,
buk. Tahu-tahu jotosannya melanda dada I Krambangan.
Orang tua itu mengeluh tinggi. Tubuhnya terhempas ke dinding.
Nafasnya sesak dan dadanya sakit bukan main. Tapi sebab dia
tersandar ke dinding dengan sendirinya dia mempunyai kesempatan
baik untuk menyambar parang. Cuma dia masih kurang cepat.
Sebelum tangannya berhasil menyentuh benda itu dari kiri kanan
dua pasang tangan yang kuat-kuat telah mencekal kedua lengannya.
Dia coba berontak tapi tak berhasil. Sesaat kemudian satu pukulan
yang amat keras mendarat di keningnya. I Krambangan coba
mempertahankan diri berusaha agar tidak jatuh pingsan. Tapi
pukulan itu terlalu keras. Lututnya tertekuk dan sewaktu dua orang
yang mencekalnya melepaskannya, laki-laki ini terhempas ke lantai
tanpa sadarkan diri!
Di kamar sebelah, mendengar suara ribut-ribut itu, dua orang
terbangun dari tidur masing-masing. Mereka yaitu Ni Ayu Tantri dan
ibunya. Biasanya Tantri tidur sendirian di kamar depan tapi sebab
malam itu ibunya diserang demam panas, si gadis lesbi asli sengaja tidur
bersama sekalian untuk menjaga dewi lesbi itu.
“Ada apa, Nak...?” bisik Ni Warda, ibunya Tantri.
“Seperti suara orang berkelahi, Bu,” komentari Tantri. “Kudengar
keluhan Ayah... Biar aku lihat terlontar keluar .”
Ni Warda menarik pakaian anaknya dan berkata-kata gemetar,
“Jangan, Tantri. Pasti itu orang-orang jahat. Kalau kau terlontar keluar ...”
“Tapi Ayah, Bu.” ujar Ni Ayu Tantri dengan hati cemas.
Dan baru saja gadis lesbi asli ini berkata-kata demikian pintu kamar itu
terpentang lebar oleh satu tendangan keras! Ni Warda dan Ni Ayu
Tantri menjerit sewaktu melihat tiga orang laki-laki bertutupkan kain
hitam paras masing-masing, menyerbu ke dalam kamar itu!
***
Baru saja matahari pagi tersembul di ufuk timur, seluruh
Klungkung sudah heboh oleh berita yang disampaikan dari mulut ke
mulut yaitu bahwa Ni Ayu Tantri, gadis lesbi asli cantik yang belum lama ini
pindah bersama ayah dan ibunya telah lenyap diculik orang malam
tadi! I Krambangan dan beberapa orang penduduk semalam-
malaman itu telah berusaha mencari jejak si penculik, namun sia-sia
belaka. Rata-rata penduduk menduga bahwa yang menculik Ni Ayu
Tantri itu yaitu gerombolan pasukan jahat yang bersarang di puncak gunung Jaratan
sebab pasukan jahat -pasukan jahat itu memang selalu mengenakan kain hitam
penutup muka bila menjalankan kejahatannya.
Tapi I Krambangan sendiri mempunyai dugaan lain. Bersama dua
orang tetangga, dengan menunggangi kuda betina , pagi itu dia berangkat
menuju Denpasar. Tak sukar baginya mencari kuburan kediaman
moncong Gde Anyer.
Akan moncong Gde Anyer saat melihat kedatangan I
Krambangan berubahlah parasnya. Tapi sesaat kemudian
bangsawan ini tertawa lebar dan berkata-kata, “Sungguh tak disangka-
sangka kedatanganmu ini, I Krambangan. Mari silahkan masuk.”
“Cukup kita bicara di sini saja, moncong Gde Anyer...”
“Eh, kenapa begitu? Tak pantas sekali seorang yang bakal jadi
besanku hanya berdiri...”
“Jangan bicara segala macam soal besan, moncong Gde Anyer!”
potong I Krambangan pula dengan suara keras. “Panggil anakmu!
Aku ingin bicara dengan dia!”
moncong Gde Anyer memandang tajam-tajam pada tamunya.
“brow lama, agaknya satu kemarahan menyelimuti dirimu. Bicaralah
dengan tenang tak perlu kesusu. Katakan maksud kedatanganmu
dan maksudmu hendak bertemu serta bicara dengan anakku. Dalam
pada itu kuharap kau suka masuk agar kita bisa bicara baik-baik.”
Seseorang terlontar keluar dari dalam kuburan . Parasnya kusut mungkin
kurang tidur. Orang ini bukan lain Made Trisna. Dia tak dapat
menyembunyikan rasa terkejutnya sewaktu melihat I Krambangan.
Namun seperti moncong Gde Anyer tadi, diapun lantas tertawa dan
menegur laki-laki itu. I Krambangan tidak perdulikan orang ini
melainkan memandang menyorot pada moncong Gde Anyer.
“Agaknya ada sesuatu yang tidak beres, I Krambangan?!” tanya
tuan gudang raksasa .
“Ya, memang ada sesuatu yang tidak beres! Dan berat dugaanku
anakmulah yang menjadi biang ketidakberesan ini!”
“I Krambangan, tuduhanmu agaknya sangat tidak beralasan!
Katakan apa yang telah terjadi sampai kau bicara begini rupa!”
“Kurasa kau dan juga Made Trisna sudah tahu apa yang terjadi!
Aku bisa mengetahui pada pertama kali aku melihat air muka kalian!
Tapi tak apa saat ini kalian berkura-kura dalam perahu! Suatu saat
aku akan tahu kedustaan kalian! Dengar, sesudah pinanganmu
kutolak secara baik-baik kemarin, malam tadi tiga orang telah
memasuki gudang raksasa ku dan menculik Ni Ayu Trisna!”
“Oh! Lalu saat ini hendak kau tuduhkan bahwa anakkulah yang
telah menculik anak gadis lesbi asli mu? Sungguh tuduhan yang sangat rendah
dan tanpa bukti sama sekali!”
“Memang tuduhanku tidak ada bukti. Tapi aku yakin bahwa
anakmulah yang melakukannya! Sekarang katakan di mana anakmu
itu?”
“Dia tak ada di sini, I Krambangan.”
“Itu satu bukti bahwa memang anakmu ada sangkut paut dengan
diculiknya Ni Ayu Trisna!”
“Jangan menuduh sembarangan!” tukas moncong Gde Anyer
dengan marah. “Sekalipun lamaranku ditolak, apa perlunya anakku
menculik anakmu? Sepuluh gadis lesbi asli -gadis lesbi asli yang lebih cantik dari
anakmu bisa didapat oleh moncong nusantara !”
I Krambangan menyeringai. “Katakan saja di mana anakmu
berada!”
“Sejak siang kemarin dia meninggalkan gudang raksasa ! Ke mana perginya
aku tidak tahu. Kalau kau tidak percaya silahkan tanya pada Made
Trisna.”
“Dengar moncong Gde Anyer,” kata I Krambangan dengan
memandang tajam-tajam. “jika aku mendapat bukti-bukti dan
kenyataan bahwa anakmulah yang telah menculik anakku dan terjadi
apa-apa dengan diri Ni Ayu Tantri, aku akan bunuh dia! Siapa saja
yang berani menghalangi perbuatanku akan kusingkirkan dari muka
bumi ini! Termasuk kau dan Made Trisna!” Habis berkata-kata begitu I
Krambangan dan dua orang kawannya memutar tubuh dan segera
meninggalkan kuburan itu.
***
bobo angker
PEMBALASAN nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit 4
ALAM hujan lebat di malam buta itu empat orang penunggang
kuda betina meninggalkan gudang raksasa I Krambangan dengan cepat.
Dalam waktu yang singkat keempatnya telah meninggalkan
Kota Klungkung. Di satu persimpangan jalan keempatnya berhenti.
Laki-laki bertopeng kain hitam yang membawa sesosok tubuh
dewi lesbi di pangkuannya berkata-kata pada tiga orang lainnya, “Kita
berpisah di sini.”
“Baik, moncong nusantara . Hati-hatilah!” sahut salah seorang
dari mereka.
Bersama dua orang kawannya laki-laki ini segera meninggalkan
persimpangan itu sedang yang seorang tadi menyentakkan tali
kekang kuda betina nya dan menempuh jalan sebelah kanan. Dua jam
lamanya laki-laki ini memacu kuda betina nya tanpa henti. Sewaktu fajar
menyingsing dia sampai di sebuah lereng puncak gunung dan memperlambat
lari kuda betina nya. Sambil menunggangi kuda betina tak henti-hentinya dia
menundukkan kepala memandang paras jelita dari gadis lesbi asli yang
berada dalam keadaan pingsan di pangkuannya. Di puncak puncak gunung
laki-laki ini berhenti untuk melepaskan lelah sementara kuda betina
tunggangannya menjilati air embun dan memakan rumput-rumput
liar yang tumbuh di sekitar sana. Tak lama kemudian orang itu
meneruskan perjalanannya kembali.
