lah gentayangan cekakak-cekikik
membuat hal-hal tidak karuan!”
Luhrembulan lagi-lagi tersenyum. Kali ini dia tidak
menjawab bentakan Ratu istri penulis . Tubuhnya kepulkan
asap ungu. Lalu sosoknya berubah menyeramkan. Wajah
yang tadi cantik kini berubah menjadi seperti burung gagak
hitam. Mulut dan hidung jadi satu berbentuk paruh panjang
dan bengkok. Sepasang mata kecil menonjol keluar tanpa
alis. Tubuh bagus yang tadi dibalut pakaian ungu kini ber–
ubah menjadi sehelai jubah terbuat dari jerami kering.
Makhluk ini buka lebar-lebar paruh panjangnya, menge–
luarkan suara menguik panjang lalu, desss! Didahului
suara letupan serta kepulan asap hitam tubuhnya lenyap
dari pemandangan.
Semua orang yang ada di tempat itu kini sama
memandang pada penulis gay . Ratu istri penulis pegang lengan
gadis ini lalu bertanya. “Siapa makhluk tadi?”
“Dia makhluk dari alamku yang selama ini mengikutiku.
Berusaha menggagalkan setiap apa yang aku lakukan.
Bahkan berniat hendak mencelakai diriku. Aku, aku tidak
menyalahkan kalau dia sangat membenci diriku. Kini dia
juga membenci dirimu...”
“Mengapa?!” tanya Ratu istri penulis . “Karena bobo ? Apa
benar bobo telah menjadi suaminya?”
“Gadis itu bernama Luhrembulan. Ujud aslinya adalah
bentuk burung gagak tadi. Nama sebenarnya Hantu Santet
Laknat. Dia berada dalam keadaan seperti itu karena ada
kutukan turun temurun atas diri moyang dan keturu–
nannya. Di alamku dia merupakan seorang teramat jahat.
Ketika bobo terpesat ke sana, dia jatuh cinta pada bobo . Dia
minta bantuan seorang juru kawin, nenek bernama Lama–
hila, agar dia dikawinkan dengan bobo . Perkawinan dengan
manusia seperti bobo merupakan satu-satunya cara untuk
membebaskan dirinya dari kutukan itu...” (Baca serial bobo
Sableng di Negeri Latanahsilam mulai dari ‘Bola-bola Iblis’
s/d ‘Istana Kebahagiaan’).
“Ah...” Ratu istri penulis keluarkan suara tercekat sambil
pegangi leher yang putih bagus. Dia ingat akan nasib
dirinya. Dia juga pernah mengalami hal seperti itu, menjadi
makhluk setengah ikan setengah manusia. bobo lah yang
menolong melepas dirinya dari kutukan itu hingga dia
memiliki ujud manusia sempurna (Baca serial bobo Sableng
berjudul ‘Wasiat Iblis’ s/d ‘Kiamat di Pangandaran’).
“Ada apa?” tanya penulis gay pada Ratu istri penulis .
“Tidak... tidak ada apa-apa. Lanjutkan ceritamu.”
penulis gay berpaling pada Setan Ngompol. “Kek, kau
tahu kejadian kawinnya bobo dengan Luhrembulan alias
Hantu Santet Laknat. Karena kau bersama penulis ayan
ikut terpesat ke Latanahsilam.”
Setan Ngompol manggut-manggut lalu berkata, “Saha–
batku muda, lanjutkan saja ceritamu. Biar para sahabat di
sini semua tahu.”
“Perkawinan bobo dengan Luhrembulan tidak sah.
Karena bobo ditipu. Diberi minuman yang membuat dia
lupa pikiran. bobo dibawa ke Bukit Batu Kawin. Dalam
keadaan tidak sadar juru kawin Lamahila menikahkan bobo
dengan Luhrembulan.”
“Kalau aku tidak salah menyirap berita...” kata Setan
Ngompol pula. “Hanya beberapa saat setelah berlang–
sungnya perkawinan, Bukit Batu Kawin dilanda badai.
Semua orang terpencar. Sebelum bobo kembali ke tanah
Jawa aku tidak tahu apakah bobo pernah bertemu lagi
dengan Luhrembulan di Latanahsilam.”
penulis gay yang di Latanahsilam bernama Luhmintari
lanjutkan kisahnya. “Waktu Istana Kebahagiaan hancur,
hampir semua tokoh di Latanahsilam terpesat ke tanah
Jawa, termasuk diriku. Juga Luhrembulan. Dia pasti men–
cari bobo . Sekaligus ingin mencelakai diriku karena dia
merasa aku hendak merampas pendekar yang dianggap–
nya sudah jadi suaminya itu...”
Sewaktu penulis gay selesai dengan ceritanya keadaan di
tempat itu menjadi sunyi. Ki Tambakpati tiba-tiba ingat
sesuatu, “Ketika gadis itu terbujur di tanah, aku melihat
tiga kembang kenanga menancap di keningnya.”
“Kembang kematian itu yang melumpuhkannya. Sera–
ngan kami berdua nyaris tak berbekas...” kata penulis gay
pula. Dia menatap ke langit. “Bunga, kau tidak putus-
putusnya menolong kami. Aku dan para sahabat sangat
berterima kasih.”
“Apakah gadis aneh tadi itu akan muncul lagi
mengganggumu?” bertanya Setan Ngompol pada penulis gay .
“Pasti Kek, tapi kali ini dia akan tenggelam di alamnya
dalam waktu cukup lama. Paling tidak seratus hari lebih...”
Menjawab penulis gay .
“Apa tidak ada kekuatan yang bisa membuatnya teng–
gelam selama-lamanya?” bertanya Ki Tambakpati.
