Jumat, 19 Januari 2024
Home »
harry potter K
» harry potter K
harry potter K
Januari 19, 2024
harry potter K
“Apa?”Suara Harry, Ron, dan Hermione berbarengan bergema di jalan tembus
itu.“Yeah,” sahut Neville, “Itulah makanya aku dapat ini,” ia menunjuk pada bekas
luka
yang dalam di pipi. “Aku menolak melakukannya. Tapi sebagian orang suka: Crabbe
dan
Goyle suka sekali. Untuk pertama kalinya mereka bisa berada di posisi atas,
kupikir.” ”Alecto, saudarinya, mengajar Telaah Muggle, yang wajib untuk semua.
Kami harus mendengar penjelasannya bahwa Muggle itu seperti binatang, bodoh
dan kotor, dan bagaimana Muggle menjadikan para penyihir terpaksa
bersembunyi karena Muggle berbuat keji pada mereka, dan bagaimana hukum
alam disusun ulang. Aku dapat ini,” ia
menunjukkan luka lain di wajahnya, ”karena aku menanyakan seberapa banyak
ia dan saudaranya punya darah Muggle.”
”Blimey, Neville,” sahut Ron, ”ada waktu dan tempat di mana orang mesti
pintar-pintar ngomong.”
”Kau tidak mendengarnya.” sahut Neville, ”Kau juga tak akan tahan. Masalahnya,
kalau ada yang berdiri menentang mereka, berarti memberi harapan bagi
semua. Aku perhatikan itu waktu dulu kau melakukannya, Harry!”
”Tapi mereka memperlakukanmu seperti asahan pisau,” sahut Ron,
mengernyit saat mereka melewati lampu dan luka-luka Neville terlihat
jelas.
Neville mengangkat bahu.
”Nggak masalah. Mereka tidak mau terlalu banyak menumpahkan Darah
Murni, jadi mereka menyiksa kami sedikit bila sedang kesal tapi mereka
tidak ingin membunuh kami.”
Harry tidak tahu mana yang lebih buruk, hal-hal yang Neville katakan
atau nada kebenaran yang ia katakan.
”Satu-satunya yang benar-benar dalam bahaya ialah bila kau punya teman atau
saudara yang menyulitkan. Mereka mengambilmu sebagai sandera. Xeno Lovegood
tua ngomong macam-macam di The Quibbler, jadi mereka menangkap Luna di
kereta saat pulang Natal.
”Neville, dia baik-baik saja, kami bertemu dengannya—”
“Yeah, aku tahu, dia berhasil mengirimkan pesan padaku.”
Dari sakunya ia mengeluarkan koin emas, dan Harry mengenalinya sebagai Galleon
palsu yang dipakai Laskar Dumbledore untuk saling berkirim pesan.
”Ini keren,” sahut Neville, wajahnya berseri-seri pada Hermione, ”Carrow
bersaudara tidak pernah berhasil membongkar bagaimana cara kami
berkomunikasi, itu membuat mereka marah. Kami biasa menyelinap di malam
hari, menulis grafiti di dinding: Laskar Dumbledore, Masih Membuka Lowongan,
hal-hal seperti itu. Snape membenci itu.”
”Kau biasa?” sahut Harry, memperhatikan bentuk lampau dalam ucapan Neville.
”Well, lama-lama makin sulit,” sahut Neville, ”Kami kehilangan Luna, dan Ginny
juga tidak kembali sesudah Paskah, biasanya kami bertiga menjadi semacam
pimpinan. Carrow bersaudara nampaknya tahu aku ada di belakang banyak hal,
jadi mereka mulai keras padaku, lalu Michael Corner ketangkap basah sedang
membebaskan anak kelas satu yang mereka rantai, jadi mereka menyiksanya
cukup berat. Itu membuat orang-orang takut.”
”Yang betul,” gumam Ron saat jalan tembus mulai menanjak.
”Yeah, well, aku tak dapat meminta orang lain untuk menjalani apa yang
dilakukan Michael, jadi kami menghentikan kelakuan-kelakuan semacam itu. Tapi
kami masih berjuang, melakukan hal-hal bawah tanah, sampai beberapa minggu
lalu. Saat mereka memutuskan bahwa hanya ada satu hal untuk menghentikanku,
kurasa, dan mereka akan menangkap Nenek.”
”Mereka apa?” sahut Harry, Ron, dan Hermione berbarengan.
“Yeah,” sahut Neville, sedikit terengah-engah sekarang karena jalan
tembusnya menanjak curam, “Well, kau bisa melihat apa yang mereka pikirkan.
Biasanya bekerja baik, culik anak agar keluarganya berkelakuan baik, cuma
soal waktu agar mereka melakukan yang sebaliknya. Masalahnya,” ia berbalik
menghadap mereka, dan Harry heran melihat Neville nyengir, “mereka salah
kira tentang Nenek. Penyihir wanita tua kecil hidup sendiri, mereka pikir tak
usah kirim orang yang cukup kuat. Hasilnya,” Neville tertawa, “Dawlish masih
di St Mungo, dan Nenek dalam pelarian. Dia mengirimiku surat,” ia
menepukkan tangan di saku dada jubahnya, “bilang bangga padaku, bahwa aku
benar-benar putra orangtuaku, dan agar aku terus berjuang.”
“Keren,” sahut Ron.
“Yeah,” Neville bahagia, “Satu hal, saat mereka menyadari mereka tidak punya
sandera untukku, mereka memutuskan Hogwarts bisa terus tanpaku. Aku tidak
tahu apakah mereka merencanakan untuk membunuhku atau mengirimku ke
Azkaban, yang manapun, tapi aku tahu ini waktunya untuk menghilang.”
”Tapi,” Ron terlihat bingung, ”bukankah kita langsung tembus ke Hogwarts?”
“Tentu,” sahut Neville. “Kau akan lihat. Kita di sini.”
Mereka membelok dan di depan mereka akhir dari jalan tembus itu. Seperangkat
undakan menuju pintu persis seperti yang tersembunyi di belakang lukisan
Ariana. Neville mendorong pintunya dan memanjat naik. Saat Harry mengikuti, ia
mendengar Neville berseru pada orang-orang yang tak terlihat: “Lihat ini siapa!
Sudah kubilang, kan?”
Saat Harry muncul di ruangan di balik jalan tembus, terdengar jeritan dan
pekikan : ”HARRY!” ”Itu Potter, itu POTTER!” ”Ron!” ”Hermione!”
Harry dibuat bingung dengan gantungan-gantungan berwarna-warni, lampu,
dan banyaknya wajah. Saat berikutnya ia, Ron, dan Hermione diterjang,
dipeluk, dipukulpukul punggungnya, rambut diacak-acak, tangan dijabat oleh
nampaknya lebih dari 20 orang: seperti baru habis memenangkan final
Quidditch saja.
“OK, OK, tenang,” seru Neville, dan saat kerumunan itu mundur, Harry bisa
melihat sekelilingnya.
Ia tak mengenali ruangan ini sama sekali. Besar, dan interiornya seperti rumah
pohon yang mewah atau kabin kapal raksasa. Tempat tidur gantung warna-warni
diikatkan dari langit-langit dan dari balkon yang mengitari dinding berpanel kayu
gelap tanpa jendela, yang ditutupi hiasan gantung berwarna cerah, Harry
melihat singa emas Gryffindor berhias merah, luak hitam Hufflepuff dihias
kuning, elang perunggu Ravenclaw dalam warna biru. Silver dan hijau Slytherin
satu-satunya yang tidak ada. Ada rak-rak buku yang penuh sesak, beberapa sapu
terbang disandarkan di dinding, dan di sudut sebuah radio besar tanpa kabel
berbingkai kayu.
”Di mana kita?”
”Kamar Kebutuhan, tentu saja,” sahut Neville. ”Melebihi apa yang kita
harapkan, kan? Carrow bersaudara mengejarku, aku tahu hanya punya satu
kesempatan: aku berhasil mencapai pintunya, dan seperti ini yang kutemukan.
Well, tak seperti ini waktu aku datang, jauh lebih kecil, hanya satu tempat
tidur gantung dan hanya ada gantungan Gryffindor. Tapi jadi makin besar saat
lebih banyak anak Laskar Dumbledore tiba.”
Dan Carrow bersaudara tidak bisa masuk?” tanya Harry mencari adanya pintu.
“Tidak,” sahut Seamus, yang tidak Harry kenali hingga dia bicara; wajah
Seamus lebam dan bengkak, “Persembunyian yang baik, selama kita tinggal di
sini, mereka tidak dapat menemukan kita, pintunya tidak membuka. Terserah
Neville. Ia benar-benar mendapatkan Kamar ini. Kau harus meminta tepat apa
yang kaubutuhkan—seperti ‘aku tak mau pendukung Carrow bisa masuk’—dan
kamar ini akan melakukannya. Asal kau yakin menutup semua kesempatan!
Neville memang orangnya!”
“Terus terang, sebenarnya,” sahut Neville rendah hati, “Aku sudah sehari
setengah di sini, benar-benar lapar, dan berharap mendapat sesuatu untuk
dimakan, dan saat itulah jalan tembus ke Hog’s Head membuka. Aku
menyusurinya, dan bertemu dengan Aberforth. Ia menyediakan makanan untuk
kami, sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh Kamar.”
”Yeah, well, makanan adalah satu dari lima pengecualian terhadap Hukum Gamp
tentang Asas Transfigurasi,” sahut Ron, menyebabkan semua heran.
”Jadi kami bersembunyi di sini sudah hampir dua minggu,” sahut Seamus, ”dan
Kamar membuat lebih banyak tempat tidur gantung tiap saat kami memerlukan,
dan bahkan memunculkan sebuah kamar mandi yang bagus saat para gadis juga
datang—”
”—dan berpikir bahwa mereka suka membersihkan diri, ya,” sahut Lavender
Brown, yang tak terperhatikan oleh Harry hingga saat itu. Sekarang dia
melihat ke sekeliling, ia mengenali banyak wajah, kedua kembar Patil ada,
seperti juga Terry Boot, Ernie Macmillan, Anthony Goldstein, dan Michael
Corner.
”Ceritakan apa yang terjadi dengan dirimu,” sahut Ernie, ”banyak sekali kabar
burung, kami mencoba mengikuti berita tentangmu di Potterwatch,” ia
menunjuk pada radio tanpa kabel, ”Kau tak menerobos ke Gringotts?”
”Mereka memang menerobos!” sahut Neville, ”Dan cerita naga itu benar juga!”
Tepuk tangan dan beberapa teriakan: Ron menerima hormat dengan
membungkukkan badan.
”Apa yang kau cari?” Seamus ingin tahu.
Sebelum siapapun bisa menjawab pertanyaan itu, Harry merasa nyeri yang
menghanguskan, yang mengerikan, pada bekas lukanya. Saat ia menoleh
tergesa pada wajah-wajah yang ingin tahu, Kamar Kebutuhan menghilang, dan
ia berdiri di dalam sebuah gubuk batu yang sudah hancur, lantai yang lapuk
terbuka di kakinya, sebuah kotak emas baru digali, terbuka kosong di dekat
lubang, dan teriakan kemarahan Voldemort bergema di dalam kepalanya.
Dengan susah payah Harry menarik diri dari pikiran Voldemort, kembali ke
tempat di mana ia berdiri, terhuyung-huyung di Kamar Kebutuhan, keringat
bercucuran dan Ron menahannya.
”Kau baik-baik saja, Harry?” Neville sedang bertanya, ”Mau duduk? Kukira kau
lelah, apakah—“
“Tidak,” sahut Harry. Ia menatap Ron dan Hermione, mencoba memberitahu
tanpa kata pada mereka bahwa Voldemort baru saja mengetahui salah satu
Horcruxnya sudah hancur. Waktu berjalan cepat: jika Voldemort memilih
untuk mengunjungi Hogwarts sekarang, maka mereka akan kehilangan
kesempatan.
“Kita harus berjalan terus,” kata Harry dan raut wajah Ron serta Hermione
mengatakan bahwa mereka mengerti.
”Apa yang akan kita lakukan, Harry?” tanya Seamus, ”apa rencanamu?”
”Rencana?” ulang Harry. Ia mengerahkan semua kemampuannya untuk
menghalangi dirinya tergoda lagi ke dalam kemarahan Voldemort, bekas lukanya
masih membara. ”Ada sesuatu yang harus kami—Ron, Hermione, dan aku—perlu
kerjakan, dan setelah itu kami keluar dari sini.”
Tak ada tawa atau pekikan lagi, Neville nampak bingung.
”Apa yang kau maksud ’keluar dari sini’?”
”Kami tidak kembali untuk tinggal,” sahut Harry, mengusap bekas lukanya,
mencoba
mengurangi nyerinya, ”Ada sesuatu yang penting yang harus kami lakukan—”
”Apa itu?”
”Aku—aku tak bisa bilang.”
Gumam-gumam keheranan, alis Neville berkerut.
”Kenapa tidak bisa bilang pada kami? Sesuatu untuk melawan Kau-Tahu-Siapa,
kan?”
”Well, ya—”
”Kalau begitu, kami akan menolongmu.”
Anggota Laskar Dumbledore yang lain menganggukkan kepala, beberapa antusias,
beberapa lagi serius. Beberapa dari mereka bangkit dari kursinya untuk
menunjukkan
keinginan mereka bertindak saat itu juga.
”Kau tidak mengerti,” Harry nampak sudah mengatakannya berkali-kali dalam
beberapa
jam terakhir ini. ”Kami—kami tidak bisa bilang. Kami harus mengerjakannya—
sendiri.”
”Kenapa?” tanya Neville.
”Karena ...” dalam keputusasaan untuk mencari Horcrus yang hilang, atau paling
tidak
bisa atau tidak mendiskusikannya dengan Ron dan Hermione bagaimana mereka
bisa
memulai pencarian, Harry menemui kesulitan untuk mengumpulkan pikirannya.
Bekas
lukanya masih terbakar. ”Dumbledore meninggalkan pekerjaan untuk kami
bertiga,”
sahutnya hati-hati, ”dan kami seharusnya mengatakan—maksudku, ia
menginginkan
kami untuk melakukannya, hanya kami bertiga.”
”Kami Laskar-nya,” sahut Neville, ”Laskar Dumbledore. Kami selalu bersama,
kami
selalu melawan walau saat kalian bertiga sedang tak ada—”
”Kami bukan sedang piknik, sobat,” sahut Ron.
”Aku tidak bilang begitu, tapi aku tidak melihat alasan mengapa kalian tidak bisa
mempercayai kami. Tiap orang di Kamar Kebutuhan ini berjuang, dan mereka ada
di sini karena Carrow bersaudara mengejar mereka semua. Semua di sini sudah
terbukti setia pada Dumbledore—setia padamu.”