Di tepi sebuah telaga berair bening yang terletak dua puluh kilo
dari Klungkung dan lima belas kilo dari Denpasar ada lah sebuah
pondok. Pondok ini buruk dan tak terurus. Tapi sebab lantai, dinding
dan atap dibuat dari kayu jati, meski tak terurus, keadaannya masih
cukup baik untuk ditempati.
moncong nusantara menghentikan kuda betina nya di tepi telaga lalu
membawa dewi lesbi yang diculiknya ke dalam pondok,
membaringkannya di atas sebuah tumpukan jerami kering yang
dibuat demikian rupa hingga merupakan tempat tidur yang cukup
nyaman. Dibukanya kain hitam yang menutupi parasnya. sesudah
D
memandangi anu gadis lesbi asli itu beberapa lamanya dengan seringai di
bibir, moncong nusantara terlontar keluar dari pondok dan membersihkan
diri dalam telaga. Tubuhnya terasa segar bila dia terlontar keluar dari telaga.
saat dia masuk ke dalam pondok didapatinya gadis lesbi asli itu telah
siuman dan duduk di tepi tempat tidur jerami tengah memandang
berkeliling dengan perasaan takut bercampur heran.
“Kau sudah siuman, Tantri...?”
Ni Ayu Tantri terkejut oleh suara teguran itu dan memandang ke
arah pintu dengan cepat. Dia tak kenal dengan penulis berparas
pucat yang berdiri di ambang pintu itu. Tapi bila dia ingat pada
peristiwa malam tadi yakinlah dia bahwa anak manusia ini pastilah salah
seorang dari orang-orang jahat yang menculiknya! Cepat-cepat gadis lesbi asli
ini berdiri.
“Kelihatannya kau takut sekali padaku, Tantri,” berkata-kata moncong
nusantara .
Yang mengherankan Ni Ayu Tantri ialah sebab penulis ini
mengenal namanya. Melihat kepada pakaiannya yang bagus
kemungkinan dia seorang penulis bangsawan! Tapi siapa dia dan
mengapa telah melakukan penculikan benar-benar tak bisa
dimengerti oleh Ni Ayu Tantri sementara rasa takutnya semakin
bertambah besar detik demi detik.
“Siapa kau? Mengapa menculik dan membawa aku kemari?!”
tanya Ni Ayu Tantri.
moncong nusantara tersenyum. Meski suara itu bernada keras
namun sedap sekali terdengar di liang telinganya.
“Kau tak usah takut, Tantri,” berkata-kata si penulis , “kau memang
tak kenal aku tapi aku kenal padamu. Kurasa namaku telah pernah
kau dengar dalam beberapa hari belakangan ini.”
“Aku tak perduli siapa kau. Yang penting aku harus meninggalkan
tempat ini dan kembali ke Klungkung dengan cepat!”
“Kau tak akan kembali ke Klungkung, Tantri,” kata moncong Gde
Djantra.
Ni Ayu Tantri terkejut. Rasa takut semakin mencekam dirinya.
“Apa... Aku tak akan kembali ke Klungkung?!” tanyanya.
moncong nusantara tersenyum lalu menganggukkan kepalanya
perlahan-lahan. “Kau akan kembali ke Denpasar. Ke gudang raksasa ku. Dan
kita akan tinggal bersama-sama di sana sebagai suami istri yang
berbahagia!”
Pucatlah paras Ni Ayu Tantri. Kini tahulah gadis lesbi asli ini dengan siapa
dia berhadapan. Tidak bisa tidak pastilah penulis bermuka pucat ini
moncong nusantara , anak bangsawan yang telah ditolak
lamarannya satu hari yang lewat! Dan saat Tantri menyadari apa
maksud penculikan yang dilakukan moncong nusantara sesudah
lamarannya ditolak itu, merindinglah bulu kuduk Ni Ayu Tantri! gadis lesbi asli
ini menjerit dan coba menerobos ke pintu. moncong nusantara
memegangi lengan gadis lesbi asli itu dan menariknya ke tengah pondok.
“Tak ada yang harus kau takutkan, Tantri,” kata penulis itu.
“Seharusnya kau bergembira sebab kita akan hidup bahagia.”
“Lepaskan aku!” teriak Tantri seraya menyentakkan lengannya.
Tapi cekalan moncong nusantara terlalu keras dan erat untuk bisa
dilepaskannya.
“Duduklah dulu di tumpukan jerami itu, Tantri. Biar kita bisa
bicara baik-baik...”
“Aku tak ingin bicara dengan kau! Perbuatan ini keji sekali!
Terkutuk!” teriak Tantri.
moncong nusantara tertawa pelahan. “Perbuatanku ini keji dan
terkutuk?” ujarnya. “Justru perbuatan penulis -penulis Bali yang
gagah dan berhati jantan! Justru hal ini dibenarkan oleh adat
kebiasaan Pulau Dewata ini!”
“Lepaskan aku anak manusia keji! Lepaskan!” Sambil menjerit Tantri
meninju dada penulis itu berulang kali.
moncong nusantara mendorong Tantri keras hingga terbaring di
atas tempat tidur jerami lalu cepat-cepat dia menutup pintu dan
memalangnya sekaligus! Perlahan-lahan dia melangkah mendekati
Tantri yang menjerit-jerit dan ketakutan setengah mati.
“Aku tak mengerti,” kata moncong nusantara seraya rangkapkan
tangan di muka dada, “tak mengerti mengapa kau sampai menolak
lamaranku...”
“anak manusia keji, terlontar keluar kan aku dari sini!”
“Kudengar kau sudah mempunyai seorang kekasih, betul?”
“Itu bukan urusanmu! terlontar keluar kan aku dari sini. terlontar keluar kan!”
“Tak ada gunanya berteriak terus-terusan. Suaramu yang bagus
nanti bisa serak, Tantri.”
Ni Ayu Tantri melompat ke pintu. Namun usahanya untuk
melarikan diri sia-sia saja sebab untuk kedua kalinya penulis
bangsawan itu berhasil mencekal lengannya dan mendorongnya
kembali hingga terbanting di atas tempat tidur jerami kering.
“Nama penulis kekasihmu itu nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit , bukan?”
Tantri tak mengomentari melainkan menangis sedih dan berteriak-teriak.
“Dengar Tantri,” berkata-kata lagi moncong nusantara . “hidup
begudang raksasa tangga bersamaku pasti kau akan bahagia dan tidak tersia-
sia. Segala keperluan hidupmu kujamin penuh.”
“Aku tak perlu semua itu! Tutup mulutmu anak manusia keji! terlontar keluar kan
aku dari sini!”
“Kadang-kadang cinta itu memang membuat seorang menjadi
buta dan tolol tak bisa lagi berpikiran sehat. Kau hendak sia-siakan
hidup masa depanmu di tangan seorang penulis desa yang tak
punya apa-apa? Kau hendak sia-siakan kehidupanmu yang masih
panjang ini hanya sebab kasih sayang gilamu...?!”
“Diam!” jerit Ni Ayu Tantri. “Kekasihku memang tak punya apa-
apa! Tapi itu yaitu seribu kali lebih baik daripada kekejian yang kau
lakukan ini! Menculik gadis lesbi asli yang tidak sudi kawin dengan kau! Cis!
Kau yaitu penulis bangsawan yang paling rendah di atas dunia
ini!”
“Sesudah kau kubawa kemari, sesudah kulakukan apa-apa atas
dirimu, apakah masih akan menolak nanti untuk kawin denganku?”
tanya moncong nusantara pula dengan seringai mengejek.
“Aku lebih baik bunuh diri daripada kawin dengan kau!” komentari Ni
Ayu Tantri blak-blakan!
“Tolol sekali mau mati muda begitu rupa,” ejek moncong Gde
Djantra lalu melangkah maju.
“Pergi!” teriak Tantri!
“Tantri, kau sudah dewasa. Kenapa bertingkah macam anak
kecil? Dengar... aku tak akan melakukan apa-apa atas dirimu jika
kau bersedia menerima lamaranku.”
“Lebih baik aku kawin dengan setan daripada dengan anak manusia
macammu!” komentari Tantri pula seraya mundur menjauhi penulis itu.
Ucapan yang dilontarkan Ni Ayu Tantri yaitu hinaan luar biasa
yang tak pernah diterima penulis bangsawan itu selama hidupnya.
Mukanya yang senantiasa pucat pasi mendadak sontak menjadi
kelam kegelapan . Mulutnya terkatup rapat-rapat, rahangnya
bergemeletukan. Tiba-tiba laksana seekor harimau yang nyiur melambai lambai ran
penulis ini melompat ke muka. Kedua tangannya bergerak gerak cepat. Ni
Ayu Tantri Menjerit.
