Jumat, 19 Januari 2024

harry potter J

menyadari kita di 
sini!” 
Mereka menyetujuinya, Hermione sedikit pucat, sekarang Harry dapat 
melihat perut bagian bawah naga yang lebar dan berwarna kuning berdesir 
di atas permukaan air. 
“SEKARANG!” 
Ia merayap di atas punggung naga dan terjun ke danau dengan kaki terlebih 
dahulu; dengan jarak yang ternyata lebih jauh daripada yang ia perkirakan dan ia 
menghantam air dengan sangat keras, jatuh bagaikan sebuah batu ke dalam dunia 
yang sangat dingin, hijau, dan dipenuhi alang-alang. Ia berenang ke arah 
permukaan dan muncul, terengahengah, untuk melihat riak membulat yang sangat 
besar, di tempat Ron dan Hermione jatuh. Naga itu kelihatannya tidak menyadari 
apapun, ia telah pergi sejauh lima puluh kaki, menukik rendah di atas danau untuk 
mengambil air dengan moncongnya yang berluka. Ketika Ron dan Hermione 
muncul, gemetar dan terengah-engah, dari kedalaman danau, naga itu terbang 
lagi, sayapnya mengepak sangat keras, dan akhirnya mendarat di tepi danau yang 
jauh. 
Harry, Ron, dan Hermione berenang menuju ke pantai yang berlawanan dengan 
sang naga. Danaunya tak nampak dalam. Tidak berapa lama kemudian mereka 
tidak lagi berenang, akan tetapi lebih mirip bergumul dengan alang-alang dan 
lumpur, namun pada akhirnya mereka berhasil naik ke rumput yang licin dengan 
keadaan basah kuyup dan kelelahan. Hermione jatuh, batuk-batuk dan 
ketakutan. Meskipun Harry dapat berbaring dan tidur dengan gembira, ia 
berdiri terhuyung-huyung di atas kakinya, mengeluarkan tongkat, dan mulai 
memasang mantra pelindung seperti biasa di sekitar mereka. 
Ketika ia telah selesai, ia bergabung dengan yang lain. Itu adalah kali pertama 
Harry melihat wajah kedua temannya sejak mereka melarikan diri dari brankas 
penyimpanan* Gringgots. Wajah mereka berdua merah terbakar di mana-mana, 
dan pakaiannya terbakar pula di beberapa tempat. Mereka bergerenyit kesakitan 
ketika mereka mengoleskan sari dittany ke atas luka-luka mereka yang banyak. 
Hermione memberikan botol sari dittany tersebut kepada Harry, lalu ia 
mengambil tiga botol jus labu yang dibawanya dari Pondok Kerang dan jubah yang 
bersih, dan kering untuk mereka bertiga. Mereka berganti jubah, kemudian 
meneguk habis jus labu itu. 
"Yah, berita baiknya," kata Ron akhirnya, yang sedang duduk sambil melihat 
kulit di tangannya tumbuh kembali,"kita mendapatkan Horcrux itu. Berita 
buruknya -" 
"-- tidak ada pedang," potong Harry dengan gigi bergeretak, sambil meneteskan 
sari dittany melalui lubang bekas terbakar pada celana jeansnya ke atas luka 
bakar yang besar di bawahnya. 
"Tidak ada pedang," ulang Ron. "Pengkhianat kecil tukang tipu itu..." 
Harry menarik Horcrux itu keluar dari saku jaketnya yang basah, yang baru ia 
lepas dan tergeletak di atas rumput di depan mereka. Benda itu berkilau 
ditimpa cahaya matahari, dan menarik perhatian mereka sembari mereka 
meneguk botol-botol jus labu mereka. 
"Setidaknya kita tak bisa memakainya kali ini, benda itu pasti akan kelihatan 
aneh jika bergantung di leher kita," kata Ron, seraya menyeka mulut dengan
punggung tangannya. 
Hermione melihat ke seberang danau, ke tepi yang jauh dari mereka di mana 
naga itu masih minum. 
“Apakah kau memikirkan apa yang akan terjadi pada naga itu nanti?” ia 
bertanya, “Apakah ia akan baik-baik saja?’ 
“Kau mulai kedengaran seperti Hagrid,” kata Ron, “Ia seekor naga, Hermione, 
ia bisa menjaga dirinya sendiri. Kau seharusnya lebih mengkhawatirkan 
tentang kita.” 
“Apa maksudmu?” 
“Yah, aku tak tahu bagaimana menjelaskan hal ini padamu,” kata Ron “Tapi 
kurasa mereka mungkin sudah tahu kalau kita mengacau di Gringgots.” 
Mereka bertiga mulai tertawa, dan begitu mulai, sulit untuk berhenti. Tulang 
rusuk Harry terasa sakit, ia merasa pusing karena kelaparan, namun ia kembali 
berbaring di rumput, di bawah langit yang mulai kemerahan dan terus tertawa 
hingga kerongkongannya terasa kering. 
"Apa yang akan kita lakukan sekarang?' kata Hermione akhirnya, berusaha untuk 
kembali serius. "Ia akan tahu kan? Kau-Tahu-Siapa akan mengetahui bahwa kita 
tahu mengenai Horcrux-Horcrux nya!" 
“Mungkin mereka akan terlalu takut untuk mengatakan padanya!” kata Ron penuh 
harap, “Mungkin mereka akan menutup-nutupi --” Langit, bau air danau, dan 
suara Ron, lenyap. Sakit membelah kepala Harry seperti sebuah tebasan 
pedang. Ia sedang berdiri di dalam ruangan bercahaya temaram, dan dikelilingi 
oleh penyihir-penyihir yang membentuk setengah lingkaran, dan di lantai tepat 
di kakinya sedang berlutut seorang makhluk kecil, yang sedang gemetar. 
"Apa kau bilang tadi?" Suaranya tinggi dan dingin, namun amarah dan rasa takut 
membara dalam dirinya. Satu-satunya hal yang ditakutinya - tapi ini tidak 
mungkin benar, ia tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi... 
Goblin itu gemetaran, tidak berani menatap mata yang merah di atasnya. 
“Katakan lagi!” bisik Voldemort. “Katakan lagi!” 
“T-Tuanku,”goblin itu tergagap, matanya yang hitam terbelalak ketakutan, “T￾Tuanku… Kami m-mencoba untuk me-menghentikan mereka… Pa-para penyamar 
itu, Tuanku… menerobos – menerobos masuk ke dalam – ke dalam brankas 
penyimpanan milik Lestrange…”
“Penyamar? Penyamar apa? Aku kira Gringgots mempunyai cara 
membongkar penyamaran dan penipuan? Siapa mereka?” 
“Mereka adalah… mereka adalah… b-bocah P-Potter dan k-kedua orang 
temannya…” 
“Dan apa yang mereka ambil?” katanya, suaranya meninggi, ia ketakutan luar 
biasa, “Katakan padaku! Apa yang telah mereka ambil?” 
“Sebuah.. Sebuah p-piala emas k-kecil T-Tuanku…” 
Teriakan amarah dan pengkhianatan meninggalkan raganya bak diteriakkan 
bukan olehnya. Ia telah dibuat gila, dan kebingungan, itu tidak mungkin benar, 
itu tidak mungkin, tak ada yang tahu mengenai hal ini. Bagaimana mungkin anak 
itu mengetahui rahasianya? 