”Begini,” Harry mulai, tanpa tahu apa yang akan ia katakan, tetapi itu tak jadi
soal, pintu
terowongan membuka di belakangnya.
”Kami dapat pesanmu, Neville! Hello kalian bertiga, kupikir kalian pasti ada di
sini!”
Luna dan Dean. Seamus meraung gembira dan lari memeluk sobat baiknya itu.
“Hai, semuanya!” sahut Luna gembira, “Oh, senangnya bisa kembali!”
”Luna,” Harry merasa teralihkan, ”apa yang sedang kau lakukan di sini?
Bagaimana bisa—?”
”Aku beritahu dia,” sahut Neville, mengacungkan Galleon palsunya, ”Aku janji
padanya dan Ginny, kalau kau muncul mereka akan kuberitahu. Kami semua
berpikir jika kau kembali, itu artinya revolusi. Bahwa kita akan menyingkirkan
Snape dan Carrow bersaudara.”
”Tentu saja artinya memang demikian,” sahut Luna berseri-seri. ”Iya, kan,
Harry? Kita berjuang mengeluarkan mereka dari Hogwarts?”
”Dengar,” sahut Harry, mulai panik, ”Maaf, tapi bukan untuk itu kami kembali.
Ada yang harus kami kerjakan, lalu—”
”Kau akan meninggalkan kami dalam situasi seperti ini?” tuntut Michael Corner.
”Bukan!” sahut Ron, ”Apa yang kami kerjakan akan menguntungkan bagi semua
orang, itu berkaitan dengan menyingkirkan Kau-Tahu-Siapa—”
”Kalau begitu, biarkan kami menolong!” sahut Neville marah, ”Kami ingin
menjadi bagian!”
Ada suara lagi di belakang, dan Harry menoleh. Jantungnya nampaknya akan
berhenti: Ginny sedang memanjat lubang di dinding, disusul Fred, George, dan
Lee Jordan. Ginny tersenyum berseri-seri pada Harry: Harry sudah lupa atau
tak pernah benar-benar menghargai, betapa cantiknya dia, tapi dia senang
sekali bertemu Ginny.
“Aberforth mulai sedikit nampak seperti tikus,” sahut Fred mengangkat
tangannya membalas beberapa teriakan menyambutnya, “dia tidak bisa tidur
katanya, dan barnya berubah nenjadi stasiun kereta api!”
Mulut Harry terbuka. Tepat di belakang Lee Jordan, datang pacar lama
Harry, Cho Chang. Dia tersenyum pada Harry.
“Aku dapat pesan,” sahutnya mengangkat Galleonnya, dan dia terus berjalan
untuk duduk di samping Michael Corner.
“Jadi, apa rencananya, Harry?” tanya George. “Tidak ada rencana,” sahut Harry, masih bingung dengan kemunculan tiba-tiba
orang-orang ini, belum bisa mengerti saat bekas lukanya masih membakar
dengan ganas.
“Biarkan saja berjalan sendiri, kan? Kesukaanku!” sahut Fred.
”Kau harus menghentikan ini!” sahut Harry pada Neville. ”Kenapa kau
memanggil mereka? Kau gila—”
”Kita akan bertempur, kan?” sahut Dean, mengacungkan Galleon palsunya,
”Pesannya berbunyi Harry kembali, dan kita akan bertempur. Walau aku harus
mendapat tongkat dulu—”
”Kau belum dapat tongkat—” Seamus mulai.
Ron tiba-tiba berbalik pada Harry.
“Kenapa mereka tidak bisa menolong?”
”Apa?”
”Mereka bisa menolong.” Ia menurunkan suaranya sehingga tidak ada orang
lain yang bisa mendengarnya kecuali Hermione, yang berdiri di antara mereka.
”Kita tidak tahu Horcrux itu ada di mana. Kita harus mencarinya cepat. Kita
tidak usah bilang kalau itu Horcrux.”
Harry memandang Ron lalu Hermione yang bergumam, ”Kupikir Ron benar. Kita
bahkan tidak tahu apa yang kita cari, kita memerlukan mereka.” Dan saat Harry
nampak tidak yakin, ”Kau tidak harus mengerjakan semua sendirian, Harry.”
Harry berpikir cepat, bekas lukanya masih berdenyut, kepalanya seperti mau
pecah lagi. Dumbledore sudah memperingatkan agar dia jangan mengatakan pada
siapapun kecuali Ron dan Hermione. Rahasia dan dusta, begitulah kami tumbuh,
dan Albus ... dia memang sepantasnya ... Apakah dia sudah berubah menjadi
Dumbledore, menyimpan semua rahasia di dadanya, takut mempercayai orang
lain? Tetapi Dumbledore percaya pada Snape, dan kemana akhirnya? Dibunuh di
atas menara tertinggi ...
”Baiklah,” ujarnya pelan pada kedua temannya, ”OK,” serunya ke seluruh
Kamar, dan semua suara berhenti: Fred dan George yang sedang
menertawakan suatu lelucon langsung terdiam, dan semua waspada, bergairah.
”Ada sesuatu yang harus kami temukan,” sahut Harry, ”Sesuatu—sesuatu yang
akan membantu kita menyingkirkan Kau-Tahu-Siapa. Ada di sini di Hogwarts,
tapi kami tak tahu di mana. Mungkin kepunyaan Ravenclaw. Apakah ada yang
pernah mendengar benda semacam itu? Misalnya, apa ada yang pernah melihat
sesuatu dengan elang Ravenclaw padanya?”
Ia menatap berharap pada sekelompok kecil Ravenclaw, pada Padma, Michael,
Terry, dan Cho, tapi Luna yang menjawab, bertengger di lengan kursi Ginny.
“Well, ada diademnya yang hilang. Aku pernah bilang tentangnya, inget kan,
Harry?
Diadem Ravenclaw yang hilang? Daddy sedang berusaha menirunya.”
“Yeah, tapi diadem yang hilang itu,” sahut Michael Corner memutar matanya,
“sudah hilang, Luna. Itu masalahnya.”
“Kapan hilangnya?” tanya Harry.
“Kata mereka sih berabad-abad lalu,” sahut Cho, dan jantung Harry terbenam.
“Profesor Flitwick bilang, diadem itu lenyap bersamaan dengan Ravenclaw
sendiri. Orang-orang sudah mencari, tapi,” Cho memandang rekan-rekan
Ravenclawnya mencari dukungan, “tak seorangpun yang pernah menemukan
bahkan jejaknya, benar kan?”
Teman-temannya menggeleng.
“Sori, diadem itu apa?” tanya Ron.
”Semacam mahkota,” sahut Terry Boot, ”Ravenclaw seharusnya memiliki benda
sihir, meningkatkan kebijaksanaan si pemakai.”
”Ya, pipa Wrackspurt Daddy—”
Tapi Harry memotong percakapan Luna.
“Dan tak ada dari kalian yang pernah melihat sesuatu yang mirip dengan itu?”
Anak-anak Ravenclaw itu menggeleng lagi. Harry memandang Ron dan Hermione,
kekecewaannya tercermin pada wajah mereka juga. Sebuah benda, yang sudah
hilang sedemikian lama, dan jelas-jelas tanpa jejak, nampaknya bukan kandidat
yang baik untuk Horcrux yang tersembunyi di kastil … sebelum dia berhasil
merumuskan pertanyaan baru, Cho berbicara lagi.
“Kalau kau mau lihat seperti apa diadem itu, aku bisa membawamu ke Ruang
Rekreasi kami dan memperlihatkannya padamu, Harry? Patung Ravenclaw
memakainya.”
Bekas luka Harry membara lagi: untuk sesaat Kamar Kebutuhan lenyap di
hadapannya, sebagai gantinya ia melihat dunia gelap terbentang di bawahnya, ia
merasa ular besar melilit di pundaknya. Voldemort sedang terbang lagi, entah
ke danau bawah tanah atau ke sini, ia tidak tahu: ke manapun waktu yang
tersisa sangat sedikit.
“Ia sudah bergerak lagi,” kata Harry pelan pada Ron dan Hermione. Ia
memandang Cho lalu pada yang lain. “Dengar, mungkin aku tidak banyak
memberikan petunjuk, tapi aku akan pergi dan melihat patung itu, paling tidak
melihat diadem itu seperti apa. Tunggu di sini dan jaga diri kalian baik-baik.”
Cho sudah hendak berdiri, tapi Ginny menyahut galak, “Tidak, mending Luna yang
pergi dengan Harry, iya kan, Luna?”
“Ooh, iya, aku mau,” sahut Luna gembira, dan Cho duduk lagi, agak kecewa.
“Bagaimana kami keluar?” tanya Harry pada Neville.
”Sebelah sini.”
Ia memimpin Harry dan Luna ke sebuah sudut, di mana sebuah lemari kecil
membuka ke sebuah tangga.
”Keluarnya berbeda-beda setiap hari, jadi mereka tidak dapat menemukan
Kamar ini,” ujarnya. ”Masalahnya, kita juga tak tahu keluarnya di mana. Hatihati Harry, mereka berpatroli di koridor malam-malam.”
”Tidak masalah,” sahut Harry, ”Sampai ketemu lagi.”
Ia dan Luna bergegas ke tangga, panjang, diterangi obor, dan membelok di
tempat-tempat yang tak terduga. Akhirnya mereka tiba di suatu tempat yang
nampak seperti dinding padat.
“Ke bawah sini,” sahut Harry pada Luna, mengeluarkan Jubah Gaib
dan mengerudungkannya ke atas mereka berdua. Ia mendorong
dinding sedikit.
Dindingnya meleleh saat disentuh dan mereka menyelinap keluar: Harry melirik
ke belakang dan melihat dindingnya menutup kembali seketika. Mereka berdiri di
koridor yang gelap: Harry menarik Luna mundur ke kegelapan bayangan, merabaraba kantong di sekeliling lehernya dan mengeluarkan Peta Perompak.
Dipegangnya dekat hidung, ia mencari titik dengan namanya dan nama Luna.
”Kita di lantai lima,” bisiknya, mengamati Filch bergerak menjauh dari
mereka, satu koridor ke depan. ”Ayo, ke sini.”
Mereka mengendap-endap.
Harry sudah sering berkeliling kastil di malam hari, namun jantungnya belum
pernah berdetak sekencang ini, belum pernah sebegitu bergantungnya ia pada
jalan yang aman di tempat ini. Melewati tempat bercahaya bulan di lantai,
melewati perangkat baju besi yang helmnya berderak saat langkah kaki mereka
berbunyi halus, melewati sudut di mana siapa yang bisa tahu ada siapa
bersembunyi, Harry dan Luna berjalan, sesekali memeriksa Peta Perompak
manakala cahaya memungkinkannya, dua kali berhenti untuk membiarkan
[seorang, sebuah, selembar, sehelai?] hantu lewat sehingga mereka tidak
menarik perhatian. Ia berjaga-jaga jangan sampai ada halangan tiap saat:
ketakutan terbesarnya adalah Peeves, ia menajamkan telinganya dalam tiap
langkah agar bisa mendengar setiap tanda jika si pembuka rahasia itu mendekat.
”Ke sini, Harry,” Luna berbisik, menarik lengan baju Harry ke arah tangga
melingkar.
Mereka naik di lingkaran yang sempit dan memusingkan; Harry belum pernah ke
sini sebelumnya. Akhirnya mereka mencapai sebuah pintu. Tak ada pegangan
pintu, tak ada lubang kunci: tak ada apa-apa hanya pintu polos dari kayu tua dan
pengetuk pintu perunggu berbentuk elang.
Luna mengulurkan tangannya yang pucat, kelihatannya menakutkan melayang di
tengah udara, tak terhubung dengan lengan atau tubuh. Ia mengetuk sekali,
dalam keheningan kedengarannya seperti ledakan meriam. Paruh elang membuka,
tapi alih-alih suara burung, malah suara lembut bagai musik berujar, ”Mana yang
duluan, phoenix atau nyala api?”
”Hm ... kau pikir apa, Harry?” sahut Luna, nampak bijak.
”Apa? Bukannya ada kata kuncinya?”
”Oh, tidak, kau harus menjawab pertanyaan,” sahut Luna.
”Bagaimana kalau salah?”
”Well, kau harus menunggu seseorang menjawab dengan benar,” ujar Luna,
”dengan demikian kita jadi belajar.”
”Yeah ... masalahnya, kita tidak bisa menunggu orang lain, Luna.”
”Aku tahu apa maksudmu,” sahut Luna serius, ”Baiklah, kurasa jawabannya
adalah sebuah lingkaran tak berawal.”
”Cukup beralasan,” sahut suara itu, dan pintu berayun membuka.
Ruang Rekreasi Ravenclaw yang ditinggalkan itu adalah sebuah ruangan yang
luas, bundar, lebih sejuk daripada yang pernah Harry rasakan di Hogwarts.
Jendela melengkung yang anggun di dinding, digantungi sutra biru dan perunggu;
di siang hari para Ravenclaw punya pemandangan yang indah dengan gununggunung yang melingkar. Langit-langit berbentuk kubah dilukisi bintang-bintang,
serasi dengan karpet biru tengah malam. Ada meja-meja, kursi, rak-rak buku
dan di relung berseberangan dengan pintu berdiri sebuah patung tinggi dari
marmer putih.
Harry mengenal Rowena Ravenclaw dari patung sedada yang ia lihat di rumah
Luna. Patung itu berdiri di samping pintu ke, ia perkirakan, ke kamar-kamar
asrama di atas. Ia melangkah mendekati wanita marmer itu, nampak dia
memandang balik padanya dengan pandangan aneh. Setengah senyum pada
wajahnya, cantik tapi sedikit menakutkan. Sebuah lingkaran yang kelihatannya
lembut dibuat tiruannya dari marmer di atas kepalanya. Mirip tiara yang dipakai
Fleur di hari pernikahannya. Ada kata-kata kecil dipahatkan di situ. Harry
melangkah keluar dari kerudungan Jubah, menaiki standar patung Ravenclaw itu
untuk membacanya.
Bijak melampaui ukuran adalah kekayaan terbesar manusia
”Yang akan membuatmu cukup miskin, dungu!” sebuah suara berkotek.
Harry berbalik cepat, terpeleset dari standar patung dan mendarat di
lantai. Sosok berbahu miring, Alecto Carrow, berdiri di hadapannya, dan
saat Harry mengangkat tongkatnya, Alecto menekankan jari telunjuknya
yang pendek gemuk pada tanda tengkorak dan ular di lengannya.