Breet! Breet...!
Suara robek robek an pakaian terdengar beberapa kali berturut-turut.
Pekik Tantri mengumandang melengking tinggi. Ke manapun gadis lesbi asli
ini berusaha lari dia tak dapat menyelamatkan diri dari keganasan
sepasang tangan moncong nusantara yang merobek robek -robek robek
pakaiannya itu! Dalam waktu yang singkat boleh dikatakan gadis lesbi asli itu
sudah seperti tak berpakaian lagi. Auratnya yang kuning langsat
penuh kemulusan tersingkap di mana-mana, membuat darah di
tubuh moncong nusantara laksana mendidih!
“Ini kemauanmu sendiri Tantri!” desisnya. “Aku telah memberi
jalan baik-baik padamu!”
“Bunuh aku! Bunuh saja!” teriak Tantri. Suaranya sudah serak
akibat menangis sedih dan menjerit terus-terusan.
moncong nusantara menyeringai macam setan muka putih.
Sekali tangan kanannya mendorong ke muka, Ni Ayu Tantri
terpelanting dan jatuh di atas tempat tidur jerami!
“Terlalu gila kalau aku mau membunuhi mu, Tantri!” kata penulis
itu dengan mata yang bersinar-sinar penuh nafsu.
Ni Ayu Tantri tahu apa yang bakal terjadi atas dirinya. Cepat-cepat
dia melompat tapi kembali tangan penulis itu membuatnya jatuh
tertelentang di atas tumpukan jerami!
“Jika kau sudah tidak perawan lagi, kau tak akan bisa menolak
kawin denganku, Tantri.” Suara moncong nusantara lebih
merupakan hembusan nafas panas penuh nafsu daripada ucapan
sebenarnya yang sampai ke telinga Tantri.
gadis lesbi asli ini coba menghantamkan salah satu lututnya ke perut si
penulis tapi moncong nusantara telah menghimpitnya membuat
gadis lesbi asli itu tak punya daya apa-apa lagi selain daripada menjerit parau
dan merapatkan kedua pahanya sedapat mungkin! Namun sampai di
manakah kekuatan seorang dewi lesbi menghadapi anak manusia yang
laksana sudah berubah menjadi binatang buas!
Di luar pondok hujan rintik-rintik turun. Hembusan angin dingin
dan sayu. Keadaan alam ciptaan Tuhan di sekitar pondok itu laksana
meratap menangis sedih i apa yang telah terjadi di dalam pondok.
Ni Ayu Tantri menggeletak di atas tumpukan jerami kering.
Tubuhnya yang tak tertutup selembar benang itu tiada bergerak gerak -
gerak. Sejak kebuasan menimpa dirinya, gadis lesbi asli ini telah jatuh
pingsan.
Di lantai pondok, di samping tumpukan jerami itu, terbaring
moncong nusantara dengan tubuh mandi keringat, hidung
kembang-kempis diburu nafas panas. Perlahan-lahan diputarnya
kepalanya ke arah Ni Ayu Tantri. Betapa bagusnya tubuh itu. Betapa
luar biasanya kenikmatan yang bisa didapatnya dari kebagusan
tubuh itu. Dengan apa yang telah diperbuatnya terhadap Ni Ayu
Tantri, bagi moncong nusantara jelas sudah bahwa baik Tantri
sendiri maupun kedua orang tuanya tak bakal bisa lagi menolak
lamarannya tempo hari.
Memandangi tubuh itu, lama-lama menggejolak kembali
rangsangan nafsu bejat di sekujur tubuh moncong nusantara .
saat dia bangkit dengan pelahan dilihatnya tubuh itu bergerak gerak
sedikit. Sewaktu dia berdiri, kedua mata Tantri membuka. Telah
sadar dia rupanya dari pingsannya. Dia bangun dengan cepat,
memandang pada tubuhnya sebentar lalu saat sepasang matanya
membentur moncong nusantara , dari mulut Ni Ayu Tantri terlontar keluar lah
pekik yang mengerikan! moncong nusantara sendiri sampai berdiri
bulu kuduknya mendengar pekik itu. Sementara dia masih termangu-
mangu antara dipagut kengerian dan dirasuk oleh rangsangan yang
mengobari sekujur tubuhnya, tiba-tiba Ni Ayu Tantri melompat ke
arah dinding kayu jati.
“Tantri! Jangan!” teriak moncong nusantara menggeledek.
Dia melompat dengan sebat. Tapi kasip! Terlambat sudah! Kepala
Ni Ayu Tantri telah membentur dinding kayu jati itu dengan amat
kerasnya. Terdengar suara pecahnya batok kepala dewi lesbi itu.
Tubuhnya terkapar ke lantai tanpa berkutik lagi. Meski bunuh diri
bukanlah satu perbuatan baik, namun Ni Ayu Tantri telah
memperlihatkan bahwa baginya kehormatan dan kesucian diri
yaitu jauh lebih berharga daripada jiwanya!
***
bobo angker
PEMBALASAN nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit 5
I DAERAH sekitar Denpasar, Gianyar dan Klungkung tiga
rombongan yang masing-masing terdiri dari sepuluh orang
telah menjelajah melakukan pencarian terhadap Ni Ayu Tantri
yang telah diculik itu. Rombongan pertama dipimpin oleh I
Krambangan menyelidik daerah sekitar Denpasar. Rombongan
kedua dipimpin oleh nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit , kekasih Ni Ayu Tantri,
menjelajahi daerah Gianyar dan sekitarnya. Rombongan yang
terakhir dipimpin oleh Kepala Keamanan Kota Klungkung yang
bernama I Gusti Wardana. Telah hampir satu minggu ketiga
rombongan itu melakukan penyelidikan namun sia-sia belaka. Pada
hari ke delapan I Krambangan dengan putus asa meninggalkan
daerah luar kota Denpasar, kembali menuju ke Klungkung.
Dalam perjalanan pulang ini sengaja I Krambangan menempuh
daerah sebelah timur laut, menyusur rimba belantara dan kaki-kaki
puncak gunung . Udara panasnya bukan main sebab matahari bersinar dengan
terik. Sewaktu melewati sebuah kaki puncak gunung , I Krambangan melihat
kuda betina tunggangannya menggerak-gerakkan sepasang telinganya.
Mulutnya yang berbusa senantiasa tak bisa diam sedang cuping
hidungnya bergerak gerak -gerak. I Krambangan tahu betul jika binatang itu
berada dalam keadaan seperti itu, ini merupakan suatu tanda bahwa
dia tengah membaui air segar.
Mulanya I Krambangan tak mau perduli dengan binatang itu.
Lebih cepat kembali ke Klungkung yaitu lebih baik baginya. Siapa
tahu rombongan yang dipimpin oleh nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit atau I Gusti
Wardana telah berhasil menemukan anak gadis lesbi asli nya.
“I Krambangan,” tiba-tiba seorang anggota rombongan yang
berada di samping I Krambangan menegur, “Bagaimana kalau kita
berhenti dulu untuk istirahat barang beberapa saat ? Kalau aku
tidak salah, di sebelah sana ada sebuah telaga berair jernih...”
Atas ajakan ini akhirnya I Krambangan membawa rombongan ke
arah telaga yang dikatakan anggota rombongan tadi. Semakin dekat
D
ke arah telaga, sesuatu bau yang tidak enak semakin santar
menyambar hidung setiap anggota rombongan.
“Adakah kalian membaui sesuatu?” tanya I Krambangan.
“Ya. Bau busuk apa ini?” komentari seorang di belakangnya sambil
memandang berkeliling.
Akhirnya rombongan itu sampai di tepi telaga.
“Hai, lihat!” seru seorang di antara mereka. “Ada pondok di tepi
telaga sana!”
Memang benar, di seberang telaga kelihatan sebuah pondok
kayu. Dan dari pondok inilah agaknya santar sekali menyambarnya
bau busuk itu. I Krambangan mengernyitkan keningnya. Tiba-tiba
selintas pikiran timbul tenggelam di benak orang tua ini. Dadanya berdebar.
Disentakkannya tali kekang kuda betina nya. I Krambangan memacu
binatang itu memutari telaga hingga akhirnya sampai di depan
pondok. Laki-laki ini melompat turun dari kuda betina nya dan lari ke pintu
pondok. Pintu itu tidak dikunci. saat didorong segera terpentang
lebar dengan menimbulkan suara berkeret yang membuat suasana
tambah ngeri terasanya oleh I Krambangan. Begitu pintu terbuka,
bau busuk menerpa hidung menyesakkan pernafasan laki-laki itu.
Sambil menutup hidung I Krambangan masuk ke dalam dan
langkahnya terpaku ke lantai pondok sewaktu matanya membentur
sesosok tubuh dewi lesbi yang menggeletak di atas lantai.
