Jumat, 19 Januari 2024

harry potter L

mengerikan untuk mati…..dia tak pernah menginginkan ini…. 

“Harry, ayo keluar, ayo keluar!” teriak Ron, walaupun mustahil untuk melihat 

dimana letak pintunya karena asap begitu tebal. 

Dan lalu Harry mendengar jeritan lemah dan memilukan dari tengah-tengah 

kekacauan yang mengerikan dan gemuruh api yang menjilat-jilat itu. 

“Itu—terlalu—berbahaya!” teriak Ron, tapi Harry tetap berputar di udara. 

Kacamatanya membantu memberikan sedikit perlindungan dari asap tebal, dia 

menyapu badai api di bawah, mencari tanda-tanda kehidupan, lengan atau wajah 

yang belum gosong seperti kayu bakar. 

Dan dia melihat mereka: Malfoy merangkul Goyle yang tidak sadar, mereka 

berdua bertengger pada menara rapuh yang terdiri dari bangku-bangku hangus, 
dan Harry menukik. Malfoy melihat kedatangannya dan mengangkat satu tangan, 

tapi bahkan ketika Harry menyambar lengannya pun ia langsung tahu bahwa itu 

tak banyak gunanya. Goyle terlalu berat dan tangan Malfoy, berkeringat, 

tergelincir lepas dari Harry— ”JIKA KITA MATI KARENA MEREKA, AKU 

AKAN MEMBUNUHMU, HARRY!“ raung Ron, dan, ketika bara chimaera 

bergerak menuju mereka, dia dan Hermione menyeret Goyle keatas sapu

mereka dan membumbung tinggi, berputar dan bergerak naik turun di udara 

sekali lagi ketika Malfoy memanjat dengan susah payah ke belakang Harry. 

“Pintunya, cepat ke pintu!“ jerit Malfoy di telinga Harry, dan Harry melesat, 

mengikuti Ron, Hermione dan Goyle melewati asap hitam bergelombang, 

bernafas dengan susah payah: dan disekitar mereka beberapa benda tersisa 

yang belum terbakar oleh api yang menjilat-jilat, terlempar ke udara ketika 

makhluk hasil api kutukan itu mengejar mereka bagaikan sebuah perayaan

besar: piala-piala dan perisai, sebuah kalung berkilat-kilat, dan sebuah tiara 

tua yang luntur warnanya—

“Apa yang kau lakukan, apa yang kau lakukan, pintunya disana!“ jerit Malfoy, 

tapi Harry membelok tiba-tiba, menikung dan menukik. Diadem itu 

tampaknya bergerak dengan lambat, berputar dan berkilat ketika jatuh 

mendekati rongga mulut ular yang menganga, dan ia mendapatkannya, 

menangkapnya di pergelangan tangan –

Harry menikung lagi ketika tiba-tiba ular itu mengarah kepadanya dengan cepat; 

dia membumbung keatas dan melesat menuju tempat dimana -dia berdoa- pintu 

terbuka; Ron, Hermione dan Goyle tak tampak; Malfoy menjerit-jerit dan 

memegangi Harry eraterat sampai sakit rasanya. Lalu, menembus asap, Harry 

melihat bentuk bujursangkar di dinding dan mengarahkan sapu kesana, dan 

sekejap kemudian udara bersih mengisi kerongkongan dan dinding koridor 

muncul di hadapannya. 

Malfoy turun dari sapu dan menunduk, terengah-engah, batuk-batuk, 

mengeluarkan suara dari kerongkongan seperti mau muntah. Harry berputar dan 

menegakkan diri: PIntu Kamar Kebutuhan telah menghilang, Ron dan Hermione 

duduk di lantai terengah-engah disamping Goyle, yang masih tak sadar juga. 

“C-Crabbe,” kata Malfoy tersedak ketika sudah bisa bicara lagi. “C-Crabbe…” 

“Dia mati,” kata Ron tajam. 

Semua terdiam, hanya terdengar suara nafas terengah-engah dan batuk-batuk. 

Lalu beberapa dentuman besar menggetarkan kastil, dan iring-iringan sosok￾sosok transparan berkuda lewat dengan kencang, kepala-kepala mereka menjerit 
dengan darah menetes di bawah lengan. Harry berdiri sempoyongan ketika 

Perburuan-Tanpa-Kepala telah lewat, dan memandang sekeliling: Pertempuran 

masih berlangsung. Dia bisa mendengar jeritan lebih banyak dibandingkan hantu￾hantu tadi. Dia merasa panik. 

“Dimana Ginny?” tanyanya. “Tadi dia disini. Seharusnya dia kembali ke 

Kamar Kebutuhan.” 

“Ya ampun, apa menurutmu kamar itu masih bisa digunakan setelah kebakaran 

tadi?” 

tanya Ron, dia juga berdiri, menggosok dadanya dan menoleh kanan-kiri. “Apa 

kita harus berpencar dan melihat--?” 

“Tidak,” ujar Hermione, ikut berdiri. Malfoy dan Goyle masih merosot lemas di 

lantai koridor, tak satupun yang memegang tongkat. “Tetap bersama-sama. 

Menurutku kita pergi—Harry, apa itu ditanganmu?” 

“Apa? Oh yeah—“ 

Dia menarik diadem dari pergelangan tangan dan mengangkatnya. Masih panas, 

menghitam karena jelaga, tapi ketika dia melihat lebih dekat dia baru 

mengerti tulisan yang terukir diatasnya; KEPINTARAN TAK TERHINGGA 

ADALAH HARTA MANUSIA YANG PALING BERHARGA. 

Substansi seperti darah, gelap dan lengket, tampak keluar dari diadem. Tiba￾tiba Harry merasa benda itu bergetar dengan kasar, lalu terbelah di tangannya, 

dan ketika itu terjadi, rasanya ia mendengar teriakan kesakitan yang sangat 

dingin dan samar-samar, bergema bukan dari dasar kastil, melainkan dari benda 

yang baru saja pecah di tangannya. 

“Itu pasti Fiendfyre!” kata Hermione, menatap pecahan diadem. 

“Apa?” 

“Fiendfyre—api kutukan—salah satu substansi yang dapat menghancurkan 

Horcrux, tapi aku tak akan pernah berani menggunakannya—sangat berbahaya—

bagaimana Crabbe bisa tahu cara--?” 

“Pasti belajar dari Carrow bersaudara,” gerutu Harry. 

“Sayang dia tidak memperhatikan ketika mereka menjelaskan bagaimana 

menghentikannya,” ucap Ron, yang rambutnya, seperti Hermione, hangus, dan 

wajahnya hitam penuh jelaga
Jika dia tidak mencoba membunuh kita semua, aku akan menyesal dia mati.” 

“Tapi mengertikah kalian?” bisik Hermione, “ini artinya, jika kita bisa 

mendekati ularnya—“ 

Tapi ia berhenti ketika teriakan-teriakan dan suara keras pertarungan 

memenuhi koridor. Harry memandang sekeliling dan jantungnya hampir melorot: 

Pelahap Maut telah berhasil masuk Hogwarts. Fred dan Percy muncul, keduanya 

melawan orang-orang bertopeng dan bertudung. 

Harry, Ron dan Hermione berlari kearah mereka untuk membantu: Kilatan 

cahaya meluncur dimana-mana, dan orang yang bertarung dengan Percy 

mundur, cepat: kemudian tudungnya terbuka dan mereka melihat dahi lebar 

dan rambut kaku. 

“Halo, Pak Menteri!” teriak Percy, menembakkan mantra sederhana langsung 

kepada Thicknesse, yang langsung menjatuhkan tongkat dan merobek bagian 

depan jubahnya, tampak sangat tidak senang. 

“Apa sudah kubilang aku mengundurkan diri?” 

“Kau bercanda, Perce!“ teriak Fred ketika Pelahap Maut yang dilawannya 

pingsan karena kekuatan tiga mantra pemingsan sekaligus. Thicknesse jatuh ke 

lantai dengan paku-paku kecil muncul di sekujur tubuhnya; dia tampak berubah 

menjadi sesuatu yang mirip landak laut. Fred memandang Percy dengan 

perasaan senang. 

”Kau benar-benar bercanda, Perce....kurasa sudah lama kami tidak 

mendengarmu bercanda sejak....“ 

Langit meledak. Mereka sedang berkumpul bersama-sama, Harry, Ron, Hermione, 

Fred dan Percy, dua Pelahap Maut di kaki mereka, satu pingsan, satunya ber￾transfigurasi; dan dalam sekejap mata -ketika bahaya tampak sedikit terkendali￾dunia seperti terpisah, Harry merasa dirinya melayang di udara, dan yang bisa 

dilakukannya hanyalah memegang erat-erat tongkat kayu kurus senjata satu￾satunya, dan melindungi kepala dengan lengannya: Dia mendengar jeritan dan 

teriakan rekan-rekannya tanpa berharap mengetahui apa yang terjadi pada 

mereka—

Dan kemudian dunia terbagi menjadi rasa sakit dan kegelapan. Harry separuh 

terkubur dalam reruntuhan koridor yang diserang dengan brutal. Udara dingin 

menandakan bahwa sisi kastil telah hancur dan rasa panas di pipinya menunjukkan 

dia banyak mengeluarkan darah. Lalu dia mendengar tangisan yang mengiris 

hatinya, ekspresi penderitaan yang tidak mungkin disebabkan oleh api maupun kutukan, dan dia berdiri, sempoyongan, lebih takut daripada yang telah 

dirasakannya hari itu, lebih takut, mungkin daripada yang pernah dirasakan 

seumur hidupnya.... 

Dan Hermione berusaha berdiri di reruntuhan, dan tiga lelaki berambut merah 

berkumpul di tanah dimana dinding hancur berkeping-keping. Harry meraih 

tangan Hermione ketika mereka berjalan terhuyung-huyung dan tersandung batu 

serta kayu. 

"Tidak—tidak—tidak!“ seseorang menjerit. “Tidak—Fred—tidak!” 

Dan Percy mengguncang-guncang tubuh saudaranya, Ron berlutut 

disampingnya, dan mata Fred terbuka dengan hampa, bayangan tawa terakhir 

masih terukir di wajahnya. 

[1] chimaera = monster berkepala singa, bertubuh kambing dan berekor ular yang 

dapat menghembuskan api (legenda Yunani)

Editor's note:

-Mengikuti bab sebelumnya yang menggunakan istilah diadem, bukannya mahkota, 

jadi saya mengganti tiap kata mahkota di bab ini.

- Grey Lady, diterjemahkan secara harfiah jadi Wanita Kelabu. Kedengerannya 

aneh, jadi tetep dalam English.. Lagipula Lady disini maksudnya gelar.

-Er~ ada yang tau Stunning Spell di buku jadi apa? Saya lupa nih... 

-Credit to Aretha Luthien yang sudah membenarkan Kecerdasan Yang Luar 

Biasa Adalah Harta Karun Terbesar Manusia menjadi Kepintaran Tak Terhingga 

Adalah Harta Manusia Yang Paling Berharga yang telah dilihat berdasarkan 

buku kelima 

Bab 32 The Elder Wand [Tongkat Elder]

[tidak diterjemahkan, menunggu keputusan dari bab-bab sebelumnya bagaimana 

menerjemahkan The Elder Wand]

Dunia sudah berakhir, jadi kenapa pertempuran tidak berhenti, kastil jadi 

terdiam dalam kengerian, dan para pejuang meletakkan senjatanya? Benak 

Harry terjun bebas, berputar tanpa kendali, tak mampu menangkap hal yang tak 

mungkin, karena Fred Weasley tak mungkin mati, bukti-bukti yang diberikan 

oleh semua indranya pasti berbohong--
Lalu sesosok tubuh jatuh melewati lubang ledakan di sisi sekolah, dan kutukan￾kutukan berhamburan menuju mereka dari kegelapan, mengenai dinding di 

belakang kepala-kepala mereka.

“Tiarap!” seru Harry, saat makin lama kutukan semakin banyak menghujani 

mereka 

melewati malam: ia dan Ron menangkap Hermione lalu menariknya bertiarap di 

lantai, tapi Percy berbaring menutupi Fred, melindunginya dari bahaya, dan saat 

Harry berteriak, 

”Percy, ayo, kita harus bergerak!” ia malah menggelengkan kepala.

“Percy!” Harry melihat bekas airmata membelah debu yang menutupi wajah Ron 

saat ia meraih bahu kakak laki-lakinya, dan menariknya, tapi Percy bergeming. 

“Percy, kau tidak dapat melakukan apapun untuknya. Kita akan—“

Hermione berteriak, dan Harry menoleh, tak perlu bertanya kenapa. Laba-laba 

yang besar sekali seukuran mobil kecil mencoba memanjat lubang besar di 

dinding: salah satu keturunan Aragog telah bergabung dalam pertempuran.

Ron dan Harry berseru bersamaan: mantra mereka bertabrakan dan monster itu 

dihajar mundur, kaki-kakinya menyentak-nyentak mengerikan dan menghilang 

dalam kegelapan.

“Dia membawa teman!” Harry memberitahu yang lain, memandang sepintas tepi 

kastil melalui lubang di dinding yang diledakkan oleh kutukan-kutukan: lebih 

banyak laba-laba raksasa memanjat sisi bangunan, lepas dari Hutan Terlarang 

ke mana para Pelahap Maut pasti telah meranjah. Harry menembakkan Mantra 

Pembius pada mereka, monster pemimpinnya jatuh terguling menimpa rekannya. 

Jadi mereka merangkak menuruni bangunan kembali dan lenyap. Lalu lebih 

banyak kutukan bertebaran di atas kepala Harry, sangat dekat ia rasakan 

kekuatan mereka meniup rambutnya.

”Ayo bergerak, SEKARANG!”

Mendorong Hermione maju bersama Ron, Harry membungkuk meraih jenazah 

Fred dari ketiaknya. Percy, menyadari apa yang sedang Harry coba lakukan, tak 

lagi menempel pada jenazah, dan membantu; bersama, membungkuk rendah 

menghindari kutukan melayang-layang dari tanah, mereka menyeret jenazah 

Fred. 

“Di sini,” sahut Harry, dan mereka menempatkannya di sebuah ceruk yang 

tadinya tempat seperangkat baju besi. Harry tak mampu memandang jenazah 

Fred lebih lama lagi, dan setelah yakin bahwa jenazahnya disembunyikan dengan 

baik, ia mengejar Ron dan Hermione. Malfoy dan Goyle sudah menghilang, tapi di 

ujung koridor, yang sekarang penuh debu dan puing-puing, kaca sudah lenyap dari jendela, ia banyak melihat banyak orang berlari ke sana ke mari, kawan 

atau lawan ia tak tahu. Membelok di sudut, Percy meraung bagai banteng, 

”ROOKWOOD!” dan berlari secepat ia bisa ke arah seorang jangkung yang 

sedang mengejar sepasang siswa. 