Tongkat Elder terayun membelah udara dan mengeluarkan sinar hijau yang 
melintasi ruangan; goblin yang berlutut itu mati tergelimpang; para penyihir 
yang menyaksikan dari depannya menyebar, ketakutan. Bellatrix dan Lucius 
Malfoy melemparkan goblin yang berada di belakang mereka dalam usaha 
mereka menuju pintu, berulang-ulang kali tongkatnya teracung, dan semua 
goblin yang tersisa dibunuh karena membawa berita tentang hilangnya piala 
emas itu -
Sendirian di tengah-tengah mayat para goblin itu ia menghentak-hentakkan 
kakinya, dan bayangan-bayangan tersebut menghampirinya: harta bendanya, 
pelindungnya, jangkarnya menuju keabadian - buku harian itu telah hancur dan 
piala itu telah dicuri. Bagaimana jika, bagaimana jika, anak itu tahu tentang yang 
lainnya? Tahukah ia, sudahkah ia bertindak, apakah ia telah menemukan Horcrux 
lainnya? Apakah Dumbledore dalang dari semua ini? Dumbledore yang selalu 
mencurigainya; Dumbledore, yang telah mati karena perintahnya; Dumbledore, 
yang tongkatnya menjadi miliknya sekarang, yang juga menjangkaunya dari balik 
kematian, melalui anak itu, anak itu -. 
Akan tetapi jika anak itu benar-benar telah menghancurkan salah satu dari 
Horcruxnya, pastinya ia, Lord Voldemort, akan mengetahuinya, akan 
merasakannya? Ia, penyihir terhebat di dunia; ia, penyihir terkuat; ia, 
pembunuh Dumbledore dan banyak orang-orang tak dikenal dan tak berharga 
lainnya. Bagaimana mungkin Lord Voldemort tidak tahu, jika ia, ia sendiri, 
penyihir yang paling penting dan berharga, telah diserang, dirusakkan? 
Memang benar, ia tidak merasakan apa-apa pada saat buku harian itu 
dihancurkan, tetapi ia berpikir itu karena saat itu ia tidak mempunyai tubuh 
untuk merasakan, tidak lebih dari hantu... Tidak, pasti, yang lainnya aman… 
Horcrux yang lain pasti masih utuh... 
Tetapi ia harus tahu, ia harus memastikannya... Ia melangkah meninggalkan 
ruangan, menendang mayat goblin ketika ia melewatinya, dan bayangan￾bayangan yang samar melintas di otaknya yang terasa mendidih: danau, 
pondok, dan Hogwarts -
Sebuah pikiran yang menenangkan amarahnya muncul tiba-tiba. Bagaimana 
mungkin anak itu mengetahui bahwa ia menyembunyikan cincin di pondok 
Gaunt? Tak ada seorang pun yang tahu kalau ia punya hubungan dengan 
keluarga Gaunt, ia telah menyembunyikan hubungan tersebut, pembunuhan itu 
tak pernah dilacak sampai pada dirinya. Cincin itu, pasti, masih aman. 
Dan bagaimana mungkin anak itu, atau orang lain, mengetahui tentang gua itu 
atau menembus perlindungannya? Pemikiran tentang kalung itu telah dicuri 
tak terlintas di benaknya… 
Dan mengenai yang di Hogwarts: Hanya ia yang tahu di mana ia menyimpan 
Horcrux itu, karena ia lah yang menyusun rahasia tempat itu... 
Dan masih ada Nagini, yang harus selalu berada di dekatnya mulai saat ini, 
tak akan disuruh untuk melakukan apa-apa lagi, selalu berada di bawah 
pengawasannya … 
Tetapi untuk memastikannya, untuk benar-benar memastikannya, ia harus 
kembali ke masing-masing tempat persembunyiannya, ia harus menggandakan 
perlindungan di sekitar Horcrux-Horcrux nya... Suatu pekerjaan yang harus ia 
lakukan sendiri, seperti saat ia mencari Tongkat Elder... 
Tapi yang mana yang harus ia kunjungi terlebih dahulu, yang mana yang berada 
dalam bahaya yang terbesar? Sebuah kekhawatiran lama terlintas di benaknya. 
Dumbledore mengetahui nama tengahnya... Dumbledore pasti mengetahui 
hubungannya dengan para anggota keluarga Gaunt itu... Pondok itu mungkin yang 
paling berpotensi untuk ditemukan oleh mereka, kesanalah ia harus pergi 
terlebih dahulu... 
Danau itu, pasti tidak mungkin... meskipun ada sedikit kemungkinan 
Dumbledore mengetahui beberapa kelakuan buruknya di masa lalu, melalui 
panti asuhan itu. 
Dan Hogwarts.. meskipun begitu, ia yakin kalau Horcrux-nya yang disembunyikan 
di Hogwarts aman; tidak mungkin bagi Potter untuk masuk ke Hogsmeade tanpa 
ketahuan, jadi biarkanlah yang di Hogwarts. Meskipun demikian, ada baiknya 
untuk memperingati Snape mengenai kemungkinan anak itu akan mencoba masuk 
ke kastil. … Untuk mengatakan kepada Snape mengapa anak itu mungkin kembali, 
tentu adalah ide bodoh; ia telah membuat kesalahan yang sangat fatal dengan 
mempercayai Bellatrix dan Malfoy. Bukankah kebodohan dan kecerobohan 
mereka telah membuktikan betapa tidak bijaksananya untuk mempercayakan 
rahasianya kepada orang lain? 
Ia akan pergi ke pondok Gaunt terlebih dahulu, dan membawa Nagini 
bersamanya. Ia tak akan berpisah dari ular itu lagi... dan ia meninggalkan ruangan 
itu, melalui aula, dan menuju ke kebun yang gelap di mana terdapat air mancur 
yang sedang memancurkan air; ia memanggil Nagini dengan Parseltongue dan ular 
itu merayap mengikutinya seperti sebuah bayangan yang panjang… 
Mata Harry mendadak terbuka saat ia kembali ke dirinya sendiri. Ia sedang 
berbaring di tepi danau sambil menatap matahari yang sedang terbenam, Ron dan 
Hermione menatap ke arahnya. Menilai dari wajah khawatir mereka, dan bekas 
lukanya yang masih sakit, penglihatan yang mendadak ke dalam pikiran Voldemort 
tadi sepertinya diketahui oleh mereka. Ia bangkit dengan susah payah, gemetar, 
merasa terkejut karena mendapati pakaian dan kulitnya masih basah, dan melihat 
piala itu tergeletak di rumput di dekatnya, dan danau, berwarna biru keemasan di 
saat matahari tenggelam. 
"Ia tahu." Suaranya sendiri terdengar aneh dan rendah setelah tadi ia 
mendengar teriakan tinggi milik Voldemort keluar dari mulutnya. "Ia 
mengetahuinya dan akan segera memeriksa Horcrux lainnya, dan yang terakhir," 
ia telah berdiri, "ada di Hogwarts. Aku tahu. Aku tahu." 
"Apa?" 
Ron menatap heran ke arah Harry; Hermione duduk tegak, kelihatan khawatir. 
“Tapi apa yang kau lihat tadi? Bagaimana kau tahu?” 
