakah Draco masih hidup? Apa dia di kastil?” 

Bisikan itu hampir-hampir tak terdengar, dan bibirnya hapi rmenyentuh telinga 

Harry, kepalanya menunduk begitu rendah sampai-sampai rambutnya 

menghalangi wajahnya dari pandangan mereka yang memperhatikan. 

“Ya” 

Dia merasakan tangan di atas dadanya mengejang: kuku-kukunya menusuk 

Harry. Lalu tangan itu ditarik. Dia sudah bangkit. 

“Dia sudah mati!” seru Narcissa Malfoy kepada semua yang menonton. 

Dan kini mereka berteriak-teriak, menyorakkan kemenangan dan membanting￾banting kaki ke tanah, dan lewat garis matanya Harry melihat ledakan cahaya 

merah dan perak melesat ke udara sebagai perayaan. 

Masih berpura-pura mati di tanah, dia mengerti. Narcisaa tahu satu-satunya 

cara dia diperbolehkan memasuki Hogwarts, dan menemukan anaknya, adalah 

sebagai bagian dari pasukan pemenang ini. Dia tak lagi peduli apakah 

Voldemort menang. 

“Kau lihat?”, lengking Voldemort mengatasi keriuhan itu. “Harry Potter mati di 

tanganku, dan tak ada lagi yang bisa mengancamku sekarang! Perhatikan! 

Crucio!” 

Harry sudah menduganya, tubuhnya takkan dibiarkan tetap berada di tanah 

hutan itu tanpa hinaan; dia harus dipermalukan demi membuktikan kemenangan 

Voldemort. Dia diangkat ke udara, dan butuh seluruh keteguhan hatinya untuk 

tetap lemas, namun rasa sakit yang dia nantikan tak datang juga. Dia 

dilemparkan sekali, dua kali, tiga kali ke udara. Kacamatanya terlempar dan dia 

merasakan tongkatnya meluncur sedikit di balik jubahnya, tapi dia terus 

bersikap seolah-olah mati, dan ketika dia terlempar untuk terakhir kalinya, 

tempat itu penuh dengan ejekan dan jerit tawa. Sekarang”, kata Voldemort, “kita ke kastil dan memperlihatkan kepada 

mereka nasib pahlawan mereka. Siapa yang akan menyeret mayat ini? Tidak 

– tunggu –“ 

Kembali terdengar ledakan tawa, dan beberapa saat lama kemudian Harry 

merasakan tanah bergetar di bawahnya. 

“Kau bawa dia”, kata Voldemort. “Dia akan baik dan terlihat jelas di lenganmu, 

iya kan? Angkat teman kecilmu, Hagrid. Dan kacamatanya –pakaikan 

kacamatanya- dia harus dikenali-“ 

Dengan tenaga kuat seseorang memasangkan kembali kacamata Harry ke 

wajahnya, tapi tangan besar yang mengangkatnya sangat lembut. Harry bisa 

merasakan lengan Hagrid bergoncang akibat gelombang isaknya; air mata deras 

menerpa Harry ketika Hagrid membopongnya, dan Harry tak berani memberi 

isyarat baik lewat gerakan maupun kata-kata bahwa dia tidak mati, belum mati. 

“Ayo jalan”, kata Voldemort dan Hagrid tertatih melangkah, memaksa maju 

menerobos pepohonan yang rapat, kembali menembus hutan. Ranting-ranting 

menyambar rambut dan jubah Harry, tapi dia berbaring diam, mulutnya 

membuka, dan matanya tertutup, dan dalam kegelapan, sementara para Pelahap 

Maut berkerumun di sekitar mereka, dan sementara Hagrid terisak-isak, tak 

seorangpun yang punya pikiran untuk mengecek denyut nadi leher Harry yang 

tersingkap… 

Kedua raksasa berjalan di belakang para Pelapah Maut, menghancurkan yang 

mereka lewati; Harry bisa mendengat pepohonan patah dan tumbang sementara 

mereka lewat; hiruk pikuknya begitu hebat sampai-sampai burung-burung 

menjerit sambil terbang ke angkasa, bahkan sorak-soarai para Pelahap Maut 

tenggelam. Arak-arakan kemenangan itu terus berbaris menuju tanah terbuka 

dan sebentar sesudahnya Harry bisa merasakan dari matanya yang tertutup

bahwa kegelapan makin berkurang, dan itu berarti pepohonan mulai jarang. 

“BANE!” 

“Teriakan sekonyong-konyong Hagrid hampir saja membuat mata Harry 

terbuka. “Kalian senang sekarang? Tidak perlu betempur, dasar pengecut. 

Kalian senang Harry Potter- m-mati…? 

Hagrid tak sanggup meneruskan, tangisnya pecah. Harry menduga-duga 

berapa banyak centaurs yang sedang mengamati mereka lewat; dia tak 

berani melihatnya. Beberapa Pelahap Maut meneriakkan ejekan kepada 

centaurs sementara mereka lewat. Tak lama kemudian Harry merasakan, 

lewat segarnya udara, mereka sudah mencapai tepi hutan. 
“Stop” 

Harry mengira Hagrid pastilah dipaksa mentaati perintah Voldemort itu, karena 

Dia berhenti dengan sedikit sentakan. Dan kini hawa turun di tempat mereka 

berdiri, dan Harry mendengar bunyi kasar nafas para dementor yang berjaga￾jaga di sekitar pepohonan tepi luar hutan. Mereka tak menimbulkan akibat apa￾apa baginya sekarang. Fakta akan keselamatannya menyala dalam dirinya, 

menjadi azimat terhadap mereka, seolah-olah rusa jantan ayahnya berjaga-jaga 

di hatinya. 

Seseorang lewat dekat Harry, dan dia tahu itu adalah Voldemort sendiri karena 

dia berbicara sesaat kemudian, suaranya secara sihir berlipat kali ganda 

sehingga membahana, menghantam gendang telinga Harry. 

“Harry Potter sudha mati. Dia terbunuh ketika melarikan diri, berusaha mencari 

selamat sementara kalian menyerahkan nyawa kalian demi dia. Kami bawa 

mayatnya sebagai bukti kalau pahlawan kalian telah tiada” 

“Peperangan ini sudah kami menangkan. Kalian telah kehilangan setengah dari 

pejuang. Para Pelahap Mautku lebih banyak dibanding kalian, dan Anak Yang 

Selamat itu sudah tamat riwayatnya. Jangan ada lagi perang. Barangsiapa ingin 

terus menentang, baik laki-laki, perempuan, atau anak kecil, akan dibantai, 

begitu juga anggota keluarganya. Keluarlah dari kastil sekarang, berlututlah di 

hadapanku, dan kalian akan diampuni. Orangtua dan anak-anak kalian, saudara￾saudara kalian akan hidup dan dimaafkan, dan kalian akan bergabung denganku 

di dunia baru yang akan kita bangun bersama” 

Ada keningan baik di luar maupun di dalam kastil. Voldemort begitu dekat 

dengannya sampai-sampai Harry tak berani membuka mata lagi. 

“Mari”, kata Voldemort dan Harry mendengarnya bergerak maju, dan Harry 

dipaksa mengikuti. Sekarang Harry membuka sedikit matanya dan melihat 

Voldemort melangkah di depan mereka, membawa si ular besar Nagini di 

pundaknya, kali ini sudah tanpa kandangnya. Tapi Harry tak mungkin menghunus 

tongkat di balik jubahnya tanpa terlihat para Pelahap Maut yang berjalan di 

kedua sisi mereka sementara kegelapan perlahan makin menipis. 

“Harry”, isak Hagrid. “Oh, Harry…Harry…” 

Kembali Harry menutup rapat matanya. Dia tahu mereka sedang mendekati 

kastil dan menajamkan telinganya untuk memisahkan antara suara para Pelahap 

Maut dan derap kaki mereka dengan tanda-tanda kehidupan dari dalam kastil 

sana. 
Stop.” 

Para Pelahap Maut berhenti. Harry mendengar mereka menyebar membentuk 

garus menghadap pintu masuk sekolah itu. Dia bisa lihat, meski lewat 

matanya tertutup, kilau kemerahan yang adalah cahaya yang diarahkan 

kepadanya dari dalam aula masuk. Dia menunggu. Sewaktu-waktu orang-orang 

yang dia coba selamatkan dengan kematiannya akan melihatnya, terbaring 

mati dipangkuan Hagrid. 

