Selasa, 11 Februari 2025

bobo dikuburan 5

 ,


buk. Tahu-tahu jotosannya melanda dada I Krambangan. 

Orang tua itu mengeluh tinggi. Tubuhnya terhempas ke dinding. 

Nafasnya sesak dan dadanya sakit bukan main. Tapi sebab  dia 

tersandar ke dinding dengan sendirinya dia mempunyai kesempatan 

baik untuk menyambar parang. Cuma dia masih kurang cepat. 

Sebelum tangannya berhasil menyentuh benda itu dari kiri kanan 

dua pasang tangan yang kuat-kuat telah mencekal kedua lengannya. 

Dia coba berontak tapi tak berhasil. Sesaat kemudian satu pukulan 

yang amat keras mendarat di keningnya. I Krambangan coba 

mempertahankan diri berusaha agar tidak jatuh pingsan. Tapi 

pukulan itu terlalu keras. Lututnya tertekuk dan sewaktu dua orang 

yang mencekalnya melepaskannya, laki-laki ini terhempas ke lantai 

tanpa sadarkan diri! 

Di kamar sebelah, mendengar suara ribut-ribut itu, dua orang 

terbangun dari tidur masing-masing. Mereka yaitu  Ni Ayu Tantri dan 

ibunya. Biasanya Tantri tidur sendirian di kamar depan tapi sebab  

malam itu ibunya diserang demam panas, si gadis lesbi asli   sengaja tidur 

bersama sekalian untuk menjaga dewi lesbi  itu. 

“Ada apa, Nak...?” bisik Ni Warda, ibunya Tantri. 

“Seperti suara orang berkelahi, Bu,” komentari Tantri. “Kudengar 

keluhan Ayah... Biar aku lihat terlontar keluar .” 

Ni Warda menarik pakaian anaknya dan berkata-kata gemetar, 

“Jangan, Tantri. Pasti itu orang-orang jahat. Kalau kau terlontar keluar ...” 

“Tapi Ayah, Bu.” ujar Ni Ayu Tantri dengan hati cemas. 

Dan baru saja gadis lesbi asli   ini berkata-kata demikian pintu kamar itu 

terpentang lebar oleh satu tendangan keras! Ni Warda dan Ni Ayu 

Tantri menjerit sewaktu melihat tiga orang laki-laki bertutupkan kain 

hitam paras masing-masing, menyerbu ke dalam kamar itu! 

***

Baru saja matahari pagi tersembul di ufuk timur, seluruh 

Klungkung sudah heboh oleh berita yang disampaikan dari mulut ke 

mulut yaitu bahwa Ni Ayu Tantri, gadis lesbi asli   cantik yang belum lama ini 

pindah bersama ayah dan ibunya telah lenyap diculik orang malam 

tadi! I Krambangan dan beberapa orang penduduk semalam-

malaman itu telah berusaha mencari jejak si penculik, namun sia-sia 

belaka. Rata-rata penduduk menduga bahwa yang menculik Ni Ayu 

Tantri itu yaitu  gerombolan pasukan jahat  yang bersarang di puncak gunung  Jaratan 

sebab  pasukan jahat -pasukan jahat  itu memang selalu mengenakan kain hitam 

penutup muka bila menjalankan kejahatannya. 

Tapi I Krambangan sendiri mempunyai dugaan lain. Bersama dua 

orang tetangga, dengan menunggangi kuda betina , pagi itu dia berangkat 

menuju Denpasar. Tak sukar baginya mencari kuburan  kediaman 

moncong  Gde Anyer. 

Akan moncong  Gde Anyer saat  melihat kedatangan I 

Krambangan berubahlah parasnya. Tapi sesaat kemudian 

bangsawan ini tertawa lebar dan berkata-kata, “Sungguh tak disangka-

sangka kedatanganmu ini, I Krambangan. Mari silahkan masuk.” 

“Cukup kita bicara di sini saja, moncong  Gde Anyer...” 

“Eh, kenapa begitu? Tak pantas sekali seorang yang bakal jadi 

besanku hanya berdiri...” 

“Jangan bicara segala macam soal besan, moncong  Gde Anyer!” 

potong I Krambangan pula dengan suara keras. “Panggil anakmu! 

Aku ingin bicara dengan dia!” 

moncong  Gde Anyer memandang tajam-tajam pada tamunya. 

“brow  lama, agaknya satu kemarahan menyelimuti dirimu. Bicaralah 

dengan tenang tak perlu kesusu. Katakan maksud kedatanganmu 

dan maksudmu hendak bertemu serta bicara dengan anakku. Dalam 

pada itu kuharap kau suka masuk agar kita bisa bicara baik-baik.” 

Seseorang terlontar keluar  dari dalam kuburan . Parasnya kusut mungkin 

kurang tidur. Orang ini bukan lain Made Trisna. Dia tak dapat 

menyembunyikan rasa terkejutnya sewaktu melihat I Krambangan. 

Namun seperti moncong  Gde Anyer tadi, diapun lantas tertawa dan 

menegur laki-laki itu. I Krambangan tidak perdulikan orang ini 

melainkan memandang menyorot pada moncong  Gde Anyer. 

“Agaknya ada sesuatu yang tidak beres, I Krambangan?!” tanya 

tuan gudang raksasa . 

“Ya, memang ada sesuatu yang tidak beres! Dan berat dugaanku 

anakmulah yang menjadi biang ketidakberesan ini!” 

“I Krambangan, tuduhanmu agaknya sangat tidak beralasan! 

Katakan apa yang telah terjadi sampai kau bicara begini rupa!” 

“Kurasa kau dan juga Made Trisna sudah tahu apa yang terjadi! 

Aku bisa mengetahui pada pertama kali aku melihat air muka kalian! 

Tapi tak apa saat ini kalian berkura-kura dalam perahu! Suatu saat  

aku akan tahu kedustaan kalian! Dengar, sesudah pinanganmu 

kutolak secara baik-baik kemarin, malam tadi tiga orang telah 

memasuki gudang raksasa ku dan menculik Ni Ayu Trisna!” 

“Oh! Lalu saat ini hendak kau tuduhkan bahwa anakkulah yang 

telah menculik anak gadis lesbi asli  mu? Sungguh tuduhan yang sangat rendah 

dan tanpa bukti sama sekali!” 

“Memang tuduhanku tidak ada bukti. Tapi aku yakin bahwa 

anakmulah yang melakukannya! Sekarang katakan di mana anakmu 

itu?”

“Dia tak ada di sini, I Krambangan.” 

“Itu satu bukti bahwa memang anakmu ada sangkut paut dengan 

diculiknya Ni Ayu Trisna!” 

“Jangan menuduh sembarangan!” tukas moncong  Gde Anyer 

dengan marah. “Sekalipun lamaranku ditolak, apa perlunya anakku 

menculik anakmu? Sepuluh gadis lesbi asli  -gadis lesbi asli   yang lebih cantik dari 

anakmu bisa didapat oleh moncong  nusantara !” 

I Krambangan menyeringai. “Katakan saja di mana anakmu 

berada!”

“Sejak siang kemarin dia meninggalkan gudang raksasa ! Ke mana perginya 

aku tidak tahu. Kalau kau tidak percaya silahkan tanya pada Made 

Trisna.”

“Dengar moncong  Gde Anyer,” kata I Krambangan dengan 

memandang tajam-tajam. “jika aku mendapat bukti-bukti dan 

kenyataan bahwa anakmulah yang telah menculik anakku dan terjadi 

apa-apa dengan diri Ni Ayu Tantri, aku akan bunuh dia! Siapa saja 

yang berani menghalangi perbuatanku akan kusingkirkan dari muka 

bumi ini! Termasuk kau dan Made Trisna!” Habis berkata-kata begitu I 

Krambangan dan dua orang kawannya memutar tubuh dan segera 

meninggalkan kuburan  itu. 

***

bobo  angker  

PEMBALASAN nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  4

ALAM hujan lebat di malam buta itu empat orang penunggang 

kuda betina  meninggalkan gudang raksasa  I Krambangan dengan cepat. 

Dalam waktu yang singkat keempatnya telah meninggalkan 

Kota Klungkung. Di satu persimpangan jalan keempatnya berhenti. 

Laki-laki bertopeng kain hitam yang membawa sesosok tubuh 

dewi lesbi  di pangkuannya berkata-kata pada tiga orang lainnya, “Kita 

berpisah di sini.” 

“Baik, moncong  nusantara . Hati-hatilah!” sahut salah seorang 

dari mereka. 

Bersama dua orang kawannya laki-laki ini segera meninggalkan 

persimpangan itu sedang yang seorang tadi menyentakkan tali 

kekang kuda betina nya dan menempuh jalan sebelah kanan. Dua jam 

lamanya laki-laki ini memacu kuda betina nya tanpa henti. Sewaktu fajar 

menyingsing dia sampai di sebuah lereng puncak gunung  dan memperlambat 

lari kuda betina nya. Sambil menunggangi kuda betina  tak henti-hentinya dia 

menundukkan kepala memandang paras jelita dari gadis lesbi asli   yang 

berada dalam keadaan pingsan di pangkuannya. Di puncak puncak gunung  

laki-laki ini berhenti untuk melepaskan lelah sementara kuda betina  

tunggangannya menjilati air embun dan memakan rumput-rumput 

liar yang tumbuh di sekitar sana. Tak lama kemudian orang itu 

meneruskan perjalanannya kembali. 