"Aku melihat ia mengetahui tentang piala itu, Aku - aku berada di dalam 
kepalanya, Ia" Harry mengingat tentang pembunuhan itu - "Ia benar-benar 
marah, dan juga takut, ia tidak mengerti bagaimana kita tahu, dan sekarang ia 
sedang memeriksa apakah Horcrux lainnya aman, cincin itu terlebih dahulu. Ia 
mengira kalau yang di Hogwarts adalah yang paling aman, karena ada Snape di 
sana, dan akan sangat sulit bagi kita untuk bisa masuk ke sana tanpa diketahui 
orang lain. Aku rasa ia akan memeriksa yang di Hogwarts belakangan, tapi ia 
masih bisa ke sana dalam beberapa jam – " 
"Apakah kau melihat di bagian mana dari Hogwarts benda itu berada?" tanya 
Ron, yang sekarang juga berusaha berdiri. 
“Tidak, ia berkonsentrasi untuk memberi peringatan kepada Snape, ia tidak 
memikirkan di mana tepatnya Horcrux itu berada - ” 
"Tunggu, tunggu!" jerit Hermione ketika Ron menyambar Horcrux itu dan 
Harry mengambil Jubah Gaib lagi. "Kita tidak bisa pergi begitu saja, kita 
belum mempunyai rencana, kita harus - " 
"Kita harus pergi," kata Harry dengan suara keras. Ia sangat ingin tidur di dalam 
tenda baru mereka, tetapi itu tidak mungkin sekarang, "Dapatkah kau bayangkan 
apa yang akan ia lakukan ketika ia menyadari bahwa cincin dan liontin itu telah 
hilang? Bagaimana jika ia memindahkan Horcrux yang berada di Hogwarts karena 
menganggap tempat itu tidak cukup aman? 
"Tapi bagaimana cara kita masuk ke sana?" 
"Kita akan pergi ke Hogsmeade," kata Harry, "dan mencoba melakukan sesuatu 
ketika kita sudah melihat perlindungan seperti apa yang dilakukan oleh para 
DE di sekolah. Masuk ke bawah Jubah, Hermione, aku ingin kita tetap bersama 
sekarang." 
“Tapi kita tidak benar-benar cukup –“ 
“Hari sudah gelap,tak akan ada yang dapat melihat kaki kita.” 
Suara kepakan sayap yang sangat besar menggema dari seberang danau yang 
gelap. Naga itu sudah puas minum dan kini akan terbang lagi. Mereka berhenti 
sesaat dari kesibukannya untuk memperhatikan naga itu terbang meninggi, 
hingga menembus awan yang hitam dan menghilang di balik pegunungan. Lalu 
Hermione berjalan menuju ke arah kedua orang temannya dan berdiri di tengah￾tengah, Harry menarik Jubah Gaib sejauh yang ia bisa, dan mereka pun berputar 
di titik itu bersama-sama berjalan menuju kegelapan. 
* kata vault (atau storage vault) umumnya digunakan sebagai kata untuk 
menunjukkan tempat untuk menyimpan barang berharga dalam jumlah yang 
besar. Bentuknya bermacam-macam, namun tidak selalu membentuk kubah. Bila 
ingin melihat bentuk umum dari vault, maka dapat menonton film Ocean’s Eleven, 
atau membaca komik Donal Bebek (ya, Gudang Uang Paman Gober adalah contoh 
bagus untuk storage vault). 
Bab 28 
The Missing Mirror 
Cermin yang Hilang Kaki Harry menyentuh jalan. Ia melihat pemandangan yang 
menyakitkan, Jalan Utama Hogsmeade yang dikenalnya: bagian depan toko-toko 
yang gelap, garis bentuk pegunungan yang gelap di belakang desa, belokan jalan 
di depan yang menuju Hogwarts, cahaya yang tercurah dari jendela Three 
Broomstick, dan dengan sentakan di jantungnya, diingatnya, dengan ketepatan 
yang menusuk, bagaimana dia pernah mendarat di sini, nyaris setahun lalu, 
memapah Dumbledore yang lemah; kesemuanya dalam sedetik, saat mendarat—
kemudian, saat ia mengendurkan pegangan pada lengan Ron dan Hermione, hal itu 
terjadi. 
Udara terbelah oleh jeritan yang terdengar seperti jeritan Voldemort saat 
Voldemort menyadari piala sudah dicuri; mengoyak tiap helai syaraf di tubuh 
Harry, dan ia segera tahu bahwa kemunculan merekalah penyebabnya. Saat 
Harry memandang kedua temannya di bawah Jubah, pintu Three Broomstick 
terbuka cepat, selusin Pelahap Maut berjubah dan bertudung menghambur ke 
jalan, tongkat mereka teracung. 
Harry menangkap pergelangan tangan Ron saat ia mengangkat tongkat. Terlalu 
banyak untuk bisa di-Pingsankan; bahkan mencobanya berarti memberitahu 
dengan sukarela pada para Pelahap Maut di mana mereka berada. Salah satu 
Pelahap Maut mengayunkan tongkat dan jeritan itu berhenti, masih menggema 
di pegunugan yang jauh. 
"Accio Jubah!" raung salah satu Pelahap Maut. 
Harry menahan lipatannya, tapi Jubah itu tak bergerak: Mantra Panggil tak 
mempan.
"Kau tidak sedang di bawah selubungmu, kalau begitu , Potter?" teriak 
Pelahap Maut yang mencoba mantra itu, lalu pada rekannya, "Berpencar. Dia 
di sini." 
Enam Pelahap Maut berlari ke arah mereka: Harry, Ron, dan Hermione mundur 
secepat mereka bisa, ke sisi jalan kecil, dan nyaris terlanggar para Pelahap 
Maut, luput beberapa inci. Mereka menunggu dalam kegelapan, mendengar￾dengar langkah kaki ke sana ke mari, sorot cahaya bersilangan di jalanan dari 
tongkat para Pelahap Maut yang sedang mencari. 
"Mari kita pergi saja!" bisik Hermione, "Disapparate sekarang!" 
"Gagasan yang bagus," sahut Ron, tapi sebelum Harry bisa menjawab, seorang 
Pelahap Maut berseru, "Kami tahu kau di sini, Potter, dan jangan coba-coba 
pergi! Kami akan menemukanmu!" 
"Mereka sudah bersiaga," bisik Harry. "Mereka merancang mantra yang bisa 
memberitahu kalau kita datang. Kuperhitungkan mereka sudah berbuat 
sesuatu untuk menjaga kita tetap di sini, memerangkap kita—" 
"Bagaimana kalau kita pakai Dementor?" seru Pelahap Maut yang lain, 
"Lepaskan kekang mereka, mereka bisa cepat menemukannya." 
"Pangeran Kegelapan ingin membunh Potter, tidak oleh orang lain, tapi oleh 
tangannya ..." 
"—sesosok Dementor tidak akan membunuhnya. Pangeran Kegelapan 
menginginkan nyawa Potter, bukan jiwanya. Dia akan lebih mudah dibunuh 
jika dikecup dulu!" 
Suara-suara menyetujui terdengar. Rasa takut menyelimuti Harry: untuk 
mengusir Dementior mereka harus membuat Patronus yang akan segera 
membuka rahasia mereka ada di mana. 
"Kita harus mencoba Disapparate, Harry!" bisik Hermione. 