”Harry, sini!” Hermione berteriak. 

Hermione sedang menarik Ron di belakang sebuah hiasan gantung. Mereka 

kelihatan seperti orang yang sedang bergulat, dan untuk sedetik yang gila, 

Harry mengira mereka berpelukan lagi; lalu dia melihat bahwa Hermione 

mencoba menahan Ron, menghentikannya berlari mengikuti Percy. 

“Dengarkan aku—DENGAR, RON!” 

“Aku ingin menolong—aku ingin membunuh para Pelahap Maut—“ 

Wajahnya berubah, coreng-moreng debu dan asap, dan ia terguncang oleh 

kemarahan dan kedukaan. 

“Ron, hanya kita yang bisa menghentikan semua ini. Tolong—Ron—kita harus 

mencari ular itu, kita harus membunuh ular itu!” sahut Hermione. 

Tapi Harry tahu apa yang dirasakan Ron; mencari Horcrux tidak memenuhi 

hasrat untuk membalas dendam; ia juga ingin bertempur, ingin menghukum 

mereka, orang-orang yang membunuh Fred, dan dia ingin mencari anggota 

keluarga Weasley yang lain, dan di atas segalanya, ingin yakin bahwa Ginny 

tidak—tapi dia tidak mengijinkan gagasan itu terbentuk di benaknya. 

“Kita akan bertempur,” sahut Hermione. “Kita harus mencapai ular itu! Tapi 

kita tidak boleh kehilangan pandangan, akan apa yang harus kita l-lakukan! 

Hanya kita yang bisa menghentikan ini!” 

Hermione sedang menangis juga, ia mengusap wajahnya dengan lengan bajunya 

yang sobek dan hangus, sambil bicara, menarik napas panjang untuk 

menenangkan diri, masih memegang Ron erat-erat, dia menoleh pada Harry. 

”Kau perlu menemukan di mana Voldemort, karena ularnya ada bersamanya, kan? 

Lakukan, Harry—lihat dia!” 

Mengapa hal itu tadinya begitu mudah? Karena bekas lukanya membara 

berjam-jam, ingin memperlihatkan padanya pikiran-pikiran Voldemort? Ia 

menutup matanya atas perintah Hermione, dan seketika itu juga jeritan￾jeritan dan ledakan-ledakan dan suarasuara peperangan terdengar sangat jauh, 

ia berdiri jauh, jauh sekali dari mereka ..Ia berdiri di tengah ruangan yang sunyi tapi anehnya ia merasa kenal, dengan 

kertas dinding yang mengelupas, semua jendela menutup kecuali satu. Suara￾suara penyerangan di kastil terdengar sayup-sayup dan jauh. Satu-satunya 

jendela yang terbuka memperlihatkan cahaya kejauhan di mana kastil itu berdiri, 

tapi di dalam ruangan gelap kecuali sebuah lampu minyak. 

Ia memutar-mutar tongkatnya di antara jemarinya, mengamatinya, pikirannya 

ada pada ruangan di dalam kastil, ruang rahasia yang hanya dia saja yang 

mengetahuinya, ruangan --seperti Kamar Rahasia— yang memerlukan kecerdasan, 

kecerdikan dan rasa ingin tahu untuk bisa menemukannya…dia yakin anak itu 

tidak dapat menemukan diadem tersebut. walau boneka Dumbledore itu sudah 

berjalan lebih jauh dari apa yang ia perkirakan ... terlalu jauh. 

”Tuanku,” sahut sebuah suara, putus asa dan tak berdaya. Ia menoleh: Lucius 

Malfoy duduk di sudut paling gelap, compang-camping, masih ada bekas-bekas 

hukuman yang ia terima setelah pelarian terakhir anak itu. Satu matanya 

tertutup dan bengkak. ”Tuanku ... Tolong ... anak saya ...” 

”Kalau anakmu mati, Lucius, itu bukan salahku. Ia tidak datang bergabung 

seperti para Slytherin yang lain. Mungkin dia memutuskan untuk berteman 

dengan Harry Potter?” 

“Tidak—tidak pernah,” bisik Malfoy. 

“Kau harus berharap ia tidak akan pernah.” 

“Apakah—apakah kau tak takut, Tuanku, bahwa Potter bisa saja mati di 

tangan orang lain selain tanganmu?” tanya Malfoy, suaranya terguncang. 

“Tidakkah lebih baik … ampuni hamba … lebih bijaksana untuk menghentikan 

perang ini, masuk ke kastil dan mencarinya s-sendiri?” 

“Jangan berpura-pura, Lucius. Kau yang ingin agar perang ini berhenti supaya 

kau bisa tahu apa yang terjadi dengan anakmu. Dan aku tidak perlu mencari

Potter. Sebelum malam berlalu, Potter yang akan mencariku.” 

Voldemort menurunkan pandangan sekali lagi pada tongkat di jemarinya. 

Tongkat ini menyusahkannya .. dan hal-hal yang menyusahkan Lord Voldemort 

harus dibereskan. 

”Pergi dan jemput Snape.” 

”Snape, T-Tuanku?”

”Snape. Sekarang. Aku perlu dia. Ada satu—pelayanan—yang kuperlukan darinya
Pergi.” Ketakutan, sedikit tersandung dalam kegelapan, Lucius meninggalkan 

ruangan. 

Voldemort terus berdiri, memutar-mutar tongkat di jemarinya, 

memandanginya. ”Ini satu-satunya jalan. Nagini,” bisiknya, melihat sekeliling, 

di sana ada seekor ular besar, gemuk tertahan di tengah-tengah udara, 

bergulung anggun dalam tempat yang telah ia buat, dimantrai, dilindungi, 

antara kandang dan tangki, berkilat dan transparan. Dengan napas tertahan, 

Harry menarik diri dan membuka matanya: saat yang bersamaan telinganya 

diserbu suara jeritan, tangisan, bantingan dan ledakan peperangan. 

”Dia ada di Shrieking Shack. Ularnya bersamanya, ular itu dilindungi oleh 

pelindung sihir di sekelilingnya. Dia baru saja mengirim Lucius Malfoy untuk 

mencari Snape.” ”Voldemort duduk di Shrieking Shack?” sahut Hermione, seperti 

terhina, ”Dia tidak—dia bahkan tidak bertempur?”“Ia pikir tidak perlu 

bertempur,” sahut Harry, “Ia kira aku yang akan mendatanginya.”“Tapi 

kenapa?”“Dia tahu aku mencari Horcruxes—dia menjaga Nagini dekatnya—jelas 

aku harus pergi padanya agar bisa mendekati ular itu—“

“Baik,” sahut Ron sambil menegakkan bahunya, “Jadi kau tak bisa pergi, itu yang 

dia 

inginkan, yang dia harapkan. Kau tinggal di sini, jaga Hermione, aku akan pergi 

dan 

mendapatkannya—”Harry memotong Ron.

”Kalian berdua tinggal di sini. Aku pergi di bawah Jubah dan akan kembali segera 

setelah aku—”

”Tidak,” sahut Hermione, ”lebih masuk akal kalau aku memakai Jubah dan—”

”Jangan coba-coba memikirkannya,” geram Ron pada Hermione.

Sebelum Hermione bisa lebih jauh dari, ”Ron, aku sama mampunya dengan—” 

hiasan 

gantung di atas tangga di mana mereka berdiri, disobek terbuka.

”POTTER!”

Dua Pelahap Maut bertopeng berdiri di sana, tapi sebelum mereka mengacungkan 

tongkat, Hermione berteriak, “Glisseo!” 

Anak-anak tangga di bawah kaki mereka jadi rata seperti seluncuran. 

Hermione, Harry, dan Ron meluncur ke bawah, tidak dapat mengendalikan 

kecepatannya tapi sedemikian cepat sehingga Mantra Bius para Pelahap Maut 

meleset di atas kepala mereka. Mereka terus meluncur melalui hiasan gantung 

yang tersembunyi di dasar tangga, berputar di lantai, menubruk dinding. 

”Duro!” jerit Hermione, menunjukkan tongkatnya pada hiasan gantung itu, dan 

terdengar dua derakan yang menyakitkan dan keras saat hiasan itu berubah 
menjadi batu dan kedua Pelahap Maut yang mengejar mereka terbentur di sana. 

”Minggir!” seru Ron, dan dia, Hermione, dan Harry merapatkan diri di sebuah 

pintu di saat sekawanan meja berderap riuh rendah melewati mereka, 

digembalakan oleh Profesor McGonagall yang sedang berlari cepat. Dia 

nampaknya tidak memperhatikan mereka bertiga: rambutnya acak-acakan, ada 

bekas luka di pipi. Saat ia membelok di tikungan, mereka mendengar ia berteriak, 

”CHARGE!” 

“Harry, pakai Jubah,” sahut Hermione, “Jangan pedulikan kami—“ 

Tapi dia melemparkannya agar menutupi mereka bertiga: cukup besar untuk 

mereka bertiga, dia ragu apakah ada orang yang bisa melihat kaki-kaki mereka 

melalui debu yang menutupi udara, batu-batu yang terus berjatuhan, kilatan￾kilatan mantra. 

Mereka berlari turun di tangga berikutnya, menemkan koridor penuh dengan 

para petarung. Lukisan di kedua sisi penuh dengan sosok-sosok, meneriakkan 

saran-saran dan dukungan, di mana para Pelahap Maut bertopeng atau tidak 

bertarung dengan para siswa dan guru. Dean sudah memperoleh tongkat, dia 

sedang bertarung dengan Dolohov, Parvati dengan Travers. Harry, Ron, dan 

Hermione mengacungkan tongkat saat itu juga, siap-siap menyerang, tapi para 

petarung sedang mengayunkan dan melontarkan manta sedemikian rupa sehingga 

besar kemungkinan melukai salah satu dari pihak mereka sendiri kalau mereka 

merapal mantra. Bahkan saat mereka berdiri terpaku, mencari kesempatan 

untuk bertindak, terdengar suara keras, wheeeeeeeeeeee, dan saat Harry 

melihat ke atas ia menemukan Peeves membubung ke udara menjatuhkan polong 

kacang Snargaluff pada para Pelahap Maut, kepala-kepala mereka tiba-tiba 

ditelan umbi-umbian hijau menggeliat-geliut sepeti cacing-cacing gemuk. 

“Argh!” 

Sekepalan umbi mengenai Jubah di kepala Ron, akar hijau berlendir tergantung 

di udara saat Ron mencoba melepaskannya. 

“Seseorang tak terlihat di sana!” teriak seorang Pelahap Maut menunjuk. 

Dean menjadikan seorang Pelahap Maut yang teralih perhatiannya, 

menjatuhkannya dengan Mantra Pembius: Dolohov mencoba membalas dendam 

dan Parvati menembakkan Mantra Ikat Tubuh padanya. 

“AYO!” Harry berteriak, dan dia, Ron, dan Hermione bersama di bawah Jubah 

lebih rapat lagi, kepala dirundukkan di antara para petarung, terpeleset sedikit 

di kolam cairan Snargaluff, menuju ke tangga marmer ke Pintu Masuk. 
“Aku Draco Malfoy. Aku Draco,aku di pihakmu!” 

Draco sedang di atas, memohon pada seorang Pelahap Maut bertopeng. Harry 

meMingsankan Pelahap Maut itu saat mereka lewat: Malfoy mencari-cari, sambil 

berseriseri, mencari penolongnya, dan Ron meninjunya dari bawah Jubah. Malfoy 

terjengkang menindih Pelahap Maut yang tadi, mulutnya berdarah, benar-benar 

melongo. 

“Dan itu kali kedua kami menyelamatkan hidupmu malam ini, dasar bajingan 

bermuka dua!” Ron berteriak. 

Lebih banyak lagi yang sedang bertempur di mana-mana, di tangga dan di Pintu 

Masuk, Pelahap Maut di mana-mana yang Harry lihat: Yaxley dekat pintu depan 

bertarung dengan Flitwick, seorang Pelahap Maut bertopeng berduel dengan 

Kingsley tepat di sisi mereka. Siswa-siswa berlarian ke segala arah, beberapa 

membawa atau menyeret teman yang luka. Harry mengarahkan Mantra Pembius 

pada Pelahap Maut bertopeng, luput tapi nyaris kena Neville, yang muncul entah

dari mana dan melepas sepemelukan Venomous Tentacula yang berjungkir balik 

dengan gembira di sekitar Pelahap Maut terdekat dan mulai menggulungnya. 

Harry, Ron, dan Hermione berjalan cepat ke arah tangga pualam: pecahan kaca di 

kiri mereka, jam pasir Slytherin yang menandai poin asrama, batu jamrudnya 

berceceran di mana-mana, sehingga orang terpeleset dan berjalan terhuyung￾huyung saat mereka berlari di situ. Dua sosok jatuh dari balkon di atas saat 

mereka sampai ke atas dan Harry melihat samar-samar seekor binatang berkaki 

empat berlari cepat melintas Aula untuk menancapkan giginya pada yang jatuh. 

”TIDAK!” jerit Hermione dan dengan ledakan yang menulikan dari tongkatnya, 

Fenrir Greyback terlempar ke belakang dari tubuh Lavender Brown yang 

gerakannya sudah lemah. Fenrir menabrak sandaran tangga marmer dan sedang 

berjuang untuk berdiri kembali. Lalu dengan kilasan cahaya putih dan suara 

berderak, sebuah bola kristal jatuh dari atas kepalanya, dia jatuh ke tanah 

dan tidak bergerak lagi. 

“Aku masih punya lagi,” jerit Profesor Trelawney dari atas pegangan tangga. 

“Lebih banyak untuk siapapun yang mau! Sini—“ 

Dengan gerakan seperti servis tenis, ia mengeluarkan bola kristal yang 

besarnya luar biasa dari dalam tasnya, mengayunkan tongkatnya di udara dan 

menyebabkan bola itu meluncur melintas aula dan pecah kena jendela. Pada 

saat yang sama, pintu depan dari kayu yang berat tiba-tiba terbuka dan lebih 

banyak lagi laba-laba raksasa memaksa masuk ke Pintu Masuk. 

Teriakan ngeri memecah udara: yang sedang bertempur pun bertemperasan. 
Pelahap Maut maupun penghuni Hogwarts sama saja, dan kilasan sinar merah 

dan hijau beterbangan di tengah-tengah monster-monster yang datang, 

mengerikan, lebih mengerikan dari apa yang ada. 

“Bagaimana kita bisa keluar?” pekik Ron di antara jeritan-jeritan, tapi 

sebelum Harry atau Hermione menjawab, mereka terpaksa menepi: Hagrid 

telah datang dari tangga menenteng payung pink berbunga. 

“Jangan sakiti mereka, jangan sakiti mereka!” ia berteriak. 

”HAGRID, JANGAN!” 