TIDAK!” 

Teriakan itu terasa mengerikan karena dia tak pernah menduga atau memimpikan 

bahwa that Professor McGonagall mampu mengeluarkan suara semacam itu. Dia 

mendengar seorang wanita lain tertawa di dekatnya, dan tahu kalau Bellatrix 

gembira sekali atas keputusasaan McGonagall. Dia kembali membuka mata 

sekejap, dan melihat pintu masuk yang terbuka dipenuhi orang sementara mereka 

yang selamat dari pertempuran berjalan ke anak tangga luar untuk menghadap 

penakluk mereka dan melihat kebenaran tentang matinya Harry dengan mata 

mereka sendiri. Dia melihat Voldemort berdiri sedikit di depannya, mengelus￾elus kepala Nagini dengan satu jari putihnya. Dia tutup matanya kembali. 

“Tidak!” 

“Tidak!” 

“Harry! HARRY!” 

Suara Ron, Hermione, dan Ginny lebih mengerikan dari suara McGonagall; satu￾satunya keinginan Harry sata itu adalah untuk membalas panggilan mereka, tapi 

dia tetap berbaring diam. Dan teriakan mereka tadi memicu teriakan dan jeritan 

orang-orang lain, memaki-maki para Pelahap Maut, hingga –“ 

“DIAM!” seru Voldemort, dan terdengar letusan disertai kilatan cahaya terang, 

dan mereka semua dipaka diam. “Semua sudah berakhir. Turunkan dia, Hagrid, 

di kakiku, tempat dimana dia seharusnya berada!” 

Harry merasakan tubuhnya diturunkan ke atas rerumputan. 

“Kalian lihat?” kata Voldemort, dan Harry merasa dia melangkah maju-mundur di 

samping tempatnya tergeletak. “Harry Potter sudah mati! Kalian mengerti 

sekarang, kalian orang-orang yang tertipu?”Dia tidak ada apa-apanya, dari dulu, 

Cuma anak yang mengandalkan orang lain berkorban untuk dirinya!” 

“Dia mengalahkanmu!” teriak Ron, dan mantera Voldemort tadi pecah dan para 
pembela Hogwarts kembali menjerit-jerit dan berteriak-teriak hingga 

letusan kedua, yang lebih nyaring melenyapkan suara mereka kembali. 

“Dia terbunuh sewaktu mencoba menyelinap keluar dari halaman kastil”, kata 

Voldemort, ada kenikmatan dalam suaranya ketika mengucapkan kebohongan 

itu, “terbunuh sewaktu mencari selamat sendiri-“ 

Tapi ucapan Voldemort tiba-tiba terputus: Harry mendengar perkelahian, dan 

suara letusan lagi, kilatan cahaya, dan jerit kesakitan; dibukanya matanya 

sedikit sekali. Seseorang telah melompat keluar dari kerumunan dan menyerang 

Voldemort; dia lihat orang itu terjatuh ke tanah. Voldemort melucutinya dan 

membuang tongkat si penantang sambil tertawa. 

“Dan siapa ini?”, dia bertanya dengan suara desisan ular. “Siapa yang rela 

menunjukkan apa yang terjadi kepada mereka yang terus melawan padahal sudah 

kalah?”

 Bellatrix melontarkan tawa gembira. 

“Itu Neville Longbottom, Tuanku! Anak yang begitu merepotkan Carrow! 

Anak sang Auror, Tuanku ingat?” 

“Ah, ya, Aku ingat”, kata Voldemort sambil menatap Neville yang sedang 

berusaha berdiri kembali, tanpa senjata, tanpa perlindungan, berdiri di tanah 

tak bertuan di tengah-tengah para pejuang yang selamat dan para Pelahap 

Maut. “Tapi kau ini berdarah murni, bukan, Bocah berani?” Voldemort bertanya 

kepada Neville yang berdiri menghadapnya, tangan kosongnya mengepal. 

“Memangnya kalau betul kenapa?” kata Neville dengan suara nyaring. 

“Kau memperlihatkan semangat dan keberanian, dan kau berasal dari 

keturunan ningrat. Kau akan menjadi Pelahap Maut yang sangat berguna. Kami 

perlu orang semacam kau, Neville” 

“Aku akan bergabung jika neraka dingin membeku”, kata Neville. “Laskar 

Dumbledore !” teriaknya dan dibalas seruan dari kerumunan itu, agaknya 

Mantera Penenang Voldemort tidak cukup kuat menahan mereka. 

“Baiklah kalau begitu”, kata Voldemort, dan Harry mendengar adanya lebih 

banyak bahaya dalam suara halusnya dibanding kutukan paling hebat. “Jika itu 

pilihanmu, Longbottom, kita kembali ke rencana semula. Berdiri tegak” katanya 

pelan, “jadilah seperti itu” 

Masih mengamati dari bulu matanya, Harry melihat Voldemort menggerakkan 
 tongkatnya. Sesaat kemudian dari salah satu jendela kastil yang rusak, sesuatu 

yang mirip burung berbentuk aneh terbang dan mendarat di tangan Voldemort. 

Dia melambai-lambaikan benda itu dengan ujung jarinya dan benda itu terayun￾ayun, kosong dan acak-acakan: Topi Seleksi (Sorting Hat) 

“Takkan ada lagi Topi Seleksi di sekolah Hogwarts,” kata Voldemort. Takkan 

ada lagi pembagian kelompok. Lencana, perisai dan warna-warna leluhurku, 

Salazar Slythering cukup untuk semua orang. Bukankah begitu, Neville 

Longbottom?” 

Dia mengarahkan tongkatnya kepada Neville, yang diam kaku, dan memaksakan 

topi itu ke kepala Neville, sampai turun melewati matanya. Ada gerakan-gerakan 

dari kerumunan yang menyaksikan di depan kastil, dan serentak para Pelahap 

Maut mengangkat tongkat mereka, menghempang para pejuang Hogwarts itu. 

“Neville sekarang akan mendemonstrasikan apa yang akan terjadi kepada orang 

yang begitu bodoh terus menentangku”, kata Voldemort, dan dengan jentikan 

tongkatnya dia membuat Topi Seleksi terbakar hangus. 

Jeritan-jeritan membahana di subuh hari itu, dan Neville terbakar, terpaku 

di tempat, tak dapat bergerak dan Harry tak lagi bisa menahannya: Dia mesti 

bertindak -

Kemudian banyak peristiwa terjadi pada saat yang bersamaan. 

Mereka mendengar hingar-bingar dari perbatasan luar kompleks sekolah ketika 

apa yang terdengar seperti ratusan orang bergerombol melompati dinding 

menyerbu kastil sambil meneriakkan jerit perang. Pada saat yang sama, Grawp 

datang dari balik kastil dengan langkah beratnya dan berseru “HAGGER!”. 

Teriakannya dibalas kegaduhan kedua raksasa milik Voldemort: mereka berlari 

ke arah Grawp, langkah-langkah mereka menimbulkan getaran bagai gempa bumi. 

Lalu datanglah derap kaki-kaki berkuku dan bunyi busur yang ditarik, dan 

mendadak anak-anak panah menghujani para Pelahap Maut yang menjerit kaget 

lalu membubarkan barisan. Harry menarik Jubah Gaib dari balik jubahnya, 

mengenakannya dan melompat bangkit, sementara Nevill juga bergerak. 

Dengan satu gerakan tangkas lagi lentur Neville membebaskan diri dari 

Kutuk Ikatan Tubuh; Topi Seleksi yang sedang menyala telah terjatuh lepas 

darinya dan dia menarik sesuatu dari dalamnya, keperakan, dengan gagang 

batu delima yang berkilau -

Tebasan bilah keperakan itu tak terdengar, tenggelam oleh hingar bingar 

kerumunan yang sadang datang atau bunyi para raksasa yang sedang bertarung 

atau derap kaki para centaur, namun begitu semua mata seolah tertuju ke sana. 
Dengan satu ayunan Neville menebas putus kepala si ular yang lalu terlontar 

tinggi ke udara, berkilat dalam pancaran cahaya dari dalam ruang masuk aula, 

dan mulut Voldemort terbuka meneriakkan jerit amarah yang tak terdengar 

oleh siapapun, lalu tubuh ular itu berdebam ke tanah, dekat kakinya -

Tersembunyi di balik Jubah Gaib, Harry melontarkan Mantera Pelindung di 

antara Neville dan Voldemort sebelum Voldemort mengangkat tongkatnya. Lalu, 

mengatasi semua jeritan dan hingar-bingar dan dentaman kaki para raksasa 

yang teru bertarung, teriakan Hagrid terdengar paling nyaring. 