Saat Hermione masih bicara, Harry sudah mulai merasa dingin yang tak wajar 
menyelimuti seluruh jalanan. Cahaya disedot dari mulai lingkungan sekeliling 
hingga ke atas ke bintang-bintang. Dalam kegelapan ia merasa Hermione 
memegang tangannya dan bersama, mereka berputar. 
Udara yang mereka perlukan untuk bergerak seakan memadat: mereka tidak 
dapat ber-Disapparate: para Pelahap Maut sudah merapal mantranya dengan 
baik. Rasa dingin itu makin lama makin menusuk daging Harry. Ia, Ron, dan 
Hermione mundur ke sisi jalan kecil, meraba-raba jalan sepanjang tembok, 
berusaha tidak menimbulkan suara. Lalu dari sudut meluncur tanpa suara, 
datanglah Dementor, sepuluh atau lebih, dapat terlihat karena Dementor itu 
lebih padat gelapnya dari lingkungan sekelilingnya, dengan jubah hitam mereka, 
dengan tangan berkeropeng dan membusuk. Dapatkah mereka merasakan 
ketakutan di sekitarnya? Harry yakin: mereka seperti datang lebih cepat, napas 
yang terseret-seret, bergemeretuk, yang ia benci, merasakan keputusasaan di 
udara, mengepung—
Harry mengacungkan tongkatnya: ia tidak mau, tidak akan, menderita 
kecupan Dementor, apapun yang terjadi setelahnya. Ia memikirkan Ron dan 
Hermione saat ia berbisik, "Expecto patronum!" 
Rusa jantan perak meluncur dari tongkatnya dan menyerang: Dementor￾Dementor bubar bertemperasan, lalu ada teriakan kemenangan entah dari mana. 
"Itu dia, di sebelah sana, sebelah sana, aku lihat Patronusnya, seekor rusa 
jantan!" 
Para Dementor sudah mundur, bintang-bintang muncul kembali, dan langkah￾langkah kaki para Pelahap Maut semakin keras: tapi sebelum Harry yang panik 
bisa memutuskan apa yang harus dilakukan, ada bunyi gemerincing gerendel pintu 
dekat-dekat sini, sebuah pintu terbuka di sebelah kiri jalan yang sempit, dan 
suara yang kasar berkata, "Potter, ke sini, cepat!" 
Harry menurut tanpa ragu: ketiganya meluncur cepat-cepat melalui pintu 
terbuka. 
"Ke atas, tetap pakai Jubah, dan diam!" gumam sesosok tinggi, melewati mereka 
menuju ke jalanan dan membanting pintu di depannya. 
Tadinya Harry tidak tahu ia ada di mana, tapi sekarang dia melihat, dengan 
cahaya remang-remang dari sebuah lilin, tempat yang kotor bertaburan serbuk 
kayu, bar Hog's Head. Mereka berlari di belakang tempat kasir, melalui pintu 
kedua menuju tangga kayu yang berderak-derak, mereka naik secepat mereka 
bisa. Tangga menuju ruang duduk dengan karpet usang dan perapian kecil, di 
atasnya tergantung sebuah lukisan cat minyak besar, seorang gadis pirang yang 
memandang ruangan dengan manis tetapi hampa. 
Teriakan-teriakan terdengar dari jalanan di bawah. Masih menggunakan Jubah 
Gaib, mereka bergerak diam-diam ke jendela dan memandang ke bawah. 
Penyelamat mereka, yang Harry kenal sebagai pemilik bar Hog's Head, 
merupakan satu-satunya orang yang tidak memakai tudung
"Terus kenapa?" teriaknya pada salah satu wajah yang bertudung. "Terus 
kenapa? Kau mengirim Dementor ke jalanku, aku mengirim Patronus balik! 
Mereka nggak ada dekatdekat sini, sudah kubilang aku nggak dekat-dekat 
mereka!" 
"Itu bukan Patronusmu!" sahut seorang Pelahap Maut, "Itu seekor rusa jantan, 
itu milik Potter!" 
"Rusa jantan!" raung pemilik bar, dan ia mencabut tongkat, "Rusa jantan! Kau 
bodoh— expecto patronum!" 
Sesuatu yang besar dan bertanduk muncul dari tongkat: kepala di bawah ia 
keluar menuju Jalan Utama dan menghilang dari pandangan. 
"Itu bukan yang kulihat—" sahut Pelahap Maut itu, walau tak begitu yakin. 
"Jam malam dilanggar, kau dengar suara," satu dari temannya berkata pada 
pemilik bar itu. "Seseorang ada di luar, di jalan melanggar peraturan—" 
"Kalau aku mau mengeluarkan kucingku, aku akan, peduli apa dengan jam malam?" 
"Kau yang menjadikan Mantra Caterwauling berbunyi?" 
"Emangnya kenapa? Mau mengirimku ke Azkaban? Membunuhku karena aku 
mengeluarkan hidungku di depan pintuku sendiri? Lakukan saja kalau kau mau! 
Asal, demi kepentinganmu sendiri, kau belum memencet Tanda Kegelapan 
kecilmu dan memanggil dia. Dia tidak akan suka dipanggil ke sini gara-gara aku 
dan kucing tuaku, kan?" 
"Jangan mengkhawatirkan kami," sahut salah satau Pelahap Maut, 
"khawatirkan dirimu sendiri saja, melanggar jam malam!" 
"Dan ke mana kalian akan bertransaksi Ramuan dan Racun kalau pubku ditutup? 
Bagaimana dengan usaha sampinganmu?""Kau mengancam—""Mulutku tertutup, 
itu makanya kau bertransaksi lewatku, iya kan?""Aku masih yakin kalau itu 
Patronus rusa jantan!" seru Pelahap Maut yang pertama."Rusa jantan?" raung 
pemilik bar, "Itu kambing, tolol!""Ya sudah, kita salah," sahut Pelahap Maut 
kedua, "melanggar jam malam lagi dan kami 
tidak akan bermurah hati!" Para Pelahap Maut berjalan kembali ke Jalan Utama. 
Hermione mengerang lega, keluar dari Jubah dan terhenyak di kursi reyot. 
Harry menarik tirai hingga tertutup rapat, lalu 
menarik Jubah dari dirinya sendiri dan Ron. Mereka bisa mendengar pemilik bar 
di bawah, menggembok pintu bar, lalu menaiki tangga. Perhatian Harry terpecah 
pada sesuatu di rak di atas perapian: sebuah cermin kecil 
segiempat ditopang di atasnya, tepat di bawah lukisan gadis itu.
Pemilik bar itu memasuki kamar.
"Kalian benar-benar bodoh sekali," ucapnya kasar, menatap mereka satu persatu, 
"Apa 
yang kalian pikirkan, datang kemari?"
"Terima kasih," sahut Harry, "terima kasih kami tak akan cukup. Kau 
menyelamatkan 
hidup kami."
Pemilik bar itu menggerutu. Harry mendekatinya, menatap wajahnya, mencoba 
mengamati lewat rambutnya yang panjang, berserabut, kasar beruban dan 
janggutnya. Ia 
memakai kacamata. Di balik lensanya yang kotor, matanya menusuk, biru 
cemerlang.
"Jadi matamu yang kulihat di cermin?"
Hening di kamar itu. Harry dan pemilik bar itu saling berpandangan.
"Kau mengirim Dobby?"
Pemilik bar itu mengangguk dan mencari-cari si peri rumah.