Harry lupa segalanya: ia berlari secepat ia bisa keluar dari Jubah, lari 

membungkuk untuk menghindari Kutukan-kutukan yang membuat Aula terang 

benderang. 

”HAGRID, KEMBALI!” 

Tapi Harry bahkan belum setengah jalan saat ia melihatnya terjadi: Hagrid 

lenyap di antara para laba-laba, yang berlari ke sana kemari, dengan gerakan 

mengerumuni, labalaba itu mundur di bawah serangan gencar mantra, Hagrid 

terkubur di tengahnya. 

”HAGRID!” 

Harry mendengar seseorang memanggil namanya, tak tahu kawan atau lawan dia 

tak peduli: ia berlari secepat ia bisa di tanah gelap dan laba-laba itu pergi 

dengan mangsanya, dan ia tidak bisa melihat Hagrid sama sekali. 

”HAGRID!” 

Harry mengira dia bisa menciptakan tangan besar dari tengah kerumunan laba￾laba; tapi saat ia mengejar mereka, langkahnya terhenti dengan adanya kaki yang 

besar terayun dari kegelapan membuat bumi tempat ia berdiri bergetar. Harry 

melihat ke atas: seorang raksasa berdiri di hadapannya, tinggi duapuluh kaki, 

kepalanya tersembunyi di balik bayangan, tak ada selain bahwa dia seperti pohon, 

rambut disinari cahaya dari pintu kastil. Dengan satu gerakan brutal, raksasa itu 

menghunjamkan tinju pada jendela di atas Harry, dan pecahan kaca menghujani 

Harry, memaksanya mundur dengan lindungan pintu. 

”Oh—” jerit Hermione, saat dia dan Ron mencapai Harry dan memandang ke 

atas ke raksasa yang sedang mencoba menangkap orang dari jendela di atas. 

”JANGAN!” Ron berteriak, menangkap tangan Hermione yang sudah 

mengacungkan tongkatnya. “Pingsankan dia dan dia akan menghancurkan setengah kastil—“ “HAGGER?” 

Grawp datang dengan tiba-tiba dari sudut kastil; baru sekarang Harry menyadari 

bahwa Grawp memang raksasa berukuran mini. Monster yang besar sekali itu 

sedang mencoba menghancurkan orang-orang di lantai atas, melihat sekeliling 

dan menggeram. Undakan batu bergetar saat raksasa itu menghentakkan kaki 

pada sebangsanya yang lebih kecil dan mulut miring Grawp terbuka, 

memperlihatkan gigi sebesar setengah batu bata dan kuning, lalu mereka saling 

menyerang dengan kebuasan singa. 

“LARI!” raung Harry; malam itu dipenuhi oleh teriakan-teriakan dan pukulan￾pukulan mengerikan saat kedua raksasa itu bergulat, Harry menangkap tangan 

Hermione dan melangkahi undakan, Ron mengikuti. Harry tak kehilangan harapan 

untuk menemukan dan menyelamatkan Hagrid; dia lari begitu cepatnya hingga 

mereka sudah setengah jalan ke Hutan sebelum mereka sadar. 

Udara di sekitarnya membeku: Harry tercekat dan dadanya memadat. Bentuk￾bentuk bergerak dalam kegelapan, sosok-sosok berputar hitam pekat, bergerak 

dalam gelombang besar menuju kastil, wajahnya bertudung, napasnya gemeretak 

… 

Ron dan Hermione mendekat ke sampingnya saat suara pertempuran di belakang 

tiba-tiba terhenti, mati, karena keheningan hanya bisa diawa oleh Dementor, 

turun di malam hari ... 

”Ayo, Harry!” sahut suara Hermione, dari suatu tempat yang rasanya jauh 

sekali. ”Patronus, Harry, ayo!” 

Ia mengangkat tangannya, tapi rasa keputusasaan menyebar dalam dirinya: 

Fred sudah pergi, Hagrid pasti sekarat atau bahkan sudah mati: berapa 

banyak lagi yang terbaring mati yang dia belum tahu: ia merasa nyawanya 

seperti sudah setengah meninggalkan tubuhnya ... 

”HARRY, AYO!” pekik Hermione. 

Seratus Dementor mendekat, meluncur menuju mereka, menghisap jalan 

keputusasaan Harry, seperti janji untuk berpesta ... 

Ia melihat anjing terrier perak milik Ron meluncur ke udara, bekelip lemah dan 

berlalu: ia melihat berang-berang kepunyaan Hermione berputar di udara dan 

menghilang, dan tongkatnya sendiri bergetar di tangannya, nyaris ia 

menyambut pelupaan yang sedang datang, janji akan ketiadaan, tak ada rasa … 

Lalu seekor kelinci perak, seekor babi hutan, dan seekor rubah melayang 
melampaui kepala Harry, Ron, dan Hermione: Dementor-dementor itu mundur 

sebelum makhlukmakhluk itu mendekat. Tiga orang datang dari kegelapan, 

berdiri di samping mereka, tongkat mereka terulur, terus merapal Patronus 

mereka: Luna, Ernie, dan Seamus. 

”Iya, betul,” sahut Luna memberi semangat, seperti saat mereka ada di Kamar 

Kebutuhan dan ini hanyalah latihan mantra untuk Laskar Dumbledore, ”Itu betul, 

Harry ... ayo, pikirkan sesuatu yang membahagiakan ...” 

”Sesuatu yang membahagiakan?” sahutnya, suaranya tercekat. 

”Kami masih di sini,” ia berbisik, ”kami masih bertempur. Ayo ...” 

Lalu ada percikan api perak, lalu cahaya berkelap-kelip, lalu dengan usaha yang 

teramat keras yang pernah dilakukan Harry, seekor rusa jantan meluncur keluar 

dari ujung tongkat Harry. Rusa jantan itu maju miring, dan sekarang para 

Dementor benar-benar tercerai berai, segera saja malam menjadi sejuk 

kembali, tapi suara-suara pertempuran memekakkan telinga. 

”Tak cukup rasa terima kasih,” sahut Ron masih gemetar, menoleh pada Luna, 

Ernie, dan Seamus, ”Kalian menyelamatkan—” 

Dengan raungan dan getar seperti gempa bumi, satu raksasa lain datang 

keluar dari kegelapan dari arah Hutan menjinjing pentungan yang tingginya 

melebihi siapapun. 

”LARI!” Harry berteriak lagi, tapi yang lain tka perlu diingatkan: mereka 

bertemperasan, dan tak terlalu cepat karena kaki lebar makhluk itu jatuh 

berdebam tepat di mana tadi mereka berdiri. Harry menoleh, Ron dan Hermione 

mengikutinya, tapi ketiga yang lain telah menghilang kembali ke kancah 

pertempuran. 

”Ayo keluar dari sini!” teriak Ron, saat raksasa itu mengayunkan pentungannya 

lagi, dan bunyinya bergema memintasi malam, melintasi tanah di mana kilasan￾kilasan merah dan hijau menerangi kegelapan. 

“Dedalu Perkasa!” sahut Harry. ”Ayo!” 

Ia membentenginya tinggi-tinggi, menyimpannya di ruangan kecil yang tak dapat 

ia lihat sekarang: pikiran tentang Fred dan Hagrid, dan ketakutannya akan orang￾orang yang ia cintai yng ada di dalam dan luar kastil, semua harus menunggu, 

karena mereka harus berlari, harus mencapai ular itu, dan Voldemort karena itu 

seperti kata Hermione, satusatunya jalan untuk mengakhirinya ... 

Ia berlari, setengah percaya bahwa ia bisa meninggalkan kematian sendiri, 

mengacuhkan kilasan cahaya dalam kegelapan di sekeliling, dan suara danau yang 

berombak bagai laut, dan Hutan Terlarang berbunyi keriat-keriut walau malam 

itu tak berangin, melalui tanah yang nampaknya bangkit dan memberontak, ia lari 

lebih cepat dari yang pernah ia lakukan dalam hidupnya, dan dialah yang pertama 

melihat pohon besar itu, Dedalu yang melindungi rahasia di akarnya dengan 

dahan-dahannya yang bagai cambuk. 

Terengah-engah Harry berlari lebih pelan, menyusuri dahan-dahan Dedalu yang 

mengayukan pukulan, memandang tajam lewat kegelapan melalui cabang￾cabangnya yang tebal, mencoba melihat tonjolan pada pohon tua yang akan 

melumpuhkannya. Ron dan Hermione berhasil mengejarnya, Hermione benar￾benar kehabisan napas, dia tak bisa bicara. 

“Bagai—bagaimana kita masuk?” sahut Ron terengah-engah, “Aku bisa—

melihatnya— kalau kita harus—Crookshanks lagi—” 

“Crookshanks?” cuit Hermione, membungkuk mencengkeram dadanya. 

“Apa kau penyihir, atau apa?” 

”Oh—betul—yeah—” 

Ron melihat sekeliling, lalu mengarahkan tongkatnya pada ranting di tanah dan 

berkata, ”Winggardium Leviosa!”. Ranting itu melayang dari tanah, berputar di 

udara seperti diputarkan oleh angin, lalu meluncur tepat pada batang di mana 

dahan-dahan Dedalu memukul. Ranting itu menusuk dekat akar, dan saat itu 

juga pohon yang menggeliat itu terdiam. 

”Sempurna,” sahut Hermione. 

”Tunggu.” 

Untuk sedetik, saat dentuman dan ledakan pertempuran mengisi udara, 

Harry ragu. Voldemort menginginkan dia melakukannya, ingin ia datang ... 

apakah dia menuntun Ron dan Hermione ke dalam perangkap? 

Tapi kenyataan nampaknya menutupi segalanya, kejam dan perih: satu-satunya 

jalan untuk maju adalah membunuh ular itu, dan ular itu berada di mana 

Voldemort ada, dan Voldemort ada di ujung terowongan ... 

”Harry, kami datang, ayo masuk,” sahut Ron, mendorongnya maju. 

Harry turun ke jalan masuk tersembunyi di akar pohon. Lebih sesak dari waktu 

terakhir mereka masuk ke situ. Terowongan itu berlangit-langit rendah: empat 
tahun yang lalu mereka harus meringkuk untuk maju, sekarang terpaksa 

merangkak. Harry masuk pertama, tongkatnya bercahaya, ia bersiaga akan 

adanya rintangan setiap saat, tapi tak ada. Mereka bergerak dalam kesunyian, 

pandangan Harry terpancang pada cahaya di ujung tongkat yang digenggamnya. 

Akhirnya terowongan sampai pada tanjakan dan Harry melihat cahaya 

keperakan di depan. Hermione menyentuh pergelangan kakinya. 

”Jubah,” Hermione berbisik, ”Pakai Jubahnya!” 

Harry meraba-raba di punggungnya, dan Hermione menjejalkan buntalan kain 

licin itu ke tangan Harry yang kosong. Dengan kesulitan, ia mengerudungkan pad 

adirinya, bergumam ‘Nox’ memadamkan cahaya tongkatnya, dan meratakan Jubah 

di tangan dan di lututnya sesunyi mungkin, semua indranya tegang, bersiaga tiap 

saat bisa ketahuan, bersiaga mendengar suara dingin dan jernih, bersiaga 

melihat kilasan cahaya hijau. 

Lalu ia mendengar suara yang datang dari ruangan yang tepat di hadapan 

mereka, hanya dihalangi oleh, nampaknya bukaan terowongan di ujung 

terowongan telah dihalangi oleh sesuatu yang seperti peti mati. Nyaris tak 

berani bernapas, Harry maju ke bukaan dan mengintip ke celah kecil di antara 

peti dan dinding. 

Ruangan itu remang-remang, tapi dia bisa melihat Nagini, bergelung seperti ular 

bawah air, aman dalam kurungannya yang sudah dimantrai, terapung tanpa 

penopang di tengah udara. Ia bisa melihat tepi meja dan sebuah tangan putih 

berjari panjang memainkan tongkat. Lalu Snape bicara, dan jantung Harry nyaris 

terlepas: Snape hanya beberapa inci jauhnya dari tempat ia meringkuk 

bersembunyi. 

”...Tuanku, perlawanan mereka buruk—” 

”—dan sama saja tanpamu,” sahut Voldemort, dengan suaranya yang tinggi dan 

jernih. ”Penyihir dengan ketrampilan sepertimu, Severus, kupikir kau tak akan 

membuat banyak perubahan. Kita hampir tiba ... hampir.” 

”Biarkan aku menemukan anak itu. Biarkan aku membawa Potter. Aku tahu 

aku bisa menemukannya, Tuanku. Please.” 

Snape berjalan melewati celah, dan Harry begerak mundur sedikit, menjaga 

matanya tetap pada Nagini, bertanya-tanya apakah ada mantra yang bisa 

menembus perlindungan ular itu, tapi dia tak dapat memikirkannya. Satu 

percobaan saja gagal, sama saja dengan dia membuka rahasia di mana ia berada. 
Voldemort berdiri, Harry dapat melihatnya sekarang, melihat matanya yang 

merah, wajahnya yang rata seperti ular, kepucatannya yang bersinar di ruangan 

setengah gelap. 

”Aku ada masalah, Severus,” sahut Voldemort pelan. 

”Tuanku?” sahut Snape. 

Voldemort mengangkat Elder Wand, memegangnya dengan lembut, mirip sekali 

dengan tongkat konduktor. 

“Mengapa tongkat ini tidak bisa berfungsi untukku, Severus?” 

Dalam kesunyian Harry membayangkan ia bisa mendengar ular itu mendesis pelan 

saat ia bergelung, atau apakah itu suara keluhan Voldemort yang berdesis? 

”Tu-Tuanku?” tanya Snape hampa. ”Aku tak mengerti. Anda—Anda telah 

menampilkan sihir yang istimewa dengan tongkat itu.” 

”Tidak,” sahut Voldemort. ”Aku hanya menampilkan sihir yang biasa. Aku 

memang istimewa, tetapi tongkat ini ... tidak. Tongkat ini tidak menampilkan 

keistimewaan yang dijanjikan.Aku tidak merasakan perbedaan antara tongkat 

ini dengan tingkat yang kudapat dari Ollivander.” 

Nada suara Voldemort seperti merenung, tenang, tapi bekas luka Harry mulai 

berdenyut, nyeri sedang dibangun di keningnya dan dia bisa merasakan 

Voldemort mengendalikan kemarahan di dalamnya. 

”Tak ada perbedaan,” sahut Voldemort lagi. 

Snape tidak bicara. Harry tidak dapat melihat wajahnya: ia ingin tahu apakah 

Snape bisa mengendus adanya bahaya, dan mencoba mencari kata-kata yang 

tepat untuk menenangkan tuannya. 

Voldemort mulai bergerak sekeliling ruangan. Harry kehilangan pandangan 

selama beberapa detik saat Voldemort berputar, berbicara dengan suara yang 

terukur, saat nyeri dan kemarahan memuncak di kepala Harry. 