Di tepi sebuah telaga berair bening yang terletak dua puluh kilo 

dari Klungkung dan lima belas kilo dari Denpasar ada lah sebuah 

pondok. Pondok ini buruk dan tak terurus. Tapi sebab  lantai, dinding 

dan atap dibuat dari kayu jati, meski tak terurus, keadaannya masih 

cukup baik untuk ditempati. 

moncong  nusantara  menghentikan kuda betina nya di tepi telaga lalu 

membawa dewi lesbi  yang diculiknya ke dalam pondok, 

membaringkannya di atas sebuah tumpukan jerami kering yang 

dibuat demikian rupa hingga merupakan tempat tidur yang cukup 

nyaman. Dibukanya kain hitam yang menutupi parasnya. sesudah  

D

memandangi anu  gadis lesbi asli   itu beberapa lamanya dengan seringai di 

bibir, moncong  nusantara  terlontar keluar  dari pondok dan membersihkan 

diri dalam telaga. Tubuhnya terasa segar bila dia terlontar keluar  dari telaga. 

saat  dia masuk ke dalam pondok didapatinya gadis lesbi asli   itu telah 

siuman dan duduk di tepi tempat tidur jerami tengah memandang 

berkeliling dengan perasaan takut bercampur heran. 

“Kau sudah siuman, Tantri...?” 

Ni Ayu Tantri terkejut oleh suara teguran itu dan memandang ke 

arah pintu dengan cepat. Dia tak kenal dengan penulis  berparas 

pucat yang berdiri di ambang pintu itu. Tapi bila dia ingat pada 

peristiwa malam tadi yakinlah dia bahwa anak manusia  ini pastilah salah 

seorang dari orang-orang jahat yang menculiknya! Cepat-cepat gadis lesbi asli   

ini berdiri. 

“Kelihatannya kau takut sekali padaku, Tantri,” berkata-kata moncong  

nusantara . 

Yang mengherankan Ni Ayu Tantri ialah sebab  penulis  ini 

mengenal namanya. Melihat kepada pakaiannya yang bagus 

kemungkinan dia seorang penulis  bangsawan! Tapi siapa dia dan 

mengapa telah melakukan penculikan benar-benar tak bisa 

dimengerti oleh Ni Ayu Tantri sementara rasa takutnya semakin 

bertambah besar detik demi detik. 

“Siapa kau? Mengapa menculik dan membawa aku kemari?!” 

tanya Ni Ayu Tantri. 

moncong  nusantara  tersenyum. Meski suara itu bernada keras 

namun sedap sekali terdengar di liang telinganya. 

“Kau tak usah takut, Tantri,” berkata-kata si penulis , “kau memang 

tak kenal aku tapi aku kenal padamu. Kurasa namaku telah pernah 

kau dengar dalam beberapa hari belakangan ini.” 

“Aku tak perduli siapa kau. Yang penting aku harus meninggalkan 

tempat ini dan kembali ke Klungkung dengan cepat!” 

“Kau tak akan kembali ke Klungkung, Tantri,” kata moncong  Gde 

Djantra.

Ni Ayu Tantri terkejut. Rasa takut semakin mencekam dirinya. 

“Apa... Aku tak akan kembali ke Klungkung?!” tanyanya. 

moncong  nusantara  tersenyum lalu menganggukkan kepalanya 

perlahan-lahan. “Kau akan kembali ke Denpasar. Ke gudang raksasa ku. Dan 

kita akan tinggal bersama-sama di sana sebagai suami istri yang 

berbahagia!”

Pucatlah paras Ni Ayu Tantri. Kini tahulah gadis lesbi asli   ini dengan siapa 

dia berhadapan. Tidak bisa tidak pastilah penulis  bermuka pucat ini 

moncong  nusantara , anak bangsawan yang telah ditolak 

lamarannya satu hari yang lewat! Dan saat  Tantri menyadari apa 

maksud penculikan yang dilakukan moncong  nusantara  sesudah 

lamarannya ditolak itu, merindinglah bulu kuduk Ni Ayu Tantri! gadis lesbi asli   

ini menjerit dan coba menerobos ke pintu. moncong  nusantara  

memegangi  lengan gadis lesbi asli   itu dan menariknya ke tengah pondok. 

“Tak ada yang harus kau takutkan, Tantri,” kata penulis  itu. 

“Seharusnya kau bergembira sebab  kita akan hidup bahagia.” 

“Lepaskan aku!” teriak Tantri seraya menyentakkan lengannya. 

Tapi cekalan moncong  nusantara  terlalu keras dan erat untuk bisa 

dilepaskannya.

“Duduklah dulu di tumpukan jerami itu, Tantri. Biar kita bisa 

bicara baik-baik...” 

“Aku tak ingin bicara dengan kau! Perbuatan ini keji sekali! 

Terkutuk!” teriak Tantri. 

moncong  nusantara  tertawa pelahan. “Perbuatanku ini keji dan 

terkutuk?” ujarnya. “Justru perbuatan penulis -penulis  Bali yang 

gagah dan berhati jantan! Justru hal ini dibenarkan oleh adat 

kebiasaan Pulau Dewata ini!” 

“Lepaskan aku anak manusia  keji! Lepaskan!” Sambil menjerit Tantri 

meninju dada penulis  itu berulang kali. 

moncong  nusantara  mendorong Tantri keras hingga terbaring di 

atas tempat tidur jerami lalu cepat-cepat dia menutup pintu dan 

memalangnya sekaligus! Perlahan-lahan dia melangkah mendekati 

Tantri yang menjerit-jerit dan ketakutan setengah mati. 

“Aku tak mengerti,” kata moncong  nusantara  seraya rangkapkan 

tangan di muka dada, “tak mengerti mengapa kau sampai menolak 

lamaranku...”

“anak manusia  keji, terlontar keluar kan aku dari sini!” 

“Kudengar kau sudah mempunyai seorang kekasih, betul?” 

“Itu bukan urusanmu! terlontar keluar kan aku dari sini. terlontar keluar kan!” 

“Tak ada gunanya berteriak terus-terusan. Suaramu yang bagus 

nanti bisa serak, Tantri.” 

Ni Ayu Tantri melompat ke pintu. Namun usahanya untuk 

melarikan diri sia-sia saja sebab  untuk kedua kalinya penulis  

bangsawan itu berhasil mencekal lengannya dan mendorongnya 

kembali hingga terbanting di atas tempat tidur jerami kering. 

“Nama penulis  kekasihmu itu nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit , bukan?” 

Tantri tak mengomentari  melainkan menangis sedih  dan berteriak-teriak. 

“Dengar Tantri,” berkata-kata lagi moncong  nusantara . “hidup 

begudang raksasa  tangga bersamaku pasti kau akan bahagia dan tidak tersia-

sia. Segala keperluan hidupmu kujamin penuh.” 

“Aku tak perlu semua itu! Tutup mulutmu anak manusia  keji! terlontar keluar kan 

aku dari sini!” 

“Kadang-kadang cinta itu memang membuat seorang menjadi 

buta dan tolol tak bisa lagi berpikiran sehat. Kau hendak sia-siakan 

hidup masa depanmu di tangan seorang penulis  desa yang tak 

punya apa-apa? Kau hendak sia-siakan kehidupanmu yang masih 

panjang ini hanya sebab  kasih sayang gilamu...?!” 

“Diam!” jerit Ni Ayu Tantri. “Kekasihku memang tak punya apa-

apa! Tapi itu yaitu  seribu kali lebih baik daripada kekejian yang kau 

lakukan ini! Menculik gadis lesbi asli   yang tidak sudi kawin dengan kau! Cis! 

Kau yaitu  penulis  bangsawan yang paling rendah di atas dunia 

ini!”

“Sesudah kau kubawa kemari, sesudah kulakukan apa-apa atas 

dirimu, apakah masih akan menolak nanti untuk kawin denganku?” 

tanya moncong  nusantara  pula dengan seringai mengejek. 

“Aku lebih baik bunuh diri daripada kawin dengan kau!” komentari Ni 

Ayu Tantri blak-blakan! 

“Tolol sekali mau mati muda begitu rupa,” ejek moncong  Gde 

Djantra lalu melangkah maju. 

“Pergi!” teriak Tantri! 

“Tantri, kau sudah dewasa. Kenapa bertingkah macam anak 

kecil? Dengar... aku tak akan melakukan apa-apa atas dirimu jika 

kau bersedia menerima lamaranku.” 

“Lebih baik aku kawin dengan setan daripada dengan anak manusia  

macammu!” komentari Tantri pula seraya mundur menjauhi penulis  itu. 

Ucapan yang dilontarkan Ni Ayu Tantri yaitu  hinaan luar biasa 

yang tak pernah diterima penulis  bangsawan itu selama hidupnya. 

Mukanya yang senantiasa pucat pasi mendadak sontak menjadi 

kelam kegelapan . Mulutnya terkatup rapat-rapat, rahangnya 

bergemeletukan. Tiba-tiba laksana seekor harimau yang nyiur melambai lambai ran 

penulis  ini melompat ke muka. Kedua tangannya bergerak gerak  cepat. Ni 

Ayu Tantri Menjerit. 