"Kukira, ia bersamamu. Di mana kau tinggalkan dia?"
"Dia sudah mati," sahut Harry, "Bellatrix Lestrange membunuhnya."
Wajah pemilik bar itu tidak menunjukkan perasaan. Setelah beberapa saat ia 
berkata, 
"Aku turut berduka. Aku suka peri rumah itu." 
Ia memalingkan diri, menyalakan lampu dengan jentikan tongkatnya, tidak 
menatap satupun di antara mereka. 
"Kau Aberforth," sahut Harry pada punggung orang itu. 
Ia tidak mengiyakan atau menyangkal, tapi membungkuk menyalakan api. 
"Bagaimana kau dapat ini?" tanya Harry, berjalan menyeberangi kamar menuju 
cermin Sirius, pasangan dari cermin yang telah ia pecahkan nyaris dua tahun 
lalu. 
"Beli dari Dung sekitar tahun lalu," sahut Aberforth, "Albus kasih tahu itu 
apa. Terus mencoba mengamatimu." 
Ron menahan napas. 
"Rusa betina perak itu!" katanya bergairah. "Itu kau juga?" 
"Apa yang kaubicarakan?" tanya Aberforth. 
"Seseorang mengirimkan Patronus rusa betina pada kami!" 
"Otak macam begitu, kau bisa jadi Pelahap Maut, nak. Kan sudah kubuktikan 
bahwa Patronusku kambing?" 
"Oh," sahut Ron, "Yeah ... well, aku lapar!" Ia menambahkan memberi alasan, 
karena perutnya berkeruyuk keras. 
"Aku punya makanan," sahut Aberforth, dan menyelinap keluar dari kamar, 
muncul lagi beberapa saat kemudian dengan sebongkah besar roti, keju, dan 
sekendi mead, disimpannya di meja kecil di depan perapian. Mereka makan 
dengan rakus, dan untuk sementara suasana hening kecuali suara gemeretak api, 
dentingan piala dan suara mengunyah. 
"Sekarang," saht Aberforth, saat mereka sudah kenyang, Harry dan Ron duduk 
merosot mengantuk di kursi mereka. "Kita harus memikirkan jalan terbaik untuk 
mengeluarkan kalian dari sini. Tidak bisa malam-malam, kau tahu apa yang terjadi 
bila kalian bergerak di luar saat gelap: Mantra Caterwauling terpasang, mereka 
akan langsung menyergapmu seperti Bowtruckles pada telur-telur Doxy. Kukira 
aku tidak akan bisa lagi pura-pura rusa jantan adalah kambing, untuk kedua 
kalinya. Tunggu sampai terang, jam malam dicabut, pakai lagi Jubah kalian dan 
pergilah dengan jalan kaki. Keluar dari Hogsmeade, naik ke pegunungan, dan 
kalian bisa ber-Disapparate dari sana. Mungkin ketemu Hagrid. Dia sembunyi di 
gua dengan Grawp sejak mereka mencoba menangkapnya. 
"Kami tidak akan pergi," sahut Harry, "Kami harus masuk ke Hogwarts." 
"Jangan bodoh, nak," sahut Aberforth.
"Kami harus," sahut Harry.
"Yang harus kalian lakukan," sahut Aberforth, duduk maju, "adalah menjauh dari 
sini
sejauh yang kalian bisa.
"Kau tak mengerti. Tak ada waktu lagi. Kami harus masuk ke kastil. 
Dumbledore—
maksudku, kakakmu—menginginkan kami—"
Cahaya api membuat lensa buram kacamata Aberforth sejenak tak tembus 
pandang, putih 
cemerlang, dan Harry ingat mata buta laba-laba raksasa, Aragog.
"Kakakku Albus menginginkan banyak hal," sahut Aberforth, "dan orang 
biasanya 
terluka saat dia menjalankan rencana besarnya. Kau pergilah menjauh, 
Potter, ke luar 
negeri kalau bisa. Lupakan kakakku dan rencana besarnya. Dia sudah pergi, 
tak ada 
satupun yang bisa melakukannya, dan kau tak berhutang apapun padanya."
"Kau tak mengerti," sahut Harry.
"Oh, aku tidak mengerti?" sahut Aberforth tenang. "Kau mengira aku tidak 
mengerti 
kakakku sendiri? Kau kira kau lebih tahu tentang Albus daripadaku?"
"Aku tak bermaksud begitu," sahut Harry, otaknya terasa melempem karena 
lelah dan 
kekenyangan makanan dan anggur. "Dia ... dia meninggalkan pekerjaan 
untukku."
"Yang benar?" sahut Aberforth. "Pekerjaan yang bagus, kuharap? 
Menyenangkan? 
Mudah? Macam yang bisa dikerjakan oleh penyihir anak tak 
berpengalaman tanpa 
memaksakan diri?"
Ron tertawa suram, Hermione terlihat tegang.
"Aku—tidak mudah, tidak," sahut Harry. "Tapi aku harus—"
"'Harus'? Kenapa 'harus'? Dia kan sudah mati, ya kan?" sahut Aberforth 
kasar. "Biarkan 
saja, nak, kalau tidak kau akan menyusulnya! Selamatkan dirimu!:
"Aku tidak bisa."
"Kenapa tidak?"
"Aku—" Harry merasa kewalahan; ia tidak bisa menjelaskan, jadi terpaksa dia 
menyerang, "Tapi kau juga berjuang, kau anggota Orde Phoenix—"
"Dulunya," sahut Aberforth. "Orde Phoenix sudah tamat. Kau-Tahu-Siapa 
menang, sudah 
berlalu, dan siapapun yang berpura-pura bahwa dia berbeda, dia sedang 
mempermainkan dirinya sendiri. Tak akan pernah aman kalau kau di sini, Potter, 
dia menginginkanmu sekali. Jadi, pergilah ke luar negeri, bersembunyi, 
selamatkanlah dirimu. Paling baik kalau sekalian bawa keduanya," ia 
menyentakkan jempolnya pada Ron dan Hermione. "Mereka ada dalam bahaya 
selama berada denganmu, setiap orang tahu mereka bekerja sama denganmu." 
"Aku tak bisa pergi," sahut Harry. "Aku ada kerjaan—" 
"Berikan saja pada orang lain!" 
"Aku tak bisa. Harus aku yang melakukannya. Dumbledore menjelaskannya 
padaku—" 
"Oh, benarkah? Dan apakah dia menjelaskan semuanya, apakah dia jujur 
padamu?" 
Harry ingin menjawab 'ya' dengan segenap hatinya, tapi bagaimanapun kata 
yang sederhana itu tidak keluar dari bibirnya. Aberforth seperti tahu apa 
yang dipikirkannya. 
"Aku tahu siapa kakakku, Potter. Ia belajar berahasia sedari kecil. Rahasia 
dan dusta, begitulah kami tumbuh, dan Albus ... dia memang sepantasnya." 
Mata lelaki tua itu mengembara ke lukisan gadis di rak di atas perapian. 
Lukisan itu, sekarang Harry mengamati baik-baik, adalah satu-satunya lukisan 
dalam ruangan. Tak ada foto Albus Dumbledore, juga siapapun. 
"Mr Dumbledore," sahut Hermione agak takut-takut. "Apakah itu 
saudari Anda? Ariana?" 
"Ya," sahut Aberforth pendek. "Habis baca Rita Skeeter, ya, Nona?" 