“Aku sudah berpikir lama dan keras, Severus, ... tahukah kau kenapa aku 

memanggilmu kembali dari pertempuran?” 

Dan untuk sesaat Harry bisa melihat sosok Severus: matanya terpancang pada 

ular yang sedang bergelung di kandang bermantra. 

“Tidak, Tuanku, tapi kumohon ijinkan aku kembali. Biarkan aku menemukan 
Potter.” 

”Kau kedengaran seperti Lucius. Tak ada di antara kalian yang mengerti Potter 

sepertiku. Dia tidak usah dicari. Potter yang akan datang padaku. Aku tahu 

kelemahannya, kau tahu, satu kesalahannya yang besar. Ia akan benci melihat 

orang lain gugur di sekitarnya, tahu bahwa itu terjadi untuknya. Ia akan 

menghentikannya dengan segala cara. Ia akan datang.” 

”Tapi, Tuanku, dia bisa saja tak sengaja terbunuh oleh orang lain selain dirimu—” 

”Perintahku untuk para Pelahap Maut sudah jelas. Tangkap Potter. Bunuh 

temannyamakin banyak makin baik—tapi jangan bunuh dia.” 

“Tapi aku berbicara tentangmu, Severus, bukan Harry Potter. Kau sangat 

berharga untukku. Sangat berharga.” 

“Tuanku tahu aku hanya ingin melayanimu. Tapi—biarkan aku pergi dan mencari 

anak itu, Tuanku. Biarkan kubawa dia padamu. Aku tahu aku bisa—” ”Sudah 

kukatakan, tidak!” sahut Voldemort dan Harry melihat kilatan merah pada 

matanya saat ia menoleh lagi, dan kibasan jubahnya seperti ular merayap, dan 

ia merasaka ketidaksabaran Voldemort di bekas lukanya yang membara. 

”Perhatianku pada saat ini Severus, adalah apa yang akan terjadi jika aku 

bertemu dengan anak itu.” 

”Tuanku, kukira tak akan ada pertanyaan, tentulah—” 

”—tapi memang ada pertanyaan, Severus. Memang ada.” 

Voldemort berhenti, dan Harry dapat melihatnya lagi saat dia menyelipkan 

Elder Wand di antara jari-jarinya yang putih, memandang Snape. 

“Mengapa kedua tongkat yang kugunakan gagal saat aku arahkan pada Harry 

Potter?” 

”Aku—aku tak bisa menjawabnya, Tuanku.” 

”Tak dapatkah?” 

Tikaman kemarahan terasa seperti sebuah paku ditancapkan ke kepala Harry: ia 

memaksakan kepalan tinjunya ke dalam mulut agar ia tidak berteriak kesakitan. 

Ia menutup matanya, dan tiba-tiba ia menjadi Voldemort, melihat wajah Snape 

yang pucat. 

”Tongkatku yang dari kayu yew itu melakukan apapun yang kuminta, Severus, 

kecuali membunuh Harry Potter. Dua kali ia gagal. Ollivander mengatakan 
padaku di bawah siksaan tentang dua inti tongkat. Aku diminta menggunakan 

tongkat orang lain. Aku melakukannya, tetapi tongkat Lucius malah hancur 

waktu bertemu Potter.” 

”Aku—aku tak punya penjelasannya, Tuanku.” 

Snape tidak sedang melihat pada Voldemort sekarang. Matanya yang gelap 

masih terpancang pada ular yang melingkar dalam sangkar pelindungnya. 

“Aku mencari tongkat ketiga, Severus. The Elder Wand, Tongkat Takdir, 

Tongkat Kematian. Aku mengambilnya dari tuannya terdahulu. Aku 

mengambilnya dari kuburan Albus Dumbledore.” 

Dan sekarang Snape memandang Voldemort, dan wajah Snape nampak seperti 

topeng kematian [Death Mask—topeng kematian, adalah cetakan yang dibuat 

dari plester/gips/semen diambil dari wajah orang mati. Bukan seutuhnya istilah 

Inggris karena ini juga digunakan di Paris untuk mencatat wajah orang tak 

dikenal yang tenggelam di sungai Seine. Dengan demikian, wajah Snape 

diibaratkan seperti topeng kematian, sangat pucat/putih dan tak ada gerakan—

persis seperti topeng kematian. Diambil dari HP Lexicon] Wajahnya putih pualam 

dan kaku, sehingga saat dia bicara, suatu kejutan melihat ada orang hidup di 

balik mata yang kosong itu.

“Tuanku—biarkan aku mencari anak itu—“ ”Semalaman ini, saat aku berada di tepi 

kemenangan, aku duduk di sini,” sahut Voldemort, suaranya hanya lebih keras 

dari bisikan, ”berpikir, berpikir, kenapa Elder Wand menolak apa yang harus dia 

lakukan, menolak melakukan seperti kata legenda, ia harus mau melakukan apa 

yang diinginkan oleh pemilik yang berhak ... dan kupikir aku tahu apa jawabannya.” 

Snape tak menjawab. 

”Mungkin kau sudah tahu jawabannya? Kau pandai, Severus. Kau sudah menjadi 

pelayan yang baik dan setia, dan aku menyesali apa yang harus terjadi.” 

”Tuanku—” 

”Elder Wand tidak dapat melayaniku dengan baik, Severus, karena aku bukan 

tuannya yang sejati. Elder Wand adalah milik penyihir yang membunuh pemiliknya 

yang terakhir. Kau pembunuh Albus Dumbledore. Selagi kau masih hidup, 

Severus, Elder Wand tak bisa sepenuhnya menjadi kepunyaanku.” 

“Tuanku!” protes Snape, mengangkat tongkatnya. 

“Tentu tidak bisa dengan cara lain,” sahut Voldemort. “Aku harus menguasai 
tongkat itu, Severus. Kuasai tongkat, dan aku akan menguasai Potter akhirnya.” 

Dan Voldemort membelah udara dengan Elder Wand. Tongkat itu seperti tidak 

melakukan apa-apa pada Snape yang untuk sedetik berpikir dia telah mendapat 

pengampunan: tapi kemudian tujuan Voldemort menjadi jelas. Kandang ular itu 

berputar di udara dan sebelum Snape bisa berbuat apapun selain berteriak, ular 

itu sudah melingkarinya, kepala dan bahu, dan Voldemort berbicara dalam 

Parseltongue. 

“Bunuh.” 

Jeritannya mengerikan. Harry melihat wajah Snape kehilangan sedikit warna 

yang tersisa, wajahnya memutih saat mata hitamnya melebar saat taring ular itu 

menghunjam lehernya, saat ia gagal mendorong kandang bermantra itu, saat 

lututnya menyerah, dan ia jatuh ke lantai. 

“Aku menyesalinya,” sahut Voldemort dingin. 

Ia pergi; tak ada rasa sedih padanya, tak ada penyesalan. Ini sudah waktunya 

meninggalkan gubuk dan mengambil alih, dengan tongkat yang sekarang akan 

mengerjakan apapun yang dimintanya. Ia mengacungkannya pada kandang yang 

berisi ular, mengarah ke atas, melepaskan Snape yang jatuh menyamping di 

lantai, darah mengalir dari luka di lehernya. Voldemort berayun keluar dari 

ruangan tanpa memandang ke belakang lagi, dan ular besarnya melayang di 

belakangnya dalam perlindungannya. 

Kembali ke terowongan dan kembali ke pikirannya sendiri, Harry membuka 

matanya: ia berdarah, menggigit buku jarinya sedemikian agar ia tak berteriak. 

Sekarang ia melihat celah antara peti dan tembok, mengamati kaki dengan 

sepatu boot hitam gemetar di lantai. 

”Harry,” Hermione berbisik di belakangnya, tapi Harry sudah mengacungkan 

tongkatnya pada peti yang menghalangi pandangan. Peti itu terangkat satu inci 

dan bergerak ke samping tanpa suara. Sediam mungkin ia menyelinap ke dalam 

ruangan. 

Ia tak tahu mengapa ia melakuan hal ini, mengapa ia mendekati orang yang 

sedang sekarat ini: ia tidak tahu apa yang ia rasa saat melihat wajah putih 

Snape, dan jemari yang mencoba menghentikan luak berdarah di lehernya. Harry 

melepaskan Jubah Gaib dan melihat ke bawah, melihat pada orang yang ia benci, 

orang yang mata hitamnya melebar menemukan Harry saat ia berusaha bicara. 

Harry membungkuk di atasnya: dan Snape menangkap bagian depan jubahnya dan 

menariknya mendekat. 
Sebuah suara serak berdeguk mengerikan keluar dari kerongkongan Snape. 

”Ambil ... itu ... Ambil ... itu.” 

Sesuatu yang lebih dari darah merembes keluar dari Snape. Biru keperakan, 

bukan gas bukan cairan, memancar dari mulutnya, dari telinganya, dari matanya, 

dan Harry tahu itu apa, tapi Harry tidak tahu apa yang harus ia lakukan—

Sebuah tabung tercipta dari udara, dijejalkan pada tangan gemetar Harry oleh 

Hermione. Harry menampung bahan keperakan itu ke dalam tabung dengan 

tongkatnya. Saat tabung itu penuh, dan Snape terlihat seakan tak ada darah 

tersisa lagi padanya, cengkeramannya pada jubah Harry mengendur. 

”Pandang ... aku,” ia berbisik. 

Mata yang hijau beradu dengan yang hitam, tapi setelah sedetik sesuatu di 

kedalaman dari pasangan yang gelap nampaknya lenyap: meninggalkannya kaku, 

hampa dan kosong. Tangan yang memegang Harry bergedebuk di lantai, dan 

Snape tak bergerak lagi. 

Bab 33 Prince’s Tale Kisah Pangeran 

Harry tetap berlutut di samping Snape, hanya menatapnya, hingga sebuah suara 

melengking dingin berbicara sangat dekat pada mereka, sampai-sampai Harry 

terlonjak berdiri, mencengkeram tabungnya erat-erat, mengira Voldemort telah 

kembali ke ruangan itu. 

Suara Voldemort bergaung dari dinding, dari lantai, dan Harry menyadari 

bahwa dia berbicara pada Hogwarts dan daerah sekitarnya, agar penduduk 

Hogsmeade dan semua yang masih bertempur di kastil akan mendengarnya 

sejelas bila ia berdiri di samping mereka, napasnya di belakang leher, 

mengembuskan kematian. 

“Kalian telah bertempur,” sahut suara melengking dingin itu, “dengan gagah 

berani. Lord Voldemort paham caranya menghargai keberanian.” 

“Tapi kalian menderita kekalahan yang besar. Kalau kalian bertahan, tetap 

menolakku, kalian akan mati semuanya, satu persatu. Aku tak menginginkan ini 

terjadi. Setiap tetes darah sihir yang tertumpah adalah suatu kehilangan, 

suatu penghamburan.” 

“Lord Voldemort bermurah hati. Aku perintahkan pasukanku untuk mundur 

sekarang juga.” 
“Kalian punya waktu satu jam. Perlakukan yang mati secara bermartabat. 

Rawatlah lukalukamu.” 

Aku berbicara sekarang, Harry Potter, langsung padamu. Kau mengijinkan teman￾temanmu mati untukmu, daripada menghadapiku sendiri. Aku akan menunggumu 

selama satu jam di Hutan Terlarang. Jika di akhir masa itu kau tidak datang 

padaku, tidak menyerahkan dirimu, maka pertempuran akan dimulai lagi. Saat itu 

aku sendiri akan terjun di kancah pertempuran, Harry Potter, dan aku akan 

menemukanmu, dan aku akan menghukum tiap laki-laki, perempuan, maupun anak 

kecil yang mencoba menyembunyikanmu dalam waktu satu jam. Satu jam.” 

Baik Ron maupun Hermione menggelengkan kepala dengan keras, menatap Harry. 

”Jangan dengarkan dia,” sahut Ron. 

”Kau akan baik-baik saja,” ujar Hermione. ”Mari—mari kita kembali ke kastil, 

jika ia kembali ke Hutan Terlarang kita harus memikirkan rencana baru—” 

Ia memandang sekilas pada jenazah Snape, lalu buru-buru kembali ke 

terowongan. Ron mengikutinya. Harry melipat Jubah Gaibnya lalu menatap 

Snape. Dia tak tahu apa yang harus dia rasakan, kecuali keterkejutannya atas 

bagaimana Snape dibunuh, dan alasan mengapa itu terjadi. 

Mereka merangkak kembali melalui terowongan, tidak ada satupun yang 

berbicara, dan Harry ingin tahu apakah Ron dan Hermione masih bisa 

mendengar suara Voldemort berdering-dering di kepala mereka, seperti 

dirinya. 

Kau mengijinkan teman-temanmu mati untukmu, daripada menghadapiku 

sendiri. Aku akan menunggumu selama satu jam di Hutan Terlarang ... satu jam 

... 

Gumpalan-gumpalan kecil mengotori halaman berumput di depan kastil. Mungkin 

hanya kira-kira sejam atau sekitarnya menjelang fajar, tapi keadaannya gelap 

gulita. Ketiganya bergegas melintasi pijakan batu. Sebelah bakiak, seukuran 

perahu kecil tergeletak di depan mereka. Tak ada tanda-tanda Grawp ataupun 

penyerangnya. 

Kastil itu sunyi secara tak wajar. Tidak ada cahaya atau sinar, tak ada letusan, 

jeritan atau teriakan. Ubin besar di Pintu Masuk telantar ternoda darah. Batu￾batu jamrud masih berserakan di lantai bersama potongan marmer dan pecahan 

kayu. Sebagian pegangan tangga luluh lantak. 

”Ke mana semua orang?” bisik Hermione. 
Ron memimpin jalan ke Aula Besar. Harry berhenti di pintu. 

Meja asrama lenyap dan ruangan penuh sesak. Mereka yang selamat berdiri 

berkelompok, tangan-tangan mereka saling berangkulan. Mereka yang terluka 

dirawat dipanggung yang didirikan Madam Pomfrey dan sekelompok sukarelawan. 

Firenze ada di antara yang terluka, panggulnya mengucurkan darah, gemetar di 

mana ia dibaringkan, tak mampu berdiri. 

Mereka yang tewas dibaringkan berjajar di tengah aula. Harry tidak bisa 

melihat jenazah Fred karena dikelilingi keluarganya. George berlutut dekat 

kepalanya, Mrs Weasley melintang di dada Fred, badannya berguncang, Mr 

Weasley mengusap rambut Mrs Weasley, air matanya mengalir menuruni pipinya. 

Tanpa bicara pada Harry, Ron dan Hermione menjauh. Harry melihat Hermione 

mendekati Ginny yang wajahnya bengkak, dan memeluknya. Ron bergabung 

dengan Bill dan Fleur, Percy mengalungkan lengannya di pundak Ron. Saat Ginny 

dan Hermione bergerak mendekati keluarga, Harry bisa melihat dengan jelas 

jenazah yang terbaring dekat Fred: Remus dan Tonks, pucat dan diam, nampak 

damai seperti yang sedang tidur di bawah langit-langit yang disihir gelap. 