Bab 30 The Sacking of Severus Snape PEMECATAN SEVERUS SNAPE
Saat jari Alecto menyentuh Tanda, bekas luka Harry terasa terbakar liar, ruang
berbintang tiba-tiba lenyap dari pandangan, dan Harry berdiri di atas puncak
potongan batu di bawah sebuah karang, ombak laut bergulung di sekitarnya, dan
kemenangan di hatinya—mereka mendapatkan anak itu.
Sebuah letusan keras membawa Harry kembali ke tempat ia berdiri: bingung, ia
mengangkat tongkatnya, tapi penyihir di hadapannya segera terjatuh ke depan,
ia menabrak lantai sedemikian keras sampai-sampai kaca-kaca di rak buku
bergemerincing.
“Aku belum pernah Memingsankan orang kecuali dalam pelajaran LD kita,” sahut
Luna, terdengar agak tertarik. “Lebih berisik dari yang kuduga.”
Sudah barang tentu, langit-langit mulai bergetar. Langkah kaki bergegas,
bergema, terdengar lebih keras di balik pintu menuju asrama; mantra Luna
membangunkan para murid Ravenclaw yang tidur di lantai atas.
“Luna, kau di mana? Aku harus masuk ke bawah Jubah!”
Kaki Luna muncul entah dari mana; Harry bergegas berdiri ke sebelahnya dan
Luna membiarkan Jubah jatuh kembali mengerudungi mereka berdua saat pintu
terbuka dan sebarisan Ravenclaw, semua dalam pakaian tidur, membanjiri Ruang
Rekreasi. Ada yang menahan napas, ada yang menjerit, terkejut saat melihat
Alecto tergeletak tak sadarkan diri. Pelan-pelan, takut-takut mereka
mengelilingi Alecto, seperti seekor binatang buas yang bisa bangun kapan saja
dan menyerang mereka. Lalu seorang anak kelas satu, kecil tapi pemberani maju
mendekati Alecto, menusuk punggung Alecto dengan jari kakinya.
”Kukira dia sudah mati!” teriak anak itu kegirangan.
”Oh, lihat,” bisik Luna gembira, saat para Ravenclaw mengerumuni Alecto,
”mereka senang!”
”Yeah ... hebat ...”
Harry menutup matanya, dan saat bekas lukanya berdenyut-denyut ia memilih
untuk terbenam lagi ke dalam pikiran Voldemort ... Voldemort sedang
bergerak sepanjang terowongan ke dalam gua pertama ... Voldemort telah
memilih untuk meyakinkan dulu bahwa leontin itu masih ada sebelum datang ke
mari ... tapi itu tidak akan lama ...
Terdengar ketukan di pintu Ruang Rekreasi dan tiap murid Ravenclaw membeku.
Dari sisi yang lain Harry mendengar suara halus seperti nyanyian, yang
dikeluarkan oleh elang pengetuk pintu: ”Ke manakah perginya barang-barang yang
menghilang?”
”Ga tau, ’napa? Diam!” geram suara kasar yang Harry kenal sebagai Amycus,
saudara laki-laki Carrow, ”Alecto? Alecto? Kau disitu? Kau sudah
menangkapnya? Buka pintunya!”
Para Ravenclaw berbisik-bisik sesama mereka, ketakutan. Lalu tanpa
peringatan, serangkaian ledakan keras datang, seakan seseorang sedang
menembaki pintu.
”ALECTO!. Kalau dia datang, dan kita belum menangkap Potter—kau mau bernasib
sama seperti Malfoy? JAWAB!” Amycus berteriak, mengguncang pintu sekuat ia
bisa, tapi tetap saja tak terbuka. Anak-anak Ravenclaw mundur, karena takut
sampai ada yang melarikan diri lewat tangga ke ruang tidur. Saat Harry sedang
mempertimbangkan apakah ia sebaiknya membuka pintu saja dan Memingsankan
Amycus sebelum Pelahap Maut itu dapat melakukan hal lain, ternyata sedetik
kemudian sebuah suara yang paling dikenalnya terdengar dari balik pintu.
”Boleh kutahu apa yang sedang Anda lakukan, Profesor Carrow?”
“Mencoba—melewati—pintu—terkutuk ini!” teriak Amycus. ”Pergi dan cari
Flitwick! Suruh dia buka ini, sekarang!”
“Tapi bukankah saudarimu di dalam?” ujar Profesor McGonagall, “bukankah
Profesor Flitwick mengijinkannya masuk tadi, atas permintaanmu yang
mendesak? Mungkin dia bisa membukakan pintu untukmu? Sehingga kau tidak
perlu membangunkan setengah kastil.”
“Dia tidak menjawab, kau sapu tua! Kau yang buka kalau begitu! Lakukan,
sekarang!
“Tentu saja, bila kau menginginkannya,” sahut Profesor McGonagall sangat
dingin. Ia mengetuk dengan santun, dan suara beralun itu bertanya lagi, “Ke
manakah perginya barang-barang yang hilang?”
“Ke ketiadaan, atau dengan kata lain, keseluruhan,” jawab Profesor McGonagall.
”Pengungkapan dengan susunan yang baik,” balas elang pengetuk pintu itu, dan
pintu itu mengayun membuka.
Anak-anak Ravenclaw yang masih tersisa, segera lari ke tangga begitu Amycus
menyerbu masuk dari ambang pintu, mengacungkan tongkatnya. Badannya
bungkuk seperti saudarinya, Amycus punya wajah pucat gemuk dan mata yang
kecil, mata yang langsung menatap pada Alecto, yang tergeletak tak bergerak. Ia
berteriak marah sekaligus ketakutan.
”Apa yang mereka lakukan, binatang kecil?” Amycus berteriak. ”Akan ku-Crucio
mereka sampai mereka mengatakan siapa yang melakukannya—dan apa yang akan
dikatakan oleh Pangeran Kegelapan?” ia memekik, berdiri dekat saudarinya,
memukul keningnya sendiri dengan tinjunya. ”Kita tidak menangkap anak itu,
mereka sudah menyiksa dan membunuh Alecto!”
“Dia hanya Dipingsankan,” sahut Profesor McGonagall tak sabar,
membungkuk memeriksa Alecto. “Dia akan baik-baik saja.”
“Dia tidak akan baik-baik saja!” teriak Amycus. “Tidak setelah Pangeran
Kegelapan menghubunginya. Ia disuruh mencari dia, aku rasa Tanda-ku
terbakar dan dia kira kami menangkap Potter!”
Menangkap Potter?” tanya Profesor McGonagall tajam, ”apa maksudmu
’menangkap Potter’?”
”Pangeran Kegelapan mengatakan pada kami bahwa Potter akan mencoba
memasuki Menara Ravenclaw, dan meminta kami mengirim kabar padanya bila
kami menangkapnya!”
”Untuk apa Harry Potter memasuki Menara Ravenclaw? Potter adalah
anggota asramaku!”
Di bawah rasa tak percaya dan amarah, Harry merasa ada sejumput
kebanggaan pada suara Profesor McGonagall, dan rasa sayang pada Minerva
McGonagall memancar dari dalam diri Harry.
”Kami diberi tahu dia mungkin masuk ke sini!” sahut Carrow, ”’ga tau, kan?”
Profesor McGonagall berdiri dan mata manik-maniknya menyapu ruangan. Dua kali
mata itu melalui tempat Harry dan Luna berdiri.
”Kita bisa menyalahkan anak-anak,” sahut Amycus, wajah-babinya tiba-tiba
bersinar. ”Yeah, itu yang akan kita lakukan. Kita akan bilang Alecto diserang
oleh anak-anak, anak-anak ini,” ia memandang langit-langit berbintang di atas
asrama, ”dan kita bilang mereka memaksa Alecto untuk menekan Tanda, dan
karena itulah Pangeran Kegelapan mendapat tanda peringatan palsu ... Pangeran
Kegelapan dapat menghukum mereka. Beberapa anak, apa bedanya?”
”Hanya perbedaan antara kebenaran dan dusta, keberanian dan
kepengecutan,” sahut Profesor McGonagall yang sudah berubah pucat, ”suatu
perbedaan, singkatnya, yang tidak bisa dihargai olehmu dan saudarimu. Tapi
biarkan aku menjelaskannya, sangat jelas. Kau tidak akan menerapkan
tindakanmu yang bodoh pada siswa-siswa di Hogwarts. Aku tidak akan
mengijinkannya.”
”Apa kau bilang?”
Amycus maju mendekati Profesor McGonagall, wajahnya hanya beberapa inci
dari Profesor McGonagall. Profesor McGonagall menolak mundur, memandang
rendah pada Amycus seakan dia itu sesuatu yang menjijikkan yang ditemukan di
toilet.
”Bukan masalah apa yang kau ijinkan, Minerva McGonagall. Waktumu sudah
habis. Kami sekarang yang bertugas di sini, kau mendukung kami, atau kau
harus membayarnya.”
Dan Amycus meludahinya.
Harry membuka Jubahnya, mengangkat tongkatnya dan berucap, “Kau
seharusnya tidak boleh melakukan itu.”
Saat Amycus berputar menoleh, Harry berseru “Crucio!”
Pelahap Maut itu terangkat kakinya, menggeliat nyeri di udara seperti orang
tenggelam, menggelepar, melolong kesakitan, dan dengan suara kaca pecah ia
terlempar ke depan rak buku, dan jatuh pingsan di lantai.
“Aku paham maksud Bellatrix sekarang,” sahut Harry, darah menggelegak di
benaknya, “kau harus benar-benar berniat untuk itu.”
“Potter!” bisik Profesor McGonagall menenangkan jantungnya, “Potter—kau
disini! Apa—? Bagaimana—?” ia berjuang menguasai diri, ”Potter, itu bodoh!”
”Ia meludahi Anda,” sahut Harry.
”Potter, aku—kau sangat—sangat gagah berani—tapi tidakkah kau sadari—?”
”Ya, aku sadar.” Harry meyakinkan Profesor McGonagall. Kepanikan Profesor
McGonagall membuat Harry percaya diri. “Profesor McGonagall, Voldemort
sedang dalam perjalanan ke sini.”
“Oh, apakah sekarang kita boleh menyebut namanya?” tanya Luna dengan wajah
tertarik, melepaskan Jubah Gaib. Kemunculan kedua murid yang hilang ini
nampaknya membuat Profesor McGonagall kewalahan, terhuyung mundur, jatuh
di kursi terdekat, mencengkeram leher baju tidur kotak-kotaknya.
“Kukira tak ada bedanya kita memanggil dia apa,” Harry berkata pada Luna,
“dia sudah tahu aku ada di mana.”
Bagian yang jauh dari benak Harry, bagian yang terhubung dengan bekas luka
yang membara, marah, ia dapat melihat Voldemort berperahu cepat di danau
gelap, dengan perahu hijau remang-remang ... ia sudah nyaris mencapai pulau di
mana baskom batu itu berada ...
”Kau harus pergi Potter,” bisik Profesor McGonagall, ”Sekarang, Potter,
secepat kau bisa!”
”Aku tidak bisa,” sahut Harry. ”Ada yang harus kulakukan. Profesor, tahukah
Anda di mana beradanya diadem Ravenclaw?”
“D-diadem Ravenclaw? Tentu saja tidak—bukankah itu sudah berabad-abad
hilang?” Profesor McGonagall duduk tegak, “Potter, ini gila, benar-benar gila,
untuk memasuki kastil ini—“
“Saya harus,” sahut Harry, “Profesor, ada sesuatu yang tersembunyi di sini yang
harus saya temukan, dan mungkin diadem itu—kalau saja saya dapat berbicara
dengan Profesor Flitwick—“
Ada suara gerakan, kaca berdenting: Amycus sadar. Sebelum Harry atau
Amycus bertindak, Profesor McGonagall berdiri, mengarahkan tongkatnya
pada Pelahap Maut yang terhuyung-huyung itu dan berucap: Imperio.
Amycus berdiri, berjalan ke arah saudarinya, memungut tongkat Alecto, berjalan
dengan kaki terseret dengan patuh ia menuju Profesor McGonagall, dan
menyerahkan tongkat Alecto beserta tongkatnya sendiri. Lalu ia berbaring di sisi
Alecto. Profesor McGonagall mengayunkan tongkatnya lagi, seutas tali keperakan
mengilap muncul dari udara, menyusup melingkari kedua Carrow, mengikat
mereka berdua erat-erat.
“Potter,” sahut Profesor McGonagall, menoleh pada Harry lagi, sangat
mengacuhkan penderitaan kedua Carrow, “jika Dia-Yang-Namanya-Tidak-BolehDisebut benar-benar tahu kau ada di sini—“
Saat profesor McGonagall menucapkan ini, kemurkaan yang meyerang fisiknya
melanda Harry, seakan menyalakan api di bekas lukanya, dan dalam sedetik ia
sudah memandang pada baskom itu, yang Ramuannya sudah habis, sudah tak ada
leontin emas tergeletak di sana—”
“Potter, kau baik-baik saja?” sahut sebuah suara, dan Harry kembali: dia
sedang mencengkeram bahu Luna untuk menyeimbangkan dirinya.
“Waktu berjalan terus, Voldemort semakin mendekat. Profesor, saya bertindak
atas perintah Dumbledore, saya harus menemukan apa yang ia inginkan untuk
saya temukan. Tapi kita harus mengeluarkan para siswa dulu saat saya mencari—
Voldemort menginginkan saya, tapi ia tidak akan peduli membunuh lebih banyak
atau lebih sedikit, tidak sekarang—” Tidak sekarang setelah ia tahu aku
menghancurkan Horcruxesnya, Harry menyelesaikan kalimat di dalam kepalanya.
”Kau bertindak atas perintah Dumbledore?” Profesor McGonagall mengulangi,
dengan tatapan keheranan. Ia membenahi diri.
“Kita akan mengamankan sekolah ini dari Dia Yang Namanya Tidak Boleh Disebut
saat kau mencari benda—benda ini.”
“Mungkinkah?”
“Kukira ya,” sahut Profesor McGonagall datar dan kering, “kami guru-guru punya
sihir yang cukup baik, kau tahu. Aku yakin kita bisa menahan dia untuk beberapa
lama bila kami mengerahkan segala daya upaya. Tentu saja sesuatu harus
dilakukan pada Profesor Snape—”
”Biarkan saya—”
”—dan jika Hogwarts memang akan memasuki keadaan siaga, dengan Pangeran
Kegelapan di pintu gerbang, tentu saja harus diupayakan sebanyak mungkin
orang yang tak bersalah, tak terlibat. Dengan Jaringan Floo diawasi dan tak
mungkin menggunakan Apparate di daerah ini—”
“Ada caranya,” sahut Harry cepat, dan ia menjelaskan jalan masuk yang
mengarah ke Hog’s Head.
“Potter, kita bicara tentang ratusan siswa—“
“Saya tahu, Profesor, tapi jika Voldemort dan para Pelahap Maut
berkonsentrasi pada tapal batas sekolah, mereka tidak akan tertarik pada
siapapun yang ber-DisApparate dari Hog’s Head.