Meski hanya disinari oleh cahaya kemerahan dari perapian, nampak jelas 
bahwa Hermione merona wajahnya. 
"Elphias Doge menyebutnya pada kami," sahut Harry mencoba membela 
Hermione. 
"Bodoh tua itu," gumam Aberforth, meneguk meadnya. "Dia berpikir apapun yang 
keluar dari mulut Albus pasti yang bagus-bagus. Well, kebanyakan orang juga 
begitu, kalian bertiga termasuk, sepertinya." 
Harry terdiam. Dia tidak mau mengeluarkan keraguan dan kebimbangan mengenai 
Dumbledore yang telah menjadi teka-teki baginya selama berbulan-bulan ini. Ia 
sudah membuat pilihan saat menggali kuburan Dobby, dia sudah memutuskan 
untuk melanjutkan sepanjang jalan yang berliku dan berbahaya yang sudah
ditunjukkan oleh Albus Dumbledore baginya, untuk menerima bahwa ia tidak 
diberitahu semua yang ingin ketahui, tapi sederhana: hanya percaya. Dia tidak 
punya keinginan untuk ragu lagi, dia tidak ingin mendengar apa-apa yang bisa 
membelokkannya dari tujuan. Ia bertemu dengan pandangan Aberforth yang 
mirip sekali dengan pandangan kakaknya: mata biru cemerlang yang memberi 
kesan yang sama bahwa mata itu sedang mengawasi setajam sinar-X, dan Harry 
mengira bahwa Aberforth tahu apa yang ia pikirkan,dan memandangnya rendah 
karenanya. 
"Profesor Dumbledore memperhatikan Harry, sangat memperhatikan," sahut 
Hermione dalam suara rendah. 
"Apa benar?" sahut Aberforth. "Lucunya, banyak orang yang kakakku sangat 
perhatikan, berakhir dengan keadaan yang lebih buruk dibandingkan kalau dia 
tidak ikut campur." 
"Apa maksud Anda?" tanya Hermione menahan napas. 
"Tidak usah peduli," sahut Aberforth. 
"Tapi itu hal yang serius untuk dibicarakan," sahut Hermione. "Apa Anda—
apa Anda berbicara tentang saudari Anda?" 
Aberforth memandanginya; bibirnya bergerak seperti mengunyah kata-kata 
yang ia tak jadi ucapkan. Lalu ia tiba-tiba berbicara. 
"Waktu saudariku baru enam tahun, ia diserang, dirancang oleh tiga anak laki￾laki Muggle. Mereka pernah melihat saudariku melakukan sihir, memata￾matainya lewat pagar tanaman taman belakang; dia masih anak kecil, dia tidak 
bisa mengendalikannya, tak ada penyihir yang bisa mengendalikan sihir 
seusianya. Kukira apa yang anak-anak Muggle itu lihat, membuat mereka takut. 
Mereka memaksakan kehendak mereka sampai ke pagar tanaman, dan saat 
saudariku tak bisa menunjukkan muslihatnya, mereka jadi keterlaluan, mencoba 
menghentikan anak aneh itu." 
Mata Hermione terlihat besar di cahaya api, Ron terlihat agak muak. 
Aberforth berdiri, jangkung seperti Albus, tiba-tiba jadi mengerikan dalam 
kemarahan dan rasa nyeri. 
"Itu menghancurkannya, apa yang mereka lakukan: saudariku tidak pernah pulih 
lagi. Dia tidak mau menggunakan sihir, tapi dia tidak dapat menghalaunya; masuk 
ke dalam batinnya dan membuatnya gila, meledak keluar saat ia tak bisa 
mengendalikannya, saat itu ia aneh dan berbahaya. Tapi sebetulnya dia itu manis, 
ketakutan, dan tak berbahaya." 
"Dan ayahku mencari para bajingan yang berbuat ini," sahut Aberforth, "dan 
menyerang mereka. Ayahku ditahan di Azkaban karenanya. Ayah tak pernah 
bilang mengapa ia melakukannya, karena kalau Kementrian tahu jadi apa 
sekarang Ariana, dia akan dikunci di St Mungo untuk selamanya. Mereka 
melihatnya sebagai ancaman serius bagi Undang-Undang Kerahasiaan Sihir 
Internasional, jika tidak seimbang seperti dia, dengan sihir meledak keluar 
darinya setiap saat, saat ia tidak menahannya lebih lama." 
"Kami harus menjaganya agar dia aman dan tenang. Kami pindah rumah, pura￾pura dia sakit, ibu kami menjaganya, mencoba membuat dia tenang dan 
bahagia." 
"Dia sangat menyukaiku," sahut Aberforth, saat ia mengatakannya, sosok 
seorang pelajar yang kotor membayang dari janggutnya yang kusut. "Bukan 
Albus, dia selalu ada di kamar saat di rumah, membaca buku-bukunya, 
menghitung penghargaanpenghargaannya, berkorespondensi dengan 'nama-nama 
yang paling terkemuka di dunia sihir saat ini'," Aberforth menyeringai, "dia tidak 
mau diusik soal saudarinya. Ariana paling menyukaiku. Aku bisa membuatnya 
makan kalau dia tak mau makan kalau disuruh oleh ibu, aku bisa menenangkannya 
saat ia sedang mengamuk, dan saat ia sedang tenang biasanya ia membantuku 
memberi makan kambing-kambingku." 
"Lalu, saat ia berusia empat belas ... lihat, aku sedang tidak di rumah," sahut 
Aberforth. "Kalau aku ada di rumah, aku akan bisa menenangkannya. Dia 
mengamuk, dan ibuku tidak semuda dulu, dan ... itu kecelakaan. Ariana tidak 
bisa mengendalikannya. Tapi ibuku terbunuh." 
Harry merasa ada campuran yang mengerikan antara rasa kasihan dan jijik; dia 
tak mau mendengar lagi, tapi Aberforth terus berbicara dan Harry bertanya￾tanya kapan terakhir ia bicara tentang hal ini; atau sebenarnya, pernahkah 
Aberforth membicarakan hal ini. 
"Dan hal ini membatalkan perjalanan Albus keliling dunia bersama Doge kecil. 
Mereka berdua pulang saat pemakaman ibu, Doge lalu pergi lagi sendirian dan 
Albus ditetapkan sebagai kepala keluarga. Ha!" 
Aberforth meludah ke perapian. 
"Aku akan bisa merawat Ariana, sudah kubilang, aku tidak peduli soal sekolah, 
aku akan tinggal di rumah dan melakukannya. Albus bilang aku harus 
menyelesaikan pendidikan dan dia yang akan mengambil alih tugas ibu. Penurunan 
untuk Mr Brilliant, tak ada penghargaan untuk mengurus adik yang setengah 
gila, mencegahnya meledakkan rumah tiap dua hari sekali. Tapi untuk beberapa 
minggu semua baik-baik saja … sampai dia datang." 
Dan sekarang raut yang benar-benar berbahaya merayap di wajah Aberforth. 
"Grindelwald. Akhirnya kakakku punya mitra setara untuk berbicara, seseorang 
yang cemerlang dan berbakat seperti dia dulu. Merawat Ariana merupakan suatu 
kemunduran, sementara mereka merencanakan semua rancangan untuk tata 
kepenyihiran baru, dan mencari Hallows dan entah apalagi yang menarik 
perhatian mereka. Rencana besar untuk keuntungan seluruh masyarakat sihir, 
dan jika ada seorang gadis muda diabaikan, memangnya kenapa, kan Albus sedang 
bekerja untuk the greater good?" 