Breet! Breet...! 

Suara robek robek an pakaian terdengar beberapa kali berturut-turut. 

Pekik Tantri mengumandang melengking tinggi. Ke manapun gadis lesbi asli   

ini berusaha lari dia tak dapat menyelamatkan diri dari keganasan 

sepasang tangan moncong  nusantara  yang merobek robek -robek robek  

pakaiannya itu! Dalam waktu yang singkat boleh dikatakan gadis lesbi asli   itu 

sudah seperti tak berpakaian lagi. Auratnya yang kuning langsat 

penuh kemulusan tersingkap di mana-mana, membuat darah di 

tubuh moncong  nusantara  laksana mendidih! 

“Ini kemauanmu sendiri Tantri!” desisnya. “Aku telah memberi 

jalan baik-baik padamu!” 

“Bunuh aku! Bunuh saja!” teriak Tantri. Suaranya sudah serak 

akibat menangis sedih  dan menjerit terus-terusan. 

moncong  nusantara  menyeringai macam setan muka putih. 

Sekali tangan kanannya mendorong ke muka, Ni Ayu Tantri 

terpelanting dan jatuh di atas tempat tidur jerami! 

“Terlalu gila kalau aku mau membunuhi mu, Tantri!” kata penulis  

itu dengan mata yang bersinar-sinar penuh nafsu. 

Ni Ayu Tantri tahu apa yang bakal terjadi atas dirinya. Cepat-cepat 

dia melompat tapi kembali tangan penulis  itu membuatnya jatuh 

tertelentang di atas tumpukan jerami! 

“Jika kau sudah tidak perawan lagi, kau tak akan bisa menolak 

kawin denganku, Tantri.” Suara moncong  nusantara  lebih 

merupakan hembusan nafas panas penuh nafsu daripada ucapan 

sebenarnya yang sampai ke telinga Tantri. 

gadis lesbi asli   ini coba menghantamkan salah satu lututnya ke perut si 

penulis  tapi moncong  nusantara  telah menghimpitnya membuat 

gadis lesbi asli   itu tak punya daya apa-apa lagi selain daripada menjerit parau 

dan merapatkan kedua pahanya sedapat mungkin! Namun sampai di 

manakah kekuatan seorang dewi lesbi  menghadapi anak manusia  yang 

laksana sudah berubah menjadi binatang buas! 

Di luar pondok hujan rintik-rintik turun. Hembusan angin dingin 

dan sayu. Keadaan alam ciptaan Tuhan di sekitar pondok itu laksana 

meratap menangis sedih i apa yang telah terjadi di dalam pondok. 

Ni Ayu Tantri menggeletak di atas tumpukan jerami kering. 

Tubuhnya yang tak tertutup selembar benang itu tiada bergerak gerak -

gerak. Sejak kebuasan menimpa dirinya, gadis lesbi asli   ini telah jatuh 

pingsan. 

Di lantai pondok, di samping tumpukan jerami itu, terbaring 

moncong  nusantara  dengan tubuh mandi keringat, hidung 

kembang-kempis diburu nafas panas. Perlahan-lahan diputarnya 

kepalanya ke arah Ni Ayu Tantri. Betapa bagusnya tubuh itu. Betapa 

luar biasanya kenikmatan yang bisa didapatnya dari kebagusan 

tubuh itu. Dengan apa yang telah diperbuatnya terhadap Ni Ayu 

Tantri, bagi moncong  nusantara  jelas sudah bahwa baik Tantri 

sendiri maupun kedua orang tuanya tak bakal bisa lagi menolak 

lamarannya tempo hari. 

Memandangi tubuh itu, lama-lama menggejolak kembali 

rangsangan nafsu bejat di sekujur tubuh moncong  nusantara . 

saat  dia bangkit dengan pelahan dilihatnya tubuh itu bergerak gerak  

sedikit. Sewaktu dia berdiri, kedua mata Tantri membuka. Telah 

sadar dia rupanya dari pingsannya. Dia bangun dengan cepat, 

memandang pada tubuhnya sebentar lalu saat  sepasang matanya 

membentur moncong  nusantara , dari mulut Ni Ayu Tantri terlontar keluar lah 

pekik yang mengerikan! moncong  nusantara  sendiri sampai berdiri 

bulu kuduknya mendengar pekik itu. Sementara dia masih termangu-

mangu antara dipagut kengerian dan dirasuk oleh rangsangan yang 

mengobari sekujur tubuhnya, tiba-tiba Ni Ayu Tantri melompat ke 

arah dinding kayu jati. 

“Tantri! Jangan!” teriak moncong  nusantara  menggeledek. 

Dia melompat dengan sebat. Tapi kasip! Terlambat sudah! Kepala 

Ni Ayu Tantri telah membentur dinding kayu jati itu dengan amat 

kerasnya. Terdengar suara pecahnya batok kepala dewi lesbi  itu. 

Tubuhnya terkapar ke lantai tanpa berkutik lagi. Meski bunuh diri 

bukanlah satu perbuatan baik, namun Ni Ayu Tantri telah 

memperlihatkan bahwa baginya kehormatan dan kesucian diri 

yaitu  jauh lebih berharga daripada jiwanya! 

***

bobo  angker  

PEMBALASAN nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  5

I DAERAH sekitar Denpasar, Gianyar dan Klungkung tiga 

rombongan yang masing-masing terdiri dari sepuluh orang 

telah menjelajah melakukan pencarian terhadap Ni Ayu Tantri 

yang telah diculik itu. Rombongan pertama dipimpin oleh I 

Krambangan menyelidik daerah sekitar Denpasar. Rombongan 

kedua dipimpin oleh nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit , kekasih Ni Ayu Tantri, 

menjelajahi daerah Gianyar dan sekitarnya. Rombongan yang 

terakhir dipimpin oleh Kepala Keamanan Kota Klungkung yang 

bernama I Gusti Wardana. Telah hampir satu minggu ketiga 

rombongan itu melakukan penyelidikan namun sia-sia belaka. Pada 

hari ke delapan I Krambangan dengan putus asa meninggalkan 

daerah luar kota Denpasar, kembali menuju ke Klungkung. 

Dalam perjalanan pulang ini sengaja I Krambangan menempuh 

daerah sebelah timur laut, menyusur rimba belantara dan kaki-kaki 

puncak gunung . Udara panasnya bukan main sebab  matahari bersinar dengan 

terik. Sewaktu melewati sebuah kaki puncak gunung , I Krambangan melihat 

kuda betina  tunggangannya menggerak-gerakkan sepasang telinganya. 

Mulutnya yang berbusa senantiasa tak bisa diam sedang cuping 

hidungnya bergerak gerak -gerak. I Krambangan tahu betul jika binatang itu 

berada dalam keadaan seperti itu, ini merupakan suatu tanda bahwa 

dia tengah membaui air segar. 

Mulanya I Krambangan tak mau perduli dengan binatang itu. 

Lebih cepat kembali ke Klungkung yaitu  lebih baik baginya. Siapa 

tahu rombongan yang dipimpin oleh nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  atau I Gusti 

Wardana telah berhasil menemukan anak gadis lesbi asli  nya. 

“I Krambangan,” tiba-tiba seorang anggota rombongan yang 

berada di samping I Krambangan menegur, “Bagaimana kalau kita 

berhenti dulu untuk istirahat barang beberapa saat ? Kalau aku 

tidak salah, di sebelah sana ada  sebuah telaga berair jernih...” 

Atas ajakan ini akhirnya I Krambangan membawa rombongan ke 

arah telaga yang dikatakan anggota rombongan tadi. Semakin dekat 

D

ke arah telaga, sesuatu bau yang tidak enak semakin santar 

menyambar hidung setiap anggota rombongan. 

“Adakah kalian membaui sesuatu?” tanya I Krambangan. 

“Ya. Bau busuk apa ini?” komentari seorang di belakangnya sambil 

memandang berkeliling. 

Akhirnya rombongan itu sampai di tepi telaga. 

“Hai, lihat!” seru seorang di antara mereka. “Ada pondok di tepi 

telaga sana!” 

Memang benar, di seberang telaga kelihatan sebuah pondok 

kayu. Dan dari pondok inilah agaknya santar sekali menyambarnya 

bau busuk itu. I Krambangan mengernyitkan keningnya. Tiba-tiba 

selintas pikiran timbul tenggelam  di benak orang tua ini. Dadanya berdebar. 

Disentakkannya tali kekang kuda betina nya. I Krambangan memacu 

binatang itu memutari telaga hingga akhirnya sampai di depan 

pondok. Laki-laki ini melompat turun dari kuda betina nya dan lari ke pintu 

pondok. Pintu itu tidak dikunci. saat  didorong segera terpentang 

lebar dengan menimbulkan suara berkeret yang membuat suasana 

tambah ngeri terasanya oleh I Krambangan. Begitu pintu terbuka, 

bau busuk menerpa hidung menyesakkan pernafasan laki-laki itu. 

Sambil menutup hidung I Krambangan masuk ke dalam dan 

langkahnya terpaku ke lantai pondok sewaktu matanya membentur 

sesosok tubuh dewi lesbi  yang menggeletak di atas lantai. 