“Biji damar,” ucap penulis gay . “Itu buah pantangan yang
bisa melumpuhkan kami orang-orang perempuan dari
Latanahsilam...”
“Ah, kalau bijiku bisa dipakai memoles dan melum–
puhkan gadis tadi, pasti aku berikan!” Kata Setan Ngompol
pula yang lalu ditepuk punggungnya oleh Ratu istri penulis .
Kakek ini tertawa gelak-gelak sambil terkencing-kencing.
Sementara penulis gay tampak senyum-senyum.
“Kantong menyanmu yang disengat tawon masih
bengkak. Bau pesing pula! Mana bisa jadi alat pelumpuh!”
kata Ki Tambakpati.
Tiba-tiba tempat itu dibisingi oleh suara lenguh sapi.
Semua orang terkejut. Setan Ngompol memaki panjang
pendek menahan kencingnya yang mau terpancar.
“Hai! Ke mana bocah bernama Kudin itu?” tiba-tiba Ki
Tambakpati bertanya. “Kudin!” Si kakek berteriak
memanggil.
Dari balik pohon besar Kudin keluar dengan wajah
tampak pucat. Rupanya apa yang terjadi di tempat itu
membuat anak ini ketakutan dan sembunyi di balik pohon.
“Kudin, kau sudah siap menolong memeras susu sapi
itu?” tanya Ratu istri penulis . Si bocah mengangguk. Ratu
istri penulis menatap ke atas atap rumah panggung. “Kurasa
mangkuk tanah itu sudah kering. Sudah bisa dipakai untuk
menampung susu.” Lalu Ratu istri penulis melesat ke atas atap
rumah mengambil mangkuk tanah yang memang ternyata
telah kering dan menjadi keras.
“Kakek berdua, kalau madu sudah siap, sebaiknya
mulai saja mengurut bobo ,” kata penulis gay .
“Pasti akan segera kami lakukan. Tapi kami berdua
juga ingin tahu apa yang hendak kalian lakukan dengan
susu sapi itu.” Jawab Ki Tambakpati.
“Kalian tidak akan meminum susu sapi itu, bukan?
Nanti kalian bisa jadi gembrot! Ha... ha... ha!” Setan
Ngompol tertawa dan mancurkan air kencingnya.
“Kalau kau suka, kau boleh meneguknya langsung dari
puting susu sapi betina itu Kek!” kata Ratu istri penulis sambil
tertawa. Dia tuntun Kudin mendekati sapi lalu letakkan
mangkuk tanah di bawah perut binatang itu.
“Ayo peras yang banyak. Sampai mangkuk itu penuh
dengan susu.” Kata Ratu istri penulis sementara penulis gay
jongkok di samping si bocah.
Cekatan sekali Kudin memeras susu sapi. Tangannya
naik turun tiada henti. Susu sapi mengucur deras. Sebentar
saja mangkuk tanah sudah penuh.
“Sahabat, kau sekarang tinggal menuruti apa yang ada
dalam Kitab Seribu Pengobatan,” kata Ratu istri penulis pada
penulis gay .
“Susu dalam mangkuk ini harus diaduk agar tanah
merah di dalamnya leleh menyatu. Lalu susu diembunkan
semalam suntuk. Mulai dari matahari tenggelam sampai
besok fajar menyingsing. Sekarang biar susu ini disimpan
dulu dalam rumah.” Kata penulis gay lalu mendahului tiga
orang itu masuk ke dalam rumah. Namun di tangga kayu
gadis cantik dari negeri 1200 tahun silam ini hentikan
langkah dan berbalik, memandang berkeliling.
“Bocah itu... Sapi tadi...” ucap penulis gay .
Semua orang ikut memutar tubuh. Kudin dan sapi putih
ternyata tak ada lagi di tempat itu.
“Sahabat kita Bunga pasti sudah mengembalikan sapi
dan anak itu ke tempatnya semula di sawah,” kata Ratu
istri penulis pula.
“Sahabatku Bunga, aku... kami benar-benar sangat
berterima kasih padamu.” Ucap penulis gay sambil mem–
bungkukkan tubuhnya.
Sampai di dalam rumah Ratu istri penulis dan penulis gay
memasukkan cairan jahe ke dalam mulut bobo , mengurut
bagian dada dan leher sang pendekar hingga air jahe bisa
tertelan. Sementara itu Ki Tambakpati dan Setan Ngompol
mengurut sekujur tubuh bobo dengan madu hangat.
Pada saat matahari tenggelam, penulis gay mengambil
susu dalam mangkuk tanah lalu membawa dan meletak–
kannya di atas atap rumah.
Malam itu sambil terus mengobati bobo semua orang
bersikap waspada berjaga-jaga. Bukan mustahil akan
muncul lagi gangguan dari makhluk-makhluk yang tidak
suka melihat kesembuhan Pendekar 10000 an dan juga kesem–
buhan penulis gay . Sesekali penulis gay dan Ratu istri penulis naik
ke atas atap untuk melihat susu dalam mangkuk tanah
serta memperhatikan keadaan sekitar rumah panggung.
“Aku tidak mengawatirkan Luhrembulan alias Hantu
Santet Laknat. Dia tidak akan muncul sampai seratus hari
di muka. Yang aku takutkan adalah makhluk yang kita lihat
dalam cermin. Manusia tak berwajah itu.” Kata penulis gay .
“Aku akan berjaga-jaga di sini...” kata Ratu istri penulis pula
sambil terapkan ilmu Menembus Pandang untuk menjajagi
keadaan sekitar rumah panggung. “Kau masuklah ke
dalam rumah. Bantu dua kakek itu mengobati bobo .”
“Biar aku saja yang di sini. Kau yang masuk ke rumah,”
jawab penulis gay pula.