“Boleh juga,” Profesor McGonagall setuju. Ia menunjukkan tongkatnya pada
kedua Carrow, dan jaring perak jatuh di atas tubuh mereka yang terikat,
menyimpul sendiri dan menggantung kedua bersaudara itu di udara, terayun-ayun
di bawah langit-langit biru dan keemasan, seperti dua binatang yang jelek dan
besar. “Ayo, kita harus memperingatkan Kepala–Kepala Asrama yang lain. Kalian
lebih baik memakai Jubah itu lagi.”
Ia berjalan gagah menuju pintu, sambil mengangkat tongkatnya. Dari ujung
tongkatnya muncul tiga ekor kucing perak dengan tanda seperti kacamata di
sekeliling mata mereka. Para Patronus itu berlari mendahului, mengilap, mengisi
tangga spiral dengan cahaya keperakan, saat Profesor McGonagall, Harry, dan
Luna bergegas turun.
Sepanjang koridor para Patronus itu berlomba, dan satu demi satu meninggalkan
mereka, gaun tidur kotak-kotak Profesor McGonagall menyapu lantai, Harry dan
Luna berlari di belakangnya di bawah naungan Jubah.
Mereka sudah menuruni dua lantai saat terdengar langkah sepasang kaki pelan.
Harry yang bekas lukanya masih menusuk-nusuk, mendengarnya duluan, ia
merasa dalam kantong jubahnya ada Peta Perompak, tapi sebelum ia
mengeluarkannya, McGonagall nampaknya sudah waspada juga. Ia berhenti,
mengangkat tongkatnya siap berduel, dan berkata, ”Siapa itu?”
Ini aku,” sahut sebuah suara rendah.
Dari belakang seperangkat baju besi melangkahlah Severus Snape.
Kebencian menggelora begitu Harry melihatnya; ia sudah lupa rincian penampilan
Snape dengan kejahatannya, lupa bagaimana rambutnya yang hitam dan
berminyak tergantung seperti tirai membingkai wajahnya yang kurus, bagaimana
mata hitamnya punya tatapan yang dingin mematikan. Snape tidak memakai baju
tidur tapi mengenakan jubah hitamnya yang biasa, dan dia juga sedang memegang
tongkatnya siap bertempur.
”Di mana Carrow bersaudara?” tanyanya tenang.
“Kurasa berada di tempat yang kau suruh, Severus,” sahut Profesor McGonagall.
Snape melangkah mendekat dan matanya melihat berganti-ganti antara pada
Profesor McGonagall dan ke udara di sekitarnya, sepertinya ia bisa tahu bahwa
Harry ada di situ. Harry mengangkat tongkatnya juga, siap menyerang.
“Aku mendapat kesan,” sahut Snape, “bahwa Alecto berhasil menemukan
seorang penyelundup.”
“Benarkah?” tanya Profesor McGonagall, “Dan apakah yang membuatmu
mempunyai kesan demikian?”
Snape membuat gerakan kecil pada tangan kirinya, di mana Tanda Kegelapan
diterakan.
”Oh, tapi itu wajar,” sahut Profesor McGonagall, ”Kalian para Pelahap Maut
punya sarana komunikasi sendiri, aku lupa.”
Snape pura-pura tak mendengar. Matanya masih memeriksa udara di sekitar
Profesor McGonagall, dan Snape bergerak mendekat perlahan seperti tak
memerhatikan apa yang sedang dia lakukan.
“Aku tak tahu malam ini giliranmu mengawasi koridor, Minerva.”
”Kau keberatan?”
”Aku heran apa yang bisa membuatmu keluar kamar selarut ini?”
”Kukira aku mendengar keributan,” sahut Profesor McGonagall.
”Benarkah? Tapi semua seperti tenang.”
Snape memandang mata Profesor McGonagall. Apakah kau melihat Harry Potter, Minerva? Karena kalau kau melihat, aku
terpaksa—“ *
Profesor McGonagall bergerak lebih cepat dari apa yang bisa Harry percayai:
tongkatnya megiris udara dan untuk sedetik Harry mengira Snape telah rubuh,
tak sadar, tapi dengan kecepatan Mantra Pelindungnya, justru McGonagall yang
kehilangan keseimbangan. McGonagall mengarahkannya tongkatnya pada sebuah
obor di dinding dan obor itu melayang dari standarnya; Harry, nyaris merapal
kutukan pada Snape, terpaksa menarik Luna agar tidak terkena nyala api, yang
kemudian menjadi cincin api yang memenuhi koridor dan terbang seperti laso
menuju Snape.
Sekarang bukan lagi api, tapi ular hitam dan besar yang diledakkan McGonagall
menjadi asap, lalu berubah bentuk dan mengeras dalam hitungan detik menjadi
sekumpulan belati yang mengejar; Snape menghindarinya dengan menarik baju
besi ke hadapannya, dengan suara logam berbenturan, belati itu terbenam satu
demi satu di bagian dada—
“Minerva!” seru suara mencicit, dan di belakangnya, masih melindungi Luna dari
mantra terbang, Harry melihat Profesor Flitwick dan Profesor Sprout berlari
menyusuri koridor mendekati mereka masih memakai pakaian tidur, dengan
Profesor Slughorn terengahengah di belakangnya.
“Tidak!” Flitwick memekik, mengangkat tongkatnya, “Kau tidak boleh
membunuh lagi di Hogwarts!”
Mantra Flitwick membentur baju besi yang digunakan Snape untuk perlindungan;
dengan suara berisik baju besi itu hidup. Snape berjuang melepaskan diri dari
tangan besi yang meremukkan, dan mengirimnya terbang kembali pada
penyerangnya; Harry dan Luna harus menunduk ke samping untuk
menghindarinya, dan tangan besi itu terhempas ke dinding dan hancur. Saat
Harry melihat lagi, Snape sudah benar-benar melarikan diri, McGonagall,
Flitwick, dan Sprout segera mengejarnya; Snape meluncur lewat pintu kelas dan
sesaat kemudian Harry mendengar McGonagall berteriak: “Pengecut!
PENGECUT!”
“Apa yang terjadi? Apa yang terjadi?” tanya Luna.
Harry menariknya agar berdiri dan mereka berlomba sepanjang koridor,
menyeret Jubah di belakang mereka, menuju kelas kosong di mana Profesor
McGonagall, Flitwick, dan Sprout berdiri di dekat jendela pecah.
”Ia melompat,” sahut Profesor McGonagall, saat Harry dan Luna lari memasuki
ruangan. ”Anda pikir dia mati?” Harry berlari ke jendela, mengacuhkan teriakan kaget
Flitwick dan Sprout atas kemunculan Harry yang tiba-tiba..
“Tidak, dia tidak mati,” sahut McGonagall pahit, “Tidak seperti Dumbledore, dia
masih memegang tongkat … dan dia nampaknya mempelajari kiat-kiat dari
gurunya.”
Dengan perasaan ngeri, Harry melihat dari kejauhan bentuk seperti
kelelawar besar terbang melalui kegelapan menuju tembok perbatasan.
Suara kaki yang berat dan napas terengah-engah terdengar di belakang mereka:
Slughorn baru saja menyusul.
“Harry!” ia terengah-engah, mengurut dadanya yang besar di bawah piama
sutra hijau zamrud. “Anakku … kejutan … Minerva, tolong jelaskan … Severus
… apa …?”
“Kepala Sekolah kita mengambil jalan pintas,” sahut Profesor McGonagall,
menunjuk lubang sebesar-Snape di jendela.
“Profesor!” Harry berteriak, kedua tangan di keningnya. Ia dapat melihat danau
yang penuh-Inferi, meluncur di bawahnya, ia merasa perahu hijau remang-remang
membentur pantai bawah tanah, Voldemort melompat dari perahu dengan niat
membunuh di hatinya …
“Profesor, kita harus membuat barikade di sekolah, ia datang sekarang!”
“Baiklah. Dia Yang Namanya Tidak Boleh Disebut datang,” Profesor McGonagall
berkata pada guru-guru lain. Sprout dan Flitwick menahan napas; Slughorn
mengerang pelan. “Ada pekerjaan yang harus dilakukan oleh Potter di kastil ini,
atas perintah Dumbledore. Kita harus melindungi tempat ini sebisa kita, saat
Potter mengerjakan apa yang harus dikerjakan.”
”Kau sadar tentu saja, bahwa tidak ada yang bisa kita kerjakan untuk
mencegah Kau Tahu Siapa masuk selamanya?” cicit Flitwick.
”Tapi kita bisa menahannya,” sahut Sprout.
”Terima kasih, Pomona,” sahut Profesor McGonagall, dan di antara keduanya
terjalin kesepahaman yang kuat. ”Aku menyarankan kita membangun
perlindungan dasar di sekitar tempat ini, mengumpulkan siswa-siswa dan
berkumpul di Aula Besar. Sebagian besar tentu saja harus dievakuasi, walau
jika ada yang sudah cukup umur ingin tinggal dan bertempur, kukira mereka
harus diberi kesempatan.” ”Setuju,” sahut Profesor Sprout, sudah bergegas menuju pintu. “Aku akan
bertemu lagi dengan kalian di Aula Besar dalam 20 menit dengan anggota
asramaku.”
Dan selagi ia berjalan keluar tak terlihat lagi, mereka masih bisa mendengar ia
menggumam. ”Tentakula. Jerat Setan. Dan Kacang Snargaluffs ... ya aku ingin
melihat Pelahap Maut bertempur dengan mereka.”
”Aku bisa mulai dari sini,” sahut Flitwick, dan walau ia tak bisa melihat keluar
jendela pecah itu, ia menunjukkan tongkatnya dan menggumamkan mantra yang
sangat rumit. Harry mendengar suara gemuruh yang aneh, seperti Flitwick sudah
melepaskan kekuatan angin pada tanah.
”Profesor,” sahut Harry, mendekati ahli Mantra yang badannya kecil ini,
”Profesor, maaf menyela, tapi ini penting. Apakah Anda tahu di manakah diadem
Ravenclaw?”
”... Protego horribilis—diadem Ravenclaw?” cicit Flitwick, “sedikit tambahan
kebijakan tak pernah keliru, Potter, tapi kukira tidak akan banyak berguna dalam
keadaan ini!”
“Saya hanya bermaksud—tahukah Anda di mana? Pernahkah Anda melihatnya?”
“Melihatnya? Tak ada orang yang masih hidup yang mengingatnya. Sudah lama
hilang, nak!”
Harry merasa campuran antara kekecewaan dan panik. Jadi, apa dong
Horcruxnya?
”Kami akan bertemu denganmu dan anak-anak Ravenclaw-mu di Aula Besar,
Filius!” sahut Profesor McGonagall, memberi isyarat pada Harry dan Luna untuk
mengikutinya.
Mereka baru saja mencapai pintu saat Slughorn berbicara tak keruan.
”Kubilang,” ia menghembuskan napas, pucat dan berkeringat, kumis anjing
lautnya menggigil, ”Apa yang mau dilakukan? Aku tak yakin ini bijak,
Minerva. Dia pasti mencari jalan masuk, kau tahu, dan siapapun yang
mencoba melambatkannya, akan berada dalam bahaya yang menyedihkan.”
”Aku mengharapkan kau dan para Slytherin di Aula Besar dalam 20 menit juga,”
sahut Profesor McGonagall, ”kalau kau ingin pergi dengan siswa-siswa, kami tak
akan menghentikanmu. Tapi kalau kau mencoba untuk menyabotase pertahanan
kami, atau mengangkat senjata melawan kami dalam kastil ini, maka, Horace, kita akan duel sampai mati.”
”Minerva!” Horace terperanjat.
”Waktunya tiba untuk Asrama Slytherin untuk memutuskan di mana
kesetiaannya berada,” sela Profesor McGonagall. ”Pergi dan bangunkan siswasiswamu, Horace!”
Harry tak berdiam diri menyaksikan Slughorn merepet: ia dan Luna bergegas
mengejar Profesor McGonagall, yang sudah bersiaga di tengah koridor dan
mengangkat tongkatnya.
”Piertotum—oh, ya ampun, Filch, tidak sekarang—”
Penjaga sekolah yang sudah berumur itu baru saja datang terpincang-pincang,
berseru, “Anak-anak bangun! Anak-anak di koridor!”
“Mereka memang harus bangun, bodoh!” seru McGonagall, ‘sekarang pergi dan
lakukan sesuatu yang berguna! Cari Peeves!”
“P-Peeves?” gagap Filch, seperti dia tidak pernah mendengar nama itu
sebelumnya.
‘Ya, Peeves, bodoh, Peeves! Bukankah kau selalu mengeluh tentangnya
selama seperempat abad? Cari dan jemput dia sekarang juga!”
Filch jelas-jelas mengira McGonagall sudah kehilangan akal, tapi pergi juga
dengan langkah terpincang-pincang, bahu membungkuk, komat-kamit.
”Dan sekarang—piertetum locomotor!” teriak Profesor McGonagall.
Sepanjang koridor patung-patung dan baju besi melompat keluar dari tempatnya,
dan dari suara yang bergema dari lantai-lantai di atas dan di bawah, Harry tahu
bahwa temanteman sesama patung dan baju besi di seluruh kastil melakukan hal
yang sama.
“Hogwarts terancam!” seru Profesor McGonagall, “Mereka yang di perbatasan,
lindungi kami, lakukan tugas kalian untuk sekolah kita!”
Berkelontangan dan berteriak, pasukan patung bergerak melampaui Harry;
sebagian dari mereka berukuran kecil sebagian lagi berukuran besar. Ada juga
binatang-binatang dan baju besi yang berkelontangan menghunus pedang
mereka beserta bola-bola berpaku berantai.
“Sekarang, Potter,” sahut McGonagall, “ kau dan Miss Lovegood lebih baik kembali pada teman-temanmu dan bawa mereka ke Aula Besar—aku akan
membangunkan para Gryffindor yang lain.”
Mereka berpisah di puncak tangga berikutnya: Harry dan Luna berlari menuju
pintu masuk Kamar Kebutuhan. Saat mereka berlari, mereka bertemu
kerumunan siswa, sebagian besar memakai jubah bepergian di atas piama
mereka, diarahkan ke Aula Besar oleh guru-guru dan para prefek.
“Itu Harry Potter!”
“Harry Potter!”
“Itu dia, aku bersumpah, aku barusan lihat dia!”
Tapi Harry tak menoleh-noleh lagi, akhirnya mereka sampai di pintu Kamar
Kebutuhan.
Harry menyelinap di dinding yang sudah dimantrai, yang membuka mengijinkan
mereka masuk, dia dan Luna menuruni tangga dengan cepat.