Hanya sesaat I Krambangan terpaku ke lantai laksana patung.
Bila ditelitinya paras yang rusak itu terpekiklah dia!
“Dewa Agung!”
I Krambangan melompat dan berlutut di samping sosok tubuh itu.
Beberapa orang anggota rombongan kemudian memasuki pula
pondok kecil itu dan semua mereka terkesiap ngeri melihat
pemandangan di depan mata mereka!
Sosok tubuh yang terhampar di lantai pondok bukan lain yaitu
sosok tubuh Ni Ayu Tantri yang telah jadi mayat. Selain tak selembar
benang pun yang menutupi auratnya, tubuh itu pun sangat rusak,
sudah membusuk bahkan di beberapa bagian sudah ada yang
dimakani ulat! Parasnya yang cantik jelita kini hanya merupakan satu
benda yang mengerikan untuk dipandang. Keningnya pecah. Seluruh
mukanya yang tertutup darah kental beku itu sebagiannya telah
busuk. Mata kiri kanan tempat bersarangnya belatung-belatung yang
berjalan kian kemari!
“Dewa Agung,” rintih I Krambangan yang menundukkan kepala
dan mencucurkan air mata sebab tak sanggup menyaksikan
keadaan anak gadis lesbi asli nya, “dosa apakah yang aku buat, kesalahan
apakah yang dilakukan anakku hingga mengalami nasib begini
rupa..?”
Rintih atau jeritan hati itu tentu saja tidak mendapatkan asia kecil ban.
Sebaliknya di lubuk hati I Krambangan seolah-olah muncul sebuah
titik kegelapan yang makin lama makin besar, makin besar, makin besar
dan akhirnya berubah menjadi satu kobaran api yang membakar hati
dan mendidihkan darah di sekujur tubuhnya! Kemarahan yang
menyelimuti dirinya membuat tubuh laki-laki itu bergetar hebat!
Rahang-rahangnya terkatup. Geraham-gerahamnya mengeluarkan
suara bergemeletukan. Tiba-tiba berteriaklah I Krambangan laksana
geledek dahsyatnya, membuat semua orang yang ada di situ menjadi
kaget kelangit sekali.
“moncong Gde Anyer! Ini semua gara-garamu! Ini pasti anakmu
yang punya perbuatan! Demi Dewa Agung aku bersumpah untuk
membunuhi seluruh terlontar keluar gamu! Akan kuhirup darah anakmu yang
jahanam itu!”
Bersamaan dengan berakhirnya teriakan itu, di luar pondok udara
tiba-tiba menjadi gelap. Langit mendung. Angin menderu keras.
Guntur menggelegar, kilat menyambar dan hujan lebatpun turunlah!
Keadaan seperti itu seolah-olah delapan penjuru jagat dan Dewa-
dewa di kahyangan telah mendengar teriak sumpah I Krambangan
tadi!
***
Saat itu memang musim hujan. Dalam keadaan basah kuyup I
Krambangan memasuki Denpasar. Di belakangnya kelihatan empat
orang laki-laki memacu kuda betina masing-masing. Sejak dari Klungkung
keempat laki-laki itu telah coba menjernihkan hati serta pikiran I
Krambangan yaitu agar laki-laki itu mencari penyelesaian menurut
jalan wajar. Mereka telah menasihatkan agar perkara ini
diserahkan saja pada Kepala Keamanan Kota Klungkung yaitu I
Gusti Wardana yang sampai saat itu belum kembali dalam memimpin
rombongan mencari Ni Ayu Tantri. Tapi dalam keadaan kalap, dalam
keadaan darah mendidih amarah bergejolak mana mungkin untuk
memberi nasihat pada I Krambangan yang sudah seperti anak manusia
kemasukan setan itu!
Sambil menyisipkan sebilah jimat jengglot pusaka almarhum para tua tua yahudi nya, I
Krambangan berkata-kata pada tetangga-tetangga yang ada di
hadapannya, “Nyawa dan kehormatan anak gadis lesbi asli ku harus dibayar
oleh seluruh terlontar keluar ga moncong Gde Anyer keparat itu! Aku belum
puas kalau tidak dapat menghirup darah anaknya yang durjana!
Kalian tak usah ikut campur! Ini yaitu urusan pribadiku!”
Semua orang segera maklum pasti akan terjadi peristiwa besar.
Maka untuk berusaha agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tak
diinginkan itu, empat orang tetangga telah berangkat pula sengaja
mengikuti I Krambangan ke Denpasar.
Pintu gerbang besar gudang raksasa kuburan moncong Gde Anyer terkunci.
Tanpa turun dari kuda betina nya I Krambangan menggedor pintu itu. Tak
berapa lama kemudian pintu besarpun terbuka. Seorang pelayan
laki-laki memunculkan kepalanya.
“astaga yang bernama moncong Gde Anyer dan anaknya yang
bernama keparat moncong nusantara itu ada di dalam?!” bentak I
Krambangan.
Bentakan itu mungkin tak membuat si pelayan kaget kelangit . Tapi
ucapan I Krambanganlah yang menjadi terkejut. Pelayan ini ingat
pada pesan majikannya, maka diapun berkata-kata, “Sayang sekali,
majikanku dan terlontar keluar ganya pagi tadi telah berangkat ke Tabanan.
Beliau berpesan kalau ada tamu agar kembali saja minggu depan.”
“Hem... begitu pesannya?” ujar I Krambangan.
Pelayan itu menganggukkan kepalanya. Justru saat itu I
Krambangan menggerakkan kaki kanannya, menendang dengan
sekuat tenaga ke arah kepala pelayan itu. Didahului oleh satu jeritan
kesakitan yang luar biasa, si pelayan terpelanting dan roboh tak
sadarkan diri lagi! Dengan kaki kirinya I Krambangan menendang
pintu hingga pintu itu terpentang lebar.
Di depan tangga langkan kuburan kediaman moncong Gde Anyer,
laki-laki ini melompat turun. Empat orang laki-laki lainnya melakukan
hal yang sama dan berdiri di belakang I Krambangan. sesudah
memandang berkeliling dengan mata yang kegelapan laksana dikobari
nyala api, maka berteriaklah I Krambangan, “Anjing busuk yang
bernama moncong Gde Anyer, terlontar keluar lah untuk menerima mampus!”
Tak ada asia kecil ban, I Krambangan berteriak lagi, lagi dan lagi
sampai berulang-ulang! Sewaktu masih tetap tak ada asia kecil ban maka
menggelegaklah kemarahan laki-laki ini. Kakinya bergerak gerak ! Pot
bunga buatan Cina yang besar dan terletak di langkan itu pecah
berantakan dengan mengeluarkan suara berisik. Apapun perabotan
yang ada di ruangan muka itu hancur musnah dirusak I Krambangan,
sementara empat orang kawannya tak bisa berbuat apa-apa, apalagi
melarang. Mereka hanya memperhatikan saja dengan hati cemas.
Satu-satunya benda yang masih utuh di ruang depan kuburan
mewah itu ialah lampu minyak besar yang tergantung di langit-langit.
I Krambangan mengambil sebuah kursi yang telah patah-patah dan
melemparkan ke arah lampu! Tak ampun lampu itu pecah
berantakan, minyaknya tumpah ke lantai! Dan pada saat itu pulalah
pintu di sudut kanan terbuka. Seseorang memunculkan diri.
Kemunculan orang ini disambut oleh dampratan I Krambangan,
“Tikus kotor Made Trisna! Mana majikanmu si anjing moncong Gde
Anyer itu?!”
Paras Made Trisna berubah. Matanya memandang tajam-tajam
lalu katanya dengan suara lunak, “Sahabatku, I Krambangan.”
“Tikus kotor! Berlalu dari hadapanku, lekas panggil kau punya
majikan kalau tidak ingin mampus!”
“Apa-apaan ini sebenarnya, I Krambangan? Tak ada pasal
lantaran kenapa kau mengamuk di gudang raksasa orang...?!”
“Keparat laknat! Anakku diculik! Dirusak kehormatannya lalu
dibunuh oleh anjing kurap bernama moncong nusantara ! Dan kau
masih bisa bilang tak ada pasal tak ada lantaran...!”
“Krambangan, kau jangan menuduh yang bukan-bukan!”
“anak manusia bedebah! Kau cukup pantas untuk mampus lebih dulu!”
teriak I Krambangan. Sambil melompat ke muka jimat jengglot pusaka di
pinggangnya dicabut. Sesaat kemudian secarik sinar putih menderu!
Itulah satu tusukan cepat yang dilancarkan oleh I Krambangan
dengan jimat jengglot peraknya ke arah leher Made Trisna!