Hanya sesaat  I Krambangan terpaku ke lantai laksana patung. 

Bila ditelitinya paras yang rusak itu terpekiklah dia! 

“Dewa Agung!” 

I Krambangan melompat dan berlutut di samping sosok tubuh itu. 

Beberapa orang anggota rombongan kemudian memasuki pula 

pondok kecil itu dan semua mereka terkesiap ngeri melihat 

pemandangan di depan mata mereka! 

Sosok tubuh yang terhampar di lantai pondok bukan lain yaitu  

sosok tubuh Ni Ayu Tantri yang telah jadi mayat. Selain tak selembar 

benang pun yang menutupi auratnya, tubuh itu pun sangat rusak, 

sudah membusuk bahkan di beberapa bagian sudah ada yang 

dimakani ulat! Parasnya yang cantik jelita kini hanya merupakan satu 

benda yang mengerikan untuk dipandang. Keningnya pecah. Seluruh 

mukanya yang tertutup darah kental beku itu sebagiannya telah 

busuk. Mata kiri kanan tempat bersarangnya belatung-belatung yang 

berjalan kian kemari! 

“Dewa Agung,” rintih I Krambangan yang menundukkan kepala 

dan mencucurkan air mata sebab  tak sanggup menyaksikan 

keadaan anak gadis lesbi asli  nya, “dosa apakah yang aku buat, kesalahan 

apakah yang dilakukan anakku hingga mengalami nasib begini 

rupa..?”

Rintih atau jeritan hati itu tentu saja tidak mendapatkan asia kecil ban. 

Sebaliknya di lubuk hati I Krambangan seolah-olah muncul sebuah 

titik kegelapan  yang makin lama makin besar, makin besar, makin besar 

dan akhirnya berubah menjadi satu kobaran api yang membakar hati 

dan mendidihkan darah di sekujur tubuhnya! Kemarahan yang 

menyelimuti dirinya membuat tubuh laki-laki itu bergetar hebat! 

Rahang-rahangnya terkatup. Geraham-gerahamnya mengeluarkan 

suara bergemeletukan. Tiba-tiba berteriaklah I Krambangan laksana 

geledek dahsyatnya, membuat semua orang yang ada di situ menjadi 

kaget kelangit  sekali. 

“moncong  Gde Anyer! Ini semua gara-garamu! Ini pasti anakmu 

yang punya perbuatan! Demi Dewa Agung aku bersumpah untuk 

membunuhi  seluruh terlontar keluar gamu! Akan kuhirup darah anakmu yang 

jahanam itu!” 

Bersamaan dengan berakhirnya teriakan itu, di luar pondok udara 

tiba-tiba menjadi gelap. Langit mendung. Angin menderu keras. 

Guntur menggelegar, kilat menyambar dan hujan lebatpun turunlah! 

Keadaan seperti itu seolah-olah delapan penjuru jagat dan Dewa-

dewa di kahyangan telah mendengar teriak sumpah I Krambangan 

tadi!

***

Saat itu memang musim hujan. Dalam keadaan basah kuyup I 

Krambangan memasuki Denpasar. Di belakangnya kelihatan empat 

orang laki-laki memacu kuda betina  masing-masing. Sejak dari Klungkung 

keempat laki-laki itu telah coba menjernihkan hati serta pikiran I 

Krambangan yaitu agar laki-laki itu mencari penyelesaian menurut 

jalan wajar. Mereka telah menasihatkan agar perkara ini  

diserahkan saja pada Kepala Keamanan Kota Klungkung yaitu I 

Gusti Wardana yang sampai saat itu belum kembali dalam memimpin 

rombongan mencari Ni Ayu Tantri. Tapi dalam keadaan kalap, dalam 

keadaan darah mendidih amarah bergejolak mana mungkin untuk 

memberi nasihat pada I Krambangan yang sudah seperti anak manusia  

kemasukan setan itu! 

Sambil menyisipkan sebilah jimat jengglot  pusaka almarhum para tua tua yahudi nya, I 

Krambangan berkata-kata pada tetangga-tetangga yang ada di 

hadapannya, “Nyawa dan kehormatan anak gadis lesbi asli  ku harus dibayar 

oleh seluruh terlontar keluar ga moncong  Gde Anyer keparat itu! Aku belum 

puas kalau tidak dapat menghirup darah anaknya yang durjana! 

Kalian tak usah ikut campur! Ini yaitu  urusan pribadiku!” 

Semua orang segera maklum pasti akan terjadi peristiwa besar. 

Maka untuk berusaha agar jangan sampai terjadi hal-hal yang tak 

diinginkan itu, empat orang tetangga telah berangkat pula sengaja 

mengikuti I Krambangan ke Denpasar. 

Pintu gerbang besar gudang raksasa  kuburan  moncong  Gde Anyer terkunci. 

Tanpa turun dari kuda betina nya I Krambangan menggedor pintu itu. Tak 

berapa lama kemudian pintu besarpun terbuka. Seorang pelayan 

laki-laki memunculkan kepalanya. 

“astaga  yang bernama moncong  Gde Anyer dan anaknya yang 

bernama keparat moncong  nusantara  itu ada di dalam?!” bentak I 

Krambangan.

Bentakan itu mungkin tak membuat si pelayan kaget kelangit . Tapi 

ucapan I Krambanganlah yang menjadi terkejut. Pelayan ini ingat 

pada pesan majikannya, maka diapun berkata-kata, “Sayang sekali, 

majikanku dan terlontar keluar ganya pagi tadi telah berangkat ke Tabanan. 

Beliau berpesan kalau ada tamu agar kembali saja minggu depan.” 

“Hem... begitu pesannya?” ujar I Krambangan. 

Pelayan itu menganggukkan kepalanya. Justru saat itu I 

Krambangan menggerakkan kaki kanannya, menendang dengan 

sekuat tenaga ke arah kepala pelayan itu. Didahului oleh satu jeritan 

kesakitan yang luar biasa, si pelayan terpelanting dan roboh tak 

sadarkan diri lagi! Dengan kaki kirinya I Krambangan menendang 

pintu hingga pintu itu terpentang lebar. 

Di depan tangga langkan kuburan  kediaman moncong  Gde Anyer, 

laki-laki ini melompat turun. Empat orang laki-laki lainnya melakukan 

hal yang sama dan berdiri di belakang I Krambangan. sesudah  

memandang berkeliling dengan mata yang kegelapan  laksana dikobari 

nyala api, maka berteriaklah I Krambangan, “Anjing busuk yang 

bernama moncong  Gde Anyer, terlontar keluar lah untuk menerima mampus!” 

Tak ada asia kecil ban, I Krambangan berteriak lagi, lagi dan lagi 

sampai berulang-ulang! Sewaktu masih tetap tak ada asia kecil ban maka 

menggelegaklah kemarahan laki-laki ini. Kakinya bergerak gerak ! Pot 

bunga buatan Cina yang besar dan terletak di langkan itu pecah 

berantakan dengan mengeluarkan suara berisik. Apapun perabotan 

yang ada di ruangan muka itu hancur musnah dirusak I Krambangan, 

sementara empat orang kawannya tak bisa berbuat apa-apa, apalagi 

melarang. Mereka hanya memperhatikan saja dengan hati cemas. 

Satu-satunya benda yang masih utuh di ruang depan kuburan  

mewah itu ialah lampu minyak besar yang tergantung di langit-langit. 

I Krambangan mengambil sebuah kursi yang telah patah-patah dan 

melemparkan ke arah lampu! Tak ampun lampu itu pecah 

berantakan, minyaknya tumpah ke lantai! Dan pada saat itu pulalah 

pintu di sudut kanan terbuka. Seseorang memunculkan diri. 

Kemunculan orang ini disambut oleh dampratan I Krambangan, 

“Tikus kotor Made Trisna! Mana majikanmu si anjing moncong  Gde 

Anyer itu?!” 

Paras Made Trisna berubah. Matanya memandang tajam-tajam 

lalu katanya dengan suara lunak, “Sahabatku, I Krambangan.” 

“Tikus kotor! Berlalu dari hadapanku, lekas panggil kau punya 

majikan kalau tidak ingin mampus!” 

“Apa-apaan ini sebenarnya, I Krambangan? Tak ada pasal 

lantaran kenapa kau mengamuk di gudang raksasa  orang...?!” 

“Keparat laknat! Anakku diculik! Dirusak kehormatannya lalu 

dibunuh oleh anjing kurap bernama moncong  nusantara ! Dan kau 

masih bisa bilang tak ada pasal tak ada lantaran...!” 

“Krambangan, kau jangan menuduh yang bukan-bukan!” 

“anak manusia  bedebah! Kau cukup pantas untuk mampus lebih dulu!” 

teriak I Krambangan. Sambil melompat ke muka jimat jengglot  pusaka di 

pinggangnya dicabut. Sesaat kemudian secarik sinar putih menderu! 

Itulah satu tusukan cepat yang dilancarkan oleh I Krambangan 

dengan jimat jengglot  peraknya ke arah leher Made Trisna! 