Aula Besar terasa lebih kecil, mengerut, saat Harry berbalik membelakangi 

pintu. Ia tidak bernapas. Dia tidak tahan melihat jenazah lain, agar bisa melihat 

siapa lagi yang mati untuknya. Ia tidak bisa bergabung dengan keluarga Weasley, 

tidak bisa menatap mereka, seandainya saja ia sudah menyerahkan diri, Fred 

tidak akan mati… 

Ia berbalik dan lari di tangga marmer. Lupin, Tonks … keinginannya agar 

iatidak bisa merasakan … ia berharap bisa merenggut jantungnya, bagian￾bagian dalam tubuhnya, semua yang menjerit di dalam dirinya … 

Kastil itu benar-benar kosong, bahkan para hantu nampaknya bergabung 

berkabung di Aula Besar. Harry berlari tanpa berhenti, menggenggam erat 

tabung yang berisi pikiran terakhir Snape, ia tidak melambat hingga ia 

mencapai gargoyle batu penjaga kantor Kepala Sekolah. 

“Kata kunci?” 

“Dumbledore!” sahut Harry tanpa berpikir, karena Dumbledore-lah yang ingin ia 

temui, dan ia terkejut ketika gargoyle itu minggir, memperlihatkan tangga spiral 

di belakangnya … 

Ketika Harry menghambur masuk ke kantor bundar, ia menemukan perubahan. 

Lukisanlukisan yang tergantung di dinding kosong. Tidak satupun Kepala Sekolah 

tinggal untuk bertemu dengannya: semua, nampaknya, semua pergi, lewat lukisan-
lukisan yang berjajar di kastil, sehingga mereka bisa melihat dengan jelas apa 

yag terjadi. 

Harry memandang tanpa harapan pada bingkai yang ditinggalkan Dumbledore, 

digantungkan tepat di belakan kursi Kepala Sekolah, lalu Harry membelakanginya. 

Pensieve disimpan di lemari seperti biasanya. Harry mengangkatnya ke atas meja 

dan menuangkan memori Snape ke dalam baskom lebar dengan huruf rune di 

sekitarnya. Keluar dari kepala seseorang mungkin melegakan ... bahkan apa yang 

ditinggalkan oleh Snape mungkin tidak lebih buruk dari pikirannya sendiri. 

Memori-memori itu berputar, putih keperakan dan aneh, tanpa ragu, dengan rasa 

nekat, berharap ini akan menenangkan kepedihan yang menyiksa, Harry terjun. 

Ia jatuh seketika di cahaya mentari, dan kakinya menemukan landasan yang 

hangat. Waktu ia meluruskan diri, nampak bahwa ia berada di taman bermain 

yang nyaris telantar. Sebuah cerobong besar mendominasi pemandangan. Dua 

gadis kecil berayunayun, dan seorang anak laki-laki kurus mengamati mereka 

dari belakang semak. Rambut hitamnya terlalu panjang dan bajunya tak sepadan 

sehingga kelihatan seperti disengaja: jeans yang terlalu pendek, mantel yang 

terlalu besar dan bulukan, nampaknya kepunyaan orang dewasa, dan sebuah 

kemeja pelapis yang aneh. 

Harry bergerak mendekati si anak laki-laki. Snape terlihat berumur 9 atau 10 

tahun, tidak lebih, pucat, kecil, kurus. Ada kerakusan yang tidak dapat 

disembunyikan di wajahnya yang kurus saat ia mengamati gadis yang lebih muda 

berayun lebih tinggi dan lebih tinggi lagi dari saudaranya.

”Lily, jangan!” jerit yang lebih tua. 

Tapi gadis itu membiarkan ayunan berayun hingga ke titik lebih tinggi dan 

melayang ke udara, secara harafiah benar-benar terbang, melempar diri ke 

arah langit dengan tawa lepas, dan bukannya jatuh di aspal malah dia meluncur 

seperti pemain trapeze, tetap di udara terlalu lama, mendarat sangat halus. 

”Mummy bilang jangan!” 

Petunia menghentikan ayunannya dengan menarik tumit sandalnya di tanah, 

membuat suara berderit, melompat, tangan di pinggul. 

”Mummy bilang kau tidak diijinkan begitu, Lily!” 

“Tapi aku nggak apa-apa,” sahut Lily masih terkekeh, “Tuney, lihat ini. Lihat 

apa yang bisa kulakukan.” 

Petunia memandang berkeliling. Taman bermain itu sudah ditinggalkan orang, 
kecuali mereka berdua, dan walau gadis-gadis itu tidak tahu, Snape. Lily 

memungut bunga jatuh di dekat semak-semak di mana Snape bersembunyi. 

Petunia maju, jelas terbagi antara rasa ingin tahu dan ketidaksetujuan. Lily 

menunggu hingga Petunia cukup dekat untuk melihat dengan jelas, lalu membuka 

telapak tangannya. Bunga diletakkan di situ, kelopaknya membuka dan menutup 

seperti tiram yang aneh. 

”Hentikan!” jerit Petunia. 

”Takkan melukaimu,” sahut Lily, tapi ia menggenggam kembang itu dan 

melemparnya kembali ke tanah. 

”Itu tidak benar,” sahut Petunia, tapi matanya mengikuti kembang itu, 

”bagaimana kau melakukannya?” 

”Sudah jelas, kan?” Snape tidak dapat menahan diri dan melompat keluar dari 

semaksemak. 

Petunia mengkerut dan berlari kembali ke ayunan, tapi Lily, walaupun terlihat 

bingung, tetap di tempat. Snape nampak menyesal telah mengagetkan mereka 

dengan kemunculannya. Ada semburat warna muncul di pipi pucat itu saat ia 

memandang Lily. 

“Apanya yang jelas?” tanya Lily. 

Snape kelihatan gugup. Sambil memandang Petunia dari kejauhan, ia 

menurunkan suaranya, “Aku tahu kau ini apa.” 

”Apa maksudmu?” 

”Kau ... kau seorang penyihir,” bisik Snape. 

Lily nampak terhina. 

”Bukan begitu caranya berbicara dengan orang lain.” 

Ia berbalik dengan angkuh dan berjalan menuju saudarinya. 

“Bukan!” sahut Snape. Wajahnya merah padam sekarang, dan Harry heran 

kenapa ia tidak membuka mantelnya yang menggelikan itu, kecuali kalau dia 

tidak mau memperlihatkan baju pelaspis di baliknya. Ia mengejar gadis itu, 

kelihatan seperti kelelawar, seperti Snape yang lebih tua. 

Kedua bersaudara itu mempertimbangkannya, sama-sama tak setuju, 

berpegangan pada tiang ayunan, seakan itu tempat yang aman.
“Kau adalah,” sahut Snape pada Lily, “kau adalah penyihir. Aku telah 

mengamatimu sejak lama. Tapi tak ada yang salah dengan itu. Ibuku penyihir, 

dan aku juga penyihir.” 

Tawa Petunia seperti air dingin. 

”Penyihir!” ia menjerit, keberaniannya kembali sekarang saat ia pulih dari 

keterkejutannya akan kemunculan Snape tadi yang tidak diharapkan. ”Aku tahu 

siapa kau. Kau anak si Snape itu ya? Mereka tinggal di Spinner’s End dekat 

sungai,” sahutnya pada Lily, dan jelas pada suaranya bahwa ia menilai rendah 

para penduduk di Spinner’s End. ”Kenapa kau memata-matai kami?” 

”Aku tidak memata-matai,” sahut Snape memanas, tidak nyaman dan rambut 

kotor di terangnya cahaya matahari. ”Buat apa memata-matai,” katanya 

tajam, ”kau hanya seorang Muggle.” 

Walau Petunia jelas-jelas tidak mengerti arti kata itu tapi dia tidak bisa salah 

mengartikan nada suara Snape. 

”Lily, ayo kita pergi!” katanya melengking. Lily mematuhi saudaranya seketika, 

menatap Snape saat ia pergi. Ia berdiri mematung mengamati saat mereka 

berjalan melintasi gerbang taman bermain, dan Harry, satu-satunya yang 

tertinggal untuk memantau mereka, mengenali kekecewaan Snape, dan paham 

bahwa Snape sudah lama merencanakan saat ini tapi tidak berjalan baik... 

Pemandangan itu mengabur, dan sebelum Harry menyadari, terbentuk lagi yang 

baru di sekitarnya. Ia sekarang ada di sebuah rumpun semak-semak. Ia bisa 

melihat sungai yang disinari matahari, gemerlapan alirannya. Bayangan yang 

ditimbulkan oleh pepohonan menciptakan naungan teduh dan hijau. Dua anak 

duduk bersila berhadapan di tanah. Snape sudah membuka mantelnya, baju 

lapisannya terlihat, tidak begitu aneh terlihat di cahaya redup. 

”—dan Kementrian bisa menghukummu jika kau melakukan sihir di luar 

sekolah, kau akan mendapat surat.” 

”Tapi aku sudah melakukannya!” 

”Kita tidak apa-apa, kita belum dapat tongkat. Mereka masih membiarkanmu jika 

kau masih anak-anak dan kau belum bisa mengendalikannya. Tapi sekalinya kau 

sudah berusia 11,” dia mengangguk memberi kesan penting, ”dan mereka mulai 

melatihmu, kau harus hati-hati.” 

Ada sedikit keheningan. Lily memungut ranting yang gugur dan memutarnya di 

udara, dan Harry tahu bahwa Lily sedang membayangkan akan ada percikan api 
keluar dari ranting itu. Ia mejatuhkan ranting, bersandar pada anak laki-laki itu 

dan berkata, ”Ini benar nyata kan? Bukan lelucon? Petunia bilang kau bohong. 

Petunia bilang tak ada yang namanya Hogwarts. Bener nggak?” 

”Itu benar, untuk kita,” sahut Snape. ”Bukan untuk dia. Tapi kita akan menerima 

surat, kau dan aku.”

”Sungguh?” bisik Lily.

”Tentu saja,” ujar Snape, dan meski dengan potongan rambut yang aneh, pakaian 

yang ganjil, anehnya dia menampilkan sosok yang mengesankan di depan Lily, 

penuh 

keyakinan.

”Dan benar-benar akan datang dengan burung hantu?” Lily berbisik.

“Biasanya,” sahut Snape, “tapi kau kelahiran Muggle, jadi seseorang dari sekolah 

akan datang dan menjelaskan pada orangtuamu.”

”Apakah ada bedanya, menjadi kelahiran Muggle?”

Snape ragu. Mata hitamnya menyimpan keinginan dalam kesuraman, bergerak￾gerak di wajah yang pucat memandang rambut merah gelap itu.

”Tidak,” sahutnya, ”tidak ada perbedaan.”

”Baguslah,” sahut Lily menjadi tenang. Jelas bahwa ia tadinya cemas.

”Kau memiliki kemampuan sihir yang hebat sekali,” sahut Snape. ”Aku melihatnya. 

Setiap waktu aku mengamatimu...”

Suaranya melemah, Lily tidak sedang mendengar, berbaring menelentang di 

tanah beralaskan daun-daun, sedang memandangi kanopi daun di atas. Snape 

memandangi 

sama rakusnya seperti dulu ia memandangi Lily di taman bermain.

”Bagaimana keadaan rumahmu?” Lily bertanya.

Sejumput kerutan muncul di antara kedua mata Snape.

”Baik.” katanya.

”Mereka tidak bertengkar lagi?”

”Oh, mereka masih bertengkar,” ujar Snape. Ia meraih segenggam daun dan 

menyobek￾nyobeknya, kelihatan ia tak sadar akan apa yang sedang lakukan. ”Tapi tak 

akan lama, dan aku akan pergi”

”Ayahmu tidak suka sihir?”

”Dia tidak suka apapun.”

”Severus?”

Sesudut senyum terpilin di mulit Snape saat Lily menyebut namanya.

”Yeah?
”Ceritakan lagi soal Dementor.”

”Kenapa kau ingin tahu mengenai Dementor?”

”Kalau aku menggunakan sihir di luar sekolah—”

”Mereka tidak akan mengirimmu pada Dementor untuk pelanggaran seperti itu! 

Dementor itu untuk orang-orang yang melakukan hal-hal yang benar-benar jahat. 

Mereka 

menjaga penjara sihir, Azkaban. Kau tidak akan berakhir di Azkaban, kau 

terlalu—“ Wajahnya langsung memerah dan ia mengoyak-ngoyak daun lagi. Ada 

suara gemerisik di belakang Harry membuatnya menoleh, Petunia bersembunyi di 

belakang pohon, salah menginjak. 

“Tuney!” sahut Lily terkejut namun ada nada menyambut dalam suaranya. Tapi 

Snape langsung melompat berdiri. 

“Siapa yang memata-matai sekarang?” ia berteriak, “apa yang kau inginkan?”

Petunia tidak bisa bernapas, ia tertangkap basah. Harry bisa melihat ia 

berjuang untuk tidak mengatakan apa yang menyakitkan jika diungkapkan.

”Apa uang kau pakai sebenarnya?” sahut Petunia, menunjuk pada dada Snape, 

”blus 

ibumu?”

Ada suara gemeretak, sebuah dahan pohon di atas kepala Petunia runtuh. Lily 

berteriak; dahan itu mengenai bahu Petunia, dia mungur dan menghambur penuh 

air mata.

”Tuney!”

Tapi Petunia sudah lari. Lily memberondong Snape.

“Apakah kau yang berbuat?”

“Bukan!” Snape terlihat menantang tapi juga pada saat yang sama ketakutan.

”Kau yang melakukannya,” Lily mundur, ”Kau melakukannya. Kau menyakitinya!”

”Bukan—aku tak melakukanya!”

Tapi dusta itu tidak meyakinkan Lily; setelah satu pandangan marah, ia lari dari 

rumpun pohon itu mengejar saudarinya. Snape terlihat menyedihkan dan bingung 

... 

Adegan berubah lagi, Harry melihat ke sekeliling; dia ada di Peron 9 ¾, dan 

Snape berdiri di sampingnya, sedikit membungkuk, di samping seorang wanita 

yang kurus, berwajah pucat, nampak masam, yang sepertinya mencerminkan diri 

Snape. Snape sedang mencermati sebuah keluarga dengan empat anggotanya 

tidak terlalu jauh darinya. Dua gadis berdiri agak jauh dari orangtuanya. Lily 

seperti sedang memohon pada saudarinya. Harry mendekat agar bisa mendengar. 
“…Maaf, Tuney, aku menyesal. Dengar—“ ia menangkap tangan saudarinya dan 

memegangnya erat-erat walau Petunia mencoba untuk melepasnya. “Mungkin 

setibanya aku di sana, tidak, dengar Tuney! Mungkin setibanya aku di sana, aku 

bisa pergi ke Profesor Dumbledore dan membujuknya untuk berubah pikiran!” 