“HARRY!” teriak Hagrid, “HARRY – DIMANA HARRY?” 

Kekacauan merajalela. Centaur-centaur yang menyerbu membuat para Pelahap 

Maut kocar-kacir, tiap orang berusaha lolos dari injakan kaki para raksasa, dan 

bunyi bala bantuan yang satang menyerbu entah dari mana makin mendekat, 

Harry melihat makhluk-makhluk bersayap membubung di sekeliling kepala 

raksasa-raksasa milik Voldemort, thestral dan Buckbeaksang Hippogriff 

mencakari mereka sementara Grawp meninju mereka bertubi-tubi, dan kini para 

ahli sihir, pembela-pembela Hogwarts begitu juga para Pelahap Maut terdesak 

masuk ke dalam kastil. Harry menembakkan sihir dan kutukan kepada setiap 

Pelahap Maut yang terlihat, dan mereka rebah tanpa tahu apa atau siapa yang 

telah menghantam mereka, dan tubuh mereka terinjak-injak kerumunan yang 

mundur itu. 

Masih tersembunyi di balik Jubah Gaibnya Harry masuk ruang depan aula: Dia 

sedang mencari Voldemort dan melihatnya di seberang ruangan, sibuk 

melontarkan mantera dari tongkatnya sambil mundur ke dalam Aula Besar, 

sambil tak lupa memberi instruksi kepada para pengikutnya. Harry melontarkan 

lebih banyak Mantera Pelindung, dan calon korban Voldemort, Seamus Finnigan 

dan Hannah Abbott ebrgerak melewatinya ke dalam Aula Besar, dimana mereka 

bergabung dalam pertempuran yang sudah berlangsung sejak tadi. 

Dan kini semakin banyak, jauh lebih banyak orang menyerbu naik anak tangga 

depan, dan Harry melihat Charlie Weasly menyusul Horace Slughorn yang masih 

mengenakan piyama zamrudnya. Mereka sepertinya kembali memimpin orang￾orang yang tampaknya adalah para anggota keluarga dan sahabat-sahabat dari 

siswa-siswa Hogwarts yang terus bertarung bersama para pemilik toko dan 

rumah di Hogsmeade. Centaur Bane, Ronan dam Magorian menerjang masuk aula 

dengan gemerincing kuku mereka, sehingga daun pintu yang menuju dapur di 

belakang Harry terhempas lepas dari engselnya. 

Peri-peri eumah Hogwarts berbondong-bondong masuk ruang depan aula, 

menjerti-jerit sambil melambai-lambaikan pisau dan golok, dan yang memimpin 
mereka adalah Kreacher yang mengenakan liontin Regulus Black di dadanya. 

Suaranya yang besar terdengar mengatasi keriuhan.: Lawan! Lawan! Lawan demi 

Tuanku, pembela peri-peri rumah! Lawan Pangeran Kegelapan, demi nama Regulus 

yang gagah perkasa! Lawan!” 

Mereka menyayat dan menusuk mata dan pergelangan kaki para Pelahap Maut, 

wajah mereka dipenuhi kebencian, dan dimana-mana Harry melihat para Pelahap 

Maut terdesak oleh jumlah lawan yang begitu banyak, ditaklukkan dengan 

mantera, menarik anak panah yang tertancap di tubuh, ditikam di kaki oleh para 

peri rumah, atau mencoba melarikan diri, tapi tertelan kerumunan yang 

menerjang masuk 

Tapi semua belum berakhir: Harry bergerak cepat melewati mereka yang 

sedang bertarung, orang-orang yang tertawan dan masuk ke Aula Besar. 

Voldemort berada di tengah-tengah pertempuran, dan dia sedang memukul dan 

menghantam segala yang terjangkaunya. Harry tak bisa menemukan sudut yang 

bagus untuk menyerang, tapi dia terus mendekat, masih tak terlihat, dan Aula 

Besar makin dan makin ramai ketika setiap orang berusaha memaksa masuk. 

Harry melihat Yaxley terhempas ke lantai dikalahkan George dan Lee Jordan, 

melihat Dolohov terjatuh sambil menjerit dikalahkan Flitwick, melihat Walden 

Macnair terlempar ke seberang ruangan oleh Hagrid, menghantam dinding dan 

menggelincir tak sadar di lantai. Dia melihat Ron dan Neville menjatuhkan 

Fenrir Greyback, Aberforth menghantam Stunning Rookwood, Arthur dan Percy 

membuat Thicknesse tergeletak dilantai, dan Lucius dan Narcissa Malfoy 

berlari menerobos kerumunan, tanpa niat bertarung, menjerit-jerit mencari 

anak mereka. 

Voldemort sekarang berduel dengan McGonagall, Sloughorn dan Kingsley 

sekaligus, dan kebencian yang dingin memancar dari wajahnya sementara 

mereka menyerang dan mengelak di sekelilingnya tanpa bisa menghabisisnya -

Bellatrix juga sedang bertarung, lima puluh meter jauhnya dari Voldemort, 

dan seperti tuannya dia melawan tiga orang sekaligus: Hermione, Ginny dan 

Luna, yang bertarung sekuat tenaga, namun Bellatrix dapat mengimbangi 

mereka, dan perhatian Harry teralih ketika lontaran Kutukan Pembunuh 

begitu dekat ke arah Ginny, meleset hanya satu inci -

Dia berubah haluan, berlari bukan ke arah Voldemort tapi Bellatrix, tapi 

belum jauh dia berlari mendadak tubuhnya terdorong ke samping. 

“JANGAN PUTERIKU, DASAR PEREMPUAN JALANG!” 
 Nyonya Weasley melemparkan mantelnya sambil berlari, membuat 

lengannya bebas bergerak. Bellatrix berputar di tempatnya, tertawa 

terbahak-bahak melihat penantang barunya. 

“BERI AKU JALAN!” teriak Nyonya Weasley kepada ketiga gadis itu, dan dengan 

satu kibasan diapun memulai duel. Harry menyaksikan dengan ngeri bercampur 

gembira sementara tongkat Molly Weasley mengayun dan berputar, dan senyum 

Bellatrix Lestrange berubah jadi geraman. Percikan-percikan cahaya meloncat 

terbang dari kedua tongkat mereka, lantai di sekeliling kedua ahli sihir itu 

menjadi panas dan retak-retak; kedua perempuan itu bertarung untuk 

membunuh. 

“Jangan!” teriak Nyonya Weasley ketika beberapa siswa maju untuk 

membantunya. “Mundur! Mundur! Dia milikku!” 

Ratusan orang kini berbaris dekat dinding menyaksikan kedua pertarungan itu, 

Voldemort melawan tiga penantangnya dan Bellatrix vs Molly, dan Harry berdiri 

tak terlihat, bimbang antara keduanya, ingin menyerang tapi juga melindungi, 

tak bisa yakin kalau serangannya tak akan mengenai pihak yang tak bersalah. 

“Apa yang akan terjadi pada anak-anakmu setelah aku membunuhmu?” ejek 

Bellatrix, marah seperti tuannya, sambil berloncatan sementara kutukan￾kutukan Molly mengepungnya. “Ketika Ibu lenyap seperti Freddie?” 

“Kau – tidak – akan – pernah – menyentuh – anak – kami – lagi!” seru Nyonya 

Weasley. 

Bellatrix mengeluarkan tawa gembira seperti tawa sepupunya Sirius ketika 

roboh ke belakang melalui selubung, dan mendadak Harry tahu apa yang 

akan terjadi. 

Kutukan Molly meluncur di bawah lengan Bellatrix yang terentang dan 

menghantamnya di dada, tepat di atas jantungnya. 

Senyum Bellatrix membeku, matanya tampak menonjol ke luar: untuk sepersekian 

detik dia sadar apa yang terjadi, dan kemudian dia roboh, dan kerumunan 

penonton bersorak-sorai dan Voldemort menjerit. 