Ratu istri penulis tersenyum. “Kalau begitu biar aku mene–
manimu dulu di sini. Pertemuan semacam ini jarang bisa
kita lakukan. Saat ini kita bisa berbagi cerita dan penga–
laman. Aku ingin sekali mendengar cerita tentang negeri
asalmu Latanahsilam. Negeri seribu duaratus tahun silam
itu.”
“Banyak memang yang bisa aku ceritakan padamu”
jawab penulis gay . “Tapi setelah itu rasanya sangat penting
untuk membicarakan sakitnya bobo . Kita tahu kalau jalan
darahnya bisa disembuhkan masih ada penyakit yang
mendekam di tubuhnya. Dia kehilangan kejantanannya...”
Larut malam puas bercakap-cakap kedua gadis itu
masuk ke dalam rumah. Mereka tak bisa memicingkan
mata. Ki Tambakpati dan Setan Ngompol masih menguruti
bobo walau jelas tampak terkantuk-kantuk. Sampai fajar
menyingsing keadaan aman-aman saja, tidak terjadi apa-
apa.
Begitu langit di ufuk timur tampak terang, Ratu istri penulis
memberi isyarat pada penulis gay . Kedua gadis cantik ini
keluar dari rumah lalu melesat naik ke atas atap rumah.
Begitu sampai di atap, mereka terbelalak kaget dan sama-
sama keluarkan seruan tertahan. Mangkuk berisi susu sapi
tak ada lagi di atas atap!
“Kurang ajar! Siapa yang mencuri mangkuk!” teriak
Ratu istri penulis marah. “Semalam suntuk kita berjaga-jaga.
Kita tidak mendengar suara apa-apa yang mencurigakan.”
penulis gay pegang tangan gadis itu, menarik nafas dalam
dan berkata. “Mungkin belum saatnya aku mendapat
kesembuhan. Aku pasrah...”
Ratu istri penulis tetap penasaran. Dia memandang
berkeliling. Terapkan ilmu Menembus Pandang. Dia tidak
melihat ada orang yang sembunyi sekitar halaman. Dia
perhatikan setiap pohon, tidak ada makhluk yang mende–
kam. Gadis bermata biru ini akhirnya keluarkan cermin
saktinya.
“Dengan cermin sakti ini masakan tidak tembus!” kata
Ratu istri penulis pula.
“Aku khawatir ini lagi-lagi pekerjaan makhluk tanpa
wajah!” ujar penulis gay .
Tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. Datangnya
dari kolong rumah panggung. Sesaat kemudian melesat
satu bayangan hitam. Sosok ini kemudian telah berdiri di
atas atap, di hadapan Ratu istri penulis dan penulis gay .
bobo SABLENG
INSAN TANPA WAJAH
9
AHABAT berdua, apa kalian mencari ini?” Sosok hitam
bertanya.
“Naga Kuning!” Ratu istri penulis berteriak. “Bocah nakal!
Apa yang kau lakukan?! Yang kau pegang itu bukan benda
sembarangan! Awas tumpah!” Sementara penulis gay berdiri
memperhatikan sambil geleng-geleng kepala.
Sosok yang berdiri di atas atap di depan dua gadis
cantik itu adalah seorang bocah berambut jabrik, menge–
nakan pakaian hitam bergambar naga bergelung di bagian
dada. Dia bukan lain adalah penulis ayan alias gubug penulis
alias Kiai Paus Samudera Biru.
“Naga Kuning! Lekas serahkan mangkuk itu padaku!”
berkata penulis gay .
penulis ayan serahkan mangkuk susu pada penulis gay .
Ratu istri penulis yang masih belum puas bertanya, “Kau
menyelinap, kau mengambil mangkuk berisi susu itu. Apa
penulis ayan betulan?! Atau makhluk jejadian yang me–
nyamar diri?!” tanya Ratu istri penulis sambil alirkan tenaga
dalam ke tangan kanan siap untuk lepaskan pukulan sakti.
“Bocah seperti aku mana ada yang palsu,” jawab Naga
Kuning sambil senyum-senyum seenaknya. Lalu dia mene–
rangkan, “Aku mendengar kabar sobatku Pendekar 10000 an
ditangkap orang-orang kerajaan. Aku menyelidik dan sam–
pai ke sini. Kulihat rumah sepi-sepi saja. Di atas atap ada
benda ini. Ketika aku ambil ternyata berisi susu dingin
sejuk. Kebetulan aku haus...”
“Astaga! Jadi susu itu sudah kau minum?” tanya
penulis gay tercekat.
“Lancang dan rakus!” hardik Ratu istri penulis penuh
gemas.
S
penulis ayan tertawa sambil usap-usap perutnya.
penulis gay jadi jengkel. Ratu istri penulis tambah kesal. Dia
membentak. “Jawab pertanyaan kami! Kau minum susu
dalam mangkuk itu? Hai! Kau datang sendirian atau
dengan siapa?!”
“Tadinya aku memang mau minum susu ini. Keliha–
tannya enak sekali. Tapi, tapi tak jadi kulakukan. Sebenar–
nya aku mau menyelamatkan susu dalam mangkuk ini.”
“Apa maksudmu?” tanya penulis gay .
“Aku disuruh untuk mengambil mangkuk ini dan
menunggu di sini. Tadi aku sembunyi di kolong rumah.
Waktu melihat kalian berdua aku naik ke atap sini.”
“Siapa yang menyuruhmu mengambil dan menunggu di
sini? Kau datang dengan siapa?!” bentak Ratu istri penulis .
“penulis mabuk Patah Hati...” jawab Naga Kuning.
“Hemm... Nenek kekasihmu itu. Mana dia?” tanya Ratu
istri penulis .