’Ap—”
Saat ruangan terlihat jelas, Harry terpeleset beberapa anak tangga saking
terkejutnya. Ruangan itu penuh sesak dibandingkan saat mereka pergi tadi.
Kingsley dan Lupin memandang mereka, seperti juga Oliver Wood, Katie Bell,
Angelina Johnson, dan Alicia Spinnet, Bill dan Fleur, Mr dan Mrs Weasley.
“Harry, apa yang terjadi?” tanya Lupin di kaki tangga.
”Voldemort sedang dalam perjalanan ke mari, guru-guru sedang membuat
pertahanan di sekolah—Snape melarikan diri—apa yang sedang kalian lakukan?
Bagaimana kalian tahu?”
”Kami mengirim pesan pada seluruh Laskar Dumbledore,” Fred menjelaskan, ”kau
tak bisa mengharapkan bahwa mereka akan senang ketinggalan sesuatu yang
seru, Harry, dan para LD memberi tahu Orde Phoenix, dan begitulah...
menggelinding membesar seperti bola salju.”
”Sekarang apa yang duluan, Harry?” tanya George, ”apa yang terjadi?”
“Guru-guru sedang mengevakuasi anak-anak yang lebih muda, dan semua
orang berkumpul di Aula Besar agar mudah mengorganisirnya,” sahut
Harry, “kita akan bertempur.”
Suara gemuruh membahana melanda kaki tangga, Harry terpepet ke dinding
saat mereka berlari melewatinya, campuran anggota Orde Phoenix, Laskar
Dumbledore, tim Quidditch lama Harry, semua dengan tongkat teracung siaga,
menuju ke bagian utama kastil.
“Ayo, Luna!” Dean memanggil saat ia melewatinya, mengulurkan tangannya
yang kosong, Luna menyambutnya dan berdua berpegang tangan menaiki
tangga.
Kerumunan itu menyusut, tinggal sedikit sisanya di Kamar Kebutuhan, dan Harry
bergabung. Mrs Weasley sedang beradu pendapat dengan Ginny dikelilingi Lupin,
Fred, George, Bill dan Fleur.
“Kau masih di bawah umur!” Mrs Weasley berseru pada anak perempuannya saat
Harry mendekat. “Aku tidak akan mengijinkanmu. Anak laki-laki boleh, tapi kau
harus pulang!”
”Aku tidak mau!”
Rambut Ginny bertemperasan saat ia menarik lengannya dari cengkeraman
ibunya.
”Aku anggota LD—”
”—kelompok anak belasan tahun—”
”Kelompok anak belasan tahun yang akan menghadapi dia, di mana tak ada orang
lain
yang berani!” sahut Fred.
”Dia baru enambelas tahun,” jerit Mrs Weasley, ”Dia belum cukup umur! Apa
yang
kalian berdua pikirkan, membawanya dengan kalian—“
Fred dan George nampak agak malu dengan diri mereka sendiri.
“Mum benar, Ginny,” sahut Bill lembut, “Kau belum boleh. Setiap yang belum
cukup
umur harus pergi, itu baru benar.”
“Aku tak bisa pulang!” Ginny berseru, air mata kemarahan berkilat di matanya,
“Seluruh
keluargaku di sini, aku tak bisa menunggu sendiri, dan tak tahu apa-apa, dan—“Matanya bertemu dengan mata Harry untuk pertama kali. Ia menatap Harry,
memohon,
tapi Harry menggelengkan kepalanya, dan Ginny memalingkan wajahnya, pedih.
“Baiklah,” sahutnya, menatap jalan ke terowongan kembali ke Hog’s Head.
“Selamat
tinggal kalau begitu, dan—“
Ada suara keributan, lalu suara gedebuk keras; seseorang merangkak keluar dari
terowongan, kehilangan keseimbangan sedikit dan terjatuh. Ia berpegangan di
kursi
terdekat lalu berdiri, melihat sekeliling lewat kacamata bingkai tanduk yang
miring dan
berkata, “Apa aku terlambat? Sudah mulai? Aku baru tahu, jadi aku—aku—“
Percy merepet lalu berhenti. Jelas-jelas dia tak berharap akan bertemu dengan
keluarganya sebanyak ini.
Mereka terdiam heran untuk waktu yang lama, dipecahkan oleh Fleur menoleh
pada
Lupin dan berkata, yang kelihatan sekali bermaksud untuk memecahkan
ketegangan,
“Jadi—b’gimana zee kecheel Teddy?”
Lupin mengejapkan mata pada Fleur, bingung. Keheningan di antara Weasley
nampaknya membeku seperti es.
”Aku—oh ya—dia baik!” Lupin berkata keras-keras, ”Ya, Tonks bersamanya—di
rumah
ibunya.”
Percy dan Weasley lainnya masih saling pandang, membeku.
“Ini, aku punya potretnya!” Lupin berseru, mengeluarkan selembar foto dari balik
jaketnya dan memperlihatkannya pada Fleur dan Harry, yang melihat seorang
bayi kecil
dengan seberkas rambut tosca terang melambaikan tinjunya yang gemuk pada
kamera. “Aku bodoh!” Percy meraung, begitu kerasnya hingga Lupin nyaris
menjatuhkan fotonya. “Aku tolol, aku brengsek sombong, aku—aku—“
“Pecinta-Kementrian, penolak-keluarga, pandir haus-kekuasaan,” sahut Fred.
Percy menelan ludah.
”Ya, memang!”
”Well, kau takkan bisa ngomong lebih baik lagi dari itu,” sahut Fred, mengulurkan
tangan pada Percy.
Mrs Weasley bercucuran airmata. Ia berlari mendekat, mendorong Fred
ke sisi dan
menarik Percy ke dalam pelukan yang mencekik, sementara Percy menepuknepuk
punggung ibunya, matanya tertuju pada ayahnya.
“Maafkan aku, Dad,” sahut Percy.
Mr Weasley mengerjap cepat, kemudian dia juga bergegas memeluk
anaknya.
“Apa yang membuatmu sadar, Perce?” George mengusut.
“Sudah timbul agak lama,” sahut Percy, menghapus air matanya di bawah
kacamata
dengan ujung jubah bepergiannya. “Tapi aku harus mencari jalan keluar, dan
itu tidak mudah, di Kementrian mereka memenjarakan pengkhianat setiap
saat. Aku berhasil menghubungi Aberforth dan dia memberi peringatan
padaku sepuluh menit lalu bahwa Hogwarts akan bertempur, jadi inilah aku.”
”Well, kami memang membutuhkan para prefek untuk memimpin pada saat
seperti sekarang,” sahut George sambil menirukan gaya Percy yang paling
angkuh, ”Sekarang ayo kita naik dan bertempur, kalau tidak nanti kita tidak
kebagian Pelahap Maut.”
”Jadi kau kakak iparku sekarang?” sahut Percy, berjabat tangan dengan Fleur
saat mereka
bergegas menuju tangga bersama Bill, Fred dan George.
“Ginny!” hardik Mrs Weasley
Ginny sudah mencoba, diselubungi perdamaian, untuk menyelinap naik tangga
juga.
“Molly, bagaimana kalau begini,” sahut Lupin, “Kenapa Ginny tidak tinggal di sini
saja,
sehingga paling tidak dia ada di tempat kejadian dan tahu apa yang terjadi, tapi
dia tak
terlibat dalam pertempuran?”
“Aku—“
“Gagasan yang bagus,” sahut Mr Weasley teguh, “Ginny, kau tinggal di kamar ini,
kau
dengar?”
Ginny nampaknya tak begitu menyukai gagasan itu, tapi di bawah tatapan mata
ayahnya
yang tidak biasanya, keras, ia mengangguk. Mr dan Mrs Weasley beserta Lupin
menuju tangga juga.“Ron mana?” tanya Harry, “Hermione mana?”“Mereka pasti
sudah naik ke Aula Besar,” Mr Weasley berkata lewat bahunya.
“Aku tidak melihat mereka melewatiku,” sahut Harry.
”Mereka tadi ngomong sesuatu tentang kamar mandi,” sahut Ginny, ”tak lama
setelah
kau pergi.”
”Kamar mandi?”
Harry menyeberangi Kamar menuju sebuah pintu yang terbuka di bagian awal
Kamar
Kebutuhan dan memeriksa kamar mandi yang ada di sana. Kosong.
”Kau yakin mereka bilang kamar—”
Tapi kemudian bekas lukanya terbakar, Kamar Kebutuhan menghilang: ia
sedang
memeriksa gerbang yang tinggi, terbuat dari besi tempa, dengan babi-bersayap
di tiang di tiap sisi, memeriksa tanah yang gelap menuju ke kastil terang benderang. Nagini melingkar di bahunya. Ia sudah kerasukan perasaan dingin dan
kejam yang melebihi pembunuhan.
Beberapa pesan Ambu
*[Reff, pernahkah membayangkan adegan ini? Severus, mungkinkah sedang
membaca
pikiran Minerva? Tapi katanya kalau Legilimens pasti kerasa sakit ^^. Trus, kalau
Severus dibiarkan menyelesaikan kalimatnya, kalimat seperti apa yang mau
dikatakan?
Lalu, kalau dia dibiarkan bicara, dan karena sesuatu hal dia bisa bertemu dengan
Harry
saat ini, apa yang mau dilakukan? Bilang apa? Apakah Harry akan percaya kalau
Severus
bilang seperti yang disuruh Dumbledore? Apakah Severus akan bicara langsung,
ataukah
pakai metode tertentu, Legilimens misalnya? Hehe, if dan if, dan if...]
Catatan editor:
Btw, ada yang mau ngasih saran judul dari Bab 30 ini? Mungkin ada yang lebih
cocok daripada 'Pemecatan Severus Snape'?
Bab 31 The Battle of Hogwarts PERTEMPURAN HOGWARTS
Langit-langit sihiran di Aula Besar terlihat gelap dan bertabur bintang,
dibawahnya empat meja asrama berjajar dikelilingi siswa-siswi yang berkerumun
tak beraturan, beberapa mengenakan jubah bepergian, yang lain memakai baju
rumah. Disana-sini terlihat kilauan seputih mutiara hantu-hantu sekolah. Setiap
mata, hidup dan mati, tertuju pada Prof. McGonagall, yang berbicara dari podium
di depan aula. Disampingnya berdiri guru-guru yang tersisa, termasuk sang
centaurus, Firenze, dan para anggota Orde Phoenix yang datang untuk
bertempur.
“Evakuasi akan dipandu oleh Mr. Filch dan Madam Pomfrey. Prefek, jika
kuberi komando, atur asrama kalian dan pimpin dengan rapi seperti biasa
menuju titik evakuasi.”
Banyak diantara siswa yang terlihat ketakutan. Tiba-tiba, ketika Harry
menyusuri dinding, mencari Ron dan Hermione di meja Gryffindor,
ErnieMcMillan berdiri diatas meja Hufflepuff dan berteriak; “Bagaimana jika
kami ingin tinggal dan bertarung?”
Terdengar gemuruh tepuk tangan.
“Jika usiamu cukup, kau boleh tinggal,” ucap Prof. McGonagall.
“Bagaimana dengan barang-barang kami?” tanya seorang gadis di meja
Ravenclaw. “Kopor dan burung hantu kami?”
“Kita tidak punya waktu untuk untuk mengumpulkan barang-barang,” kata
Prof. McGonagall.
“Yang terpenting adalah mengeluarkan kalian dari sini dengan selamat.”
“Dimana Prof. Snape?” teriak seorang gadis di meja Slytherin.
“Dia sedang -menggunakan bahasa umum- bersembunyi di kolong tempat tidur,”
jawab Prof. McGonagall yang disambut sorak-sorai dari anggota asrama
Gryffindor, Hufflepuff dan Ravenclaw.
Harry bergerak di aula sepanjang meja Gryffidor, masih mencari Ron dan
Hermione. Ketika dia lewat, wajah-wajah menoleh memandangnya, dan suara
bisik-bisik memecah perhatiannya.
“Kami telah membuat perlindungan di sekitar kastil,” Prof. McGonagall berkata,
”tapi sepertinya tidak bisa bertahan lama kecuali kita memperkuatnya. Oleh
karena itu, aku meminta kalian, untuk bergerak cepat dan tenang, dan lakukan
seperti prefek kalian—“ Tetapi kata terakhirnya tenggelam ketika suara lain
bergema di seluruh aula. Suara yang tinggi, dingin dan jelas. Tak diketahui
darimana asalnya. Tampaknya keluar dari dinding itu sendiri. Seperti monster
yang pernah dikuasainya, suara itu mungkin telah berada disana selama
berabad-abad.
“Aku tahu kalian bersiap untuk bertempur.” Terdengar jeritan diantara
siswa-siswa, beberapa diantaranya saling mencengkeram, mencari-cari
sumber suara dalam kengerian. “Usaha kalian sia-sia, kalian tidak bisa
melawanku. Aku tidak ingin membunuh kalian. Aku sangat menghormati guruguru Hogwarts. Aku tidak ingin menumpahkan darah sihir.”
Aula sunyi senyap sekarang, kesunyian yang menantang gendang telinga, yang
terlalu berat untuk disangga oleh dinding.
“Berikan Harry Potter padaku,” kata suara Voldemort, “dan mereka tak akan
disakiti. Berikan Harry Potter padaku, dan aku akan meninggalkan sekolah tanpa
menyentuhnya. Berikan Harry Potter padaku dan kalian akan diberi
penghargaan.”
“Kalian mempunyai waktu hingga tengah malam.”
Kesunyian kembali menelan mereka. Setiap kepala menoleh, setiap mata
tampaknya berusaha mencari Harry, membuat Harry membeku dalam ribuan
tatapan mata. Lalu sesosok tubuh bangkit dari meja Slytherin dan Harry
mengenali Pansy Parkinson ketika ia mengangkat tangannya yang gemetar dan
menjerit, “Tapi ia disini! Potter disini! Tangkap dia!”
Sebelum Harry bisa berkata-kata, tampak terbentuk gerakan besar-besaran.
Anak –anak Gryffindor di depannya berdiri dan menghadang, bukan Harry,
tetapi anak-anak Slytherin. Kemudian anak-anak Hufflepuff berdiri, dan
hampir bersamaan, anak-anak Ravenclaw, mereka semua membelakangi Harry,
semuanya malah menghadap Pansy, dan Harry, yang terpesona dan gembira,
melihat tongkat muncul dimana-mana, ditarik dari dalam jubah dan lengan baju.
“Terima kasih, Nona Parkinson,” kata Prof. McGonagall dengan suara tercekat.
“Kau boleh meninggalkan aula duluan bersama Mr. Filch, jika anggota
asramamu sanggup mengikuti.”