Harry merasa seolah-olah dirinya masuk adegan gerak-lambat: dia melihat 

McGonagall, Kingsley dan Slughorn terpental ke belakang, menggeliat-geliat 

kesakitan ketika amarah Voldemort atas jatuhnya pembantu terbaiknya, 

meledak bagaikan bom, Voldemort mengangkat tongkatnya dan 

mengarahkannya ke Molly Weasley. 
“Protego!” seru Harry, dan Mantera Pelindung mengambang di tengah Aula, dan 

Voldemort menatap sekelilingnya, mencari sumber mantera itu ketika Harry 

akhirnya menanggalkan Jubah Gaib. 

Jeritan kaget, seruan gembira dan teriakan: “Harry! DIA MASIH HIDUP!” 

terdengar sekaligus. Kerumunan itu takut, dan keadaan mendadak sangat hening 

ketika Voldemort dan Harry berpandangan satu sama lain, dan pada saat yang 

sama saling mengitari satu sama lain. 

“Aku tak mau ada yang membantu”, kata Harry keras-keras, dan dalam 

keheningan total suaranya terdengar bagaikan terompet perang. “Beginilah 

seharusnya. Akulah yang harus melakukannya” 

Voldemort mendesis. 

“Potter tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya”, katanya, mata merahnya 

melebar. “Bukan begini cara dia bertindak, bukan?. Siapa yang akan kau 

jadikan pelindungmu kali ini, Potter?” 

“Tidak ada”, kata Harry. “Tak ada lagi Horcrux. Cuma kau dan aku. Yang satu 

takkan bisa hidup jika yang satunya selamat, dan salah satu di antara kita akan 

lenyap untuk selamanya…” 

“Salah satu?” ejek Voldemort, sekujur tubuhnya menegang dan mata merahnya 

menatap tajam, bagai seekor ular yang siap menyerang. “Kau pikir kaulah 

orangnya bukan? Anak yang telah selamat karena kebetulan, dan karena 

Dumbledore telah meninggalkan kalian?” 

“Kebetulankah, ketika ibuku mati menyelamatkanku?” tanya Harry. Mereka 

berdua masih bergerak ke samping, membentuk lingkaran penuh, menjaga jarak 

yang tetap dari satu sama lain, dan bagi Harry tak ada siapapun di sana kecuali 

Voldemort . “Kebetulankah, ketika aku memutuskan bertarung di pekuburan? 

Kebetulankah, bahwa aku tak membela diri malam ini, tapi masih selamat, dan 

kembali untuk bertarung lagi?” 

“Kebetulan!” teriak Voldemort, tapi dia masih belum menyerang, dan kerumunan 

yang menonton diam membatu seolah-olah terkena mantera Pembeku, dan 

tampaknya dari ratusan orang yang berada di Aula hanya mereka berdualah 

yang bernafas. “Kebetulan dan untung-untungan, dan fakta bahwa kau meringkuk 

dan merengek di balik para pria dan wanita yang lebih hebat, dan membiarkanku 

membunuh mereka demu kau!” 

“Kau takkan membunuh siapapun lagi malam ini”, kata Harry sementara mereka 

memutar dan saling menatap mata masing-masing, yang hijau ke yang merah. 
“Kau tak akan mampu membunuh siapapun dari mereka malam ini. Kau masih 

belum mengerti juga? Aku siap mati untuk menghentikanmu menyakiti orang￾orang ini -” 

“Tapi kau tidak mati!” 

“Aku bersungguh-sungguh, dan aku melakukannya. Aku sudah melakukan apa 

yang dilakukan ibuku dulu. Mereka terlindung darimu. Belum kau perhatikan 

jugakah bahwa tak satupun manteramu yang sanggup mengikat mereka? Kau tak 

bisa menyiksa mereka. Kau tak bsia menyentuh mereka. Kau tak belajar dari 

kesalahanmu, begitu kan Riddle?” 

“Beraninya kau –“ 

“Ya, aku berani”, kata Harry. “Aku mengetahui apa yang tak kau ketahui, Tom 

Riddle. Aku mengetahui banyak hal penting yang kau tak tahu. Mau dengar 

beberapa, sebelum kau bikin kesalahan besar lain? 

Voldemort tak bicara, tapi gerakannya terhenti sejenak, dan Harry tahu 

kalau dia untuk sementara terpancing, menduga-duga apakah benar Harry 

memang tahu rahasia terakhirnya… 

“Kau mau bilang, cinta lagi?”, kata Voldemort, wajah ularnya mengejek. “Solusi 

favorit Dumbledore, cinta, yang dia bilang mengalahkan maut, meskipun cinta tak 

menghentikannya jatuh dari menara? Cinta, yang tak menghentikanku menginjak 

ibumu si darah-lumpur bagaikan kecoa, Potetr – dan tampaknya tak seorangpun 

cukup mencintaimu hingga mau maju saat ini untuk menerima kutukanku. Jadi apa 

yang akan bikin kau tak mati kalau aku serang?” 

“Cuma satu”, kata Harry, dan mereka terus mengitari satu sama lain, 

tertahan oleh satu rahasia terkahir. 

“Kalau bukan cinta yang akan menyelamatkanmu kali ini”, kata Voldemort, 

“kau pasti mengira kau punya sihir yang tak aku miliki, atau sebuah senjata 

yang lebih hebat dari punyaku?” 

“Aku kira keduanya”, kata Harry dan dia melihat wajah mirip ular itu 

memancarkan ekspresi terguncang, meski sebantar kemudian hilang; Voldemort 

mulai tertawa, dan suaranya lebih menakutkan daripada jeritan; tanpa humor dan 

gila, menggema di Aula yang hening. 

“Kau pikir kau lebih tahu sihir dibanding aku?” katanya. “Dibanding Tuan 

Voldemort yang telah mempraktekkan sihir yang bahkan belum pernah 

dimimpikan oleh Dumbledore?” 
“Oh, dia memimpikannya”, kata Harry, “tapi dia tahu lebih banyak darimu, tahu 

untuk tidak melakukan apa yang telah kau lakukan” 

“Maksudmu dia manusia lemah!” teriak Voldemort. “Terlalu lemah untuk bersikap 

berani, terlalu lemah untuk merebut apa yang bisa menjadi miliknya, apa yang 

akan jadi milikku!” 

“Tidak, dia lebih pintar darimu”, kata Harry, “ahli sihir dan pria yang lebih baik 

darimu” 

“Akulah yang membuat Albus Dumbledore mati!” 

“Pikirmu begitu”, kata Harry, “tapi kau keliru”. 

Untuk pertama kalinya kerumunan penonton bergerak ketika ratusan orang di 

sekeliling dinding menarik nafas secara serentak. 

“Dumbledore sudah mati!” Voldemort melontarkan kata-kata itu seakan-akan bisa 

membuat Harry kesakitan. “Mayatnya membusuk di makam pualam di halaman 

kastil ini. Aku sudah melihatnya, Potter, dan dia takkan kembali!” 

“Ya, Dumbledore sudah mati”, kata Harry tenang, “tapi kau tidak 

membunuhnya. Dia memilih sendiri caranya mati, memilihnya berbulan-bulan 

sebelum mati, merencanakan semua bersama orang yang kau kira adalah 

pelayanmu”. 

“Kau berkhayal”, kata Voldemort, tapi masih juga belum menyerang, dan mata 

merahnya tidak berpaling dari mata Harry. 

“Severus Snape bukan di pihakmu”, kata Harry. “Snape ada di pihak Dumbledore. 

Di pihak Dumbledore sejak kau mulai memburu ibuku. Dan kau tak pernah 

menyadarinya karena suatu hal yang tak bisa kau fahami. Kau tak pernah melihat 

Snape mengeluarkan Patronus, betul Riddle?” 

Voldemort tak menjawab. Mereka terus memutari satu sama lain bagaikan 

serigala yang bersiap saling merobek. 

“Patronus milik Snape adalah seekor kijang betina”, jawab Harry, “sama seperti 

punya ibuku, karena Snape mencintainya seumur hidupnya, sejak mereka masih 

kanak-kanak lagi. Kau seharusnya menyadari itu” dia berkata sambil melihat 

lubang hidung Voldemort mengembang, “Snape memintamu membiarkan ibuku 

tetap hidup, betul kan?” 