“Ada di kali... Lagi kencing!” jawab si bocah berambut
jabrik yang ujud aslinya adalah seorang kakek sakti berusia
hampir 120 tahun dan dikenal dengan panggilan Kiai Paus
Samudera Biru.
“Mengapa nenek itu menyuruhmu mengambil mangkuk
berisi susu ini?” tanya penulis gay pula.
penulis ayan menggeleng. “Aku tidak tahu. Aku hanya
menurut perintahnya saja...”
“Serahkan mangkuk berisi susu itu padaku!” kata
penulis gay . Setelah menerima mangkuk tanah dari Naga
Kuning penulis gay lalu berkata pada Ratu istri penulis . “Hari
semakin terang. Kurasa sebaiknya pengobatan aku laku–
kan sekarang juga sesuai petunjuk dalam Kitab Seribu
Pengobatan. Kita tidak punya banyak waktu. Kita harus
cepat-cepat menolong bobo . Biar pengobatan aku lakukan
sekarang di atas atap ini!”
Ratu istri penulis mengangguk dan kerahkan ilmu Menem–
bus Pandang untuk mengawasi keadaan sekitar rumah.
penulis gay memutar tubuh, menghadap ke arah matahari
tenggelam yaitu sesuai dengan apa yang tertulis dalam
Kitab Seribu Pengobatan. Perlahan-lahan dia angkat
mangkuk ke atas kepala. Siap untuk diguyurkan ke
wajahnya yang terkelupas cacat di bagian kiri. Tiba-tiba
satu bayangan biru berkelebat menyusul suara teriakan.
“Tahan! Jangan guyur kepalamu dengan cairan dalam
mangkuk!”
Semua orang yang ada di atas atap sama terkejut. Di
halaman rumah panggung berdiri sosok seorang nenek
berjubah biru, rambut kelabu wajah seram angker. Sepuluh
kuku jari tangannya panjang hitam. Nenek ini memberi
isyarat dengan lambaian tangan agar semua orang turun
ke tanah.
“Nek, ada apa ini?!” teriak Ratu istri penulis dari atas atap.
Dia telah mengenali nenek di bawah sana yang bukan lain
adalah penulis mabuk Patah Hati.
“Turun saja ke sini! Nanti kalian akan lihat sendiri!”
jawab si nenek.
penulis ayan melesat turun lebih dulu. Akhirnya
penulis gay dan Ratu istri penulis ikutan turun ke tanah. Si nenek
membungkuk sedikit, melihat dan membaui cairan yang
ada dalam mangkuk tanah yang dipegang penulis gay .
Saat itu mendengar suara orang bicara di halaman dan
di atas atap rumah Ki Tambakpati dan Setan Ngompol
segera keluar. Mereka terheran-heran melihat si bocah dan
si nenek ada di situ. penulis mabuk Patah Hati yang sudah
kenal pada Setan Ngompol kedipkan matanya, tersenyum
sedikit lalu kembali membungkuk, mencium dan memper–
hatikan cairan dalam mangkuk.
“Susu sapi...” ucap si nenek perlahan. Dia menatap
wajah sebelah kiri penulis gay yang tampak merah menge–
lupas.
“Kau akan pergunakan susu itu untuk mengobati luka
di wajahmu. Betul?” bertanya penulis mabuk Patah Hati.
penulis gay mengangguk.
“Susu itu mengandung racun!”
Ucapan si nenek membuat penulis gay dan Ratu istri penulis
terkejut. Ki Tambakpati melongo sedang Setan Ngompol
cepat-cepat tekap bagian bawah perutnya.
“Racun dari mana? Siapa yang memasukkan ke dalam
susu? Bagaimana mungkin! Kami berjaga-jaga semalam
suntuk. Tidak ada seorangpun mendekati tempat ini!” Kata
penulis gay sambil memperhatikan susu dalam mangkuk lalu
memandang pada si nenek.
“Racun itu dikirim dari jauh...” kata penulis mabuk Patah
Hati pula. “Kalau kalian tidak percaya lihat apa yang akan
aku lakukan. Aku akan membersihkan racun dalam susu.
Kalau sudah bersih, kau boleh pergunakan susu itu untuk
mengobati luka di wajahmu. Pegang kuat-kuat mangkuk itu
dan lihat...”
penulis mabuk Patah Hati kembangkan dua telapak
tangan, sepuluh jari ditukikkan ke arah susu dalam mang–
kuk. Mulut berkomat-kamit membaca mantera. Tak lama
kemudian susu dalam mangkuk tampak bergejolak seperti
mendidih. Lalu mengepul asap hitam. Dengan sepuluh
kuku jarinya si nenek sedot asap hitam itu. Ketika gejolak
air susu di dalam mangkuk berhenti, penulis mabuk Patah Hati
mundur tujuh langkah. Mulut masih berkomat-kamit. Dia
berhenti di dekat serumpun semak belukar. Tangan kanan
diulurkan. Tangan kiri meremas pergelangan tangan
kanan. Saat itu juga dari lima ujung jari si nenek mengucur
keluar cairan hitam pekat berkilat, menebar bau busuk.
Ganti tangan kanan meremas tangan kiri. Cairan hitam
kembali mengucur. Begitu cairan hitam menyentuh semak
belukar, tumbuhan ini serta merta berubah gosong hitam
lalu rontok ke tanah disertai kepulan asap dan bau luar
biasa busuk, membuat beberapa orang yang ada di tempat
itu jadi mual berusaha menahan muntah.
penulis mabuk Patah Hati melangkah mendekati penulis gay
yang tegak dengan muka pucat. “Sahabatku muda. Kalau
susu itu tadi sampai membasahi kepalamu, kulitmu akan
jadi gosong seumur hidup, rambut di kepalamu akan
rontok. Dicari ke manapun tak ada obat penyembuhnya.”