“Aku tidak—ingin—pergi,” sahut Petunia, dan dia menarik tangannya dari 

pegangan saudarinya, ”Kau ingin aku pergi ke kastil bodoh itu dan belajar 

jadi—jadi—” 

Mata pucatnya menelusuri peron, pada kucing-kucing yang mengeong di tangan 

pemiliknya, pada burung hantu yang mengibaskan sayap dan ber-uhu sesama 

mereka di sangkar, pada pada siswa sebagian sudah memakai jubah hitam 

panjang, memuat koperkoper mereka di kereta api uap merah atau saling 

bertukar salam dengan teriakan kegembiraan setelah berpisah selama satu 

musim panas. 

“—kau pikir aku ingin jadi orang—orang sinting?” 

Mata Lily penuh dengan air mata tatkala Petunia berhasil menarik tangannya. 

”Aku bukan orang sinting,” ujar Lily, ”kau mengatakan hal-hal yang mengerikan!” 

”Itulah tempat yang kau tuju,” nampaknya Petunia menikmati betul ucapannya. 

”Sekolah khusus untuk orang sinting. Kau dan pemuda Snape ... orang aneh, itulah 

kalian berdua. Bagus kalau kalian dipisahkan dari orang normal. Untuk 

keselamatan kami.” 

Lily memandang orangtuanya yang sedang sepenuh hati menikmati 

pemandangan di peron. Dan dia melihat saudaranya lagi dan suaranya rendah 

dan kasar. 

“Kau tidak memandang sebagai sekolah untuk orang sinting waktu kau menulis 

untuk Kepala Sekolah dan memohon padanya untuk menyertakanmu.” 

Wajah Petunia memerah. 

“Memohon? Aku tidak memohon!” 

“Aku melihat jawaban Dumbledore. Ia sangat baik.” 

Kau tidak boleh membaca“ bisik Petunia. “Itu barang pribadiku—bagaimana kau--

?”

Lily membuka rahasianya sendiri dengan setengah memandang ke tempat Snape 

berdiri, di dekatnya. Petunia menahan napas.“Anak itu menemukannya! Kau dan 
anak itu mengendap-endap di kamarku!””Tidak—tidak mengendap-endap—“ 

sekarang Lily yang membela diri. “Severus melihat amplop itu dan dia tidak 

percaya bahwa seorang Muggle bisa menghubungi Hogwarts, itu 

saja. Dia bilang pasti ada penyihir menyamar bekerja di kantor pos untuk 

menangani—“

”Jelas-jelas penyihir ikut campur di mana-mana,” sahut Petunia, wajahnya pucat 

seperti baru dibilas. ”Orang Sinting!” dia meludah pada saudaranya, 

menggelepakkan badannya karena marah, ia kembali pada orangtuanya.

Adegan berganti lagi. Snape tergesa-gesa menyusuri koridor Hogwarts Express 

saat kereta itu menyusuri pinggir kota. Ia sudah berganti pakaian dengan jubah 

sekolah, mungkin mempergunakan kesempatan pertama untuk menyingkirkan baju 

Mugglenya yang mengerikan. Akhirnya ia berhenti di luar sebuah kompartemen di 

mana sekumpulan anaklaki-laki sedang ribut berbicara. Meringkuk di sudut kursi 

dekat jendela ternyata adalah Lily, wajahnya ditekankan pada jendela kaca. 

Snape menggeser pintu kompartemen dan duduk di seberang Lily. Lily 

memandang 

Snape sekilas lalu memandang ke jendela lagi. Dia baru saja menangis.

“Aku tak ingin bicara denganmu,” katanya dalam suara tertahan.

“Kenapa?”

“Tuney m—membenciku. Karena kita melihat surat dari Dumbledore itu!”

“Memangnya kenapa?”

Lily melontarkan pandangan tak suka.

”Karena dia saudaraku!”

”Dia hanya seorang—” Snape cepat menghentikan ucapannya; Lily terlalu 

sibuk mencoba mengelap matanya tanpa terlihat, tidak mendengarkan 

ucapannya.

”Tapi kita pergi!” sahut Snape, tak dapat menahan kegembiraan dalam suaranya. 

”Inilah dia, kita menuju Hogwarts!”

Lily mengangguk, mengelap matanya, tapi dia setengah tersenyum.

“Kau lebih baik berada di Slytherin!” sahut Snape, membesarkan hati agar Lily 

gembira sedikit.

“Slytherin?”Salah satu anak yang berbagi kompartemen, yang dari tadi 

mengacuhkan Lily maupun Snape, memperhatikan kata itu, dan Harry yang dari 

tadi memperhatikan Lily dan Snape, melihat ayahnya: langsing, rambut hitam 

seperti Snape tetapi terlihat jelas bahwa ia berasal dari keluarga berada, 

diperhatikan bahkan dikagumi, hal-hal yang tidak ditemukan pada diri Snape.
“Siapa yang mau di Slytherin? Kalau aku ditempatkan di Slytherin, aku akan 

pergi, 

bagaimana denganmu?” James bertanya pada anak laki-laki yang duduk di 

seberangnya. 

Dengan satu sentakan Harry menyadari bahwa itu Sirius. Sirius tidak 

tersenyum.

”Seluruh keluargaku di Slytherin.” katanya.

”Blimey,” sahut James, ”dan kukira kau baik-baik saja.”

Sirius menyeringai.

”Mungkin aku akan memecahkan tradisi. Kalau begitu, kau mau ke mana?”

James menarik pedang yang hanya ada dalam bayangan.

“’Gryffindor, dimana tempat berkumpulnya pemberani’. Seperti ayahku.”

Snape membuat bunyi yang meremehkan. James menoleh padanya.

“Kau keberatan?”

“Tidak,” sahut Snape walau seringai sekilasnya mengemukakan sebaliknya, “jika 

kau merasa lebih baik punya otot daripada punya otak—“

“Kalau begitu kau sendiri mau ke mana, sedangkan kau tak memiliki keduanya?” 

Sirius menyela. James tertawa terbahak-bahak. Lily bangkit, terlihat marah dan 

menatap James hingga Sirius dengan perasaan tak suka.

”Ayo, Severus, kita cari kompartemen lain!”

”Ooooooo...”

James dan Sirius menirukan suara tinggi Lily; James berusaha menjegal kaki 

Snape saat 

ia lewat.

”Sampai jumpa, Snivellus!” sebuah suara terdengar, saat pintu kompartemen 

dibanting. 

Dan adegan berganti lagi. 

Harry berdiri tepat di belakang Snape saat mereka menghadapi meja 

asrama yang diterangi ribuan lilin, barisan yang penuh wajah-wajah penuh 

perhatian. Kemudian Profesor McGonagall berkata, ”Evans, Lily!” 

Harry menyaksikan ibunya berjalan ke depan dengan kaki gemetar dan duduk di 

bangku reyot itu. Profesor McGonagall menjatuhkan Topi Seleksi ke atas kepala 

Lily, dan tak lebih dari sedetik sesudah Topi Seleksi menyentuh rambut merah 

tua itu, Topi berteriak, Gryffindor! 

Harry mendengar Snape mengerang. Lily melepaskan Topi, mengembalikannya 

pada Profesor McGonagall, kemudian bergegas bergabung dengan para 
Gryffindor, saat ia memandang balik pada Snape, ada senyum sedih di 

wajahnya. Harry melihat Sirius menggerakkan bangku agar ada ruangan 

untuk Lily. Lily melihat Sirius lama sekali, nampak mengenalinya waktu di 

kereta, melipat lengannya dan tidak menoleh lagi padanya. 

Pemanggilan diteruskan. Harry menyaksikan Lupin, Pettigrew, dan ayahnya 

bergabung dengan Lily dan Sirius di meja Gryffindor. Akhirnya, saat hanya 

tinggal selusin siswa yang tersisa untuk diseleksi, Profesor McGonagall 

memanggil Snape. 

Harry berjalan bersamanya ke kursi, menyaksikan ia menempatkan Topi 

di atas kepalanya. Slytherin!, teriak Topi Seleksi. 

Dan Severus Snape bergerak ke ujung lain di Aula, jauh dari Lily, di mana para 

Slytherin menyambutnya, di mana Lucius Malfoy, dengan lencana Prefek 

berkilauan di dadanya, menepuk punggung Snape saat Snape duduk di 

sampingnya. 

Dan adegan berganti... 

Lily dan Snape berjalan melintasi halaman kastil, jelas sedang bertengkar. 

Harry bergegas mengejar mereka, untuk mendengar lebih jelas. Saat ia 

mencapai mereka, ia sadar bahwa mereka sudah jauh lebih tinggi sekarang, 

nampaknya mereka sudah melewati beberapa tahun setelah Topi Seleksi. 

”...meski kita seharusnya berteman?” Snape berkata, ”Teman baik?” 

”Kita berteman, Sev, tapi aku tidak suka beberapa temanmu. Maafkan aku, tapi 

aku benci Avery dan Mulciber. Mulciber! Apa yang kau lihat dari mereka, Sev? 

Dia penjilat. Apakah kau tahu apa yang dia lakukan pada Mary Macdonald kemarin 

dulu?” 

Lily mencapai pilar dan bersandar di sana, menatap wajah pucat dan kurus itu. 

“Itu bukan apa-apa,” ujar Snape, “itu cuma lelucon, cuma itu—” 

”Itu Sihir Hitam, dan kalau kau pikir itu lucu—” 

”Lalu bagaimana dengan apa yang dilakukan Potter dan sobat-sobatnya?” tuntut 

Snape, wajahnya memerah lagi saat ia mengatakannya, sepertinya tidak dapat 

menahan kemarahan. 

”Memangnya ada apa dengan Potter?” tanya Lily. 

“Mereka menyelinap di malam hari. Ada seusatu yang aneh dengan Lupin. Ke 
mana dia selalu pergi?” 

”Dia sakit,” ucap Lily, ”mereka bilang dia sakit.” 

”Tiap bulan saat purnama?” tanya Snape. 

”Aku tahu teorimu,” ujar Lily, dan dia terdengar dingin, ”Kau terobsesi dengan 

mereka kan? Kenapa kau begitu perhatian dengan apa yang mereka lakukan di 

malam hari?” 

”Aku hanya mencoba menunjukkan padamu, mereka tidak semenakjubkan seperti 

orang-orang pikir.” Kesungguhan pandangan mata Snape membuat Lily tersipu. 

”Walaupun begitu, mereka tidak menggunakan Sihir Hitam,” Lily menurunkan 

suaranya. ”Dan kau benar-benar tidak bisa berterima kasih. Aku dengar apa yang 

terjadi malam kemarin. Kau menyelinap ke terowongan di bawah Dedalu Perkasa 

dan James Potter menolongmu dari apapun yang terjadi di bawah sana—” 

Seluruh wajah Snape berubah dan bicaranya bergetar, ”Menyelamatkan? 

Menyelamatkan? Kau kira dia sedang bermain peran sebagai pahlawan? Dia 

sedang menyelamatkan diri dan sobat-sobatnya juga. Kau tidak akan—aku 

tidak akan membiarkanmu—“ 

“Membiarkanku? Membiarkanku?” 

Lily memicingkan mata hijaunya yang terang. Snape mundur seketika. 

“Aku tidak bermaksud—Aku hanya tidak ingin kau memperolok—dia naksir kau, 

James Potter naksir kau!” kata-kata itu seperti meluncur keluar dari Snape di 

luar keinginannya. “Dan dia tidak … Tiap orang mengira … Pahlawan Quidditch—“ 

kebencian dan ketidaksukaan Snape membuat ia bicara tidak jelas, dan alis Lily 

semakin naik di keningnya. 

“Aku tahu James Potter hanyalah seseorang yang sombong,” kata Lily memotong 

ucapan Snape. “Aku tidak perlu diberitahu olehmu. Tapi gagasan Mulciber dan 

Avery tentang humor itu jahat. Jahat, Sev. Aku tidak paham bagaimana kau bisa 

berteman dengan mereka.” 

Harry ragu apakah Snape mendengarkan kritik Lily tentang Mulciber dan Avery. 

Saat Lily menghina James Potter, seluruh tubuh Snape menjadi tenang, rileks, 

dan saat mereka berjalan menjauh terasa ada kekuatan baru di setiap langkah 

Snape. 

Adegan berubah lagi.
Harry mengamati lagi, saat Snape meninggalkan Aula Besar setelah mengerjakan 

OWLnya untuk Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam. Mengamati saat Snape 

berjalan menjauhi kastil, melamun menyimpang dari jalan, tidak hati-hati, 

mendekati tempat di bawah pohon beech di mana James, Sirius, Lupin, dan 

Pettigrew duduk bersama. Tapi Harry menjaga jarak saat ini, karena dia tahu apa 

yang terjadi setelah James mengangkat Severus ke udara dan mengejeknya; ia 

tahu apa yag dilakukan dan dikatakan, dan samasekali tidak menyenangkan untuk 

mendengarnya lagi. Dari jauh ia mendengar Snape berteriak pada Lily dalam 

penghinaannya dan kemarahannya, kata yang tak termaafkan: Darah Lumpur. 

Adegan berganti … 

“Maafkan aku.” 

“Aku tak tertarik.” 

“Aku menyesal.” 

“Percuma bicara.” 

Saat itu malam. Lily mengenakan baju tidur, berdiri dengan tangan terlipat 

di depan lukisan Nyonya Gemuk di jalan masuk Menara Gryffindor. 

“Aku hanya datang karena Mary bilang kau mau menginap di sini.” 

”Memang. Aku tak pernah bermaksud memanggilmu Darah Lumpur, itu hanya—” 

”Keceplosan?” Tak ada rasa kasihan pada suara Lily. ”Sudah terlambat. Aku 

sudah bertahun-tahun mengarang alasan untuk semua tindakanmu. Tak satupun 

temanku bisa paham kenapa aku bisa bicara padamu. Kau dan teman-teman 

Pelahap Mautmu yang berharga –kau lihat, kau bahkan tidak menyangkalnya. Kau 

bahkan tidak menyangkal bahwa itu adalah tujuanmu. Kau tak bisa menunggu 

untuk bergabung dengan Kau-Tahu-Siapa, bukan?” 

Snape membuka mulut, tapi menutupnya lagi tanpa bersuara. 

”Aku tak dapat berpura-pura lagi. Kau memilih jalanmu, aku memilih jalanku.” 

”Tidak –dengar, aku tak bermaksud—”

“—memanggilku Darah Lumpur? Tapi kau memanggil semua yang kelahirannya 

sama 

denganku Darah Lumpur, Severus. Kenapa aku mesti dibedakan?”