“Dia berhasrat kepadanya, itu saja”, seringai Voldemort, “tapi ketika dia mati, 

dia setuju bahwa masih ada wanita lain, yang berdarah murni yang lebih 
pantas untuknya –“ 

“Tentu saja dia bilang begitu padamu”, kata Harry, “tapi dia adalah mata-mata 

Dumbledore sejak kau mengancam ibuku, dan sejak saat itu dia bekerja 

menentangmu! Dumbledore sudah sekarat ketika Snape menghabisinya!” 

“Itu tak jadi masalah!” pekik Voldemort, tadi dia mendengar setiap kata 

dengan penuh perhatian, tapi sekarang mengeluarkan pekik tawa tak waras. 

“Tak jadi masalah apakah Snape di pihakku atau Dumbledore, atau masalah 

remeh apa yang mereka coba berikan! Aku menghancurkan mereka seperti aku 

menghancurkan ibumu, wanita kecintaan Snape! Tapi semuanya masuk akal, 

Potter, masuk akal secara berbeda dari yang kau fahami!”. 

“Dumbledore berusaha mencegahku memiliki Tongkat Tua-tua! Dia mau supaya 

Snape-lah yang jadi pemilik sejati tongkat itu! Tapi aku tiba di sana lebih dulu 

darimu, bocah kecil – aku memegang tongkat itu sebelum kau menyentuhnya, aku 

tahu kebenaran sebelum kau menyusul. Aku bunuh Severus Snape tiga jam yang 

lalu, dan Tongkat Tua-tua, tongkat maut, tongkat takdir benar-benar jadi 

milikku! Rencana terakhir Dumbledore gagal, Harry Potter!” 

“Yah, memang betul”, kata Harry, “Kau benar. Tapi sebelum mencoba 

membunuhku, aku sarankan kau pikirkan lagi apa yang telah kau lakukan… 

Pikirkan, tidakkah kau punya penyesalan? 

“Apa pula ini?” 

Dari semua yang telah Harry ucapkan kepadanya, melebihi rahasia yang dia 

beberkan atau ejekan yang dia sampaikan, tak ada yang membuat syok 

Voldemort selain yang ini. Harry melihat pupil matanya mengecil jadi irisan 

tipis, kulit di sekitar matanya memutih. 

“Ini kesempatan terakhirmu”, kata Harray, “Cuma ini yang masih kau 

punya…aku sudah melihat apa jadinya kau kalau kau masih meneruskan…jadilah 

seorang laki-laki, sobalah menyesali…” 

“Beraninya kau –“ kata Voldemort lagi, “Ya, aku berani”, kata Harry, “karena 

rencana terakhir Dumbledore sama sekali tidak berbalik padaku, tapi 

berbalik padamu, Riddle” 

Tangan Voldemort yang memegang Tongkat Tua-tua gemetar, dan Harry 

menggenggam tongkat Draco erat-erat. Momen yang menentukan itu, dia 

tahu, sesaat lagi akan tiba. 

“Tongkat itu masih tak berfungsi dengan baik bagimu karena kau membunuh 
orang yang salah. Severus Snape takpernah jadi pemilik sejati Tongkat Tua￾tua. Dia tak pernah mengalahkan Dumbledore” 

“Dia membunuh –“ 

“Kau menyimak tidak? Snape tak pernah mengalahkan Dumbledore! Kematian 

Dumbledore sudah direncanakan mereka berdua! Dumbledore memang ingin mati, 

tanpa dikalahkan, dialah pemilik sejati terakhir tongkat itu! Kalau rencana itu 

berjalan baik, maka kekuatan tongkat itu akan mati bersamanya, karena tongkat 

itu tak pernah dimenangkan dari dia!” 

“Tapi, Potter, Dumbledore sama saja dengan sudah menyerahkan tongkat itu 

kepadaku”, suara Voldemort bergetar dengan nada puas yang jahat. “Aku mencuri 

tongkat ini dari kubur pemilik terakhirnya! Aku ambil dia di luar kemauan tuannya 

yang terakhir! Kekuatannya jadi milikku!” 

“Kau masih belum mengerti juga rupanya, Riddle? Memiliki tongkat itu 

tidaklah cukup. Memegangnya, menggunakannya, tidak membuatnya menjadi 

milikmu sesungguhnya. Tidakkah kau dengar kata-kata Ollivander? Tongkatlah 

yang memilih tuannya…Tongkat Tua-tua mengenali tuannya yang baru sebelum 

Dumbledore wafat, seseorang yang belum pernah menyentuhnya. Tuan 

barunya melepaskan tongkat itu dari Dumbledore di luar kemauan Dumbledore 

sendiri, tanpa menyadari apa sebenarnya yang telah dia lakukan, tanpa 

menyadari bahwa tongkat paling berbahaya di dunia telah menyatakan 

kesetiaan kepadanya…” 

Dada Voldemort kembang kempis dengan cepat, dan Harry bisa merasakan 

datangnya kutukan, merasakannya terbentuk di dalam tongkat yang terarah 

ke wajahnya. 

“Pemilik sejati Tongkat Tua-tua adalah Draco Malfoy” 

Keterkejutan hampa terpampang di wajah Voldemort untuk sesaat, tapi 

kemudian berlalu. 

“Itu tak jadi masalah,” katanya pelan. “Kalaupun kau benar, Harry, taoh tak 

ada bedanya buatmu dan aku. Kau tak lagi punya tongkat burung phoneix: kita 

berduel semata-mata mengandalkan keahlian…dan setelah membunuhmu akiu 

bisa mencari Malfoy…”

Tapi kau sudah terlambat”,kata Harry. “Kesempatan terakhirmu sudah lewat. 

Aku sampai lebih dulu. Aku mengalahkan Draco berminggu-minggu lalu. Aku 

ambil tongkatnya dari dia” Harry mengacungkan tongkat di tangannya dan mata semua orang di Aula 

tertuju ke benda itu. 

“Jadi semuanya akhirnya berujung pada soal ini, bukan?” bisik Harry. “Apakah 

tongkat di tanganmu tahu kalau pemilik terakhirnya sudah dilucuti? Karena 

kalau ia memang tahu…Akulah pemilik sejati Tongkat Tua-tua” 

“Semburat cahaya merah tiba-tiba melintasi angkasa di atas mereka ketika 

sinar matahari muncul dari atas jendela dekat mereka. Cahaya itu jatuh ke 

wajah mereka berdua pada waktu yang bersamaan, sehingga Voldemort 

mendadak terlihat kabur. Harry mendengar pekikan tinggi sementara dia juga 

berseru sekeras-kerasnya ke langit sambil mengarahkan tongkat Draco: 

“Avada Kedavra!” 

“Expelliarmus!” 

Terdengar letusan bagaikan tembakan meriam, dan nyala keemasan yang meledak 

di antara mereka mereka, tepat di pusat lingkaran yang mereka bentuk, 

menandai titik dimana mantera mereka bertumbukan. Harry melihat pancaran 

hijau mantra Voldemort beradu dengan mantranya sendiri, melihat Tongkat Tua￾tua melayang tinggi, gelap kontras terhadap cahaya matahari pagi, berputar￾putar diudara bagaikan kepala Nagini, berputar menuju tuannya yang tak akan 

dibunuhnya, tuan yang pada akhirnya datang untuk mengambil kepemilikan 

tongkat itu sepenuhnya. Dan Harry, dengan kecakapan tanpa cela seorang 

Seeker, menangkap tongkat itu dengan tangannya yang bebas sementara 

Voldemort jatuh ke belakang dengan kedua lengan terbentang, mata merahnya 

yang berpupil tipis berputar ke atas. Tom Riddle menghantam lantai, tubuhnya 

layu dan mengkerut, tangan putihnya kosong, wajahnya yang mirip ular kini hampa 

sama sekali. Voldemort mati, terbunuh oleh kutukan sendiri yang berbalik 

menyerangnya, dan Harry berdiri dengan dua tongkat di tangannya, menatap 

mayat musuhnya. 