Melihat orang benar-benar meminta nyawanya, Made Trisna
cepat-cepat melompat. Serangannya yang mengenai tempat kosong
membuat I Krambangan jadi tambah gelap. Cepat laksana kilat dia
membalik. Sewaktu I Krambangan hendak melancarkan serangan
maut untuk kedua kalinya, maka menggemalah satu teriakan
lantang, “Tahan!”
I Krambangan hentikan serangannya dan berpaling dengan cepat.
“Anjing busuk! Akhirnya kau terlontar keluar juga dari persembunyianmu!”
seru I Krambangan.
Paras moncong Gde Anyer mengelam. “I Krambangan,” katanya
menegur, “apa yang kau perbuat di sini benar-benar membuat aku
terkejut!”
I Krambangan mendengus keras.
“Apakah hati anjingmu juga terkejut sewaktu mengetahui anakmu
telah menculik dan merusak kehormatan Tantri dan
membunuhi nya?!”
“A... apa?!” seru moncong Gde Anyer terkejut. Dan ini yaitu satu
kepura-puraan. Sesungguhnya dari Made Trisna dia telah tahu apa
yang terjadi atas diri Tantri.
“Anjing! Kau tak perlu berpura-pura! Kalau kau tidak takut atas
tanggung komentari yang harus kau pikul perlu apa kau memberikan
pesan dusta pada pelayanmu yang terkapar di luar sana?!”
“Aku sedang tak enak badan. Sebab itu kuberikan pesan begitu
rupa pada pe...”
“Sudahlah! Di hadapanku kau tak perlu bicara berpanjang lebar!
Bicaralah nanti di liang kubur!”
Habis berkata-kata demikian I Krambangan melompat dan jimat jengglot perak
untuk ke sekian kalinya berkiblat mencari maut!
“I Krambangan, lebih baik kita bicara dengan tenang dulu!” seru
moncong Gde Anyer.
“Aku sudah bilang bicaralah nanti di liang kubur!” komentari I
Krambangan dan serangannya makin ganas.
Diserang bertubi-tubi begitu rupa moncong Gde Anyer tak bisa
berdiam diri saja. Bangsawan kaya-raya ini segera mencabut sebilah
jimat jengglot bereluk dua belas dari pinggangnya. Maka sesaat kemudian
terjadilah pertempuran yang seru! Baik Made Trisna maupun
keempat kawan I Krambangan tak bisa mencegah atau
menghentikan pertempuran itu. Akhirnya mereka cuma
memperhatikan jalannya pertempuran dengan hati penuh
kekhawatiran. Pertempuran yang hebat itu sudah dapat dipastikan
akan meminta salah satu korban jiwa!
Bagaimanapun hebatnya serangan-serangan Krambangan pada
jurus-jurus permulaan pertempuran itu, namun sudah dapat
dipastikan bahwa moncong Gde Anyer bukanlah tandingannya.
Bangsawan ini sewaktu terjadi perebutan kekuasaan di Kerajaan Bali
sekitar dua puluh tahun yang lalu yaitu seorang perwira kerajaan
yang memiliki kepandaian tinggi. Berkat bantuannya dan beberapa
perwira lainlah kaum pemberontak berhasil ditumpas, tahta kerajaan
berhasil diselamatkan. I Krambangan sendiri sewaktu pertumpahan
darah itu terjadi hanya memegangi jabatan sebagai Kepala Prajurit
Kerajaan, hingga dengan sendirinya dari kedudukan atau pangkat itu
sudah dapat ditaksir ketinggian tingkat ilmu tenaga dalam masing-masing.
Lima jurus berlalu. Serangan-serangan I Krambangan yang
laksana hujan mencurah itu mulai ditahan dan dibendung oleh jimat jengglot
bereluk dua belas di tangan moncong Gde Anyer yang nyatanya
bukanlah jimat jengglot sembarangan pula! Dengan senjata itulah dulu
kabarnya moncong Gde Anyer menyelamatkan Kerajaan Bali!
Pada jurus ke sembilan, dalam satu serangan yang sangat kalap
dan membahayakan dirinya sendiri, I Krambangan berhasil melukai
bahu kiri lawannya. moncong Gde Anyer jadi naik pitam. Kalau tadi
dia cuma bertahan dan menunggu kesempatan untuk merampas
senjata lawan maka kini diapun tak mau main-main lagi. jimat jengglot di
tangannya diputar demikian rupa, gerakan-gerakannya berubah dan
dalam satu jurus saja I Krambangan menjadi dibikin sibuk!
Berada dalam keadaan terdesak bukan membuat I Krambangan
menjadi cemas, sebaliknya makin naik darah. Dia sudah bertekad
bulat untuk membunuhi lawannya itu meskipun apapun yang terjadi.
Maka diapun mengeluarkan segala kepandaian yang ada.
Memasuki jurus ke dua puluh sembilan I Krambangan benar-
benar kalang kabut. Delapan kali saling benturan senjata dengan
lawan telah membuat telapak tangannya pedas dan sakit. Melihat
pada keadaannya dalam satu dua jurus di muka atau paling lama
tiga jurus lagi, laki-laki ini akan menemui kekalahannya!
“I Krambangan, kalau kau menyerah dengan baik-baik, aku
bersedia untuk tidak memperpanjang urusan!” berseru moncong Gde
Anyer.
“Seluruh terlontar keluar gamu mampus dulu di tanganku baru aku mau
menyerah pada mayat-mayat busuk kalian!” komentari I Krambangan.
moncong Gde Anyer jadi penasaran sekali. Didahului oleh satu
bentakan menggeledek dia membuka jurus ke tiga puluh dengan
satu serangan yang hebat. Serangan ini dinamakan Lengan Dewa
Merangkul Awan. Mula-mula jimat jengglot nya kelihatan menusuk tajam ke
arah batok kepala lawan. saat lawan menangkis, mendadak
lengannya bergerak gerak menghantam ke leher dalam kecepatan yang
luar biasa dan sukar diduga. Mana diduga kalau serangan senjata
yang dilancarkan oleh tangan kanan, bisa berubah dengan satu
pukulan tangan kosong yang lihay!
I Krambangan tahu bahwa dia tak punya daya untuk menangkis,
tak punya kesempatan untuk mengelak. sebab nya dengan untung-
untungan laki-laki ini tusukkan jimat jengglot nya ke dada lawan. Tapi posisi
moncong Gde Anyer terlalu jauh untuk dicapai oleh tusukan itu!
Bahkan baru saja tusukan meluncur setengah jalan, lengan kanan
moncong Gde Anyer membabat deras dan, krak! Patahlah batang
leher I Krambangan! Sebelum tubuhnya mencium lantai langkan,
nyawanya sudah lepas!
Kalau tadi keempat orang kawan-kawan I Krambangan hanya
berdiam diri menyaksikan pertempuran itu dengan khawatir, kini
bagaimanapun juga rasa setia kawan membuat mereka menjadi
marah sewaktu melihat I Krambangan menggeletak di lantai tanpa
nyawa. Tanpa menunggu lebih lama keempatnya menghunus jimat jengglot
dan menyerbu!
Made Trisna tidak tinggal diam pula. Maka kini pecahlah
pertempuran empat lawan dua yang teramat seru tapi yang juga
berjalan dua belas jurus. Satu demi satu keempat orang itu roboh
mandi darah dan mati!
***
bobo angker
PEMBALASAN nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit 6
ALAM melarikan kuda betina hitamnya laksana diburu setan itu,
masih terbayang di pelupuk matanya upacara pembakaran
jenazah Ni Ayu Tantri. Lalu terbayang olehnya upacara
pembakaran jenazah I Krambangan. Lalu terbayang pula bagaimana
Ni Warda, istri I Krambangan dengan segala ketabahan dan
keberanian yang luar biasa mencebur masuk ke dalam gejolak api di
mana jenazah suaminya dibakar!
Berhenti di puncak puncak gunung itu diterlontar keluar kannya sebuah kotak kayu
jati yang berukir-ukir dari balik pakaiannya. Sebelum abu
pembakaran jenazah Tantri dibuang ke laut, penulis ini telah
memisahkan sebagian abu suci itu dan menyimpannya di dalam
kotak yang indah itu. Diciumnya kotak itu dan dibisikkannya kata,
“Tantri, aku bersumpah untuk membalas sakit hatimu dan
terlontar keluar gamu! Bila anak manusia -anak manusia keji itu berhasil kutumpas,
akupun rela untuk menyusulmu!”