Snape berusaha untuk berbicara, tapi dengan pandangan menghina Lily 

membuang muka, 
dan memanjat kembali lubang lukisan …

Koridor mengabur dan adegan yang ini agak sulit tersusun. Harry seperti terbang 

melalui bentuk dan warna yang berubah-ubah hingga sekitarnya padat kembali, 

dan ia berdiri di atas bukit, sedih dan dingin dalam kegelapan, angin bertiup 

melalui cabang-cabang pohon yang tinggal sedikit daunnya. Snape dewasa 

terengah. Menoleh pada suatu tempat, tongkatnya dicengkeram erat-erat, 

menunggu seseorang atau sesuatu … Ketakutannya menular pada Harry, walau 

Harry tahu ia tidak mungkin dicelakai, dan ia memandang jauh, berpikir apakah 

yang sedang ditunggu Snape …

Kemudian seberkas cahaya putih membutakan melayang di udara; Harry mengira 

petir, 

tetapi Snape jatuh berlutut dan tongkatnya terlempar dari tangannya.

“Jangan bunuh saya!”

“Aku tidak berniat demikian.”

Suara Dumbledore ber-Apparate ditenggelamkan oleh suara angin di cabang￾cabang 

pohon. Dumbledore berdiri di depan Snape dengan jubah melambai-lambai dan 

wajahnya diterangi cahaya dari tongkatnya.

“Jadi apa, Severus? Pesan macam apa yang Lord Voldemort punya untukku?”

“Tidak –tidak ada pesan—saya datang atas keinginan sendiri!”

Snape meremas tangannya; dia terlihat sedikit gila, dengan rambut hitam 

terurai di sekitarnya.

“Saya—saya datang dengan peringatan—bukan, sebuah permintaan—

kumohon—“

Dumbledore menjentikan tongkatnya. Walau daun-daun dan cabang-cabang 

masih 

beterbangan di udara malam di sekitar mereka, tempat di mana ia dan 

Snape berada 

terasa sunyi.

“Permintaan apa yang bisa kupenuhi dari seorang Pelahap Maut?”

”Ra—ramalan, ... perkiraan ... Trelawney ...”

”Ah, ya,” sahut Dumbledore, ”seberapa banyak yang kau sampaikan pada 

Lord 

Voldemort?” 

”Semua—semua yang saya dengar!” sahut Snape. “Karena itulah—untuk alasan 

itu—ia mengira itu berarti Lily Evans!” ”Ramalan itu tidak mengacu pada seorang 

wanita,” sahut Dumbledore, ”isinya mengenai anak laki-laki yang lahir di akhir 

Juli—” 
”Anda tahu apa yang saya maksud! Pangeran Kegelapan mengira itu adalah anak 

Lily, ia akan memburu Lily—membunuhnya—” ”Kalau Lily memang berarti begitu 

banyak bagimu,” sahut Dumbledore, “tentu saja Lord Voldemort akan 

mengampuninya? Tidakkah kau bisa meminta untuk mengasihani ibunya, sebagai 

ganti anaknya?”

”Saya—saya sudah meminta padanya—”

”Kau membuatku jijik,” sahut Dumbledore, dan Harry belum pernah mendengar 

suara Dumbledore begitu merendahkan. Snape terlihat sedikit menyusut.

“Kau tidak peduli akan kematian suami dan anaknya? Mereka boleh mati, 

asal kau mendapat apa yang kau inginkan?” 

Snape tidak berbicara, hanya memandang Dumbledore.

“Kalau begitu, sembunyikan mereka,” sahutnya parau, “Selamatkan dia—mereka—

Kumohon.”

”Dan apa yang kau berikan padaku sebagai imbalan, Severus?”

”Sebagai—sebagai imbalan?” Snape terperangah pada Dumbledore, dan Harry 

mengharap Snape akan protes, tetapi setelah saat yang lama ia menyahut, 

”Segalanya.”Puncak bukit itu tersamar, dan Harry berdiri di kantor Dumbledore, 

dan sesuatu berbunyi seperti binatang terluka. Snape merosot di kursinya, dan 

Dumbledore berdiri di depannya, nampak suram. Sesaat Snape mengangkat 

wajahnya, ia nampak seperti orang yang sudah hidup beratus tahun dalam 

penderitaan sejak meninggalkan puncak bukit itu. 

“Saya kira … Anda akan … menjamin dia … selamat.”

”Dia dan James menyimpan kepercayaan pada orang yang salah,” sahut 

Dumbledore, 

”Hampir seperti dirimu, Severus. Bukankah kau berharap Lord Voldemort akan 

mengampuninya?”Napas Snape terdengar pendek.

“Anak laki-lakinya selamat,” ujar Dumbledore.

Dengan sentakan kecil di kepalanya, Snape terlihat membunuh lalat yang 

menjengkelkan.

”Putra Lily hidup. Ia punya mata Lily, persis mata Lily. Kau ingat bentuk dan 

warna mata Lily Evans, kan?””JANGAN!” lenguh Snape, ”Pergi ... 

Meninggal...””Apakah ini penyesalan, Severus?””Saya harap ... Saya harap saya

mati ...”“Lalu apa gunanya untuk orang lain?” sahut Dumbledore dingin, ”Kalau kau 

mencintai Lily Evans, kalau kau benar-benar mencintainya, jalan untukmu terbuka 

lebar
Snape nampak melalui perih yang samar-samar, dan arti kata-kata Dumbledore 

terlihat 

lama sekali sampai kepadanya.

”Apa—apa maksud Anda?”

”Kau tahu bagaimana dan mengapa Lily meninggal. Pastikan kematian itu tidak 

sia-sia. 

Bantulah aku melindungi anak Lily.”

”Dia tidak perlu perlindungan. Pangeran Kegelapan sudah pergi—”

”—Pangeran Kegelapan akan kembali, dan pada saat itu Harry Potter akan 

berada dalam bahaya besar.”

Ada sunyi yang lama, dan perlahan Snape bisa mengendalikan diri lagi, 

menguasai 

napasnya lagi. Akhirnya ia berucap, ”Baiklah. Baiklah. Tapi jangan pernah—

jangan ceritakan, Dumbledore! Ini hanya di antara kita saja! Bersumpahlah! 

Saya tidak bisa 

menanggung ... khususnya anak Potter ... Saya ingin Anda berjanji!”

“Janjiku, Severus, bahwa aku tidak pernah akan memperlihatkan sisi 

terbaikmu?” 

Dumbledore mengeluh, menatap wajah garang Snape yang diliputi kesedihan yang 

mendalam. “Kalau kau bersikeras …”

Kantor Kepala Sekolah memudar tapi langsung terbentuk kembali. Snape sedang 

berjalan 

mondar-mandir di depan Dumbledore.

“—biasa saja, sombong seperti ayahnya, kecenderungan untuk melanggar 

peraturan, suka 

melihat dirinya terkenal, mencari perhatian, tidak sopan—““Kau melihat apa yang 

ingin kau lihat, Severus,” sahut Dumbledore tanpa mengangkat matanya dari 

Transfigurasi Terkini*. ”Guru lain melaporkan bahwa anak itu rendah hati, cukup 

disenangi, dan berbakat. Kurasa dia cukup menarik.” 

Dumbledore membalik lembaran bacaannya dan berkata tanpa mengangkat 

matanya, “Tolong perhatikan Quirrell, ya?” 

Seputaran warna dan semuanya gelap, Snape dan Dumbledore berdiri agak jauh 

di Pintu Masuk, saat orang terakhir dari Pesta Dansa Natal melintasi mereka 

untuk pergi tidur. 

“Jadi?” gumam Dumbledore. 

“Tanda Kegelapan Karkaroff menjadi lebih gelap juga. Dia panik, dia takut 

pembalasan; Anda tahu sejauh mana ia membantu Kementerian setelah 
kejatuhan Pangeran Kegelapan.” Snape melihat ke samping melalui sosok hidung 

bengkok Dumbledore. ”Karkaroff berniat untuk melarikan diri jika Tanda itu 

terbakar.” 

”Apakah demikian?” sahut Dumbledore lembut, saat Fleur Delacour dan Roger 

Davis lewat terkikik-kikik bangkit dari tanah. ”Apakah kau tergoda untuk 

bergabung dengannya?” 

”Tidak,” sahut Snape, matanya tertuju pada sosok Fleur dan Roger yang makin 

mengecil. ”Saya bukan pengecut.” 

”Bukan,” Dumbledore setuju, ”Kau jauh lebih berani daripada Igor Karkaroff. 

Kau tahu, kadang aku merasa kita Menyeleksi terlalu cepat ...” 

Dumbledore berjalan menjauh, meninggalkan Snape yang terlihat mematung. 

Dan sekarang Harry berdiri di Kantor Kepala Sekolah lagi. Saatnya malam dan 

Dumbledore merosot di kursinya yang seperti singgasana di balik meja, nyata￾nyata setengah sadar. Tangan kanannya terjuntai di sisinya, menghitam dan 

terbakar. Snape sedang menggumamkan mantra, menujukan tongkatnya pada 

pergelangan tangan Dumbledore, saat yang sama tangan kirinya menuangkan 

piala berisi ramuan kental keemasan ke dalam tenggorokan Dumbledore. 

Setelah beberapa saat, kelopak mata Dumbledore bergetar dan membuka. 

”Mengapa,” sahut Snape tanpa basa-basi, ”mengapa Anda mengenakan cincin 

itu? Di dalamnya terkandung Kutukan, pasti Anda mengetahuinya. Mengapa 

bahkan Anda menyentuhnya?” 

Cincin Marvolo Gaunt tersimpan di meja dekat Dumbledore. Cincin itu retak; 

pedang Gryffindor terletak di sebelahnya. 

Dumbledore meringis. 

“Aku … bodoh. Aku tergoda …” 

“Tergoda oleh apa?” 

Dumbledore tak menjawab. 

“Suatu keajaiban Anda berhasil kembali kesini,” Snape terdengar geram, 

“Cincin itu mengandung Kutukan dari kekuatan yang luarbiasa, kita hanya bisa 

berharap kita bisa menahannya; saya sudah memerangkap kutukan itu di satu 

tangan untuk sementara.” 

Dumbledore mengangkat tangan yang menhitam dan sudah tak berguna lagi, memperhatikannya dengan ekspresi seperti seseorang yang sedang 

diperlihatkan barang ajaib yang menarik. 

“Kau bekerja sangat baik, Severus. Berapa lama kau kira aku bisa bertahan?” 

Nada suara Dumbledore sangat biasa, sebiasa seperti kalau dia sedang bertanya 

ramalan cuaca. Snape ragu, kemudian berucap, ”Saya tidak bisa mengatakannya. 

Mungkin setahun. Tidak ada yang bisa menghentikan mantra itu untuk 

selamanya. Mantra itu pasti akan menyebar, ini termasuk Kutukan yang menguat 

setiap saat.” 

Dumbledore tersenyum. Kabar bahwa ia hanya punya kurang dari satu tahun 

untuk hidup nampaknya hanya sedikit atau bahkan tidak berpengaruh sama 

sekali padanya. 

”Aku beruntung, sangat beruntung, bahwa aku punya kau, Severus.” 

”Kalau saja Anda memanggil saya lebih cepat, saya mungkin bisa berbuat lebih 

baik lagi, memberikan Anda lebih banyak waktu,” sahut Snape geram. Ia melihat 

pada cincin yang retak dan pedang. ”Apakah Anda pikir merusak cincin bisa 

mematahkan Kutukan?” 

”Sesuatu seperti itulah ... aku lupa daratan, tak ada keraguan ...” sahut 

Dumbledore. Dengan susah payah ia menegakkan diri di kursi. ”Yah, 

sebenarnya ini membuat masalah-masalah lebih terlihat mudah.” 

Snape terlihat benar-benar kebingungan. Dumbledore tersenyum. 

“Aku mengacu pada rencana Lord Voldemort yang berputar di sekitarku. 

Rencananya ialah membuat putra Malfoy yang malang itu membunuhku.” 

Smape duduk di kursi yang sering Harry duduki, di seberang meja Dumbledore. 

Harry dapat mengatakan bahwa Snape ingin mengatakan lebih banyak lagi 

tentang tangan Dumbledore yang terkena Kutukan, tapi Dumbledore menolak 

untuk membahasnya lebih lanjut, dengan sopan. Sambil memberengut, Snape 

menyahut, “Pangeran Kegelapan tidak mengharapkan Draco berhasil. Ini semua 

hukuman untuk kegagalan Lucius. Siksaan yang pelan untuk orangtua Draco, saat 

mereka menyaksikan Draco gagal dan mendapat ganjarannya.” 

”Singkatnya, anak itu sudah mendapat vonis mati, aku yakin,” sahut Dumbledore. 

Sekarang, aku mengira, pengganti untuk melakukan pekerjaan itu, sekali 

Draco gagal, adalah kau sendiri?” 

Hening sejenak
Saya kira ya, itu memang rencana Pangeran Kegelapan.” 

”Lord Voldemort memperkirakan dalam jangka pendek ia tidak memerlukan 

mata-mata lagi di Hogwarts?” 

”Ia percaya sekolah ini akan berada dalam genggamannya, ya betul.” 

”Dan jika sekolah ini benar-benar jatuh ke dalam genggamannya,” sahut 

Dumbledore, dalam suara rendah, ”aku dapat jaminan bahwa kau akan 

berusaha sekuatmu untuk melindungi para siswa di Hogwarts?” 

Snape mengangguk kaku. 

”Bagus. Sekarang. Prioritas pertama, temukan apa yang sedang dituju oleh Draco. 

Seorang ABG yang sedang ketakutan merupakan bahaya untuk orang lain juga 

bagi dirinya sendiri. Tawarkan padanya pertolongan dan bimbingan, ia harus 

menerimanya, ia suka padamu—” 

”—sekarang berkurang sejak ayahnya tidak disukai. Draco menyalahkan saya, ia 

mengira saya telah merampas posisi Lucius.” 

”Walau demikian, cobalah terus. Aku lebih memperhatikan korban-korban 

kejadian akan rencana yang akan dilakukan oleh anak itu, daripada diriku sendiri. 

Akhirnya, tentu saja, hanya ada satu hal yang dapat dilakukan untuk 

menyelamatkan dia dari kemurkaan Lord Voldemort.” 

Snape menaikkan alisnya dan nada suaranya sengit saat ia bertanya, ”Anda 

bermaksud membiarkannya membunuh Anda?” 

”Tentu saja tidak. Kau yang harus membunuhku.” 

Hening yang panjang, terpecahkan hanya dengan suara klik yang aneh. 

Fawkes si phoenix sedang menggerogoti tulang belulang. 

“Anda ingin saya mengerjakannya sekarang?” tanya Snape, suaranya penuh ironi, 

“Atau Anda ingin beberapa saat untuk merancang tulisan di batu nisan?” 