Untuk sejenak keheningan terasa mencekam, perasaan syok menggantung di 

udara: lalu kegemparan pecah di sekeliling Harry ketika jeritan, sorak sorai dan 

raungan membelah udara. Mentari pagi bersinar menerangi jendela Aula 

sementara mereka menerjang ke arah Harry, dan yang pertama mencapainya 

adalah Ron dan Hermione, dan lengan mereka memeluknya disertai teriakan 

memekakkan yang sulit dimengerti. Kemudian Ginny, Neville dan Lunapun ada di 

sana, disusul seluruh anggota keluarga Weasley dan Hagrid, juga Kingsley dan 

McGonagall dan Flitwick dan Sprout, dan Harry tak bisa mendengar satu katapun 

yang diteriakkan, dan tak bisa memastikan tangan siapa yang sedang menariknya, 

mencoba memeluk sebgaian tubuhnya, ratusan dari mereka mendesak, semuanya 
bertekad menyentuh Anak Yang Selamat, yang membuat semuanya berakhir -. 

Matahari meninggi di atas Hogwarts, dan Aula Besar terang benderang oleh 

cahaya dan kehidupan. Harry menjadi bagian utama dari apa yang berlangsung di 

sana, campuran antara tumpahan kegirangan dan perkabungan, antara dukacita 

dan perayaan. Mereka menginginkan dia di sana, pemimpin dan simbol, penyelamat 

dan penuntun mereka, dan nampaknya tak seorangpun menyadari bahwa dia sudah 

lama tak tidur dan merindukan ditemani hanya oleh beberapa diantara mereka 

saja. Dia mesti berbicara kepada mereka yang kehilangan, menggenggam tangan 

mereka, menyaksikan air mata mereka, menerima ucapan terima kasih mereka, 

menerima berita dari segala penjuru sementara pagi beranjak ke siang; bahwa di 

mana-mana orang yang terkena kutuk Imperius telah terbebas, bahwa para 

Pelahap Maut telah melarikan diri atau tertangkap, bahwa orang-orang tak 

bersalah yang dijebloskan ke Azkaban telah dibebaskan saat itu juga, dan bahwa 

Kingsley Shacklebolt telah diangkat sebagai pejabat sementara Kementerian 

Sihir. 

Mereka memindahkan mayat Voldemort dan meletakkannya di sebuah kamar di 

Aula, terpisah dari mayat Fred, Tonks, Lupin, Colin Creevey dan lima puluh 

lainnya yang gugur menentangnya. McGonagall telah menggantikan meja-meja 

Asrama, tidak lagi bahwa tiap orang harus duduk menurut Asramanya; mereka 

bercampur-aduk, guru dan murid, hantu dan orangtua, centaur dan peri-rumah, 

dan Firenze berbaring memulihkan diri di lantai, dan Grawp mengintip dari 

jendela pecah, dan orang-orang melemparkan makanan ke mulut-mulutt mereka 

sambil tertawa-tawa. Sesudah beberapa lama, lelah dan terkuras, Harry 

terduduk di bangku di samping Luna. 

“Kalau aku jadi kau, aku pasti akan mencari tempat sepi dan tenang”, katanya. 

“Ya, memang aku memerlukannya”, jawabnya. 

“Aku akan mengalihkan perhatian mereka semua”, katanya, “Pakai Jubah Gaibmu” 

Dan sebelum Harry mengucapkan apapun, Luna berteriak, “Ooohh, lihat, 

Blibbering Humdinger!!” dan menunjuk ke luar jendela. Semua yang mendengar 

menoleh dan Harry menutupi tubuhnya dengan Jubah Gaibnya dan berdiri. 

Kini dia bisa bergerak sepanjang Aula tanpa diganggu. Dia menemukan Ginny dua 

meja jauhnya; dia sedang duduk bersandar di bahu ibunya: nanti akan ada 

banyak waktu untuk mereka bicara, berjam-jam, berhari-hari, bahkan mungkin 

bertahun-tahun waktu yang akan mereka miliki. Dia melihat Neville, makan di 

kelilingi pengagum yang antusias sementara pedang Gryffindor tergeletak di 

samping piringnya. Dia melangkah di antara barisan meja dan menemukan ketiga 
anggota keluarga Malfoy, berkerumun seakan tak yakin apakah mereka patut 

atau tidak berada di sana, tapi tak ada yang memperhatikan mereka. Kemanapun 

dia mengarahkan mata, dia melihat keluarga-keluarga berkumpul kembali, dan 

akhirnya dia melihat dua orang yang kehadirannya paling dia rindukan. 

“Ini aku” gumamnya sambil membungkuk di tengah-tengah mereka, “Mau ikut 

aku?” 

Mereka segera berdiri, dan bersama-sama, dia, Ron dan Hermione meninggalkan 

Aula Besar. Sebagian besar dari anak tangga marmer telah hilang, begitu pula 

dengan pegangannya, dan serpihan-serpihan dan noda darah berkali-kali mereka 

temukan sementara mereka naik. 

Di kejauhan mereka dapat mendengar Peeves melintasi koridor￾koridor sambil menyanyikan lagu kemenangan gubahan sendiri: Kita 

berhasil, kita hancurkan mereka, wee…Potter lah orangnya, dan Voldy 

sudah lapuk, mari bersenang-senang! 

“Benar-benar menggambarkan apa yang telah terjadi bukan?” kata Roni sambil 

mendorong pintu untuk Harry dan Hermione. 

Kebahagiaan akan datang, pikir Harry, tapi saat ini perasaannya teredam oleh 

kelelahan yang amat sangat, dan sakit karena kehilangan Fred, Lupin dan Tonks 

menusuknya bagaikan luka fisik setiap dia melangkah. Tapi diatas itu semua, dia 

merasakan kelegaan luar biasa, dan keinginan yang hebat untuk tidur. Tapi 

pertama-tama dia berhutang penjelasan kepada Ron dan Hermione, yang telah 

setia bersamanya begitu lamanya, dan yang patut mengetahui kebenaran. Dengan 

bersusah payah dia ceritakan kembali apa yang telah dia lihat di Pensieve dan 

apa yang terjadi di hutan, dan mereka belum lagi menyatakan keterkejutan 

mereka ketika akhirnya mereka tiba di tujuan langkah-langkah mereka, meski 

tadi tak seorangpun menyebut-nyebut soal tujuan. 

Sejak kali terakhir dia melihatnya, gargoyle yang menjaga pintu masuk ruang 

kepala sekolah telah terdorong ke samping, berdiri berat sebelah, terlihat 

sempoyongan seperti baru kena tinju, dan Harry bertanya-tanya apakah dia 

masih bisa membedakan kata-kata kunci. 

“Bolehkah kami naik?” tanyanya kepada si gargoyle. 

“Silahkan”, kata patung itu. 

Mereka memanjat naik ke atasnya dan ke anak tangga batu berbentuk spiral 

yang bergerak naik perlahan bagaikan eskalator. Harry mendorong terbuka 

pintu di puncak. Sekilas dia melirik Pensieve yang telah dia tinggalkan di atas meja, dan 

kemudian bunyi memekakkan telinga membuatnya menjerit, membayangkan 

kutuk dan Pelahap Maut yang kembali dan Voldemort yang lahir kembali -

Tapi ternyata itu adalah bunnyi tepuk tangan. Dari sekeliling dinding, para 

kepala sekolah Hogwarts memberi dia applause sambil berdiri; mereka 

melambai-lambaikan topi mereka dan bahkan wig mereka, mereka menjulurkan 

tangan melalui pigura saling berpegangan; mereka mencari-nari di kursi 

mereka: Dilys Derwent tanpa malu-malu menangis; Dexter Fortescue 

menggoyang-goyangkan telinga-terompetnya; dan Phineas Nigellus berseru 

dengan nada tinggi, “Dan biarlah jadi perhatian bahwa Rumah Slytherin 

menjalankan peranannya! Biarlah sumbangsih kita tak dilupakan!” 

Tapi mata Harry tertuju hanya kepada pria yang berdiri di potret paling besar 

tepat di belakang kursi kepala sekolah. Air mata jatuh di balik kaca mata 

berbentuk bulan separuh, bergulir ke janggut peraknya yang panjang, dan 

kebanggaan dan rasa terima kasih yang memancar dari dirinya memenuhi Harry 

bagaikan nyanyian phoenix. 