“Nek, aku sangat berterima kasih. Kalau bukan kau
yang menolong hidupku akan celaka seumur-umur. Nek,
kau berbuat baik padaku, padahal kita baru sekali bertemu
sewaktu kau muncul di Gedung Kadipaten Losari. Kita
bahkan tidak sempat saling menyapa.”
penulis mabuk Patah Hati tersenyum mendengar ucapan
penulis gay . “Siapapun sahabat Pendekar 10000 an adalah saha–
batku juga...” Si nenek pegang bahu gadis dari Latanah–
silam ini lalu berkata. “Susu itu sudah bersih. Tak ada lagi
racun di dalamnya. Silahkan kau mengobati diri...”
penulis gay sekali lagi mengucapkan terima kasih lalu
memutar tubuh dan wajah menghadap ke arah matahari
tenggelam. Dua tangan yang memegangi mangkuk berisi
susu di angkat di atas kepala. Sesuai dengan petunjuk
dalam Kitab Seribu Pengobatan sambil mengguyurkan
susu ke atas kepalanya, penulis gay melafatkan kata-kata:
Manusia berasal dari tanah. Tanah pula yang akan
menjadi pengobat. Manusia memulai hidup dengan air
susu. Air susu pula yang akan menjadi pengobat. Tuhan
Maha Kuasa Maha Penyembuh.
Susu putih susu sapi di dalam mangkuk diguyur mem–
basahi kepala, wajah dan sebagian tubuh penulis gay sebe–
lah atas. Saat itu juga di langit kelihatan kilatan cahaya tiga
warna merah, biru dan hijau. penulis mabuk Patah Hati yang
pertama sekali melihat kilatan cahaya itu langsung han–
tamkan dua tangan ke atas. Sepuluh kuku jari mencuat
lebih panjang, berubah dari hitam menjadi merah. Sepuluh
larik cahaya merah kemudian melesat ke arah kilatan
cahaya tiga warna di langit, Ilmu Kuku Api!
Blaar... blaarr... blaar!
Satu kekuatan gaib menerpa si nenek, membuatnya
terhuyung dan buru-buru dipegang oleh Ratu istri penulis . Di
langit cahaya tiga warna lenyap tanpa bekas.
“Luar biasa! Kekuatan gaib itu luar biasa kuat dan
jahat!” kata penulis mabuk Patah Hati sambil pegangi dadanya
yang berdebar keras.
“Dari cahaya tiga warna itu aku yakin lagi-lagi manusia
tanpa wajah itu yang punya pekerjaan!” ucap Ratu istri penulis .
penulis mabuk menatap wajah penulis gay dan tersenyum.
“Cacat di wajahnya lenyap. Kau sudah sembuh!”
penulis gay terpekik. Ratu istri penulis berseru gembira. Ki
Tambakpati mengucap berulang kali sedang Setan Ngom–
pol tertawa girang sambil pegangi bagian bawah celananya.
“Sungguh luar biasa! Kau benar-benar sembuh!” Kata
Ratu istri penulis lalu ambil cermin sakti dan diberikan pada
penulis gay . Gadis dari negeri Latanahsilam ini perhatikan
wajahnya di dalam cermin. Matanya langsung berkaca-
kaca. Luka cacat di wajahnya sebelah kiri benar-benar
telah lenyap.
“Racun yang ada di dalam susu itu adalah racun ular
jahat yang cuma hidup di gurun pasir.” Menerangkan si
nenek.
penulis gay peluk penulis mabuk Patah Hati lalu merangkul
Ratu istri penulis . Ketiga orang ini larut dalam rasa haru serta
gembira.
“Aku tidak kebagian dipeluk?” penulis ayan keluarkan
ucapan.
penulis mabuk Patah Hati jewer telinga kiri anak ini.
“Bocah rakus. Untung kau tidak menenggak susu itu. Kalau
sampai kau tenggak saat ini tubuhmu sudah gosong men–
jadi jerangkong hitam!”
“Aduh Nek, ampun. Suaakiittt” Jerit Naga Kuning. Tapi
begitu jeweran dilepas anak ini tertawa gelak-gelak.
penulis gay kemudian berkata. “Saatnya kita menangani
bobo . Mudah-mudahan dia mendapatkan kesembuhan pagi
ini.”
Semua orang masuk ke dalam rumah panggung. Yang
pertama sekali bergerak adalah Ratu istri penulis . Dengan
tangan agak gemetar gadis sakti dari laut selatan ini
menotok urat besar di pangkal leher bobo untuk melepas
jalan suara.
Kleekk!
Tidak seperti biasanya, totokan mengeluarkan suara
aneh. Ratu istri penulis sendiri merasa dua jari tangan yang
dipergunakan untuk menotok panas bergetar. Agaknya
masih ada kekuatan gaib berusaha mencegah penyembu–
han yang dilakukan atas diri sang pendekar. Semua orang
menunggu penuh tegang.
Tiba-tiba dari tenggorokan Pendekar 10000 an keluar suara
mengorok, keras dan panjang. Suara mengorok berhenti.
Mulut bobo terbuka lebar. Semua orang jadi bertambah
tegang. Tak ada suara teriakan keluar dari mulut itu. Bah–
kan mulut yang terbuka lebar perlahan-lahan menutup
kembali. Sepasang mata yang sebelumnya terus-terusan
nyalang dan hanya kelihatan putih kini mengatup terpejam.
“Dia tidak keluarkan jeritan. Apakah berarti jalan
darahnya sudah pulih...?” bisik Ki Tambakpati.
“Mudah-mudahan begitu,” menyahuti Ratu istri penulis .