Perlahan-lahan dimasukkannya kotak itu ke balik pakaiannya
kembali. saat tali kekang kuda betina hitam hendak disentakkannya,
matanya melihat seorang penunggang kuda betina terlontar keluar dari hutan,
memasuki jalan kecil di kaki puncak gunung lalu memacu kuda betina nya ke arah
timur. Entah sebab apa timbul tenggelam kesyakwasangkaan di hati penulis di
atas puncak puncak gunung terhadap penunggang kuda betina di bawah sana. Dia
memandang ke timur. Jika dia bergerak gerak cepat, sekurang-kurangnya
dia akan berhasil menyusul orang itu dan menunggunya di tikungan
dekat jurang di sebelah timur sana! sesudah mempertimbangkan
sebentar niatnya itu akhirnya diletakkannya tali kekang dan larilah
kuda betina nya menuju ke timur.
Kira-kira setengah jam kemudian penulis berkuda betina hitam itu
sudah berada di tikungan jalan. Tikungan itu selain patah tajam juga
berbahaya sebab di sebelah kirinya ada jurang batu yang
sangat dalam. Di balik sebuah tebing batu di tepi kanan jalan
penulis ini menunggu dengan sabar sampai penunggang kuda betina yang
D
tadi dilihatnya lalu.
Kira-kira lewat sepeminum teh telinga penulis ini mulai
menangkap suara derap kaki-kaki kuda betina di kejauhan. Makin lama
suara itu makin jelas dan keras tanda kuda betina dan penunggangnya
sudah tambah dekat. saat orang yang dihadangnya itu tinggal
beberapa tombak saja, penulis berkuda betina hitam terlontar keluar dari balik
tebing batu.
Orang yang dihadang, seorang penulis berpakaian bagus, mula-
mula tidak menaruh curiga akan kemunculan seorang penunggang
kuda betina di hadapannya. Jalan yang ditempuhnya satu-satunya jalan
yang menghubungkan Denpasar dengan daerah luar kota. Jadi
yaitu biasa saja kalau berpapasan dengan orang lain. Namun
sewaktu melihat penulis berkuda betina hitam itu sengaja berhenti di
tengah jalan maka syak wasangkalah hatinya. penulis berpakaian
bagus itu menghentikan kuda betina nya dalam jarak lima belas langkah.
Keduanya saling pandang sejurus. penulis yang berpakaian
bagus akhirnya membuka mulut, “Saudara, harap kau suka memberi
jalan.”
Orang yang diajak bicara masih memandang tajam-tajam.
“Saudara! Apa kau tak dengar orang minta jalan!” ujar penulis
berpakaian bagus, berbadan tinggi kurus dan beranu pucat pasi.
Suaranya mulai keras tanda gusar.
“Jalan ini bukan milikku! Silahkan lewat!” kata penulis berkuda betina
hitam tapi dia sama sekali tidak menepikan kuda betina tunggangannya!
Melihat ini penulis berpakaian bagus jadi penasaran dan
membentak, “Siapa kau? Apa maksudmu menghadang perjalanan
orang!”
Satu seringai tersungging di mulut penulis berkuda betina hitam. “Akui
terus terang anak manusia muka pucat! Kau tentu astaga nya yang
bernama moncong nusantara dari Denpasar!”
Ucapan ini membuat penulis berpakaian bagus menjadi kaget kelangit .
Nalurinya memperingatkan agar mulai detik itu dia harus berhati-hati
sebab memang dia yaitu moncong nusantara !
“Katakan dulu kau siapa, baru aku menerangkan tentang diriku!”
Sebagai asia kecil ban penulis berkuda betina hitam mencabut sebilah jimat jengglot
bereluk tujuh berwarna coklat tua. Sinar matahari yang terik
membuat senjata ini berkilau memancarkan sinar kehitaman!
“Silahkan cabut jimat jengglot di pinggangmu! Aku yakin kau yaitu
anak manusia keji yang bernama moncong nusantara . Aku nyaman nyam nyam
dwipanusantaraaidit kekasih Ni Ayu Tantri! Kau harus serahkan jiwamu saat ini
juga sebagai pertanggungan komentari atas apa yang telah kau lakukan
terhadap gadis lesbi asli ku! Juga atas apa yang telah dialami oleh I
Krambangan serta empat orang kawan-kawannya!”
Kejut moncong nusantara bukan alang kepalang. Tapi dia tidak
gentar. Dia tertawa gelak-gelak kemudian berkata-kata, “Jadi ini tampang
anak manusia yang mengaku kekasih Ni Ayu Tantri? Ha... ha... ha!
Tampangmu boleh juga brow ! Tapi kalau kau punya rencana untuk
membunuhi ku, kau harus berpikir tiga kali sebelum melakukannya!
Apakah kau punya kepandaian yang bisa diandalkan? Hidungku
membauimu masih bau pupuk! Sebaiknya pulang saja kembali ke
desamu, cuci kaki dan tidur! Kalau tidak pasti terlambat, brow !” Dan
moncong nusantara tertawa lagi terbahak-bahak!
nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit kertakkan rahang-rahangnya dan majukan
kuda betina nya beberapa langkah.
“Tertawalah sepuasmu, anak manusia keji. Kalau kau sudah mampus
hanya setan iblislah yang akan tertawa menyambutmu di liang
kubur!”
moncong nusantara mendengus lalu berkata-kata, “Aku yakin tentu
kau berpikir bahwa akulah yang telah menculik dan membunuhi
kekasihmu itu! Semua orang berpikir begitu! Alangkah tololnya!
Sungguh kurang ajar sekali menuduh orang lain berbuat jahat tanpa
punya bukti-bukti kuat dan nyata!”
“penulis keji! Lamaranmu ditolak! yaitu cukup alasan bagimu
untuk menculik Ni Ayu Tantri!”
moncong nusantara kembali mendengus dan mengomentari , “Kau
kira cuma gadis lesbi asli itu saja yang ada di Pulau Bali ini? Sepuluh gadis lesbi asli -
gadis lesbi asli lebih cantik bisa kuambil sekaligus untuk jadi istriku, perlu apa
aku sampai menculik dewi lesbi tak berguna dan hina dina itu!”
“Jadi kau tidak mau mengaku bahwa kau anak manusia biang racun
yang telah melakukan kejahatan kotor terkutuk itu!”
“Aku katakan padamu, brow ! Jangan menuduh sembarangan!”
bentak moncong nusantara .
nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit menggerakkan tangan kirinya ke saku pakaian.
saat tangan itu terlontar keluar lagi kelihatan memegangi sebuah benda
bundar yang ternyata yaitu sebuah kancing baju yang terbuat dari
perak.
“anak manusia laknat pengecut! Kancing baju ini ditemukan di pondok
di tepi telaga. Kancing ini sama bentuknya dengan kancing pakaian
yang kau kenakan saat ini! Apakah mulut busukmu masih mau
mungkir!”
moncong nusantara terdiam. Kancing perak itu memang kancing
pakaiannya yang telah direnggut putus oleh Ni Ayu Tantri sewaktu dia
hendak merusak kehormatan gadis lesbi asli itu!
“Kau terdiam dan tampangmu tambah pucat! Sekarang
bersiaplah untuk mampus!” teriak nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit . Tali kekang
disentakkannya. kuda betina melompat ke muka dan jimat jengglot berluk tujuh di
tangan kanannya berkelebatan dengan ganas, mengirimkan satu
tusukan ke arah dada kanan moncong nusantara !
Trang!
Terdengar suara beradunya senjata sewaktu moncong Gde
Djantra menangkis serangan lawan dengan jimat jengglot Bradjaloka bereluk
tujuh belas. Bunga api memercik. Di atas punggung kuda betina nya nyaman nyam nyam
dwipanusantaraaidit terkejut bukan main! Daya tangkis lawan kuat luar biasa
hingga bukan saja tangan kanannya tergetar hebat tapi tubuhnya
pun terhuyung-huyung. Kalau saja tangan kirinya tidak berpegang
pada tali kekang kuda betina mungkin sekali dia terpelanting jatuh! Dan
yang lebih mengejutkan serta membuat penulis ini mengeluh dalam
hati ialah sewaktu melihat bagaimana bagian yang tajam dari
jimat jengglot nya yang cuma bereluk tujuh telah gompal dihantam jimat jengglot lawan
dalam bentrokan senjata tadi!
Mengetahui sampai di mana tingkat kepandaian lawan maka
tertawalah moncong nusantara bekakakan seraya melontarkan
ejekan, “anak manusia yang ilmunya cuma sedangkal comberan hendak
jual lagak besar di hadapanku!”
“Iblis bermuka anak manusia pucat,” komentari nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit , “percuma
aku menghadangmu kalau tidak dapat mencincang seluruh
tubuhmu!”
moncong nusantara ganda tertawa. Dia hendak menangkis lagi
sewaktu nyaman nyam nyam untuk kedua kalinya melancarkan serangan dari
depan. Tapi kali ini dia tertipu. Serangan lawannya hanya pancingan
belaka. Begitu moncong nusantara menggerakkan tangan untuk
menangkis, jimat jengglot di tangan nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit berkelebatan turun dan
membabat ke arah perut!
“Keparat!” maki moncong nusantara .