Akhirnya Harry mengangkat tangan dan potret-potret di dinding mendadak 

diam dengan hormat, berseri-seri sambil mengusap air mata, dan dengan 

antusias menunggu Harry bicara. Namun dia mengarahkan kata-katanya 

kepada Dumbledore, dan memilih kata-katanya dengan cermat. Meskipun lelah 

dan matanya berat, dia mesti melakukan usaha terakhir, meminta saran 

terakhir. 

“Benda yang tersembunyi dalam Snitch”, kata memulai, “Aku menjatuhkannya 

di hutan. Persisnya aku tidak tahu, tapi aku tak akan mencarinya lagi. Apakah 

Anda setuju?” 

“Aku setuju Nak”, kata Dumbledore, sementara rekan-rekannya terlihat 

bingung dan penasaran. “Keputusan bijak dan berani, tapi tak kurang dari 

itulah yang aku harapkan darimu. Apa ada orang lain yang tahu dimana 

jatuhnya?” 

“Tidak ada”, kata Harry dan Dumbledore mengangguk puas. 

“Tapi aku akan menyimpan hadiah dari Ignotus”, kata Harry dan Dumbledore 

tersenyum. 

“Tentu saja, Harry, itu milikmu selamanya, sampai kau meneruskannya!” 

“Dan juga ada ini”. 
Harry mengangkat Tongkat Tua-tua, dan Ron dan Hermione memandang benda 

itu dengan ekspresi takzim yang tak disukai Harry. 

“Aku tak menginginkannya”, kata Harry. 

“Apa?” seru Ron, “Kau gila ya!” 

“Aku tahu benda ini kekuatannya hebat sekali”, kata Harry dengan nada letih. 

“Tapi aku lebih senang dengan punyaku. Jadi…” 

Dia meraba-raba ke dalam kantong yang tergantung di lehernya, dan menarik 

keluar dua paruh tongkat kayu holly yang patah, yang masih terhubung oleh bulu 

phoenix. Hermione bilang benda itu tak mungkin lagi diperbaiki, bahwa 

kerusakannya sudah terlalu parah. Yang dia tahu adalah, kalau yang ini tidak 

mampu memperbaikinya, tak ada lagi yang bisa. 

Dia meletakkan tongkat yang patah itu di atas meja sang kepala sekolah, 

menyentuhnya dengan ujung Tongkat Tua-tua, dan mengucapkan, “Reparo” 

Dan tongkatnya menyatu kembali, percikan-percikan merah terbang dari 

ujungnya. Harry tahu dia sudah berhasil. Dia angkat tongkat kayu holly dan 

phoenix itu dan mendadak merasakan hawa hangat di jemarinya, seakan-akan 

tongkat dan tangannya bersukacita atas reuni mereka. 

“Aku menaruh Tongkat Tua-tua (Elder Wand)”, dia memberitahu Dumbledore 

yang sedang menyaksikannya dengan sikap sayang dan bangga yang meluap, 

“kembali ke tempat dari mana dia datang. Dia bisa tinggal di sana. Kalau aku 

meninggal secara alami seperti Ignotus, kekuatannya akan punah bukan?” 

Tuannya tidak akan pernah dikalahkan. Dengan begitu dia berakhir” 

Dumbledore mengangguk. Mereka tersenyum satu sama lain. 

“Apa kau yakin?” kata Ron. Ada sedikit nada mendamba dalam suaranya ketika 

menatap Tongkat Tua-tua. 

“Aku pikir Harry benar”, kata Hermione pelan. 

“Tongkat itu lebih banyak bikin masalah daripada kebaikan”, kata Harry, “Dan 

sejujurnya”, dia berpaling dari potret-potret itu dan kini hanya memikirkan 

ranjang dengan empat poster yang menunggunya di Menara Gryffindor, dan 

bertanya-tanya apakah Kreacher akan membawakannya sandwicth ke sana, “Aku 

sudah cukup mendapat masalah untuk seumur hidup” 

EPILOG SEMBILAN BELAS TAHUN KEMUDIAN
Musim sepi kelihatannya tiba mendadak tahun itu. Pagi pertama bulan September 

terasa segar bagaikan apel, dan sementara keluarga kecil itu bergerak sepanjang 

jalan yang penuh suara gaduh menuju stasiun, asap kendaraan dan nafas para 

pejalan kaki mengambang bagaikan jaring laba-laba di udara dingin. Dua sangkar 

besar berderik-derik di bagian paling atas troli yang penuh muatan sementara 

kedua orangtua mendorongnya; burung hantu di dalamnya berkukuk marah, dan 

gadis berambut merah berjalan ketakutan di belakang saudara-saudara laki￾lakinya sambil memegang lengan ayahnya. 

“Tidak lama lagi, kau akan pergi juga”, kata Harry kepadanya. 

“Dua tahun”, dengus Lily, “Aku mau pergi sekarang!” 

“Orang-orang di stasiun itu menatap penasaran burung-burung hantu ketika 

keluarga itu bergerak menuju palang diantara peron 9 dan 10, suara Albus 

terdengar di telinga Harry mengatasi keramaian; putera-puteranya 

melanjutkan pertengkaran mereka yang tadi sudah di mulai di dalam mobil. 

“Nggak! Aku nggak mau jadi Slytherin!” 

“James, sudahlah!” kata Ginny. 

“Aku kan cuma bilang mungkin saja”, kata James sambil menyeringai ke arah 

adiknya. “Nggak apa-apa kan, kalau dia jadi Slyth-“ 

Tapi James menangkap tatapan mata ibunya dan terdiam. Kelima anggota 

keluarga Potter mendekati palang. Sambil melemparkan pandangan sedikit 

congkak ke arah adiknya lewat bahunya, James mengambil troli dari ibunya dan 

segera berlari. Sebentar kemudian dia sudah lenyap. 

“Kalian akan mengirimku surat kan?” Albus segera bertanya kepada ayah ibunya. 

“Setiap hari, kalau kau mau”, kata Ginny. 

“Jangan setiap hari”, kata Albus cepat, “James bilang kebanyakan orang cuma 

menderima surat dari rumah sebulan sekali” 

“Kami mengirim James tiga kali tahun lalu”, kata Ginny. 

“Dan kami nggak mau kau percaya semua apa yang dia katakan tentang 

Hogwarts”, Harry menambahkan. “Kakakmu itu suka membanyol” 

Berjalan berdampingan, mereka mendorong troli kedua maju makin cepat. Ketika 

mencapai palang, Albus mengeryit tapi tidak terjadi benturan. Malahan keluarga 

itu muncul di peron 93/4 yang diselimuti uap putih tebal yang keluar dari kereta 
Hogwarts Express. Sosok-sosok tak jelas bergerak bergerombol menembus 

kabut, kearah mana James sudah menghilang.. 

“Di mana mereka?” tanya Albus antusias sambil mengamati sosok-sosok 

kabur yang mereka lewati. 

“Mereka akan kita temukan”, kata Ginny dengan nada pasti. 

Tapi kabut itu sangat tebal, dan sulit mengenali wajah orang. Suara-suara yang 

terucap tanpa orangnya terlihat, terdengar keras tak wajar, Harry merasa 

mendengar Percy berbicara keras-keras mengenai peraturan sapu terbang, dan 

dia senang tak perlu berhenti mengucapkan salam. 

“Al, itu sepertinya mereka” mendadak Ginny berkata. 

Sekelompok orang muncul dari kabut, berdiri di samping gerbong terakhir. 

Wajah mereka makin jelas ketika Harry, Ginny, Lily, dan Albus mendekat. 

“Hi”, kata Albus dengan nada penuh kelegaan. 

Rose yang sudah mengenakan jubah Hogwartsnya yang baru, tersenyum padanya. 

“Parkirnya mulus?” Ron bertanya kepada Harry. “Kalau aku mulus. Hermione tak 

percaya aku lulus ujian mengemudi kaum Muggle, iya kan? Dia pikir aku harus 

memanterai petugas ujiannya” 

“Aku tidak bilang begitu” kata Hermione, “Aku sepenuhnya yakin padamu” 

“Sebenarnya aku memang mengacaukan si penguji dengan mantera”, bisik Ron 

ke telinga Harry ketika mereka mengangkat koper dan burung hantu Albus ke 

dalam kereta, “Aku cuma lupa melihat kaca spion, dan kau tau sendiri kan, aku 

bisa memakai mantera Indera-super untuk itu” 

Kembali ke peron, mereka menemukan Lily dan Hugo, adik Rose, sedang asyik 

mendiskusikan ke dalam asrama mana mereka akan diterima kalau nanti 

mereka masuk Hogwarts. 