Harry mendengar derit suara bangku-bangku dan mendengar suara anak-anak
Slyhterin di sisi lain aula mulai berjalan keluar.
“Ravenclaw, selanjutnya!” perintah Prof. McGonagall.
Perlahan keempat meja mulai kosong. Meja Slytherin telah kosong, tetapi
beberapa anak Ravenclaw yang lebih tua tetap duduk sementara teman-temannya
berderet keluar; bahkan lebih banyak lagi anak Hufflepuff yang tetap tinggal,
dan separuh Gryffindor tetap di tempatnya, mengharuskan Prof. McGonagall
turun dari podium guru untuk memandu siswa di bawah umur untuk mengikuti
yang lain.
“Tidak boleh, Creevey, ayo! Kau juga Peakes!”
Harry bergegas menuju keluarga Weasley, yang semuanya duduk di meja
Gryffindor.
“Dimana Ron dan Hermione?”
“Kau belum menemukan—?“ Mr. Weasley terlihat cemas.
Tapi kalimatnya terhenti ketika Kingsley menaiki podium untuk berbicara
kepada semua yang tetap tinggal di aula. “Kita hanya punya waktu setengah jam hingga tengah malam, jadi kita harus
bergerak cepat. Rencana pertempuran telah disetujui antara guru-guru
Hogwarts dengan Orde Phoenix. Prof. Flitwick, Sprout dan Mc. Gonagall akan
memimpin kelompok-kelompok pejuang naik ke tiga menara tertinggi –Ravenclaw,
Astronomi dan Gryffindor— yang sudut pandangnya paling bagus, posisi yang
sempurna untuk melancarkan mantra. Sementara Remus” –dia menunjuk Lupin—
“Arthur” menunjuk Mr. Weasley yang duduk di meja Gryffindor—“ dan aku, akan
memimpin kelompok di bawah. Kita perlu seseorang untuk mengorganisir
pertahanan di pintu-pintu masuk atau jalan tembus menuju sekolah—“
“Kedengarannya seperti pekerjaan untuk kita,” kata Fred, menunjuk dirinya dan
George, dan Kingsley mengangguk setuju.
“Baiklah, para pemimpin kesini dan kita akan memencar pasukan!”
“Potter,” ujar Prof. McGonagall, bergegas mendekatinya, ketika siswa-siswa
memenuhi podium, menempatkan diri, dan menerima perintah, “Bukankah kau
seharusnya mencari sesuatu?”
“Apa? Oh” ucap Harry, “Oh, yeah!”
Dia hampir melupakan Horcrux, hampir lupa bahwa pertempuran akan digelar
supaya dia bisa mencarinya: Ketiadaan Ron dan Hermione yang tidak jelas
sementara telah membuang pikiran lain dari kepalanya.
“Pergilah Potter, ayo!”
“Benar—yeah—“
Dia merasakan berpasang-pasang mata memandang ketika ia berlari keluar lagi
dari aula besar menuju aula depan yang penuh sesak dengan siswa-siswa yang
dievakuasi. Ia membiarkan dirinya terbawa rombongan mereka menuju tangga
pualam, tapi sampai diatas ia bergegas menyusuri koridor yang sunyi. Rasa takut
dan panik membuatnya sulit berpikir. Ia berusaha menenangkan diri,
berkonsentrasi untuk menemukan Horcrux, tapi pikirannya simpang siur, kalut
dan bingung seperti lebah yang terjebak diantara kaca. Tanpa Ron dan
Hermione yang membantunya, tampaknya ia kesulitan menyusun rencana. Dia
melambat di tengah koridor, duduk di alas sebuah patung retak dan mengambil
Peta Perompak dari kantong yang tergantung di lehernya. Tidak terlihat nama
Ron dan Hermione dimanapun, walaupun padatnya titik yang sekarang menuju ke
Kamar Kebutuhan, pikirnya, mungkin saja menyembunyikan mereka. Dia
meletakkan peta, menutup wajah dengan tangannya, terpejam, dan mencoba
untuk konsentrasi. Voldemort mengira aku pergi ke menara Ravenclaw.
Itu dia, petunjuk jelas dari mana harus memulai. Voldemort telah
menempatkan Alecto Carrow di ruang rekreasi Ravenclaw, dan pasti hanya ada
satu penjelasan; Voldemort kuatir Harry sudah tahu Horcruxnya berhubungan
dengan asrama itu.
Tapi tampaknya satu-satunya benda yang dihubungkan dengan asrama itu oleh
semua orang hanyalah diadem yang hilang… dan bagaimana mungkin Horcruxnya
adalah diadem itu? Apa mungkin Voldemort, anak Slytherin, bisa menemukan
diadem yang tidak diketahui oleh bergenerasi anggota Ravenclaw? Siapa yang
bisa memberitahunya dimana harus mencari, ketika tidak ada orang yang pernah
melihatnya yang masih hidup?
Yang masih hidup….
Mata Harry terbuka kembali di sela-sela jarinya. Dia melompat bangun dari alas
patung dan bergegas berbalik arah kembali ke jalan yang telah ia lalui, mengejar
harapan satusatunya. Suara ratusan orang yang bergerak kearah Kamar
Kebutuhan terdengar semakin jelas ketika ia kembali ke tangga pualam. Para
Prefek meneriakkan instruksi, berusaha menjaga para siswa tetap di jalur
asramanya, semakin banyak dorongan dan teriakan; Harry melihat Zacharias
Smith meluncur cepat menuju antrian depan; disana-sini terdengar isak tangis
siswa-siswa yang lebih muda, sementara yang lebih tua saling memanggil teman
dan saudara dengan putus asa.
Harry menangkap kilau sosok seputih mutiara melayang melewati pintu masuk
aula dan berteriak sekeras mungkin di tengah keramaian.
“Nick! NICK! Aku harus bicara denganmu!”
Dia menerobos kerumunan siswa, hingga sampai di dasar tangga, dimana
Nick si Kepala-Nyaris-Putus, hantu Gryffidor, berdiri menunggunya.
“Harry! Anakku!”
Nick berusaha meraih tangan Harry; membuat Harry merasa seperti masuk ke
dalam air es.
“Nick, kau harus membantuku. Siapa hantu menara Ravenclaw?”
Nick si Kepala-Nyaris-Putus kelihatan terkejut dan sedikit tersinggung.
“Grey Lady, tentu saja; tapi jika layanan hantu yang kau perlukan—“
“Itu pasti dia—kau tahu dimana dia?”
“Coba kulihat…
Kepala Nick bergoyang diatas rimpelnya ketika ia berputar kesana kemari,
mengintip dari
balik kepala siswa-siswa yang berkerumun.“Itu dia disana, Harry. Wanita
muda yang berambut panjang.”Harry melihat kearah yang ditunjuk jari Nick
yang transparan, dan menemukan hantu
tinggi yang menyadari bahwa Harry sedang memandangnya, ia mengangkat alis,
dan
melayang melalui dinding yang padat.
“Hei—tunggu—kembali!” Ia mau berhenti, melayang beberapa inci dari lantai.
Menurut Harry ia cantik, dengan rambut panjang sepinggang dan jubah panjang
menyentuh lantai, tapi ia juga terlihat angkuh dan berbangga diri. Semakin
dekat, Harry segera mengenalinya sebagai hantu yang sering berpapasan
dengannya di koridor, tapi ia tak pernah bicara dengannya.
“Kau Grey Lady?”
Ia mengangguk tapi tak bicara.
“Hantu menara Ravenclaw?”
“Itu benar.”
Nadanya tak meyakinkan.
“Tolonglah, aku butuh bantuan. Tolong katakan padaku semua yang kau ketahui
tentang
diadem yang hilang.”
Senyum dingin terbentuk di bibirnya.
“Sayangnya,” ujarnya, berputar menjauh, “aku tidak bisa membantumu.”
“TUNGGU!”
Dia tidak bermaksud berteriak, tapi kepanikan dan kemarahan menguasainya.
Harry
melirik jamnya sekilas ketika Grey Lady melayang di depannya. Seperempat jam
lagi
tengah malam.
“Ini penting,” ia berkata keras. “Jika diadem itu di Hogwarts, kita harus segera
menemukannya.”
“Kau bukan siswa pertama yang mendambakan diadem itu,” katanya menghina.
“Bergenerasi siswa telah mendesakku—“
“Ini bukan tentang mendapatkan nama baik!” Harry berteriak padanya, “ini
tentang
Voldemort –mengalahkan Voldemort—atau kau tidak tertarik?”
Bukannya merona, pipinya yang transparan berubah menjadi buram dan
suaranya
memanas ketika ia menjawab, “Tentu saja aku—betapa beraninya kau
mengatakan—“
“Kalau begitu, bantulah aku!”
Dia mulai tidak tenang.
“Itu—itu bukan pertanyaan yang—“ dia menjawab gagap, “diadem ibuku—“
“Ibumu?”
Dia kelihatan marah pada dirinya sendiri.
“Ketika aku masih hidup,” katanya kaku, “aku Helena Ravenclaw.”
“Kau putrinya? Tapi, kau pasti mengetahui apa yang terjadi pada diadem
itu.”“Diadem itu melimpahkan kearifan,” katanya berusaha menguasai diri, “aku
ragu benda itu bisa memerbesar kesempatanmu mengalahkan penyihir yang
menamai dirinya sendiri Lord—“
“Sudah kubilang aku tidak tertarik memakainya!” kata Harry bersikeras; “Tak
ada waktu untuk menjelaskan—tapi kalau kau peduli dengan Hogwarts, kalau kau
ingin melihat Voldemort berakhir, kau harus memberitahuku semua yang kau
tahu tentang diadem itu!”
Dia masih membisu, melayang di udara, memandang Harry dan rasa putus asa
melanda Harry. Tentu saja, jika ia tahu sesuatu, ia tentu sudah mengatakannya
pada Flitwick atau Dumbledore, yang pasti sudah pernah menanyakan hal yang
sama. Dia menggelengkan kepala dan berpaling ketika berbicara dengan suara
pelan.
“Aku mencuri diadem itu dari
ibuku.” “Kau—kau apa?”
“Aku mencuri diadem itu,” ulang Helena Ravenclaw dalam bisikan. “Aku
mencoba membuat diriku lebih pintar, lebih penting daripada ibuku. Aku kabur
dengan diadem itu.”
Harry tidak tahu bagaimana dia berhasil mendapatkan kepercayaannya
dan tidak bertanya, ia hanya mendengarkan, baik-baik, ketika Helena
melanjutkan.
“Ibuku, mereka bilang, tak pernah mengakui bahwa diademnya hilang, melainkan
berpura-pura masih memilikinya. Beliau menyembunyikan kenyataan tentang
hilangnya diadem itu, juga pengkhianatanku yang menyakitkan, bahkan dari para
pendiri Hogwarts yang lain.”
“Kemudian ibuku sakit—sakit parah. Walaupun aku berkhianat, beliau matimatian berusaha menemuiku sekali lagi. Beliau mengirim orang yang sangat
mencintaiku, walaupun aku menolak rayuannya, untuk menemukanku. Beliau tahu
bahwa laki-laki itu tidak akan berhenti hingga berhasil.”
Harry menunggu. Wanita itu menghela nafas dan menoleh kebelakang.
“Dia melacakku hingga ke hutan tempatku bersembunyi. Ketika aku menolak
untuk pulang bersamanya, ia menjadi kejam. Baron memang selalu gampang
naik darah. Berang karena penolakanku, cemburu pada kebebasanku, ia lalu
menusukku.”
“Baron? Maksudmu—“
“Baron Berdarah,ya,” ujar Grey Lady, dan dia menyibakkan jubahnya untuk
memperlihatkan satu luka gelap di dada putihnya. “Ketika dia menyadari apa yang
telah dilakukannya, dia sangat menyesal. Dia mengambil senjata yang telah
membunuhku, dan menggunakannya untuk bunuh diri. Selama berabad-abad
kemudian ia mengenakan rantainya sebagai bukti penyesalannya…. jika dia bisa,”
ia menambahkan dengan sengit.
“Dan—dan diademnya?”
“Masih berada di tempat aku menyembunyikannya ketika kudengar Baron
memasuki hutan mendekatiku. Tersimpan di dalam lubang pohon.”
“Lubang pohon?” ulang Harry. “Pohon apa? Dimana tempatnya?”
“Hutan di Albania. Tempat sunyi yang menurutku cukup jauh dari jangkauan
ibuku.”
“Albania,” ulang Harry. Secara menakjubkan, kebingungan berubah menjadi
pengertian, dan sekarang ia memahami kenapa wanita itu berterus terang
padanya tentang hal yang tak mau ia jelaskan pada Dumbledore dan Flitwick. “Kau
pernah menceritakan hal ini pada seseorang, ya kan? Siswa lain?”
Ia memejamkan mata dan mengangguk.
“Aku… tak tahu… ia menyanjungku. Tampaknya ia… memahami… bersimpati.”
Ya, pikir Harry. Tom Riddle pasti memahami keinginan Helena Ravenclaw
untuk memiliki benda luar biasa yang sebenarnya bukan haknya.
“Well, kau bukan orang pertama yang terpedaya oleh Riddle,” Harry
bergumam. “Dia bisa sangat menarik jika dia mau.”
Jadi Voldemort telah berhasil memancing informasi tentang lokasi diadem
yang hilang dari Grey Lady. Ia telah berkelana ke hutan yang jauh dan
mengambil diadem kembali dari tempat persembunyiannya, mungkin segera
setelah ia meninggalkan Hogwarts, bahkan sebelum ia mulai bekerja di Borgin
and Burkes.
Dan bukankah hutan terpencil Albania itu tampaknya merupakan tempat
berlindung yang bagus ketika, lama sesudahnya, Voldemort memerlukan tempat
untuk menyembunyikan diri, tidak terganggu, selama 10 tahun?
Tapi diadem itu, setelah menjadi Horcruxnya yang berharga, tidak ditinggalkan
di pohon rendah itu… Tidak, diadem itu telah dikembalikan secara diam-diam, ke
rumah yang sebenarnya, dan Voldemort pasti telah meletakkannya disana—
“—malam dia melamar pekerjaan!” kata Harry, menghentikan penalarannya.
“Maaf?”
“Dia menyembunyikan diadem di kastil, di malam ia melamar pekerjaan sebagai
guru kepada Dumbledore!” ujar Harry. Berteriak membuatnya lebih memahami
semuanya. “Dia pasti telah menyembunyikan diadem itu dalam perjalanannya
menuju, atau setelah dari, kantor Dumbledore! Lumayan juga usahanya
melamar pekerjaan—jadi dia juga punya kesempatan mengecek pedang
Gryffindor—terima kasih banyak!”