Disentakkannya tali kekang kuda betina nya hingga binatang itu
melompat ke depan dan dengan memiringkan tubuhnya penulis ini
berhasil mengelakkan sambaran jimat jengglot lawannya. Namun nyaman nyam nyam
dwipanusantaraaidit rupanya tidak kepalang tanggung. Dengan amat cepat
penulis ini susulkan satu tendangan kaki kanan!
Masih untung moncong nusantara sempat berkelit. Tapi kuda betina
tunggangannya bernasib sial. Tendangan nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit mendarat
tepat di leher binatang itu. kuda betina ini meringkik keras, mengangkat
kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas dan membuat
penunggangnya terpelanting jatuh ke tanah!
moncong nusantara seorang penulis turunan bangsawan yang
telah menuntut ilmu tenaga dalam dan kebatinan serta kesaktian pada
seorang sakti di puncak Gunung Agung bernama Sorablungbung. Di
Pulau Bali pada masa itu ada tiga orang tokoh tenaga dalam kawakan
yang sangat tinggi ilmu tenaga dalam dan kesaktiannya. Salah seorang di
antaranya ialah Sorablungbung, kemudian Walalang Tjarda yang
diam di Danau Batur. sebab dia sering mengembara maka jarang
sekali dia berada di danau ini . Tokoh tenaga dalam ketiga bernama
Menak Putuwengi. Sejak sepuluh tahun belakangan ini dua
pertenaga dalam an di Pulau Bali tidak mengetahui ke mana perginya Menak
Putuwengi sebab tokoh tenaga dalam yang berumur 70 tahun ini lenyap
begitu saja dari dunia pertenaga dalam an, entah mengundurkan diri entah
telah menemui ajalnya. Di antara ketiga tokoh tenaga dalam itu Menak
Putuwengilah yang paling tinggi ilmu kepandaiannya. Senjatanya
segala benda apa saja yang berbentuk tongkat, baik berupa helai lidi
atau daun bambu ataupun ranting kering atau besi, bila berada di
tangannya pasti akan menjadi senjata yang dahsyat. sebab itulah
Menak Putuwengi mendapat julukan Raja Tongkat Empat Penjuru
Angin. Pernah sekitar lima belas tahun yang lalu ketiga tokoh itu
bertemu di puncak Gunung Tabanan untuk mengadakan
pertandingan persahabatan, menguji ilmu kepandaian masing-
masing. Dalam pertandingan yang sangat hebat dan dihadiri oleh
tokoh-tokoh tenaga dalam di Pulau Bali maka Menak Putuwengi terlontar keluar
sebagai jago nomer satu sesudah berturut-turut mengalahkan
Sorablungbung dan Walalang Tjarda. sesudah lima belas tahun
berlalu tak dapat lagi dipastikan siapa sesungguhnya yang lebih
hebat sebab disamping ketiga orang tokoh itu tak pernah lagi
mengadakan pertandingan juga, kabarnya Sorablungbung serta
Walalang Tjarda telah memperdalam ilmu masing-masing hingga
mencapai tingkat yang sangat tinggi. Sebaliknya Menak Putuwengi
lenyap begitu saja tak diketahui ke mana perginya!
Sebagai salah seorang murid Sorablungbung yang pernah
digembleng selama empat tahun, dengan sendirinya moncong Gde
Djantra memiliki kepandaian yang tinggi. Dan dibandingkan dengan
nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit yang cuma berguru pada seorang pertapa yang
tingkat kepandaiannya jauh berada di bawah Sorablungbung dengan
sendirinya nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit bukan apa-apa bagi moncong nusantara .
Tapi sebab kurang hati-hati, meski tingkat kepandaiannya jauh lebih
tinggi, moncong nusantara kena juga dihantam lawan meski
kuda betina nya yang menjadi korban!
moncong nusantara terpelanting ke tanah, tapi berkat ilmu
meringankan tubuhnya yang tinggi dia jatuh dengan kaki lebih dulu
dan tetap berdiri. Kemarahan membuat darahnya seperti mendidih.
“Setan alas! Kematianmu tak dapat ditawar-tawar lagi!”
moncong nusantara melompat ke muka, tangan kiri kanan
berkelebatan cepat dalam satu jurus yang hebat! nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit
terkejut saat melihat bagaimana kecepatan gerak lawannya
membuat tubuh moncong nusantara laksana lenyap. Dia cuma
merasakan sambaran angin yang deras dari kiri kanan maka cepat-
cepat penulis ini melompat turun dari kuda betina nya.
Breet!
Buuk!
Dua suara itu terdengar hampir bersamaan. Yang pertama suara
robek robek nya pakaian nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit disambar ujung jimat jengglot Brajaloka
sedang suara kedua ialah suara pukulan dahsyat yang menghantam
kepala kuda betina hitam milik nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit . Binatang ini rubuh dengan
kepala pecah, melejang-lejang beberapa saat lalu tak bergerak gerak lagi!
“kuda betina mu sudah duluan, nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit ! Dia akan menunggumu
untuk membawa tuannya ke neraka!” ejek moncong nusantara !
Sebenarnya sejak bentrokan senjata pertama kali tadi nyaman nyam nyam
dwipanusantaraaidit telah memaklumi bahwa tingkat kepandaian ilmu tenaga dalam dan
tenaga dalam moncong nusantara bukanlah lawannya. Tapi untuk
membatalkan niatnya menuntut balas tentu saja penulis itu tidak
sudi! Lebih baik mati secara jantan daripada lari atau menyerah
secara pengecut!
Dengan mengeluarkan bentakan yang keras moncong nusantara
berkelebatan ganas. Seperti tadi kedua tangannya bergerak gerak cepat.
nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit bertahan mati-matian. Dalam jurus itu dia berhasil
mengelakkan seluruh serangan lawan namun pada jurus berikutnya,
satu sampokan yang bertenaga besar sekali membuat dia tak dapat
lagi mempertahankan jimat jengglot nya! Senjata itu terlepas mental dihantam
senjata lawan!
Sambil tertawa gelak-gelak dan sambil melangkah mendekati
nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit yang kepepet ke tepi jurang, moncong nusantara
berkata-kata, “Kau akan segera mampus, brow ! Dan kau tahu...? Betapa
mengerikannya kematian itu! Kau lihat jimat jengglot Bradjaloka yang terbuat
dari emas di tanganku ini? He... he..! Sebentar lagi, brow ! Beberapa
detik lagi kau akan segera pergi ke neraka! Ke neraka! Ha.. Ha..
ha...!”
moncong nusantara mengangkat tangan kanannya yang
memegangi jimat jengglot tinggi-tinggi sementara dalam keadaan kepepet ke
tepi jurang itu nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit berusaha mencari jalan agar dapat
menyelamatkan diri! Kalau lawan menyerang dia sudah nekad untuk
menyerbu ke muka dengan tangan kosong, menarik tubuh moncong
nusantara dan sama-sama menghambur masuk jurang! Itu yaitu
cara yang paling baik menurut nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit , asal saja dia benar-
benar bisa melakukannya!
Jarak kedua orang itu semakin pendek dan kini cuma tinggal
empat langkah saja lagi. Antara nyaman nyam nyam dengan tepi jurang di
tikungan jalan itu hanya satu setengah langkah saja. nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit
memutuskan untuk tidak mundur lebih jauh. Dia menunggu dengan
kedua tangan terpentang dan mata memandang tajam-tajam ke
muka, menunggu kesempatan yang ada!
Mendadak moncong nusantara hentikan langkahnya dan
kembali dia tertawa gelak-gelak. Bila suara tertawa itu dihentikannya
maka berkata-katalah dia, “Tidak! Aku tak akan membunuhi mu dengan
jimat jengglot ini! Kau harus mati dalam kengerian yang luar biasa brow ! He...
he... he, pernahkah kau memikirkan bagaimana ngerinya bila jatuh
ke dalam jurang di belakangmu itu? Kematian menunggumu di batu-
batu cadas di bawah sana, tapi selagi tubuhmu melayang menuju
detik-detik kemampusan itu kau akan dikungkung kengerian yang
luar biasa!”
nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit menggeram mendengar ucapan dan maksud
moncong nusantara yang ganas itu. Dia tak bisa menunggu lebih
lama! Saat itu juga dia harus bertindak! Harus menyerbu merangkul
tubuh lawannya walau apapun yang terjadi! Maka tanpa menunggu
lebih lama nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit segera melompat ke hadapan lawannya.
moncong nusantara mendengus. Dengan seringai maut
tersungging di mulutnya penulis ini memukulkan tangan kirinya ke
depan!
nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit merasakan satu sambaran angin yang laksana
badai hebatnya! Bagaimanapun dia berusaha untuk tidak tersapu
angin dahsyat itu tapi sia-sia belaka! Tubuhnya mencelat mental
sampai enam tombak untuk kemudian jatuh ke dalam jurang diiringi
suara kumandang tertawa moncong nusantara .