Melihat orang benar-benar meminta nyawanya, Made Trisna 

cepat-cepat melompat. Serangannya yang mengenai tempat kosong 

membuat I Krambangan jadi tambah gelap. Cepat laksana kilat dia 

membalik. Sewaktu I Krambangan hendak melancarkan serangan 

maut untuk kedua kalinya, maka menggemalah satu teriakan 

lantang, “Tahan!” 

I Krambangan hentikan serangannya dan berpaling dengan cepat. 

“Anjing busuk! Akhirnya kau terlontar keluar  juga dari persembunyianmu!” 

seru I Krambangan. 

Paras moncong  Gde Anyer mengelam. “I Krambangan,” katanya 

menegur, “apa yang kau perbuat di sini benar-benar membuat aku 

terkejut!”

I Krambangan mendengus keras. 

“Apakah hati anjingmu juga terkejut sewaktu mengetahui anakmu 

telah menculik dan merusak kehormatan Tantri dan 

membunuhi nya?!”

“A... apa?!” seru moncong  Gde Anyer terkejut. Dan ini yaitu  satu 

kepura-puraan. Sesungguhnya dari Made Trisna dia telah tahu apa 

yang terjadi atas diri Tantri. 

“Anjing! Kau tak perlu berpura-pura! Kalau kau tidak takut atas 

tanggung komentari yang harus kau pikul perlu apa kau memberikan 

pesan dusta pada pelayanmu yang terkapar di luar sana?!” 

“Aku sedang tak enak badan. Sebab itu kuberikan pesan begitu 

rupa pada pe...” 

“Sudahlah! Di hadapanku kau tak perlu bicara berpanjang lebar! 

Bicaralah nanti di liang kubur!” 

Habis berkata-kata demikian I Krambangan melompat dan jimat jengglot  perak 

untuk ke sekian kalinya berkiblat mencari maut! 

“I Krambangan, lebih baik kita bicara dengan tenang dulu!” seru 

moncong  Gde Anyer. 

“Aku sudah bilang bicaralah nanti di liang kubur!” komentari I 

Krambangan dan serangannya makin ganas. 

Diserang bertubi-tubi begitu rupa moncong  Gde Anyer tak bisa 

berdiam diri saja. Bangsawan kaya-raya ini segera mencabut sebilah 

jimat jengglot  bereluk dua belas dari pinggangnya. Maka sesaat kemudian 

terjadilah pertempuran yang seru! Baik Made Trisna maupun 

keempat kawan I Krambangan tak bisa mencegah atau 

menghentikan pertempuran itu. Akhirnya mereka cuma 

memperhatikan jalannya pertempuran dengan hati penuh 

kekhawatiran. Pertempuran yang hebat itu sudah dapat dipastikan 

akan meminta salah satu korban jiwa! 

Bagaimanapun hebatnya serangan-serangan Krambangan pada 

jurus-jurus permulaan pertempuran itu, namun sudah dapat 

dipastikan bahwa moncong  Gde Anyer bukanlah tandingannya. 

Bangsawan ini sewaktu terjadi perebutan kekuasaan di Kerajaan Bali 

sekitar dua puluh tahun yang lalu yaitu  seorang perwira kerajaan 

yang memiliki kepandaian tinggi. Berkat bantuannya dan beberapa 

perwira lainlah kaum pemberontak berhasil ditumpas, tahta kerajaan 

berhasil diselamatkan. I Krambangan sendiri sewaktu pertumpahan 

darah itu terjadi hanya memegangi  jabatan sebagai Kepala Prajurit 

Kerajaan, hingga dengan sendirinya dari kedudukan atau pangkat itu 

sudah dapat ditaksir ketinggian tingkat ilmu tenaga dalam  masing-masing. 

Lima jurus berlalu. Serangan-serangan I Krambangan yang 

laksana hujan mencurah itu mulai ditahan dan dibendung oleh jimat jengglot  

bereluk dua belas di tangan moncong  Gde Anyer yang nyatanya 

bukanlah jimat jengglot  sembarangan pula! Dengan senjata itulah dulu 

kabarnya moncong  Gde Anyer menyelamatkan Kerajaan Bali! 

Pada jurus ke sembilan, dalam satu serangan yang sangat kalap 

dan membahayakan dirinya sendiri, I Krambangan berhasil melukai 

bahu kiri lawannya. moncong  Gde Anyer jadi naik pitam. Kalau tadi 

dia cuma bertahan dan menunggu kesempatan untuk merampas 

senjata lawan maka kini diapun tak mau main-main lagi. jimat jengglot  di 

tangannya diputar demikian rupa, gerakan-gerakannya berubah dan 

dalam satu jurus saja I Krambangan menjadi dibikin sibuk! 

Berada dalam keadaan terdesak bukan membuat I Krambangan 

menjadi cemas, sebaliknya makin naik darah. Dia sudah bertekad 

bulat untuk membunuhi  lawannya itu meskipun apapun yang terjadi. 

Maka diapun mengeluarkan segala kepandaian yang ada. 

Memasuki jurus ke dua puluh sembilan I Krambangan benar-

benar kalang kabut. Delapan kali saling benturan senjata dengan 

lawan telah membuat telapak tangannya pedas dan sakit. Melihat 

pada keadaannya dalam satu dua jurus di muka atau paling lama 

tiga jurus lagi, laki-laki ini akan menemui kekalahannya! 

“I Krambangan, kalau kau menyerah dengan baik-baik, aku 

bersedia untuk tidak memperpanjang urusan!” berseru moncong  Gde 

Anyer. 

“Seluruh terlontar keluar gamu mampus dulu di tanganku baru aku mau 

menyerah pada mayat-mayat busuk kalian!” komentari I Krambangan. 

moncong  Gde Anyer jadi penasaran sekali. Didahului oleh satu 

bentakan menggeledek dia membuka jurus ke tiga puluh dengan 

satu serangan yang hebat. Serangan ini dinamakan Lengan Dewa 

Merangkul Awan. Mula-mula jimat jengglot nya kelihatan menusuk tajam ke 

arah batok kepala lawan. saat  lawan menangkis, mendadak 

lengannya bergerak gerak  menghantam ke leher dalam kecepatan yang 

luar biasa dan sukar diduga. Mana diduga kalau serangan senjata 

yang dilancarkan oleh tangan kanan, bisa berubah dengan satu 

pukulan tangan kosong yang lihay! 

I Krambangan tahu bahwa dia tak punya daya untuk menangkis, 

tak punya kesempatan untuk mengelak. sebab nya dengan untung-

untungan laki-laki ini tusukkan jimat jengglot nya ke dada lawan. Tapi posisi 

moncong  Gde Anyer terlalu jauh untuk dicapai oleh tusukan itu! 

Bahkan baru saja tusukan meluncur setengah jalan, lengan kanan 

moncong  Gde Anyer membabat deras dan, krak! Patahlah batang 

leher I Krambangan! Sebelum tubuhnya mencium lantai langkan, 

nyawanya sudah lepas! 

Kalau tadi keempat orang kawan-kawan I Krambangan hanya 

berdiam diri menyaksikan pertempuran itu dengan khawatir, kini 

bagaimanapun juga rasa setia kawan membuat mereka menjadi 

marah sewaktu melihat I Krambangan menggeletak di lantai tanpa 

nyawa. Tanpa menunggu lebih lama keempatnya menghunus jimat jengglot  

dan menyerbu! 

Made Trisna tidak tinggal diam pula. Maka kini pecahlah 

pertempuran empat lawan dua yang teramat seru tapi yang juga 

berjalan dua belas jurus. Satu demi satu keempat orang itu roboh 

mandi darah dan mati! 

***

bobo  angker  

PEMBALASAN nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  6

ALAM melarikan kuda betina  hitamnya laksana diburu setan itu, 

masih terbayang di pelupuk matanya upacara pembakaran 

jenazah Ni Ayu Tantri. Lalu terbayang olehnya upacara 

pembakaran jenazah I Krambangan. Lalu terbayang pula bagaimana 

Ni Warda, istri I Krambangan dengan segala ketabahan dan 

keberanian yang luar biasa mencebur masuk ke dalam gejolak api di 

mana jenazah suaminya dibakar! 

Berhenti di puncak puncak gunung  itu diterlontar keluar kannya sebuah kotak kayu 

jati yang berukir-ukir dari balik pakaiannya. Sebelum abu 

pembakaran jenazah Tantri dibuang ke laut, penulis  ini telah 

memisahkan sebagian abu suci itu dan menyimpannya di dalam 

kotak yang indah itu. Diciumnya kotak itu dan dibisikkannya kata, 

“Tantri, aku bersumpah untuk membalas sakit hatimu dan 

terlontar keluar gamu! Bila anak manusia -anak manusia  keji itu berhasil kutumpas, 

akupun rela untuk menyusulmu!” 

Perlahan-lahan dimasukkannya kotak itu ke balik pakaiannya 

kembali. saat  tali kekang kuda betina  hitam hendak disentakkannya, 

matanya melihat seorang penunggang kuda betina  terlontar keluar  dari hutan, 

memasuki jalan kecil di kaki puncak gunung  lalu memacu kuda betina nya ke arah 

timur. Entah sebab  apa timbul tenggelam  kesyakwasangkaan di hati penulis  di 

atas puncak puncak gunung  terhadap penunggang kuda betina  di bawah sana. Dia 

memandang ke timur. Jika dia bergerak gerak  cepat, sekurang-kurangnya 

dia akan berhasil menyusul orang itu dan menunggunya di tikungan 

dekat jurang di sebelah timur sana! sesudah  mempertimbangkan 

sebentar niatnya itu akhirnya diletakkannya tali kekang dan larilah 

kuda betina nya menuju ke timur. 