Tapi beberapa minggu sesudahnya, kukira cukup sudah. Sudah waktunya aku 
kembali ke Hogwarts, jadi kukatakan pada mereka, keduanya, berhadap￾hadapan, seperti aku dan kau sekarang," dan Aberforth memandang Harry, dan 
diperlukan sedikit imajinasi untuk melihatnya sebagai remaja kurus tapi kuat, 
dan marah, berhadapan dengan kakak lakilakinya. "Kubilang, kau menyerah saja, 
sekarang. Kau tak bisa membuatnya berpindahpindah, dia tidak dalam kondisi 
baik, kau takkan bisa membawanya denganmu ke manapun yang kau rencanakan, 
saat kau berpidato mencoba menyiapkan seorang pengikut. Dia tak 
menyukainya," sahut Aberforth, dan matanya terhalang sejenak oleh cahaya 
perapian di lensa kacamatanya: bersinar putih dan buta lagi. "Grindelwald sana 
sekali tidak menyukainya. Ia marah. Dia bilang padaku bahwa aku hanya anak 
kecil bodoh, mencoba menghalangi jalannya dan kakak laki-lakiku yang brillian … 
tidakkah aku mengerti, saudariku yang malang tidak harus disembunyikan jika 
mereka sudah mengubah dunia, menuntun para penyihir keluar dari 
persembunyian dan mengajarkan pada para Muggle di mana sebenarnya tempat 
mereka?" 
"Lalu terjadilah adu pendapat … aku mencabut tongkatku, ia mencabut 
tongkatnya, dan aku terkena Kutukan Cruciatus yang dirapal oleh teman baik 
kakakku—dan Albus mencoba menghentikannya, kami bertiga berduel, cahaya 
berkilatan dan ledakan membuat Ariana siaga, dia tidak bisa menahannya—" 
Warna lenyap dari wajah Aberforth seperti dia telah menderita luka yang 
mematikan. 
"—dan kukira Ariana mau melerai, tapi dia tidak benar-benar tahu apa yang 
sedang ia lakukan, dan aku tidak tahu siapa di antara kami yang melakukannya, 
bisa siapa saja— dan Ariana tewas." 
Suaranya berhenti di kata terakhir, dan dia jatuh di kursi terdekat. Wajah 
Hermione basah oleh air mata dan Ron nyaris sama pucatnya dengan Aberfoth. 
Harry tak merasakan apaapa kecuali kejijikan: ia berharap ia tidak harus 
mendengar ini, berharap bisa mencuci benaknya. 
"Aku sangat … sangat menyesal," Hermione berbisik. 
"Pergi," sahut Aberforth. "Pergi selamanya." 
Ia menyeka hidungnya dengan manset lengan bajunya dan berdeham. 
"Tentu saja Grindelwald lari ketakutan. Dia sudah punya catatan jelek di 
negaranya, dan ia tidak mau Ariana dimasukkan ke dalam catatannya. Dan Albus 
bebas, iya kan? Bebas dari beban saudarinya, bebas untuk menjadi penyihir 
terhebat se—" 
"Dia tak pernah bisa bebas," sahut Harry. 
"Maaf?" sela Aberforth. 
"Tak pernah," sahut Harry. "Malam kakakmu meninggal, ia meminum ramuan 
yang membuatnya kehilangan pikiran. Ia mulai berteriak, memohon pada 
seseorang yang tak ada di sana. 'Jangan sakiti mereka, please ... sakiti aku 
saja'" 
Ron dan Hermione menatap Harry. Harry tak pernah menceritakan secara rinci 
tentang apa yang terjadi di pulau di danau: peristiwa yang terjadi setelah ia 
dan Dumbledore kembali ke Hogwarts sudah menutupi kesemuanya. 
"Ia kira ia kembali ke masa di mana ia bersamamu dan Grindelwald, aku tahu 
itu," sahut Harry mengenang Dumbledore merengek, memohon. "Ia kira ia 
sedang menyaksikan Grindelwald menyakitimu dan Ariana … itu siksaan 
untuknya. Kalau kau melihat dia saat itu, kau tak akan mengatakan bahwa ia 
sudah bebas." 
Aberforth seolah tersesat dalam renungan atas tangannya yang berburik￾burik. Setelah jeda yang panjang, ia berkata, "Bagaimana kau bisa yakin, 
Potter, bahwa kakakku tidak lebih tertarik pada the greater good daripada 
dirimu? Bagaimana kau yakin kau tidak mudah dibuang, seperti adik kecilku?" 
Sepotong es menurih jantung Harry. 
"Aku tak percaya. Dumbledore mencintai Harry," sahut Hermione. 
"Kenapa dia tidak menyuruh Harry untuk bersembunyi, kalau begitu?" sergah 
Aberforth balik. "Kenapa dia tidak bilang pada Harry, pedulikan dirimu sendiri, 
begini caranya untuk selamat?" 
"Karena," sahut Harry, sebelum Hermione sempat menjawab, "kadang-kadang 
kau harus berpikir lebih jauh dari keselamatanmu sendiri! Kadang kau harus
berpikir tentang the greater good! Ini perang!" 
"Kau baru tujuh belas tahun, nak!" 
"Aku sudah akil balig, dan aku akan terus berjuang walau kau sudah menyerah!" 
"Siapa bilang aku menyerah?" 
"'Orde Phoenix sudah tamat,'" Harry mengulang, "'Kau-Tahu-Siapa menang, 
sudah berlalu, dan siapapun yang berpura-pura bahwa dia berbeda, dia sedang 
mempermainkan dirinya sendiri.'" 
"Aku tidak bilang aku menyukainya, tapi itu kenyataan!" 
"Tidak, itu bukan kenyataan,' sahut Harry. "Kakakmu tahu bagaimana cara 
melenyapkan Kau-Tahu-Siapa dan dia menurunkan pengetahuannya padaku. Aku 
akan terus berusaha sampai aku berhasil—atau aku mati. Jangan kira aku tak 
tahu bagaimana akhirnya semua ini. Aku sudah tahu bertahun-tahun." 
Harry menunggu Aberforth mencemooh atau mendebat, tetapi dia tidak 
melakukannya. Dia hanya mengerutkan dahi. 
"Kami perlu masuk ke Hogwarts," sahut harry lagi. "Kalau kau tak bisa menolong 
kami, kami akan menunggu terang, meninggalkanmu dengan damai dan mencoba 
mencari jalan masuk sendiri. Kalau kau bisa menolong kami—well, sekarang akan 
jadi waktu yang bagus untuk mengatakannya." 
Aberforth tetap diam di kursinya, memandang Harry dengan mata yang 
luarbiasa mirip dengan kakaknya. Akhirnya ia berdeham, berdiri, berjalan 
memutar meja kecil dan mendekati lukisan Ariana. 
"Kau tahu apa yang harus kau lakukan," sahutnya. 
Ariana tersenyum, berbalik dan berjalan menjauh, tidak seperti biasanya 
orang dalam lukisan, keluar dari sisi bingkai, yang ini berjalan sepanjang apa 
yang nampak seperti terowongan panjang yang dilukiskan di belakangnya. 