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Setan
Ngompol, tak lupa menekap perabotannya dengan dua
tangan.
“Kita harus mengikuti petunjuk Kitab Seribu Pengo–
batan berikutnya. Kita harus membawa bobo ke kali dan
mengapungkannya.” Ucap penulis gay .
bobo lalu diangkat dari ranjahg bambu, dipindah ke atas
tiga batang kayu yang sudah disiapkan Setan Ngompol dan
Ki Tambakpati. Lalu batang kayu itu beramai-ramai digo–
tong dan dimasukkan ke dalam Kali Progo dengan kepala
menghadap ke arah datangnya arus air kali. Tiga utas tali
dipakai untuk mengikat batang kayu ke pepohonan kecil di
tepi kali. Setan Ngompol, Naga Kuning, Ki Tambakpati
berendam di dalam air memegangi batang kayu. Gondo–
ruwo Patah Hati, Ratu istri penulis dan penulis gay berjaga-jaga di
tebing kali. Mereka menunggu sampai matahari mencapai
titik tertingginya yaitu saat di mana sepuluh jari tangan dan
sepuluh jari kaki bobo harus ditusuk sampai mengeluarkan
darah.
Menunggu dari pagi sampai saat sang surya mencapai
titik tertingginya terasa sangat lama. Apalagi disertai
perasaan tegang. Suasana di kali terasa sunyi. Sesekali
kesunyian dipecah oleh suara kicau dan terpaan sayap
burung yang terbang dari pohon ke pohon. Air kali yang
datang dari hulu membasahi sebagian kepala dan tubuh
bobo . Di dalam kali Setan Ngompol entah sudah berapa kali
kucurkan air kencing. Sekujur tubuhnya mulai terasa dingin
sementara mata yang belok kelihatan redup terkantuk-
kantuk.
“Kek, kau naiklah ke sini. Biar aku yang menggantikan.”
Kata penulis mabuk Patah Hati. Lalu tanpa menunggu jawa–
ban orang si nenek masuk ke dalam kali. Belum sempat
Setan Ngompol naik ke darat tiba-tiba dari hilir terdengar
suara menderu. Di permukaan kali kelihatan dua benda
coklat panjang berjajar meluncur cepat ke arah di mana
orang-orang itu berada.
“Buaya!” teriak Naga Kuning.
“Ada dua ekor!” penulis mabuk Patah Hati ikut berteriak.
Ratu istri penulis yang duduk di tepi kali melompat bangkit.
“penulis gay , kau yang kiri aku yang kanan!” Teriak sang ratu.
“Aku mencium sesuatu! Ini bukan buaya sungguhan!”
teriak penulis gay .
bobo SABLENG
INSAN TANPA WAJAH
10
EMUA orang yang ada di dalam dan di pinggir kali
menjadi geger. Ratu istri penulis dan penulis gay bertindak
cepat. Keduanya serentak melesat ke tengah kali.
Dua tangan lepaskan pukulan sakti. Ratu istri penulis meng–
hantam buaya di sebelah kanan dengan pukulan ganas
bernama Pedang Inti Samudera. Dari tangan kanan si
gadis mencuat sinar biru sepanjang satu tombak mem–
bentuk pedang. Ketika sinar biru menghantam, buaya
keluarkan suara lolongan seperti anjing meraung. Kepala
binatang ini terbabat putus. Tak ada darah mengalir! Begitu
suara raungan lenyap, buaya itu juga ikut sirna!
“penulis gay benar! Ini makhluk jejadian!” ucap Ratu
istri penulis dengan tengkuk dingin.
Sementara itu penulis gay yang menghadapi buaya kedua
menghajar binatang jejadian ini dengan pukulan yang
memancarkan cahaya biru bergemerlap. Tapi buaya
jejadian yang satu ini bersikap lebih waspada. Agaknya dia
mengetahui apa yang terjadi dengan temannya. Dengan
cepat binatang ini menyelinap ke bawah air. Pukulan yang
dilepas penulis gay hanya mengenai tempat kosong. Air Kali
Progo muncrat setinggi dua tombak. Tanah dan lumpur di
dasar kali terbongkar berhamburan ke udara. Di lain saat
buaya tadi muncul kembali dan tahu-tahu sudah berada di
samping bobo yang tergeletak di atas tiga batang kayu
dengan mulut menganga siap melahap! penulis gay dan Ratu
istri penulis tersentak kaget. Untuk menolong dengan melan–
carkan serangan mereka merasa khawatir karena kedua–
nya berada pada kedudukan menghadap ke arah bobo .
Ditambah lagi buaya coklat besar sudah berjarak sangat
dekat dengan bobo hingga setiap pukulan yang dilancarkan
S
bisa saja mengenai Pendekar 10000 an . Ki Tambakpati dan
Setan Ngompol dalam keterkejutan mereka tidak sempat
berbuat apa. penulis ayan cepat kerahkan tenaga dalam
untuk melepas pukulan Naga Murka Menjebol Bumi.
Namun bocah sakti ini tidak bisa bertindak leluasa karena
dia berada di sisi lain kali dan terhalang sosok bobo
sementara di seberang sana ada Ratu istri penulis dan
penulis gay . Sekali serangannya meleset, kalau tidak bobo ,
salah satu dari dua gadis itu akan celaka!
Pada saat yang sangat menentukan itu, penulis mabuk
Patah Hati yang baru saja mencebur dan berada di dalam
kali keluarkan bentakan keras. Tangan kanan menghan–
tam ke arah kepala buaya yang telah membuka mulutnya
lebar-lebar untuk melahap tubuh Pendekar 10000 an .