Kira-kira setengah jam kemudian penulis  berkuda betina  hitam itu 

sudah berada di tikungan jalan. Tikungan itu selain patah tajam juga 

berbahaya sebab  di sebelah kirinya ada  jurang batu yang 

sangat dalam. Di balik sebuah tebing batu di tepi kanan jalan 

penulis  ini menunggu dengan sabar sampai penunggang kuda betina  yang 

D

tadi dilihatnya lalu. 

Kira-kira lewat sepeminum teh telinga penulis  ini mulai 

menangkap suara derap kaki-kaki kuda betina  di kejauhan. Makin lama 

suara itu makin jelas dan keras tanda kuda betina  dan penunggangnya 

sudah tambah dekat. saat  orang yang dihadangnya itu tinggal 

beberapa tombak saja, penulis  berkuda betina  hitam terlontar keluar  dari balik 

tebing batu. 

Orang yang dihadang, seorang penulis  berpakaian bagus, mula-

mula tidak menaruh curiga akan kemunculan seorang penunggang 

kuda betina  di hadapannya. Jalan yang ditempuhnya satu-satunya jalan 

yang menghubungkan Denpasar dengan daerah luar kota. Jadi 

yaitu  biasa saja kalau berpapasan dengan orang lain. Namun 

sewaktu melihat penulis  berkuda betina  hitam itu sengaja berhenti di 

tengah jalan maka syak wasangkalah hatinya. penulis  berpakaian 

bagus itu menghentikan kuda betina nya dalam jarak lima belas langkah. 

Keduanya saling pandang sejurus. penulis  yang berpakaian 

bagus akhirnya membuka mulut, “Saudara, harap kau suka memberi 

jalan.”

Orang yang diajak bicara masih memandang tajam-tajam. 

“Saudara! Apa kau tak dengar orang minta jalan!” ujar penulis  

berpakaian bagus, berbadan tinggi kurus dan beranu  pucat pasi. 

Suaranya mulai keras tanda gusar. 

“Jalan ini bukan milikku! Silahkan lewat!” kata penulis  berkuda betina  

hitam tapi dia sama sekali tidak menepikan kuda betina  tunggangannya! 

Melihat ini penulis  berpakaian bagus jadi penasaran dan 

membentak, “Siapa kau? Apa maksudmu menghadang perjalanan 

orang!”

Satu seringai tersungging di mulut penulis  berkuda betina  hitam. “Akui 

terus terang anak manusia  muka pucat! Kau tentu astaga nya yang 

bernama moncong  nusantara  dari Denpasar!” 

Ucapan ini membuat penulis  berpakaian bagus menjadi kaget kelangit . 

Nalurinya memperingatkan agar mulai detik itu dia harus berhati-hati 

sebab  memang dia yaitu  moncong  nusantara ! 

“Katakan dulu kau siapa, baru aku menerangkan tentang diriku!” 

Sebagai asia kecil ban penulis  berkuda betina  hitam mencabut sebilah jimat jengglot  

bereluk tujuh berwarna coklat tua. Sinar matahari yang terik 

membuat senjata ini berkilau memancarkan sinar kehitaman! 

“Silahkan cabut jimat jengglot  di pinggangmu! Aku yakin kau yaitu  

anak manusia  keji yang bernama moncong  nusantara . Aku nyaman nyam nyam  

dwipanusantaraaidit  kekasih Ni Ayu Tantri! Kau harus serahkan jiwamu saat ini 

juga sebagai pertanggungan komentari atas apa yang telah kau lakukan 

terhadap gadis lesbi asli  ku! Juga atas apa yang telah dialami oleh I 

Krambangan serta empat orang kawan-kawannya!” 

Kejut moncong  nusantara  bukan alang kepalang. Tapi dia tidak 

gentar. Dia tertawa gelak-gelak kemudian berkata-kata, “Jadi ini tampang 

anak manusia  yang mengaku kekasih Ni Ayu Tantri? Ha... ha... ha! 

Tampangmu boleh juga brow ! Tapi kalau kau punya rencana untuk 

membunuhi ku, kau harus berpikir tiga kali sebelum melakukannya! 

Apakah kau punya kepandaian yang bisa diandalkan? Hidungku 

membauimu masih bau pupuk! Sebaiknya pulang saja kembali ke 

desamu, cuci kaki dan tidur! Kalau tidak pasti terlambat, brow !” Dan 

moncong  nusantara  tertawa lagi terbahak-bahak! 

nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  kertakkan rahang-rahangnya dan majukan 

kuda betina nya beberapa langkah. 

“Tertawalah sepuasmu, anak manusia  keji. Kalau kau sudah mampus 

hanya setan iblislah yang akan tertawa menyambutmu di liang 

kubur!”

moncong  nusantara  mendengus lalu berkata-kata, “Aku yakin tentu 

kau berpikir bahwa akulah yang telah menculik dan membunuhi  

kekasihmu itu! Semua orang berpikir begitu! Alangkah tololnya! 

Sungguh kurang ajar sekali menuduh orang lain berbuat jahat tanpa 

punya bukti-bukti kuat dan nyata!” 

“penulis  keji! Lamaranmu ditolak! yaitu  cukup alasan bagimu 

untuk menculik Ni Ayu Tantri!” 

moncong  nusantara  kembali mendengus dan mengomentari , “Kau 

kira cuma gadis lesbi asli   itu saja yang ada di Pulau Bali ini? Sepuluh gadis lesbi asli  -

gadis lesbi asli   lebih cantik bisa kuambil sekaligus untuk jadi istriku, perlu apa 

aku sampai menculik dewi lesbi  tak berguna dan hina dina itu!” 

“Jadi kau tidak mau mengaku bahwa kau anak manusia  biang racun 

yang telah melakukan kejahatan kotor terkutuk itu!” 

“Aku katakan padamu, brow ! Jangan menuduh sembarangan!” 

bentak moncong  nusantara . 

nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  menggerakkan tangan kirinya ke saku pakaian. 

saat  tangan itu terlontar keluar  lagi kelihatan memegangi  sebuah benda 

bundar yang ternyata yaitu  sebuah kancing baju yang terbuat dari 

perak.

“anak manusia  laknat pengecut! Kancing baju ini ditemukan di pondok 

di tepi telaga. Kancing ini sama bentuknya dengan kancing pakaian 

yang kau kenakan saat ini! Apakah mulut busukmu masih mau 

mungkir!”

moncong  nusantara  terdiam. Kancing perak itu memang kancing 

pakaiannya yang telah direnggut putus oleh Ni Ayu Tantri sewaktu dia 

hendak merusak kehormatan gadis lesbi asli   itu! 

“Kau terdiam dan tampangmu tambah pucat! Sekarang 

bersiaplah untuk mampus!” teriak nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit . Tali kekang 

disentakkannya. kuda betina  melompat ke muka dan jimat jengglot  berluk tujuh di 

tangan kanannya berkelebatan  dengan ganas, mengirimkan satu 

tusukan ke arah dada kanan moncong  nusantara ! 

Trang!

Terdengar suara beradunya senjata sewaktu moncong  Gde 

Djantra menangkis serangan lawan dengan jimat jengglot  Bradjaloka bereluk 

tujuh belas. Bunga api memercik. Di atas punggung kuda betina nya nyaman nyam nyam  

dwipanusantaraaidit  terkejut bukan main! Daya tangkis lawan kuat luar biasa 

hingga bukan saja tangan kanannya tergetar hebat tapi tubuhnya 

pun terhuyung-huyung. Kalau saja tangan kirinya tidak berpegang 

pada tali kekang kuda betina  mungkin sekali dia terpelanting jatuh! Dan 

yang lebih mengejutkan serta membuat penulis  ini mengeluh dalam 

hati ialah sewaktu melihat bagaimana bagian yang tajam dari 

jimat jengglot nya yang cuma bereluk tujuh telah gompal dihantam jimat jengglot  lawan 

dalam bentrokan senjata tadi! 

Mengetahui sampai di mana tingkat kepandaian lawan maka 

tertawalah moncong  nusantara  bekakakan seraya melontarkan 

ejekan, “anak manusia  yang ilmunya cuma sedangkal comberan hendak 

jual lagak besar di hadapanku!” 

“Iblis bermuka anak manusia  pucat,” komentari nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit , “percuma 

aku menghadangmu kalau tidak dapat mencincang seluruh 

tubuhmu!”

moncong  nusantara  ganda tertawa. Dia hendak menangkis lagi 

sewaktu nyaman nyam nyam  untuk kedua kalinya melancarkan serangan dari 

depan. Tapi kali ini dia tertipu. Serangan lawannya hanya pancingan 

belaka. Begitu moncong  nusantara  menggerakkan tangan untuk 

menangkis, jimat jengglot  di tangan nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  berkelebatan  turun dan 

membabat ke arah perut! 

“Keparat!” maki moncong  nusantara . 