Mereka mengamati sosok langsingnya mundur sampai akhirnya lenyap di telan 
kegelapan. 
"Er—apa—" Ron mulai. 
"Hanya ada satu jalan masuk," sahut Aberforth. "Kau harus tahu mereka 
menjaga semua jalan masuk rahasia yang lama di kedua ujungnya, Dementor di 
seluruh tembok perbatasan, berpatroli teratur di dalam sekolah menurut 
sumberku. Tempat ini belum pernah dijaga ketat begini. Bagaimana kau bisa 
mengharapkan bisa berbuat sesuatu sekali kau di dalam, dengan Snape berkuasa 
dan Carrow bersaudara sebagai wakil-wakilnya ... well, itu yang kau cari kan? Kau 
bilang kau sudah bersiap untuk mati." 
"Tapi apa ..." sahut Hermione, keningnya berkerut pada lukisan Ariana. 
Sebuah titik putih kecil muncul kembali di ujung lukisan terowongan, dan 
sekarang Ariana berjalan kembali ke arah mereka, makin lama makin besar. Tapi 
ada seseorang bersamanya sekarang, seseorang yang lebih tinggi dari Ariana, 
berjalan terpincangpincang nampak bergairah. Rambutnya lebih panjang dari apa 
yang biasa Harry lihat: dia nampak sudah menderita beberapa luka di wajah, 
pakaiannya robek. Makin lama makin besar dua sosok itu, hingga hanya kepala dan 
bahu mereka yang mengisi lukisan itu. Lalu kesemuanya berayun di dinding 
seperti pintu kecil, dan jalan masuk ke terowongan yang nyata terbukalah. Keluar 
dari situ, rambut panjang, wajah penuh luka, jubahnya sobek, memanjatlah 
Neville Longbottom yang nyata, meraung girang, melompat turun dari rak di atas 
perapian dan berteriak, "Aku tahu kau akan datang! Aku tahu, Harry!" 
Bab 29 Lost Diadem Diadem yang Hilang 
[Note: sama dengan bab 30, tadinya diadem akan diterjemahkan menjadi 
mahkota, meski bentuknya berbeda, tapi ternyata diadem juga ada dalam bahasa 
Indonesia, ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tesaurus Bahasa Indonesia 
– penerjemah] 
Neville—apa yang—bagaimana?” 
Tapi Neville juga melihat Ron dan Hermione, memeluk mereka juga dengan 
teriakan kegembiraan. Makin lama Harry mengamati Neville, makin jelek 
kelihatannya: satu mata bengkak, kuning dan ungu, ada tanda tercungkil di 
wajahnya, keadaannya tak terurus mengisyaratkan bahwa dia selama ini hidup 
keras. Tapi roman mukanya bersinar-sinar dengan kebahagiaan saat ia melepas 
Hermione, dan berkata lagi, ”Aku tahu kau akan datang! Aku terus bilang pada 
Seamus, ini hanyalah masalah waktu!” 
”Neville, apa yang terjadi padamu?” 
”Apa? Ini?” Neville mengabaikan luka-lukanya dengan satu goyangan kepala. ”Ini 
bukan apa-apa. Seamus lebih buruk. Kau lihat saja nanti. Kita pergi sekarang? 
Oh,” ia menoleh pada Aberforth, ”Ab, mungkin akan ada beberapa orang lagi yang 
akan datang.” 
”Beberapa lagi?” ulang Aberforth tak senang. “Apa maksudmu, beberapa lagi, 
Longbottom? Ada jam malam dan Mantra Caterwauling diterapkan di seluruh 
desa!” 
“Aku tahu, makanya mereka akan ber-Apparate langsung ke dalam bar,” sahut 
Neville. “Langsung kirim saja mereka ke jalan tembus kalau mereka sudah di 
sini, ya? Makasih banyak!” 
Neville memegang tangan Hermione dan membantunya memanjat rak di atas 
tungku masuk ke terowongan; Ron mengikuti, lalu Neville. Harry berkata pada 
Aberforth. 
“Aku tak tahu bagaimana berterimakasih padamu. Kau menyelamatkan kami, dua 
kali.” 
”Jaga mereka, kalau begitu.” sahut Aberforth keras, ”Aku mungkin 
tidak bisa menyelamatkan mereka untuk ketiga kalinya.” 
Harry merangkak naik ke rak di atas tungku dan menuju lubang di belakang 
lukisan Ariana. Ada undakan batu yang halus di sisi sebelah sana, sepertinya 
jalan tembus itu sudah ada selama bertahun-tahun. Lampu kuningan tergantung 
di dinding, lantai berbau tanah, licin dan halus; saat mereka berjalan bayangan 
mereka bergetar, membesar, sepanjang dinding. 
“Sudah berapa lama ini ada di sini?” Ron bertanya saat mereka mulai berjalan. 
”Tidak ada di Peta Perompak, kan Harry? Kukira hanya ada tujuh jalan tembus 
di dalam dan di luar sekolah?” 
”Mereka menyegel semuanya sebelum sekolah mulai,” sahut Neville, ”tidak 
mungkin bisa melewatinya sekarang, dengan berbagai kutukan di pintu 
masuknya, para Pelahap Maut dan para Dementor menunggu di pintu keluarnya.” 
Ia berjalan mundur, bercahaya matanya melihat mereka. ”Tak usah meributkan 
soal itu ... apakah betul? Kalian menerobos Gringotts? Melarikan diri pakai 
naga? Di mana-mana tiap orang membicarakan itu. Terry Boot dipukuli Carrow 
karena meneriakkan itu di Aula Besar saat makan.” 
”Yeah, itu memang betul,” sahut Harry. 
Neville tertawa gembira.
“Apa yang kalian lakukan dengan naga itu?”
”Melepaskannya ke alam bebas,” sahut Ron, ”Hermione ingin memeliharanya—”
”Jangan melebih-lebihkan, Ron—”
”Tapi apa yang sedang kalian lakukan? Orang-orang bilang kalian sedang dalam 
pelarian, 
Harry, tapi kukira tidak. Aku pikir kalian punya tujuan.”
”Kau benar,” sahut Harry, ”tapi ceritakan dulu tentang Hogwarts, Neville, kami 
belum mendengar apa-apa.” “Hogwarts … well, Hogwarts sudah tidak seperti dulu 
lagi,” sahut Neville, senyum 
lenyap dari wajahnya. “Kalian tahu tentang Carrow bersaudara?”
“Dua Pelahap Maut yang mengajar di sini?”
”Lebih dari mengajar,” ujar Neville, ”Tugas mereka mengawasi disiplin. Mereka 
suka 
memberi hukuman, Carrow bersaudara ini.”
”Seperti Umbridge?”
”Nah, mereka membuat Umbridge kelihatan jinak. Guru-guru lain 
seharusnya 
melaporkan kami pada Carrow bersaudara kalau kami berbuat salah. Tentu saja 
mereka tidak melakukannya jika mereka bisa menghindarinya. Kau bisa bilang 
para guru membenci mereka sama seperti kami.” 
”Amycus, orang itu, dia mengajar apa yang biasanya disebut Pertahanan 
Terhadap Ilmu Hitam, kecuali bahwa sekarang menjadi Ilmu Hitam saja. Kami 
harus berlatih Kutukan Cruciatus pada orang-orang yang mendapat detensi—”