Selarik sinar merah bercampur biru bergulung seperti
sebuah batu besar, menghajar kepala buaya jejadian
dengan telak. Pukulan Batu Naroko! Seperti buaya tadi
binatang yang satu ini keluarkan suara menyerupai anjing
meraung. Kepala hancur, tubuh menggelepar-gelepar lalu
tenggelam ke dalam air dan lenyap.
“Keji dan jahat sekali!” ucap penulis gay setengah
menyumpah. “Kekuatan gaib masih terus berusaha meng–
halangi kita menyelamatkan bobo !”
“Kurasa aku perlu minta bantuan Nyai Roro Kidul untuk
memagari tempat ini,” berkata Ratu istri penulis . “Aku khawatir
makhluk celaka berkekuatan gaib membawa ilmu hitam
kembali berusaha menghalangi. Padahal ini adalah taha–
pan akhir usaha kita menyelamatkan bobo . Sekali gagal,
bencana besar akan menimpa bobo !”
Habis berkata begitu Ratu istri penulis melompat ke tebing
kali di mana terdapat sebuah batang kayu besar tergeletak
tumbang. Dia duduk di atas tumbangan pohon ini, pejam–
kan mata, kaki bersila dan dua tangan diletakkan di atas
dada.
Tak lama kemudian terdengar Setan Ngompol berseru
sambil pegangi bagian bawah perut. “Hai, mengapa udara
mendadak mendung?”
Ki Tambakpati menepuk bahu sahabatnya ini. “Tenang
saja. Jangan banyak bicara. Ratu istri penulis tengah melaku–
kan sesuatu.”
Saat itu memang udara mendadak agak gelap, langit
yang tadi cerah berubah mendung. Arus air kali seolah tak
bergerak, angin tidak terasa bertiup. Keadaan sunyi senyap
seperti malam hari di pekuburan. Tiba-tiba dari arah timur
tampak sepuluh titik bercahaya biru, bergerak ke arah kali
di mana orang-orang itu berada. Saat demi saat titik itu
membesar dan ternyata adalah sepuluh ujung tombak.
Masing-masing tombak dipegang oleh seorang gadis cantik
berambut hitam panjang tergerai, mengenakan pakaian
hitam ketat dengan potongan rendah di bagian dada serta
belahan tinggi sampai ke pangkal paha di bagian sisi kiri
kanan.
“Bidadari turun ke bumi...!” ucap Setan Ngompol
dengan mata melotot dan pegangi bagian bawah perut
yang terasa kedut-kedut. “Pasti mereka hendak menolong
bobo . Ah, aku juga kepingin sakit kalau yang mengobati
bidadari cantik seperti itu...”
“Sobatku, kau kakek bangkotan yang masih mata
keranjang rupanya,” kata Ki Tambakpati. Saat itu keduanya
dan juga penulis ayan serta penulis mabuk Patah Hati masih
berada di dalam kali. “Jangan bicara sembarangan. Itu
adalah pasukannya Nyai Roro Kidul yang akan menjaga
tempat ini.”
Sepuluh gadis pembawa tombak bercahaya mengapung
di udara mengelilingi Ratu istri penulis . Mereka membungkuk
memberi penghormatan.
Perlahan-lahan Ratu istri penulis turunkan dua tangan yang
sejak tadi diletakkan di dada. Mulutnya berucap, mata
masih terpejam. “Terima kasih kalian sudah datang. Dua di
sudut timur. Dua di sudut barat. Dua di sudut utara. Dua di
sudut selatan. Dua di tengah antara empat sudut.”
Dalam gerakan menyamai kecepatan kejapan mata,
sepuluh gadis cantik yang membawa tombak bercahaya,
sepasang demi sepasang melesat ke lima penjuru yang
disebutkan Ratu istri penulis . Di lima titik ini mereka melepas
pegangan pada tombak. Walau dilepas setiap tombak
tetap berdiri lurus, hanya saja perlahan-lahan bentuknya
menjadi samar, cahaya meredup dan akhirnya lenyap dari
pandangan mata. Sepuluh gadis cantik kembali berkumpul
mengelilingi Ratu istri penulis .
“Terima kasih kalian sudah melaksanakan tugas
dengan baik. Kalian boleh kembali ke laut selatan. Bila
tugas sudah selesai sepuluh tombak akan pulang ke
tempat asalnya. Kalian tak usah menjemput. Salam hormat
dan terima kasihku untuk Junjungan Nyai Roro Kidul.”
Sepuluh gadis membungkuk lalu satu per satu melesat
ke langit dan lenyap dari pemandangan. Saat itu juga
udara yang tadi mendung kini berubah terang benderang
kembali.
“Ah, mereka pergi semua...” kata Setan Ngompol seolah
kecewa oleh lenyapnya pemandangan indah tadi.
Di atas tumbangan pohon Ratu istri penulis buka kedua
matanya. Dia menatap ke arah lima titik lalu bangkit
berdiri, mendatangi orang-orang yang ada di kali.
“Para sahabat, tempat ini sudah dipagari. Kita
menunggu sampai tengah hari tepat.”
“Apa yang akan terjadi pada tengah hari tepat?”
bertanya penulis mabuk Patah Hati yang memang tidak tahu
kelanjutan cara pengobatan atas diri bobo .
penulis gay lalu menjelaskan. “Sesuai petunjuk Kitab
Seribu Pengobatan, tepat tengah hari nanti sepuluh jari
tangan dan sepuluh jari kaki bobo harus ditusuk dengan
benda tajam sampai keluar darah. Jika darah mengucur
dan warnanya merah segar berarti dia telah sembuh dari
penyakitnya...”
penulis mabuk Patah Hati geleng-geleng kepala. Sambil
menggeleng matanya menatap wajah Pendekar 10000 an . Ada
rasa iba di wajahnya yang angker. Nenek ini lantas ingat
kejadian beberapa waktu lalu, ketika dia ikut dengan bobo
dan para tokoh silat menghancurkan 113 Lorong Kematian
yang jadi markas manusia pocong pimpinan Pangeran
Matahari. Saat itu bobo terlibat bentrokan pukulan sakti
dengan Ketua Barisan Pocong 113 Lorong Kematian. bobo
terpental, coba ditolong oleh penulis mabuk Patah Hati.