Disentakkannya tali kekang kuda betina nya hingga binatang itu 

melompat ke depan dan dengan memiringkan tubuhnya penulis  ini 

berhasil mengelakkan sambaran jimat jengglot  lawannya. Namun nyaman nyam nyam  

dwipanusantaraaidit  rupanya tidak kepalang tanggung. Dengan amat cepat 

penulis  ini susulkan satu tendangan kaki kanan! 

Masih untung moncong  nusantara  sempat berkelit. Tapi kuda betina  

tunggangannya bernasib sial. Tendangan nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  mendarat 

tepat di leher binatang itu. kuda betina  ini meringkik keras, mengangkat 

kedua kaki depannya tinggi-tinggi ke atas dan membuat 

penunggangnya terpelanting jatuh ke tanah! 

moncong  nusantara  seorang penulis  turunan bangsawan yang 

telah menuntut ilmu tenaga dalam  dan kebatinan serta kesaktian pada 

seorang sakti di puncak Gunung Agung bernama Sorablungbung. Di 

Pulau Bali pada masa itu ada  tiga orang tokoh tenaga dalam  kawakan 

yang sangat tinggi ilmu tenaga dalam  dan kesaktiannya. Salah seorang di 

antaranya ialah Sorablungbung, kemudian Walalang Tjarda yang 

diam di Danau Batur. sebab  dia sering mengembara maka jarang 

sekali dia berada di danau ini . Tokoh tenaga dalam  ketiga bernama 

Menak Putuwengi. Sejak sepuluh tahun belakangan ini dua 

pertenaga dalam an di Pulau Bali tidak mengetahui ke mana perginya Menak 

Putuwengi sebab  tokoh tenaga dalam  yang berumur 70 tahun ini lenyap 

begitu saja dari dunia pertenaga dalam an, entah mengundurkan diri entah 

telah menemui ajalnya. Di antara ketiga tokoh tenaga dalam  itu Menak 

Putuwengilah yang paling tinggi ilmu kepandaiannya. Senjatanya 

segala benda apa saja yang berbentuk tongkat, baik berupa helai lidi 

atau daun bambu ataupun ranting kering atau besi, bila berada di 

tangannya pasti akan menjadi senjata yang dahsyat. sebab  itulah 

Menak Putuwengi mendapat julukan Raja Tongkat Empat Penjuru 

Angin. Pernah sekitar lima belas tahun yang lalu ketiga tokoh itu 

bertemu di puncak Gunung Tabanan untuk mengadakan 

pertandingan persahabatan, menguji ilmu kepandaian masing-

masing. Dalam pertandingan yang sangat hebat dan dihadiri oleh 

tokoh-tokoh tenaga dalam  di Pulau Bali maka Menak Putuwengi terlontar keluar  

sebagai jago nomer satu sesudah  berturut-turut mengalahkan 

Sorablungbung dan Walalang Tjarda. sesudah  lima belas tahun 

berlalu tak dapat lagi dipastikan siapa sesungguhnya yang lebih 

hebat sebab  disamping ketiga orang tokoh itu tak pernah lagi 

mengadakan pertandingan juga, kabarnya Sorablungbung serta 

Walalang Tjarda telah memperdalam ilmu masing-masing hingga 

mencapai tingkat yang sangat tinggi. Sebaliknya Menak Putuwengi 

lenyap begitu saja tak diketahui ke mana perginya! 

Sebagai salah seorang murid Sorablungbung yang pernah 

digembleng selama empat tahun, dengan sendirinya moncong  Gde 

Djantra memiliki kepandaian yang tinggi. Dan dibandingkan dengan 

nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  yang cuma berguru pada seorang pertapa yang 

tingkat kepandaiannya jauh berada di bawah Sorablungbung dengan 

sendirinya nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  bukan apa-apa bagi moncong  nusantara . 

Tapi sebab  kurang hati-hati, meski tingkat kepandaiannya jauh lebih 

tinggi, moncong  nusantara  kena juga dihantam lawan meski 

kuda betina nya yang menjadi korban! 

moncong  nusantara  terpelanting ke tanah, tapi berkat ilmu 

meringankan tubuhnya yang tinggi dia jatuh dengan kaki lebih dulu 

dan tetap berdiri. Kemarahan membuat darahnya seperti mendidih. 

“Setan alas! Kematianmu tak dapat ditawar-tawar lagi!” 

moncong  nusantara  melompat ke muka, tangan kiri kanan 

berkelebatan  cepat dalam satu jurus yang hebat! nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  

terkejut saat  melihat bagaimana kecepatan gerak lawannya 

membuat tubuh moncong  nusantara  laksana lenyap. Dia cuma 

merasakan sambaran angin yang deras dari kiri kanan maka cepat-

cepat penulis  ini melompat turun dari kuda betina nya. 

Breet!

Buuk!

Dua suara itu terdengar hampir bersamaan. Yang pertama suara 

robek robek nya pakaian nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  disambar ujung jimat jengglot  Brajaloka 

sedang suara kedua ialah suara pukulan dahsyat yang menghantam 

kepala kuda betina  hitam milik nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit . Binatang ini rubuh dengan 

kepala pecah, melejang-lejang beberapa saat  lalu tak bergerak gerak  lagi! 

“kuda betina mu sudah duluan, nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit ! Dia akan menunggumu 

untuk membawa tuannya ke neraka!” ejek moncong  nusantara ! 

Sebenarnya sejak bentrokan senjata pertama kali tadi nyaman nyam nyam  

dwipanusantaraaidit  telah memaklumi bahwa tingkat kepandaian ilmu tenaga dalam  dan 

tenaga dalam moncong  nusantara  bukanlah lawannya. Tapi untuk 

membatalkan niatnya menuntut balas tentu saja penulis  itu tidak 

sudi! Lebih baik mati secara jantan daripada lari atau menyerah 

secara pengecut! 

Dengan mengeluarkan bentakan yang keras moncong  nusantara  

berkelebatan  ganas. Seperti tadi kedua tangannya bergerak gerak  cepat. 

nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  bertahan mati-matian. Dalam jurus itu dia berhasil 

mengelakkan seluruh serangan lawan namun pada jurus berikutnya, 

satu sampokan yang bertenaga besar sekali membuat dia tak dapat 

lagi mempertahankan jimat jengglot nya! Senjata itu terlepas mental dihantam 

senjata lawan! 

Sambil tertawa gelak-gelak dan sambil melangkah mendekati 

nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  yang kepepet ke tepi jurang, moncong  nusantara  

berkata-kata, “Kau akan segera mampus, brow ! Dan kau tahu...? Betapa 

mengerikannya kematian itu! Kau lihat jimat jengglot  Bradjaloka yang terbuat 

dari emas di tanganku ini? He... he..! Sebentar lagi, brow ! Beberapa 

detik lagi kau akan segera pergi ke neraka! Ke neraka! Ha.. Ha.. 

ha...!”

moncong  nusantara  mengangkat tangan kanannya yang 

memegangi  jimat jengglot  tinggi-tinggi sementara dalam keadaan kepepet ke 

tepi jurang itu nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  berusaha mencari jalan agar dapat 

menyelamatkan diri! Kalau lawan menyerang dia sudah nekad untuk 

menyerbu ke muka dengan tangan kosong, menarik tubuh moncong  

nusantara  dan sama-sama menghambur masuk jurang! Itu yaitu  

cara yang paling baik menurut nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit , asal saja dia benar-

benar bisa melakukannya! 

Jarak kedua orang itu semakin pendek dan kini cuma tinggal 

empat langkah saja lagi. Antara nyaman nyam nyam  dengan tepi jurang di 

tikungan jalan itu hanya satu setengah langkah saja. nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  

memutuskan untuk tidak mundur lebih jauh. Dia menunggu dengan 

kedua tangan terpentang dan mata memandang tajam-tajam ke 

muka, menunggu kesempatan yang ada! 

Mendadak moncong  nusantara  hentikan langkahnya dan 

kembali dia tertawa gelak-gelak. Bila suara tertawa itu dihentikannya 

maka berkata-katalah dia, “Tidak! Aku tak akan membunuhi mu dengan 

jimat jengglot  ini! Kau harus mati dalam kengerian yang luar biasa brow ! He... 

he... he, pernahkah kau memikirkan bagaimana ngerinya bila jatuh 

ke dalam jurang di belakangmu itu? Kematian menunggumu di batu-

batu cadas di bawah sana, tapi selagi tubuhmu melayang menuju 

detik-detik kemampusan itu kau akan dikungkung kengerian yang 

luar biasa!” 

nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  menggeram mendengar ucapan dan maksud 

moncong  nusantara  yang ganas itu. Dia tak bisa menunggu lebih 

lama! Saat itu juga dia harus bertindak! Harus menyerbu merangkul 

tubuh lawannya walau apapun yang terjadi! Maka tanpa menunggu 

lebih lama nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  segera melompat ke hadapan lawannya. 

moncong  nusantara  mendengus. Dengan seringai maut 

tersungging di mulutnya penulis  ini memukulkan tangan kirinya ke 

depan!

nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  merasakan satu sambaran angin yang laksana 

badai hebatnya! Bagaimanapun dia berusaha untuk tidak tersapu 

angin dahsyat itu tapi sia-sia belaka! Tubuhnya mencelat mental 

sampai enam tombak untuk kemudian jatuh ke dalam jurang diiringi 

suara kumandang tertawa moncong  nusantara . 