Harry meninggalkannya melayang di udara, tampak benar-benar bingung. Sambil
berbelok di ujung kembali ke aula depan, ia mengecek jam. Lima menit sebelum
tengah malam, dan walaupun ia tahu apa Horcrux terakhir, ia masih belum
menemukan dimana tempatnya…
Bergenerasi siswa gagal menemukan diadem itu; menandakan tempatnya bukan di
menara Ravenclaw—tapi bila bukan disana, dimana? Tempat bersembunyi apa
yang Tom Riddle temukan di dalam kastil Hogwarts, yang; dia yakin akan
menyimpan rahasia selamanya?
Bingung dengan spekulasi tanpa harapan, Harry berbelok di pojok, tapi baru
berjalan beberapa langkah di koridor baru, tiba-tiba jendela di sebelah kirinya
pecah memekakkan telinga, hancur berkeping-keping. Ketika ia melompat
kesamping, sesosok tubuh ukuran raksasa melayang masuk jendela dan menabrak
dinding di seberangnya.
Sesuatu yang besar dan berbulu berdiri, merengek, melepaskan diri dari sang
pendatang dan melemparkan dirinya kepada Harry.
“Hagrid!” Harry berteriak, melepaskan diri dari perhatian yang berlebihan dari
Fang si anjing pemburu babi hutan, ketika seseorang seukuran beruang
berusaha berdiri dengan susah payah. “Apa yang--?”
“Harry, kau d’sini! Kau d’sini!”
Hagrid membungkuk, menghadiahi Harry dengan pelukan sekilas yang
meremukkan tulang iga, lalu berlari menuju jendela yang pecah.
“Anak pintar, Grawpy!” dia berteriak di jendela yang berlubang. “Kutemui kau
sebentar lagi, itu baru anak baik!”
Di belakang Hagrid, melalui kegelapan malam, Harry melihat kilatan cahaya di
kejauhan dan mendengar jerit ratapan yang aneh. Dia melihat jamnya: Ini tengah
malam, pertempuran dimulai.
“Ya ampun, Harry,” kata Hagrid dengan nafas terengah-engah, ”ini dia, kan?
Waktunya bertarung?”
“Hagrid, kau dari mana?”
“Dengar Kau-Tahu-Siapa dari gua kami,” kata Hagrid tegar, “suara terbawa, kan?
‘Kalian punya waktu sampai tengah malam ‘tuk serahkan Potter.’ Tau kau pasti
disini, tau ini pasti terjadi. Menunduk, Fang. Jadi kami kesini ‘tuk bergabung, aku
dan Grawpy dan Fang. Mendobrak jalan lewat perbatasan dekat hutan, Grawpy
bawa kami, Fang dan aku. Bilang dia ‘tuk turunkan aku di kastil, jadi dia
lemparkanku lewat jendela, semoga dia diberkati. Tidak terlalu tepat sih, tapi –
dimana Ron dan Hermione?”
“Itu,” ujar Harry, “pertanyaan yang bagus. Ayo.”
Mereka bergegas menyusuri koridor, Fang menjulurkan lidah mengiringi mereka.
Harry bisa mendengar gerakan dimana-mana melalui koridor: langkah kaki
berlarian, teriakan; melalui jendela ia bisa melihat kilatan cahaya di tanah yang
gelap.
“Kemana kita?” Hagrid terengah-engah, berdebam di belakang Harry,
menciptakan gempa di permukaan lantai.
“Aku belum tahu pasti,” ucap Harry, menoleh kesana-kemari, “tapi Ron dan
Hermione pasti di suatu tempat di sekitar sini…”
Korban pertama pertempuran sudah berserakan tepat di lorong depan mereka:
dua gargoyle batu yang biasanya menjaga pintu masuk ruangan staf telah hancur
lebur karena mantra yang masuk melalui jendela pecah di sisi yang lain. Sisasisanya bergoyang lemah di lantai, dan ketika Harry melompati salah satu kepala
yang sudah tak berbentuk, gargoyle itu merintih lemah, “Oh, jangan pedulikan
aku… aku akan tetap disini dan hancur…”
Wajah batunya yang jelek tiba-tiba mengingatkan Harry pada patung dada
pualam Rowena Ravenclaw di rumah Xenophilius, mengenakan hiasan kepala
gila itu –dan kemudian pada patung di menara Ravenclaw, dengan diadem batu
diatas rambut putih keritingnya….
Dan ketika ia sampai di ujung lorong, ingatan akan patung batu ketiga tiba-tiba
muncul di pikirannya; penyihir tua jelek, yang kepalanya Harry pasangi wig dan
topi tua. Rasa terkejut meliputi Harry, seperti terkena panasnya Wiski Api,
sampai membuatnya hampir tersandung.
Dia tahu, akhirnya, dimana Horcrux telah menunggunya…..
Tom Riddle, yang tidak mempercayai siapapun dan bergerak sendirian, mungkin
cukup sombong untuk mengira bahwa ia, dan hanya ia, telah menjelajahi misteri
terdalam Kastil Hogwarts. Tentu saja, Dumbledore dan Flitwick, tipe murid
demikian, tidak pernah menginjakkan kaki di tempat semacam itu, tapi dia,
Harry, telah berkeliaran sepanjang hidupnya di sekolah dan menguasai jalur-jalur
rahasia. Paling tidak, ini wilayah rahasia yang sama-sama diketahuinya dan
Voldemort, yang Dumbledore tak pernah menemukan-.
Ia disadarkan oleh Prof. Sprout yang bergerak cepat diikuti Neville dan
setengah lusin yang lain, semuanya mengenakan pelindung telinga dan
membawa sesuatu seperti tumbuhan besar dalam pot.
“Mandrake!” Neville berteriak kepada Harry seraya berlari, “untuk
dilemparkan kepada mereka lewat dinding—mereka tak akan suka ini!” Harry sekarang mengerti harus pergi kemana. Ia mempercepat langkah, dengan
Hagrid dan Fang berlari kencang mengiringinya. Mereka melewati lukisan demi
lukisan, dan sosok-sosok dalam lukisan ikut berlari bersama mereka, penyihir pria
dan wanita dalam balutan kerah berenda dan celana panjang, baju besi dan jubah,
saling menjejalkan diri ke dalam kanvas rekannya, meneriakkan berita dari bagian
lain kastil. Ketika mereka sampai di ujung koridor, seluruh kastil bergetar, dan
Harry tahu, ketika sebuah vas raksasa terbang dengan kekuatan yang bisa
meledakkan, bahwa itu disihir dengan parah, tak mungkin dari para guru atau
anggota Orde.
“Tak apa, Fang—tak apa!” teriak Hagrid, tapi anjing pemburu babi hutan besar
itu telah kabur secepat potongan kayu Cina melayang seperti granat, dan Hagrid
mengikuti anjing yang ketakutan itu dengan langkah besarnya meninggalkan
Harry sendirian.
Ia maju perlahan melalui jalan yang bergetar, dengan tongkat siap, dan
sepanjang satu koridor lukisan ksatria kecil, Sir Cadrigan, berlari dari lukisan ke
lukisan di sebelahnya, baju besinya berkelontangan, meneriakkan semangat, kuda
poni gemuknya berjalan mengikutinya dengan santai.
“Pembual dan bajingan, anjing dan bangsat, usir mereka, Harry Potter, hadapi
mereka!”
Harry berbelok di pojok dan bertemu Fred bersama sejumlah siswa, termasuk
Lee Jordan dan Hannah Abbot, berdiri disamping alas kosong yang lain, yang
mana patungnya telah menutup jalan rahasia.
Tongkat mereka turun dan mereka sedang mendengarkan lubang yang tertutup.
“Malam yang indah untuk melakukan ini!” Fred berteriak, ketika kastil
bergoyang lagi, dan Harry melesat dengan perasaan takut dan bahagia yang
bercampur aduk. Sepanjang koridor selanjutnya ia berlari cepat, burung-burung
hantu dimana-mana, Mrs. Norris berdesis dan berusaha mengusir mereka
dengan cakarnya, pasti untuk mengembalikan mereka ke tempatnya…
“Potter!”
Aberforth Dumbledore berdiri menutupi koridor selanjutnya, tongkatnya
tergenggam siap.
“Ratusan anak melewat pub-ku , Potter!”
“Aku tahu, kami mengevakuasi,” kata Harry, “Voldemort—“ “—menyerang karena belum mendapatkanmu, yeah—“ ujar Aberforth, “Aku
tidak tuli, seluruh Hogsmeade mendengarnya. Dan tak pernah terpikir oleh
kalian untuk menahan sedikit anak Slytherin sebagai sandera? Anak-anak
Pelahap Maut yang kalian selamatkan. Bukankah lebih cerdik bila mereka tetap
disini?”
“Itu tak akan menghalangi Voldemort,” ucap Harry, “dan kakak anda tidak akan
pernah melakukannya.”
Aberforth menggerutu dan pergi kearah berlawanan.
Kakak anda tidak akan pernah melakukannya…. Ya, itu memang benar, pikir
Harry ketika ia mulai berlari lagi: Dumbledore, yang begitu lama
mempertahankan Snape, tidak akan pernah menyandera siswa…
Dan ketika ia sampai di pojok terakhir, dengan campuran teriakan antara lega
dan marah ia melihat mereka: Ron dan Hermione; keduanya dengan lengan penuh
benda kuning yang besar, melengkung dan kotor, Ron dengan sapu terbang di
bawah lengannya.
“Dari mana saja kalian?” Harry berteriak.
“Kamar Rahasia,” jawab Ron.“Kamar—apa?” ujar Harry, tertegun.“Itu ide Ron,
semuanya ide Ron,” kata Hermione terengah-engah. “Bukankah itu brilian?
Disanalah kami, setelah kita pergi, dan aku bilang Ron, walaupun kita menemukan
yang satu lagi, bagaimana kita akan menghancurkannya? Kita masih belum bisa
menghancurkan piala! Dan lalu dia ingat! Basilisk!”
“Apa yang--?”
“Sesuatu untuk menghancurkan Horcrux,” kata Ron tenang.
Mata Harry terpaku pada benda di lengan Ron dan Hermione: gigi taring besar
melengkung: terpotong, sekarang dia mengenali, berasal dari tengkorak basilisk
mati.
“Bagaimana kalian bisa masuk kedalam?” tanya Harry, mengalihkan pandangan
dari gigi taring ke Ron. “Kau harus berbicara Parseltongue!”“Dia bisa,” bisik
Hermione. “Tunjukkan Ron!” Ron membuat suara berdesis yang aneh.“Itu yang
kau lakukan ketika membuka liontin,” Ron menjelaskan pada Harry dengan
agak menyesal. “Tapi aku harus mencoba beberapa kali sampai menemukan yang benar,” katanya merendah, “akhirnya kami sampai di dalam.”“Dia luar
biasa!” kata Hermione.“Luar biasa!”
“Jadi…” Harry berusaha melanjutkan. “Jadi…?”“Jadi satu Horcrux sudah beres,”
ujar Ron, dan dari dalam jaketnya ia menarik sisa-sisa piala Hufflepuff yang
terkoyak. “Hermione menusuknya. Untunglah dia berhasil. Dia sama sekali tidak
menikmatinya.”
“Jenius!” Harry berteriak.
“Itu bukan apa-apa,” ucap Ron, walaupun dia kelihatan puas dengan dirinya.
“Jadi, bagaimana denganmu?”Bersamaan dengan itu, ledakan terdengar diatas:
mereka bertiga melihat keatas ketika
debu berjatuhan dari langit-langit dan mendengar teriakan di kejauhan.
“Aku tahu seperti apa diademnya dan aku tahu tempatnya,” kata Harry dengan
cepat.
“Dia menyembunyikannya di tempat aku menyimpan buku Ramuan lamaku,
dimana semua orang menyimpan barang-barang sejak berabad-abad. Dia
menyangka hanya dia yang tahu. Ayo.”
Ketika dinding bergetar lagi, Harry memimpin kedua rekannya kembali melewati
pintu masuk yang tersembunyi dan menuruni tangga menuju Kamar Kebutuhan.
Ruangan itu hanya berisi tiga orang wanita: Ginny, Tonks dan penyihir tua yang
mengenakan topi yang dimakan ngengat, yang segera dikenali Harry sebagai
nenek Neville.
“Ah, Potter,” dia berkata renyah, seakan-akan dia memang menunggu Harry,
“kau bisa
menceritakan apa yang terjadi.”
“Semua baik-baik saja?” tanya Ginny dan Tonks bersamaan.
“Setahu kami begitu,” jawab Harry. “Apa masih ada orang di jalan menuju Hog’s
Head?” Dia tahu ruangan tidak akan bertransformasi jika masih ada orang di
dalamnya.
“Aku yang terakhir,” kata Mrs. Longbottom, “Aku menyegelnya. Kurasa tidak
baik meninggalkannya terbuka ketika Aberforth tidak di pub-nya. Kau
melihat cucuku?”
“Dia bertarung,” ucap Harry.“Sudah selayaknya,” kata wanita tua itu bangga.
“Permisi, aku harus pergi dan mendampinginya.” Dengan kecepatan yang
mengejutkan dia pergi dengan langkah berderap di lantai batu.
Harry memandang Tonks.
“Kukira kau seharusnya bersama Teddy di rumah ibumu?”
“Aku tak tahan jika tidak tahu—,“ Tonks tampak menderita. ”Ibuku akan
merawatnya—
kau melihat Remus?”
“Dia berencana memimpin sekelompok pejuang menuju ke dasar—“
Tanpa berkata-kata, Tonks melesat pergi.
“Ginny, ujar Harry, “maaf, tapi kami perlu kau keluar juga. Sebentar saja. Lalu
kau bisa
masuk lagi.”Ginny tampak senang meninggalkan tempat perlindungannya.“Nanti
kau bisa masuk lagi!” Harry berteriak ketika Ginny berlari menyusul Tonks. “Kau
harus masuk lagi!”
“Tunggu sebentar!” kata Ron tajam. “Kita lupa seseorang!”
“Siapa?” tanya Hermione.
“Para peri rumah, mereka di dapur kan?”
“Maksudmu kita minta mereka bertarung?” tanya Harry.
“Tidak,” kata Ron serius. “Maksudku kita harus menyuruh mereka keluar. Kita
tidak mengharapkan Dobby-Dobby yang lain, kan? Kita tidak bisa meminta
mereka mati untuk kita—“
Taring basilisk di lengan Hermione jatuh berkelontangan. Berlari kearah Ron,
kedua lengannya memeluk leher Ron dan ia mencium Ron penuh di mulutnya. Ron
membuang taring dan sapu terbang yang dipegangnya, menyambut dengan penuh
antusias dan mengangkat tubuh Hermione dari lantai.