“Kalau kau nggak masuk Gryffindor, kau nggak akan dapat warisan”, kata 

Ron, “Tapi nggak ada paksaan kok…” 

“Ron!” 

Lily dan Hugo tertawa, tapi Albus terlihat tenang. “Dia cuma bercanda”, kata 

Hermione dan Ginny, tapi Ron sudah tak memperhatikan lagi. Dia menangkap 

tatapan Harry dan mengangguk tak kentara ke sebuah titik 50 yard jauhnya. 

Untuk sesaat uap menipis dan tiga orang terlihat berdiri jelas di tengah kabut 

yang bergerak. 

“Lihat siapa itu” 

Draco Malfoy berdiri di sana bersama istri dan puteranya, mantel berwarna 

gelap terkancing sampai lehernya. Rambutnya terlihat menipis, makin 

menonjolkan dagu tajamnya. Anak lelaki yang baru itu mirip Draco, mengimbangi 

kemiripan Albus dengan Harry. Draco menyadari keberadaan Harry, Ron dan 

Hermione, dan Ginny menatapnya, mengangguk singkat dan berpaling. 

“Jadi itu si kecil Scorpius”, kata Ron pelan. “Pastikan kau menang melawan

dia dalam setiap ujian, Rosie. Sukurlah kau mewarisi otak ibumu” 

“Astaga Ron!” kata Hermione dengan suara tegas bercampur senang. “Jangan 

kau bikin mereka jadi musuh, masuk sekolah saja belum!” 

“Maaf, kau benar”, kata Ron, tapi tanpa bisa menahan diri menambahkan, “Tapi 

jangan terlalu akrab dengan dia, Rosie. Kakek Weasley nggak akan pernah 

memaafkan kalau kau kawin dengan darah-murni” 

“Hey!” 

James muncul kembali, terbebas dari koper, burung hantu dan trolinya, dan 

jelas-jelas bersiap mengabarkan sesuatu. 

“Teddy sudah kembali ke sana” katanya dengan nafas terengah sambil 

menunjuk lewat bahunya ke arah gumpalan uap. “Aku baru lihat dia. Dan coba 

tebak dia lagi ngapain? Merayu Victoire!” 

Dia memandangi para orang dewasa itu, jelas kecewa dengan minimnya tanggapan 

mereka. 

“Teddy! Teddy Lupin!” Merayu Victoire! Sepupu kita! Dan aku tanya dia lagi 

ngapain –“ 

“Kau mengganggu mereka?” kata Ginny. “Kau ini mirip sekali dengan Ron -” 

“- dan dia bilang dia mau mengantar kepergian Victoire! Terus dia suruh aku

pergi. Dia merayunya!” James menambahkan seakan ucapanny atadi masih 

belum jelas. 

“Oh, baik sekali kalau mereka menikah!” Lily berbisik senang. “Teddy betul-betul 

akan jadi keluarga kita!” 
“Dia sudah datang makan malam kira-kira empat kali seminggu”, kata Harry, 

“Kenapa tidak kita tuntaskan saja dengan mengundangnya tinggal di rumah?” 

“Yeah!” kata James dengan antusias. “Aku nggak keberatan sekamar dengan 

Al – Teddy bisa pake kamarku!” 

“Tidak” kata Harry tegas. “Kau hanya boleh sekamar dengan Al kalau aku ingin 

rumah kita dihancurkan” 

Dia memeriksa jam tangan tuanya yang dulu adalah milik Fabian Prewett.“Sudah 

hampir jam 11, sebaiknya kalian naik”“Jangan lupa sampaikan salam sayang kami 

kepada Neville!” Ginny memberitahu James sambil memeluknya.“Ma, aku nggak 

bisa menyampaikan salam sayang kepada seorang professor!”“Tapi kau kan kenal 

Neville –“James memutar-mutar matanya.“Di luar, ya, tapi di sekolah dia adalah 

Professor Longbottom bukan? Aku nggak bisa masuk kelas Herbologi terus 

menyampaikan salam sayan…”

Dia mengeleng-geleng membayangkan kebodohan ibunya lalu melampiaskan 

perasaannya dengan berpura-pura hendak menendang Albus.“Sampai nanti, Al. 

hati-hati dengan thestral”

“Lho, bukannya mereka nggak kasat mata? Kau bilang mereka nggak terlihat!” 

tapi James Cuma tertawa, membiarkan ibunya menciumnya, memeluk ayahnya, 

dan melompat kedalam kereta yang cepat penuh. Mereka melihatnya melambai, 

lalu berlari ke koridormencari teman-temannya.

“Kau tak perlu takut dengan thestral”, Harry memberitahu Albus. “Mereka 

lembut, tak ada yang perlu ditakuti. Lagipula kau tak akan pergi ke sekolah naik 

kereta, tapi naik perahu” Ginny memberi Albus ciuman perpisahan.

“Sampai jumpa di hari Natal”“Bye Al” kata Harry ketika puteranya itu 

memeluknya. “Jangan lupa Hagrid mengundangmu minum teh Jumat nanti. Jangan 

macam-macam dengan Peeves. Jangan berduel dengan siapapun sebelum belajar 

caranya. Dan jangan biarkan James mengerjaimu”

“Bagaimana kalau aku masuk Slytherin?”

Bisikan itu hanya ditujukan buat ayahnya, dan Harry tahu bahwa hanya momen 

perpisahan inilah yang memaksa Albus mengungkapkan betapa besar rasa 

takutnya akan hal itu.Harry berjongkok sehingga wajahnya sedikit lebih rendah 

dari wajah Albus. Dari ketiga anak Harry, hanya Albus yang mewarisi mata 

Lily.“Albus Severus”, kata Harry dengan pelan supaya tak serangpun kecuali 

Giny mendengar, dan dia maklum lalu berpura-pura melambai kepada Rose yang 

sudah di atas kereta, “kau diberi nama seperti nama dua kepala sekola 

Hogwarts. Satunya adalah Slytherin dan diamungkin adalah orang paling berani 
yang aku tahu”

“Tapi misalnya aku masuk –““- lalu asrama Slytherin akan mendapat seorang 

murid hebat bukan? Tidak akan jadi masalah buat kami, Al. Tapi kalau itu penting 

buatmu, kau akan bisa memilih Gryffindor dibanding Slytherin. Topi Seleksi 

memeperhitungkan pilihanmu juga”“Benar begitu?”“Waktu aku dulu, begitu”, kata 

Harry.Dia belum pernah menceritakan hal itu kepada anak-anaknya sebelumnya, 

dan dia melihat rasa takjub di wajah Albus ketika dia mengucapkan hal itu. Tapi 

kini pintu-pintu mulai terbanting tertutup sepanjang kereta merah tua itu, dan 

para orang tua maju melemparkan ciuman terakhir, tanda peringatan terakhir. 

Albus melompat ke dalam kereta dan Ginny menutup pintu di belakangnya. Para 

siswa bergantungan di jendala. Wajah-wajah, baik yang di dalam maupun di luar 

kereta seolah-oleh berpaling ke arah Harry. 

“Kenapa mereka semua memandangi kita?” tanya Albus ketika dia dan Rose 

menjulurkan leher memandangi siswa-siswa lainnya. 

“Nggak usah dirisaukan”, kata Ron. “Aku yang mereka pandangi. Aku sangat 

terkenal” Albus, Rose, Hugo dan Lily tertawa. Kereta mulai bergerak dan 

Harry berjalan di sisinya, memperhatikan wajah kurus anaknya yang penuh 

dengan kegembiraan. Harry terus tersenyum dan melambai, meski agak berat 

hatinya melihat anaknya menjauh darinya… 

Jejak uap yang terakhir menguap di udara musim semi. Kereta membelok di 

tikungan. Tangan Harry masih melambaikan salam perpisahan. 

“Dia akan baik-baik saja”, gumam Ginny.Sambil menatapnya, tanpa sadar Harry 

menurunkan tangannya dan menyentuh bekas luka berbentuk petir di dahi.

“Iya, aku tahu”Luka itu sudah tidak menyakitkan lagi selama 19 tahun. Semuanya 

baik-baik saja.

THE END