***

bobo  angker  

PEMBALASAN nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  7

ALAM tubuhnya melayang jatuh ke jurang batu itu nyaman nyam nyam  

dwipanusantaraaidit  pada mulanya memang merasa ngeri sekali! Siapa yang 

tak akan ngeri menemui ajal apalagi mengetahui bahwa 

ajalnya akan sampai begitu tubuhnya menghantam batu-batu cadas 

besar di dasar jurang! Namun bila dia ingat bahwa kematian yang 

bakal dihadapinya itu yaitu  kematian secara jantan, ditabahkannya 

hatinya. Dia percaya pula bahwa rohnya akan berjumpa di alam 

akhirat dengan roh Ni Ayu Tantri. Kalau di dunia mereka tak punya 

kesempatan untuk hidup berdampingan, moga-moga di alam akhirat 

hal itu akan kesampaian. 

Makin jauh ke bawah makin cepat jatuhnya tubuh penulis  itu. Di 

atas jurang masih mengumandang suara tertawa moncong  Gde 

Djantra. Betapapun tabahnya hati nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  namun saat  

sekilas matanya memandang ke bawah jurang, pada batu-batu besar 

yang cuma tinggal beberapa tombak lagi untuk menghancurkan 

kepala dan tulang-tulang di tubuhnya, nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  jatuh pingsan! 

Tapi dalam kehidupan ini kerap kali kita dihadapkan pada 

kenyataan-kenyataan sebelum ajal berpantang mati. Hal itu pulalah 

yang terjadi dengan diri nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit . 

Sewaktu tubuh penulis  itu hanya tinggal enam tombak saja lagi 

dari permukaan sebuah batu cadas yang sangat besar, berkelebatan lah 

satu bayangan putih yang dibarengi dengan suara seruan, “Dewa 

Agung!” 

Yang berseru ini yaitu  seorang para tua tua yahudi -para tua tua yahudi  tua renta 

berpakaian putih. Rambutnya yang panjang terurai macam rambut 

dewi lesbi , janggutnya yang menjela dada serta kumis bahkan 

kedua alisnya berwarna putih bersih macam kapas. Meski umurnya 

sudah lebih dari 70 tahun tapi para tua tua yahudi -para tua tua yahudi  ini memiliki tubuh yang 

masih kekar dan kegesitan yang luar biasa. Sewaktu dia melihat 

sesosok tubuh melayang jatuh ke dalam jurang kejutnya bukan alang 

kepalang. Dia tidak tahu apakah anak manusia  yang jatuh itu masih hidup 

D

atau sudah mati. Meski demikian para tua tua yahudi -para tua tua yahudi  ini segera 

mengangkat kedua tangannya dan mendorong ke atas! 

Satu gelombang angin padat bertiup memapasi tubuh nyaman nyam nyam  

dwipanusantaraaidit . Untuk beberapa detik tubuh penulis  itu tertahan di awang-

awang. Untuk mengurangi kekuatan jatuh tubuh penulis  itu si orang 

tua menggerakkan kedua tangannya ke kanan. Tubuh nyaman nyam nyam  

dwipanusantaraaidit  terpelanting ke kanan lalu didorong lagi ke atas dan saat  

jatuh kembali ke bawah orang tua itu menyambutnya dengan kedua 

tangan! Sungguh luar biasa apa yang dilakukan orang tua ini. 

Tubuh nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  dipanggul di atas bahu kanan dan sekali 

berkelebatan  orang tua itu sudah lenyap dari pemandangan. Si orang 

tua membawa nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  ke dalam sebuah goa batu dan sesudah  

diperiksa ternyata penulis  itu masih bernafas. para tua tua yahudi -para tua tua yahudi  ini 

mengurut dada dan kening nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  beberapa kali hingga 

akhirnya penulis  itu sadar dari pingsannya. 

sesudah  membuka kedua matanya, nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  kemudian 

memandang berkeliling. Sekelilingnya ruangan batu yang bersih. 

Apakah aku sudah berada di alam baka, pikir penulis  ini. Tapi bila 

matanya membentur tubuh dan paras seorang tua berpakaian putih-

putih, berkumis dan berjanggut putih, heranlah penulis  ini. Orang 

tua itu duduk di sebuah batu bundar di tengah ruangan. Kedua 

telapak tangannya saling dirapatkan di muka dada sedang kedua 

matanya terpejam. Nyatalah orang tua ini tengah bersemedi. 

Tapi aneh aneh saja nya begitu nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  menyalangkan mata dan 

memandang terheran-heran berkeliling, tanpa membuka matanya si 

orang tua berkata-kata, “Orang muda, kau tak usah heran. Kau berada di 

tempat aman.” 

“Di manakah saya, Bapa? Apa yang telah terjadi dan siapakah 

Bapa ini...?” tanya nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  seraya bangun dari tempat tidur 

yang terbuat dari batu. 

Tanpa membuka kedua matanya kembali si orang tua berkata-kata, 

“Kau berada di tempat yang aman orang muda. saat  aku berada di 

dalam goa kudengar suara bentakan-bentakan yang diseling suara 

tertawa serta suara beradunya senjata di atas. Aku terlontar keluar  dari goa 

tepat pada saat kulihat sosok tubuhmu melayang jatuh ke dasar 

jurang. Selanjutnya Dewa Yang Agung telah menyelamatkan kau dari 

kematian...”

Kini ingatlah nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  akan apa yang telah terjadi dengan 

dirinya. Dia bertempur dengan moncong  nusantara  kemudian 

didorong dengan satu pukulan dahsyat hingga mencelat mental dan 

jatuh masuk jurang! Dari ucapan si orang tua berambut putih meski 

dia tadi mengatakan bahwa Dewa Yang Agunglah yang telah 

menyelamatkan jiwanya, tapi nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  sadar bahwa orang tua 

inilah yang telah menolongnya dari renggutan maut. Segera nyaman nyam nyam  

dwipanusantaraaidit  turun dari tempat tidur batu, melangkah ke hadapan para tua tua yahudi -

para tua tua yahudi  itu dan berlutut seraya berkata-kata, “Orang tua, aku nyaman nyam nyam  

dwipanusantaraaidit  menghaturkan terima kasih yang tak terhingga atas budi 

pertolonganmu. Semoga aku kelak bisa membalas hutang nyawa ini 

dan semoga Dewa Agung merakhmatimu. Sudilah kau memberi tahu 

namamu agar sewaktu-waktu aku tidak sukar mencarimu.” 

Si orang tua tertawa dan mengomentari , “Apalah artinya nama? Kita 

dilahirkan tanpa nama. Apa gunanya menyebut-nyebut segala hutang 

nyawa sebab  memang kita anak manusia  ditugaskan Yang Kuasa untuk 

menolong sesama anak manusia . Orang muda, cobalah kau terangkan 

apa yang telah terjadi atas dirimu hingga kau jatuh dari tepi jurang.” 

nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  lalu menuturkan pertempurannya dengan 

moncong  nusantara  bahkan diterangkannya juga pangkal sebab 

pertempuran itu termasuk kematian I Krambangan dan empat orang 

penduduk Klungkung. 

Si orang tua menghela nafas dalam dan untuk pertama kalinya 

dia membuka kedua matanya. Mata itu sipit sekali macam mata 

orang Tiongkok tapi menyorotkan sinar yang tajam penuh wibawa! 

“Cinta itu pada dasarnya yaitu  sesuatu yang suci. Tapi nafsu 

selalu membuatnya menjadi hal yang kotor. Seringkali anak manusia  buta 

sebab  cinta, sebab  kecantikan paras dewi lesbi . Kalau sudah 

begitu segala sesuatunya yang keji dan kotor bisa terjadi hingga 

tidaklah aneh aneh saja  lagi kalau anak manusia  tega membunuhi  anak manusia  lain 

bahkan saudara kandungnya sendiri hanya sebab  cinta.” 

nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  termangu diam beberapa lamanya. Kemudian 

katanya, “Orang tua, beritahulah namamu. Sebelum meninggalkan 

tempat ini kuharap kau suka memberi petunjuk-petunjuk padaku.” 

“Kau hendak pergi dan kemudian melampiaskan lagi sakit hati 

dendam kesumatmu itu, nyaman nyam nyam ?” 

“Benar, orang tua.” komentari nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  terus terang. 

“Kau tak akan kuat menghadapi moncong  nusantara ,” kata 

para tua tua yahudi -para tua tua yahudi  itu pula secara terus terang. “Buktinya pukulan tangan 

kosongnya saja sanggup mengirimkan kau ke liang maut jika saja 

Dewa Agung tidak menghendaki agar kau tetap hidup. Kau mungkin 

tidak tahu siapa adanya moncong  nusantara . Dia salah seorang 

murid Sorablungbung, orang tua sakti yang diam di puncak Gunung 

Agung.” 

Terkejutlah nyaman nyam nyam  dwipanusantaraaidit  mendengar keterangan itu. Pantas 

saja dia tak sanggup melawan moncong  nusantara . Maka kalau 

diteruskannya niat untuk membal