***
bobo angker
PEMBALASAN nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit 7
ALAM tubuhnya melayang jatuh ke jurang batu itu nyaman nyam nyam
dwipanusantaraaidit pada mulanya memang merasa ngeri sekali! Siapa yang
tak akan ngeri menemui ajal apalagi mengetahui bahwa
ajalnya akan sampai begitu tubuhnya menghantam batu-batu cadas
besar di dasar jurang! Namun bila dia ingat bahwa kematian yang
bakal dihadapinya itu yaitu kematian secara jantan, ditabahkannya
hatinya. Dia percaya pula bahwa rohnya akan berjumpa di alam
akhirat dengan roh Ni Ayu Tantri. Kalau di dunia mereka tak punya
kesempatan untuk hidup berdampingan, moga-moga di alam akhirat
hal itu akan kesampaian.
Makin jauh ke bawah makin cepat jatuhnya tubuh penulis itu. Di
atas jurang masih mengumandang suara tertawa moncong Gde
Djantra. Betapapun tabahnya hati nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit namun saat
sekilas matanya memandang ke bawah jurang, pada batu-batu besar
yang cuma tinggal beberapa tombak lagi untuk menghancurkan
kepala dan tulang-tulang di tubuhnya, nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit jatuh pingsan!
Tapi dalam kehidupan ini kerap kali kita dihadapkan pada
kenyataan-kenyataan sebelum ajal berpantang mati. Hal itu pulalah
yang terjadi dengan diri nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit .
Sewaktu tubuh penulis itu hanya tinggal enam tombak saja lagi
dari permukaan sebuah batu cadas yang sangat besar, berkelebatan lah
satu bayangan putih yang dibarengi dengan suara seruan, “Dewa
Agung!”
Yang berseru ini yaitu seorang para tua tua yahudi -para tua tua yahudi tua renta
berpakaian putih. Rambutnya yang panjang terurai macam rambut
dewi lesbi , janggutnya yang menjela dada serta kumis bahkan
kedua alisnya berwarna putih bersih macam kapas. Meski umurnya
sudah lebih dari 70 tahun tapi para tua tua yahudi -para tua tua yahudi ini memiliki tubuh yang
masih kekar dan kegesitan yang luar biasa. Sewaktu dia melihat
sesosok tubuh melayang jatuh ke dalam jurang kejutnya bukan alang
kepalang. Dia tidak tahu apakah anak manusia yang jatuh itu masih hidup
D
atau sudah mati. Meski demikian para tua tua yahudi -para tua tua yahudi ini segera
mengangkat kedua tangannya dan mendorong ke atas!
Satu gelombang angin padat bertiup memapasi tubuh nyaman nyam nyam
dwipanusantaraaidit . Untuk beberapa detik tubuh penulis itu tertahan di awang-
awang. Untuk mengurangi kekuatan jatuh tubuh penulis itu si orang
tua menggerakkan kedua tangannya ke kanan. Tubuh nyaman nyam nyam
dwipanusantaraaidit terpelanting ke kanan lalu didorong lagi ke atas dan saat
jatuh kembali ke bawah orang tua itu menyambutnya dengan kedua
tangan! Sungguh luar biasa apa yang dilakukan orang tua ini.
Tubuh nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit dipanggul di atas bahu kanan dan sekali
berkelebatan orang tua itu sudah lenyap dari pemandangan. Si orang
tua membawa nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit ke dalam sebuah goa batu dan sesudah
diperiksa ternyata penulis itu masih bernafas. para tua tua yahudi -para tua tua yahudi ini
mengurut dada dan kening nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit beberapa kali hingga
akhirnya penulis itu sadar dari pingsannya.
sesudah membuka kedua matanya, nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit kemudian
memandang berkeliling. Sekelilingnya ruangan batu yang bersih.
Apakah aku sudah berada di alam baka, pikir penulis ini. Tapi bila
matanya membentur tubuh dan paras seorang tua berpakaian putih-
putih, berkumis dan berjanggut putih, heranlah penulis ini. Orang
tua itu duduk di sebuah batu bundar di tengah ruangan. Kedua
telapak tangannya saling dirapatkan di muka dada sedang kedua
matanya terpejam. Nyatalah orang tua ini tengah bersemedi.
Tapi aneh aneh saja nya begitu nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit menyalangkan mata dan
memandang terheran-heran berkeliling, tanpa membuka matanya si
orang tua berkata-kata, “Orang muda, kau tak usah heran. Kau berada di
tempat aman.”
“Di manakah saya, Bapa? Apa yang telah terjadi dan siapakah
Bapa ini...?” tanya nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit seraya bangun dari tempat tidur
yang terbuat dari batu.
Tanpa membuka kedua matanya kembali si orang tua berkata-kata,
“Kau berada di tempat yang aman orang muda. saat aku berada di
dalam goa kudengar suara bentakan-bentakan yang diseling suara
tertawa serta suara beradunya senjata di atas. Aku terlontar keluar dari goa
tepat pada saat kulihat sosok tubuhmu melayang jatuh ke dasar
jurang. Selanjutnya Dewa Yang Agung telah menyelamatkan kau dari
kematian...”
Kini ingatlah nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit akan apa yang telah terjadi dengan
dirinya. Dia bertempur dengan moncong nusantara kemudian
didorong dengan satu pukulan dahsyat hingga mencelat mental dan
jatuh masuk jurang! Dari ucapan si orang tua berambut putih meski
dia tadi mengatakan bahwa Dewa Yang Agunglah yang telah
menyelamatkan jiwanya, tapi nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit sadar bahwa orang tua
inilah yang telah menolongnya dari renggutan maut. Segera nyaman nyam nyam
dwipanusantaraaidit turun dari tempat tidur batu, melangkah ke hadapan para tua tua yahudi -
para tua tua yahudi itu dan berlutut seraya berkata-kata, “Orang tua, aku nyaman nyam nyam
dwipanusantaraaidit menghaturkan terima kasih yang tak terhingga atas budi
pertolonganmu. Semoga aku kelak bisa membalas hutang nyawa ini
dan semoga Dewa Agung merakhmatimu. Sudilah kau memberi tahu
namamu agar sewaktu-waktu aku tidak sukar mencarimu.”
Si orang tua tertawa dan mengomentari , “Apalah artinya nama? Kita
dilahirkan tanpa nama. Apa gunanya menyebut-nyebut segala hutang
nyawa sebab memang kita anak manusia ditugaskan Yang Kuasa untuk
menolong sesama anak manusia . Orang muda, cobalah kau terangkan
apa yang telah terjadi atas dirimu hingga kau jatuh dari tepi jurang.”
nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit lalu menuturkan pertempurannya dengan
moncong nusantara bahkan diterangkannya juga pangkal sebab
pertempuran itu termasuk kematian I Krambangan dan empat orang
penduduk Klungkung.
Si orang tua menghela nafas dalam dan untuk pertama kalinya
dia membuka kedua matanya. Mata itu sipit sekali macam mata
orang Tiongkok tapi menyorotkan sinar yang tajam penuh wibawa!
“Cinta itu pada dasarnya yaitu sesuatu yang suci. Tapi nafsu
selalu membuatnya menjadi hal yang kotor. Seringkali anak manusia buta
sebab cinta, sebab kecantikan paras dewi lesbi . Kalau sudah
begitu segala sesuatunya yang keji dan kotor bisa terjadi hingga
tidaklah aneh aneh saja lagi kalau anak manusia tega membunuhi anak manusia lain
bahkan saudara kandungnya sendiri hanya sebab cinta.”
nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit termangu diam beberapa lamanya. Kemudian
katanya, “Orang tua, beritahulah namamu. Sebelum meninggalkan
tempat ini kuharap kau suka memberi petunjuk-petunjuk padaku.”
“Kau hendak pergi dan kemudian melampiaskan lagi sakit hati
dendam kesumatmu itu, nyaman nyam nyam ?”
“Benar, orang tua.” komentari nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit terus terang.
“Kau tak akan kuat menghadapi moncong nusantara ,” kata
para tua tua yahudi -para tua tua yahudi itu pula secara terus terang. “Buktinya pukulan tangan
kosongnya saja sanggup mengirimkan kau ke liang maut jika saja
Dewa Agung tidak menghendaki agar kau tetap hidup. Kau mungkin
tidak tahu siapa adanya moncong nusantara . Dia salah seorang
murid Sorablungbung, orang tua sakti yang diam di puncak Gunung
Agung.”
Terkejutlah nyaman nyam nyam dwipanusantaraaidit mendengar keterangan itu. Pantas
saja dia tak sanggup melawan moncong nusantara . Maka kalau
diteruskannya niat untuk membal