“Apa harus sekarang?” Harry bertanya lemah, dan ketika tak ada yang terjadi
kecuali Ron dan Hermione berpelukan semakin erat dan berayun di tempat, dia
berteriak, “Oi! Ada perang!” Ron dan Hermione berpisah, masih saling
mengalungkan lengan.
“Aku tahu, teman,” kata Ron, yang terlihat seperti kepalanya baru saja
terhantam Bludger, “sekarang atau tidak sama sekali, ya kan?”
“Tidak masalah, tapi bagaimana dengan Horcruxnya?” Harry berteriak. “Apa
kalian bisa me—menundanya sampai kita dapat diademnya?”
“Yeah—benar—maaf,” kata Ron. Dia dan Hermione memungut kembali taringtaring yang jatuh, keduanya dengan wajah merona merah jambu.
Jelas sekali, ketika mereka bertiga melangkah ke koridor atas, bahwa dalam
waktu yang mereka habiskan di Kamar Kebutuhan, suasana di kastil telah
bertambah buruk: dinding dan langit-langit bergetar lebih hebat dari
sebelumnya; debu memenuhi udara, dan dari jendela terdekat, Harry melihat
kilatan cahaya hijau dan merah sangat dekat di kaki kastil sehingga dia tahu para
Pelahap Maut pastilah sudah sangat dekat dengan pintu masuk. Menengok ke
bawah, Harry melihat Grawp si Raksasa lewat meliuk-liuk, mengayunkan sesuatu
yang tampak seperti gargoyle batu yang lepas dari atap dan dia meraung tak
senang.
“Mari kita berharap semoga dia menginjak beberapa dari mereka,” ucap Ron
ketika lebih banyak jeritan bergema dari bawah.
“Asal bukan pihak kita,” terdengar satu suara: Harry menoleh dan melihat
Ginny dan Tonks, keduanya dengan tongkat terarah ke sasaran melalui jendela
sebelah, yang sudah kehilangan beberapa kacanya. Bahkan saat Harry
memandang, Ginny bisa menembakkan mantra dengan sangat baik kearah
kerumunan petarung dibawah.
“Gadis pintar!” koar seseorang yang berlari menembus debu kearah mereka, dan
Harry melihat Aberforth lagi, rambut abu-abunya melambai ketika ia lewat
sambil memimpin sekelompok siswa. “Tampaknya mereka mungkin menembus
menara utara, mereka juga membawa raksasa.”
“Anda lihat Remus?” Tonks bertanya kepadanya.
“DIa melawan Dolohov,” teriak Aberforth, “belum lihat lagi.”
“Tonks,” panggil Ginny. “Tonks, aku yakin dia baik-baik saja—“
Tapi Tonks sudah berlari ke dalam debu menyusul Aberforth.
Ginny berputar, tak berdaya, menuju Harry, Ron dan Hermione. “Mereka akan baik-baik saja,” kata Harry, walaupun sadar kedengarannya
hampa. “Ginny, kami akan segera kembali, menjauhlah, jaga diri—ayo!” kata
Harry sambil mengajak Ron dan Hermione, dan mereka berlari kembali
menuju hamparan dinding yang dibaliknya Kamar Kebutuhan menunggu
permintaan selanjutnya.
Aku perlu tempat untuk menyembunyikan segalanya. Harry memohon di
dalam kepalanya dan pintu terbentuk setelah hilir mudik yang ketiga
kali.
Kehebohan pertempuran tak terdengar lagi saat mereka memasuki ambang pintu
dan menutupnya: Sunyi. Mereka berada di tempat seluas katedral dengan
pemandangan sebuah kota, dindingnya yang tinggi terdiri dari berbagai benda
yang disembunyikan oleh ratusan siswa yang sudah lama lulus.
“Dan dia menyangka tak seorangpun bisa masuk?” ucap Ron, suaranya bergema
dalam kesunyian.
“Dikiranya hanya dia satu-satunya,” kata Harry. “Sayang baginya aku harus
menyembunyikan benda di masaku….kesini,” tambahnya. “Kurasa dibawah sini…”
mereka berjalan cepat melalui gang-gang yang berdampingan. Harry bisa
mendengar langkah-langkah kaki lain bergema melalui tumpukan tinggi bendabenda tak berguna: botol, topi, peti kayu, kursi, buku, senjata, sapu,
kelelawar…..
“Suatu tempat di sekitar sini,” Harry bergumam sendiri, ”suatu
tempat….suatu tempat…”
Dia masuk semakin jauh ke dalam labirin, mencari benda yang dikenalnya dari
perjalanan pertamanya masuk ke ruang itu. Nafasnya terdengar keras di telinga,
dan dirinya terasa menggigil. Dan itu dia, tepat di depannya, lemari besar melepu,
tempat dia menyimpan buku Ramuan tuanya, dan diatasnya, patung batu penyihir
tua jelek yang sudah gompal memakai wig tua berdebu dan sesuatu yang tampak
seperti tiara kuno tak berwarna.
Dia baru saja menjulurkan tangan, walaupun tinggal beberapa langkah, ketika
suara di belakangnya berkata, “Tahan, Potter.”
Dia berhenti dan berputar. Crabbe dan Goyle berdiri di belakangnya,
berdampingan, tongkat mengacung pada Harry. Melalui celah diantara kedua
wajah mencemooh itu dia melihat Draco Malfoy.
“Itu tongkatku yang kau pegang, Potter,” kata Malfoy, mengacungkan tongkatnya
sendiri melalui celah diantara Crabbe dan Goyle“Bukan lagi,” kata Harry terengah-engah, mempererat pegangannya di
tongkat Hawthorn. “Pemenang, pemegang, Malfoy.” “Siapa yang
meminjamimu tongkat?”
“Ibuku,” jawab Draco.
Harry tertawa, walaupun tak ada yang lucu. Dia tidak bisa mendengar Ron dan
Hermione lagi. Telinga mereka mungkin kehilangan kepekaan, sibuk mencari
diadem.
“Jadi kenapa kalian bertiga tidak bersama Voldemort?” tanya Harry.
“Kami akan mendapat penghargaan,” ucap Crabbe. Diluar dugaan, suaranya
sangat lembut untuk orang sebesar dia: Harry belum pernah mendengar dia
bicara sebelumnya. Crabbe bicara seperti seorang anak kecil yang dijanjikan
sekantung besar permen.
“Kami kembali, Potter. Kami memutuskan tidak pergi. Memutuskan
untuk membawamu kepadanya.”
“Rencana yang bagus,” kata Harry pura-pura kagum. Rasanya tidak percaya
sudah sedekat ini, dan dihalangi oleh Malfoy, Crabbe dan Goyle. Dia mulai
menepi, perlahan mundur ke belakang menuju tempat Horcrux berada, yang
miring diatas patung dada. Jika dia bisa mengambilnya sebelum keributan
pecah….
“Jadi bagaimana kalian bisa masuk kesini?” dia bertaya, mencoba mengalihkan
perhatian.
“Aku berada di Ruang Benda Tersembunyi sepanjang tahun lalu,” kata Malfoy,
suaranya lemah. “Aku tahu bagaimana masuk kesini.”
“Kami bersembunyi di koridor luar,” gerutu Goyle. “Kami bisa melakukan
Mantra Menghilang sekarang! Dan lalu, “ wajahnya menyeringai,” kau berputar
tepat di depan kami dan berkata kau mencari sebuah die-dum! Apa itu diedum?"
“Harry?” suara Ron tiba-tiba bergema dari dinding di sisi kanan Harry. “Apa kau
bicara dengan seseorang?”
Dalam gerakan cepat, Crabbe mengarahkan tongkatnya pada gunung 50 kaki yang
terdiri dari mebel tua, kopor rusak, buku lama dan jubah serta bermacam
sampah tak jelas, dan berteriak, “Descendo!”
Dinding mulai bergetar, lalu tiga tingkat teratas mulai ambruk ke gang di dekat Ron berdiri.
“Ron!” Harry berteriak, ketika dari suatu tempat yang tak kelihatan terdengar
teriakan Hermione, dan Harry mendengar begitu banyak benda jatuh ke lantai
di sisi lain dinding yang rapuh: Dia mengarahkan tongkatnya ke benteng itu,
berteriak, “Finite!” dan akhirnya dinding tegak kembali.
“Jangan!” teriak Malfoy, memegangi lengan Crabbe untuk mencegahnya
mengulangi mantra, “jika kau menghancurkan ruangan kau mungkin mengubur
diadem itu!”
“Lalu kenapa?” kata Crabbe,melepaskan diri. ”Potter-lah yang diinginkan
Pangeran Kegelapan, siapa peduli tentang die-dum?”
“Potter masuk kesini untuk mendapatkannya,” kata Malfoy, jengkel dan tidak
sabar pada pikiran lambat rekannya, “jadi itu artinya—“
“’Itu artinya’?” Crabbe menghadap Malfoy dengan kemarahan tak tertahan.
“Siapa peduli apa yang kau pikir? Aku tidak menerima perintahmu lagi, Draco.
Kau dan ayahmu sudah berakhir.”
“Harry?” teriak Ron lagi, dari sisi lain tumpukan sampah. “Ada apa?”
“Harry?” Crabbe menirukan. “Ada apa—tidak, Potter! Crucio!”
Harry menyerbu tiara; kutukan Crabbe luput tapi mengenai patung batu, yang
terlempar ke udara; diadem membumbung tinggi ke atas dan jatuh hilang dari
pandangan di tumpukan benda-benda dimana patung dada itu terjatuh.
“BERHENTI!” Malfoy berteriak pada Crabbe, suaranya bergema di ruang
besar itu. “Pangeran Kegelapan menginginkannya hidup-hidup—“
“Jadi? Aku tidak membunuhnya, kan?” teriak Crabbe, melepaskan diri dari lengan
Malfoy yang menahannya. “Tapi jika aku bisa, pasti aku bisa, Pangeran Kegelapan
akan membunuhnya juga kan, apa beda--?”
Kilatan cahaya merah tua melewati Harry beberapa inci: Hermione lari lewat
pojok di belakang Harry dan menembakkan Mantra Pemingsan kearah kepala
Crabbe. Mantra itu luput hanya karena Malfoy mendorongnya menjauh.
“Itu si Darah-Lumpur! Avada Kedavra!”
Harry melihat Hermione menukik kesamping, dan kemarahannya karena Crabbe
berniat membunuh telah membuat pikirannya yang lain tersapu. Dia
menembakkan Mantra Pemingsan pada Crabbe, yang segera berpindah,
menyebabkan tongkat Malfoy terlepas; tongkat itu berputar hilang dari
pandangan diantara gunung mebel rusak dan tulang belulang.
“Jangan bunuh dia! JANGAN BUNUH DIA!!” Malfoy berteriak pada Crabbe dan
Goyle, yang keduanya menyerang Harry: Sedetik keraguan merekalah yang
dibutuhkan Harry.
“Expelliarmus!”
Tongkat Goyle terlempar dari tangannya dan menghilang di tumpukan benda
disampingnya; Goyle dengan bodoh melompat kesana, mencoba meraihnya;
Malfoy melompat menjauh dari jangkauan Mantra Pemingsan Hermione, dan
Ron, muncul tibatiba di ujung dinding, menembakkan Kutukan-Ikat-TubuhSempurna kepada Crabbe, yang nyaris kena.
Crabbe berputar dan menjerit, ”Avada Kedavra!” lagi. Ron melompat kesamping
untuk menghindari kilatan cahaya hijau. Malfoy yang tanpa-tongkat berlindung
dibalik lemari tiga kaki ketika Hermione menyerang mereka, muncul sambil
menembak Goyle dengan Mantra Pemingsan.
“Disini di suatu tempat!” Harry berteriak padanya, menunjukk tumpukan sampah
dimana tiara tua itu jatuh. “Coba cari sementara aku pergi dan membantu R—“
“HARRY!” dia menjerit.
Suara ribut yang membahana dan bergelombang di belakangnya membuatnya
waspada. Dia menoleh dan melihat Ron dan Crabbe berlari secepat mungkin
menuju gang di depan mereka.
“Suka panas, kan?” gerung Crabbe sambil berlari.
Tapi tampakya ia kehilangan kendali . Kobaran api dengan ukuran yang tidak
normal mengejar mereka, menjilat sisi tumpukan sampah, yang langsung
ambruk berjelaga.
“Aguamenti!” jerit Harry, tapi tembakan air yang keluar dari ujung tongkatnya
menguap di udara.
“LARI!”
Malfoy menyambar Goyle yang pingsan dan menariknya; Crabbe mendahului
mereka semua, sekarang terlihat ketakutan; Harry, Ron dan Hermione
mengejar di belakangnya, dan api juga mengejar mereka. Itu bukan api yang
normal; Crabbe telah menggunakan kutukan yang Harry belum pernah tahu.
Ketika mereka berbelok di pojok, api mengejar mereka seolah-olah hidup, mempunyai perasaan, berusaha membunuh mereka. Sekarang api bertambah
besar, membentuk makhluk buruk rupa raksasa yang panas: ular, chimaera[1],
dan naga berkobar, mereda dan berkobar lagi, dan benda-benda simpanan
berabad-abad yang menjadi makanan mereka, terlempar ke udara dan masuk ke
mulut bertaring, yang menjulang tinggi ditopang kaki bercakar, sebelum
menjadi santapan api neraka itu.
Malfoy, Crabbed dan Goyle telah menghilang dari pandangan: Harry, Ron dan
Hermione diam terpaku; monster api itu melingkupi mereka, dekat dan semakin
dekat, cakar, tanduk dan ekornya mengibas-ngibas dan panasnya terasa padat
seperti dinding di sekitar mereka.
“Apa yang bisa kita lakukan?” jerit Hermione mengatasi suara raungan
api yang memekakkan telinga. “Kita harus bagaimana?”
“Ini!”
Harry menyambar sepasang sapu terbang yang tampak berat dari gundukan
sampah terdekat dan melemparkan satu lepada Ron, yang menarik Hermione
agar naik di belakangnya. Harry mengayunkan kakinya di sapu kedua dan,
dengan hentakan kuat ke tanah, mereka membumbung tinggi ke udara, luput
sejengkal dari paruh bertanduk monster membara yang hampir menggigit
mereka. Asap dan panas semakin bertambah besar: di bawah mereka kobaran
api kutukan telah melahap barang-barang yang diselundupkan bergenerasi
siswa, hasil dari ratusan eksperimen gagal, tak terhitung banyaknya rahasia
orang-orang yang mencari perlindungan di ruang tersebut. Harry tidak bisa
melihat tanda-tanda Malfoy, Crabbe dan Goyle dimana-mana. Dia menukik
rendah sebatas yang berani ia hadapi dari monster api yang mengancam itu,
berusaha menemukan mereka, tapi tak ada apapun selain api: sungguh cara yang
mengerikan