“Oh, belum saatnya,” Dumbledore tersenyum, “Aku berani mengatakan bahwa 

waktu untuk itu akan datang dengan sendirinya. Dengan adanya kejadian 

malam ini,” ia menunjukkan tangannya yang layu, “kita bisa yakin itu akan 

terjadi dalam waktu setahun.” 

“Kalau Anda tidak berkeberatan mati,” sahut Snape kasar, “mengapa tidak 

membiarkan Draco yang melakukannya?”
“Jiwanya belum rusak,” sahut Dumbledore, “aku tak mau merenggutnya.” 

“Dan jiwa saya, Dumbledore? Jiwa saya?” 

“Kau sendiri tahu apakah ini akan mengganggu jiwamu atau tidak, untuk menolong 

seorang tua menghindari nyeri dan malu,” sahut Dumbledore, “aku meminta 

pertolongan, pertolongan yang besar darimu, Severus, karena kematian datang 

padaku sama pastinya Chudley Cannons akan berada di peringkat terakhir pada 

liga tahun ini. Aku mengaku aku memilih jalan keluar yang cepat dan tidak nyeri 

dari masalah yang berlarut-larut dan kusut ini, misalnya, Greyback terlibat—

kudengar Voldemort merekrutnya? Atau Bellatrix tercinta, yang suka bermain￾main dengan korbannya sebelum ia ‘memakannya’.” 

Nada suaranya lembut tapi mata birunya menusuk Snape sebagaimana kedua 

mata itu sering menusuk mata Harry, sebagaimana jiwa yang sedang mereka 

diskusikan bisa terlihat oleh mereka. Akhirnya Snape mengangguk lagi, kaku. 

Dumbledore nampak puas. 

“Terimakasih , Severus.” 

Kantor menghilang, dan sekarang Snape dan Dumbledore berjalan bersama di 

halaman kastil yang sunyi sejak senjakala. 

“Apa yang Anda lakukan dengan Potter, pada tiap malam Anda bersamanya?” 

Snape bertanya kasar. 

Dumbledore terlihat lelah. 

“Kenapa? Kau tak mencoba menambah detensinya, kan, Severus? Anak itu 

kelihatannya sebentar lagi akan menghabiskan waktunya untuk detensi.” 

”Dia sudah mulai seperti ayahnya lagi.” 

”Penampilannya, mungkin. Tetapi di dalamnya, ia lebih mirip ibunya. Aku 

menghabiskan waktu dengan Harry karena aku perlu berdiskusi dengannya, 

informasi yang harus kuberikan padanya sebelum terlambat.” 

”Informasi,” ulang Snape, ”Anda mempercayai dia ... Anda tidak mempercayai 

saya.” 

“Ini bukan soal mempercayai. Aku punya, seperti yang kau tahu, waktu yang 

terbatas. Penting untuk memberi cukup informasi untuknya, agar ia bisa 

melakukan apa yang harus ia lakukan.” 
”Dan mengapa saya tidak boleh mendapat informasi yang sama?” 

”Aku memilih untuk tidak menyimpan semua informasi dalam satu keranjang, 

khususnya bukan keranjang yang dekat dengan tangan Voldemort.” 

”Yang saya lakukan atas perintah Anda.” 

”Dan kau melakukannya dengan sangat baik. Jangan mengira aku menganggap 

remeh bahaya yang terus menerus kau hadapi, Severus. Untuk memberikan 

Voldemort informasi yang sepertinya berharga, di sisi lain menyembunyikan 

intinya, adalah pekerjaan yang tidak akan kuberikan pada siapapun kecuali 

kau.” 

”Dan Anda lebih percaya pada anak yang tidak mampu Occlumency, yang sihirnya 

biasabiasa saja, dan punya hubungan langsung dengan pikiran Pangeran 

Kegelapan!” 

”Voldemort takut akan hubungan itu,” sahut Dumbledore, ”Belum begitu lama 

berselang, ia dapat mencicipi bagaimana sebenarnya berbagi pikiran Harry itu 

rasanya bagi dia. Sakit yang tak terperi seperti yang tak pernah ia rasakan. Ia 

tidak akan mencoba untuk menguasai pikiran Harry lagi, aku yakin. Tidak dengan 

cara itu.” 

”Saya tidak mengerti.” 

“Jiwa Lord Voldemort tidak bisa menahan hubungan dekat dengan jiwa 

seperti Harry. Seperti lidah dengan baja beku, seperti daging dalam api …” 

“Jiwa? Kita bicara tentang pikiran!” 

”Dalam kasus Harry dan Voldemort, bicara tentang yang satu berarti bicara 

tentang yang lainnya.” 

Dumbledore memandang berkeliling untuk yakin mereka sendiri. Mereka dekat ke 

Hutan Terlarang, tapi tak ada tanda-tanda siapapun dekat sana. 

”Setelah kau membunuhku, Severus—” 

”Anda menolak untuk mengatakan semuanya, tapi Anda mengharapkan saya 

melakukan hal kecil itu,” Snape geram, dan kemarahan yang sesungguhnya 

memancar dari wajah kurus itu; ”Anda menganggap segala hal sudah pasti, 

Dumbledore! Mungkin saya akan berubah pikiran!” 

”Kau sudah berjanji, Severus. Dan saat kita bicara tentang pekerjaan di 

mana kau berhutang padaku, aku kira kau setuju untuk mengamati lebih 
dekat teman muda Slytherin kita?” 

Snape terlihat marah, memberontak. Dumbledore mengeluh. 

“Datanglah ke kantorku nanti malam, Severus, jam sebelas, dan kau tak akan 

mengeluh lagi bahwa aku tak percaya padamu…” 

Mereka kembali ke kantor Dumbledore, jendela nampak gelap, dan Fawkes 

bertengger diam, saat Snape duduk tenang, saat Dumbledore berjalan 

mengelilinginya, berbicara. 

“Harry tak boleh tahu, tidak sampai saat terakhir, tidak sampai jika sudah 

diperlukan, jika tidak, bagaimana dia dapat kekuatan untuk melakukan apa yang 

harus dilakukan?” 

“Tapi apa yang harus dilakukannya?” 

”Itu akan menjadi persoalan antara aku dan dia. Sekarang, dengarkan baik-baik, 

Severus. Akan datang saatnya—setelah kematianku—jangan membantah, jangan 

menyela. Akan datang saatnya Lord Voldemort terlihat takut akan hidup 

ularnya.” 

”Nagini?” Snape keheranan. 

”Betul sekali. Jika datang saatnya Lord Voldemort berhenti mengirim Nagini 

untuk melakukan apa yang diperintahkan, melainkan menjaga Nagini di 

sebelahnya, pakai perlindungan sihir, maka kurasa sudah aman untuk 

memberitahu Harry.” 

”Beritahu apa?” 

Dumbledore menarik napas panjang dan menutup matanya. 

”Beritahu padanya bahwa pada malam di mana Lord Voldemort mencoba 

membunuhnya, saat Lily menjadikan nyawanya sebagai pelindung, Kutukan 

Pembunuh-nya memantul kembali pada Lord Voldemort, dan satu pecahan jiwa 

Voldemort terlepas dari keseluruhan, menempel pada satu-satunya jiwa yang 

masih hidup di gedung yang runtuh itu. Sebagian dari Lord Voldemort hidup di 

dalam Harry. Itulah yang membuatnya bisa bahasa ular, dan ada hubungannya 

dengan pikiran Lord Voldemort, yang tak pernah bisa dimengertinya. Dan dengan 

pecahan jiwa itu, tidak disadari oleh Voldemort, tetap menempel pada, dan 

dilindungi oleh Harry, Lord Voldemort tak bisa mati. 

”Jadi anak itu ... anak itu harus mati?” tanya Snape perlahan.
Dan Voldemort sendiri yang melakukannya, Severus. Itu penting.” 

Senyap yang panjang lagi. Kemudian Snape menyahut, “Saya kira … selama ini … 

kita melindungi anak itu untuk Lily. Untuk Lily.” 

“Kita melindunginya karena penting untuk mengajarinya, membesarkan dia, 

membiarkan dia mencoba kekuatannya,” sahut Dumbledore, matanya masih 

terpejam rapat. Sementara itu, hubungan antara Voldemort dan Harry tumbuh 

semakin kuat, pertumbuhan yang seperti benalu; kadang aku mengira Harry 

sendiri akan mencurigainya. Kalau aku mengenalinya, ia akan mengatur hal-hal 

sedemikian rupa sehingga saat ia bertemu dengan kematian, itu berarti akhir 

dari Voldemort yang sebenar-benarnya.” 

Dumbledore membuka matanya. Snape nampak terkejut. 

“Anda membiarkannya hidup agar ia bisa mati pada saat yang tepat?” 

”Jangan terkejut, Severus. Berapa banyak laki-laki dan perempuan yang 

kau amati kematiannya?” 

”Akhir-akhir ini hanya mereka yang tidak bisa saya selamatkan,” sahut 

Snape. Ia beranjak berdiri. ”Anda memperalat saya.” 

”Maksudnya?” 

”Saya memata-matai untuk Anda, berbohong untuk Anda, menempatkan diri 

saya dalam bahaya kematian untuk Anda. Semuanya ditujukan untuk menjaga 

keselamatan putra Lily. Sekarang Anda mengatakan pada saya, Anda 

membesarkannya seperti babi siap untuk disembelih—” 

”Menyentuh sekali, Severus,” sahut Dumbledore serius. ”Apakah kau 

sekarang sudah punya rasa peduli pada anak itu?” 

”Pada anak itu?” teriak Snape, ”Expecto patronum!” 

Dari ujung tongkatnya keluar rusa betina perak, rusa itu mendarat di lantai 

kantor, melambung sekali melintasi kantor dan meluncur ke luar dari 

jendela. Dumbloedore mengamati rusa itu melayang pergi, dan saat cahaya 

keperakannya mulai lenyap, Dumbledore menoleh pada Snape, matanya 

basah. 

“Selama ini?” 

“Selalu,” sahut Snape
Dan adegan berganti. Sekarang Harry melihat Snape sedang berbicara 

pada lukisan Dumbledore di belakang meja. 

“Kau akan memberikan tanggal pasti keberangkatan Harry dari rumah paman dan 

bibinya pada Voldemort,” sahut Dumbledore. “Tidak melakukannya berarti 

membangkitkan kecurigaan karena Voldemort percaya kau selalu punya informasi 

bagus. Tapi kau harus menanamkan gagasan umpan pengalih perhatian—yang 

kukira bisa menjamin keselamatan Harry. Coba memantrai Mundungus dengan 

Confundus. Dan Severus, jika kau terpaksa untuk mengambil bagian dalam 

pengejaran, berperanlah dengan meyakinkan ... Aku mengandalkanmu untuk tetap 

dalam hitungan Voldemort selama mungkin, agar Hogwarts tidak jatuh ke tangan 

Carrows ...” 

Sekarang Snape berhadapan dengan Mundungus di rumah minum yang tidak 

dikenal, wajah Mundungus terlihat kosong, Snape mengerutkan kening 

berkonsentrasi. 

”Kau akan mengusulkan pada Orde Phoenix,” Snape bergumam, ”bahwa mereka 

akan menggunakan umpan pengalih perhatian. Ramuan Polijus. Potter kembar. 

Itu satusatunya yang mungkin berhasil. Kau akan melupakan bahwa aku yang 

mengusulkan itu. Kau akan mengajukannya sebagai gagasanmu sendiri. Paham?” 

”Aku paham,” gumam Mundungus, matanya tak fokus ... 

Sekarang Harry terbang di sisi Snape di atas sapu di malam gelap yang 

bersih; dia disertai para Pelahap Maut bertudung, di depan ada Lupin dan 

seorang Harry yang sebenarnya adalah George ... seorang Pelahap Maut 

maju mendahului Snape dan mengangkat tongkatnya, menunjuk langsung 

pada punggung Lupin –” 

”Sectumsempra!” teriak Snape. 

Tapi mantra yang dimaksud pada tangan bertomgkat dari Pelahap Maut itu 

meleset dan mengenai George—” 

Selanjutnya Snape sedang berlutut di kamar lama Sirius. Air mata berlinang 

dari hidungnya yang bengkok saat ia membaca surat lama dari Lily. Halaman 

kedua surat itu hanya berisi beberapa kata: 

kok bisa sih berteman dengan Gellert Grindelwald. Kukira dia sudah gila! 

Penuh cinta, 

Lily 
Snape mengambil halaman yang bertandatangan Lily, dan cintanya, diselipkan ke 

dalam jubahnya. Ia merobek foto yang sedang dipegangnya, ia menyimpan bagian 

Lily sedang tertawa, dan menjatuhkan bagian James dan Harry, jatuh di bawah 

lemari. 

Dan sekarang Snape berdiri lagi di ruang baca Kepala Sekolah, saat Phineas 

Nigellus bergegas datang dalam lukisannya. 

“Kepala Sekolah! Mereka sedang berkemah di Hutan Dean. Darah Lumpur itu—” 

”Jangan gunakan kata itu!” 

”—baiklah, gadis Granger itu menyebut nama tempat itu saat ia membuka tasnya 

dan aku mendengarnya!” 

”Bagus. Bagus sekali!” teriak Dumbledore dari belakang kursi Kepala Sekolah. 

Sekarang, Severus, pedangnya! Jangan lupa bahwa pedang itu hanya bisa diambil 

dalam kondisi memerlukan, dan dengan keberanian—dan dia tidak boleh tahu kau 

yang memberinya! Jika Voldemort membaca pikiran Harry dan melihat kau 

bergerak untuknya—“ 

“Saya tahu,” sahut Snape kaku. Ia mendekati lukisan Dumbledore dan menarik 

sisinya. Lukisan itu mengayun maju, memperlihatkan rongga tersembunyi di 

belakangnya, dari situ Snape mengambil Pedang Gryffindor. 

”Dan Anda masih belum akan memberitahu saya mengapa sebegitu penting untuk 

memberi Potter sebuah pedang?” sahut Snape sembari mengayunkan mantel 

bepergian di atas jubahnya. 

”Kurasa tidak,” sahut lukisan Dumbledore. ”Ia tahu apa yang harus dilakukan. 

Dan Severus, berhati-hatilah, mereka tidak akan berbaik hati pada 

kemunculanmu setelah peristiwa George Weasley—” 

Snape menuju pintu. 

”Tidak usah khawatir, Dumbledore,” sahutnya dingin, ”saya punya rencana...” 

Dan Snape meninggalkan ruangan. Harry bangkit, keluar dari Pensieve, sesaat 

kemudian ia tergeletak di lantai berkarpet di ruangan yang sama; Snape mungkin 

baru saja menutup pintu. 

BAB 34: KEMBALI KE HUTAN 

Pada akhirnya, kebenaran. Sambil berbaring dengan wajah menekan karpet