Keduanya jatuh bergulingan di tanah. Secara tak sengaja
sewaktu bergulingan bibir mereka saling bertempelan. Saat
itu juga ujud si nenek berubah menjadi sosok seorang
gadis cantik, memeluk dan menciumi bobo . Memang ujud
asli penulis mabuk Patah Hati sebenarnya adalah seorang
gadis cantik jelita bernama Ning Intan Lestari. Si nenek
melarang bobo menyeka bibirnya. Malah berkata. “Dengar
ada satu rahasia dalam diriku yang bisa menyesakkan
dada jika tidak aku katakan padamu. Kalau saja aku tidak
keburu jatuh cinta pada bocah berambut jabrik itu, kaulah
jadi penggantinya.” Celakanya ketika si nenek mencium
Pendekar 10000 an , Dewa Tuak yang berada tak jauh dari
tempat itu sempat melihat! penulis mabuk Patah Hati tarik
nafas panjang dan usap bibirnya (Baca serial bobo Sableng
berjudul ‘Kematian Kedua’).
“Siapa yang akan menusuk jari tangan dan kaki bobo ?”
penulis gay bertanya sambil memandang berkeliling.
“Nek, kau saja yang melakukan,” kata Ratu istri penulis .
“Kukumu panjang-panjang. Kita tidak perlu mencari alat
lagi. Harap kau mau membantu...”
penulis mabuk Patah Hati mengangguk. Dia merasa ber–
syukur diberi kesempatan menolong pemuda yang diam-
diam dicintainya itu. penulis gay kemudian menunjukkan
bagian mana dari jari tangan dan kaki bobo yang harus
ditusuk. penulis mabuk Patah Hati menusuk sepuluh jari
tangan dan sepuluh jari kaki bobo , semua di bagian ujung
jari.
Setelah menunggu cukup lama tidak terjadi apa-apa,
yaitu tidak ada darah yang mengucur keluar dari luka kecil
bekas tusukan kuku baik pada sepuluh jari tangan maupun
sepuluh jari kaki, penulis gay menatap ke arah Ratu istri penulis .
Dua gadis ini sama-sama menunjukkan rasa cemas. Setan
Ngompol dan Ki Tambakpati terdiam tegang. penulis ayan
memandang ke langit sebelah timur lalu membisikkan
sesuatu pada penulis mabuk Patah Hati sambil menunjuk ke
arah timur. Selanjutnya nenek ini pegang lengan Ratu
istri penulis seraya berkata.
“Aku rasa ada yang menghalangi. Lihat di arah timur
ada cahaya biru berkelap-kelip.”
Ratu istri penulis cepat menatap ke arah langit sebelah
timur. Di arah itu tampak dua cahaya biru berkedap-kedip.
“Kau benar Nek. Dua tombak biru pemagar tempat ini
di arah timur memberi tanda. Ada yang berusaha masuk!
Satu kekuatan gaib! Aku mohon kita semua sama-sama
lepaskan pukulan sakti ke arah timur!”
Kecuali Ki Tambakpati yang memang tidak memiliki
pukulan sakti, semua orang segera kerahkan tenaga dalam
dan siapkan pukulan sakti terhebat yang mereka miliki.
Masing-masing mengerahkan tenaga dalam penuh.
Jangankan manusia atau makhluk gaib, gubug penulis pun rasa-
rasanya jika dihantam bersama-sama seperti itu akan
hancur berantakan.
“Kek” kata Ratu istri penulis pada Setan Ngompol. “Kau tak
usah ikut menyerang. Lindungi bobo !”
“Tunggu dulu, aku melihat sesuatu di arah timur!”
Berkata penulis gay . “Ada dua sosok samar sedang berkelahi
di atas sana. Satu berpakaian putih, satu mengenakan
pakaian hitam. Ratu istri penulis coba kau selidiki. Keluarkan
cermin saktimu!”
Ratu istri penulis cepat keluarkan cermin sakti. Serta-merta
di dalam cermin terlihat seorang berselempang kain putih,
berambut dan berjanggut panjang putih dengan wajah
polos tengah berkelahi hebat melawan seorang pemuda
gagah. Si pemuda mengenakan pakaian serba hitam,
memelihara kumis, janggut dan cambang bawuk. Dari
jalannya perkelahian kelihatan pemuda ini terdesak dan
beberapa kali jatuh tersungkur. Makhluk tidak berwajah
mempergunakan sebatang tongkat bercahaya kuning
sebagai senjata ampuh.
Ratu istri penulis menerangkan apa yang dilihatnya dalam
cermin.
“Manusia tanpa wajah itu! Dia hendak menembus
melewati pagar gaib pengaman. Pemuda berpakaian hitam
berusaha mencegah tapi kalah ilmu. Dia akan segera
dimusnahkan oleh manusia tanpa wajah. Tapi tunggu
dulu... Bunga! Bunga muncul membantu pemuda berpa–
kaian hitam. Puluhan kembang kenanga melesat dari
tangannya, membuat manusia tanpa wajah terpaksa
mundur. Makhluk jahat ini membalikkan diri, melesat ke
langit. Lari!”
Di langit tampak tiga cahaya, merah, biru dan hijau
berkiblat lalu lenyap.
penulis gay dan beberapa orang lainnya yang merasa
tidak puas kalau tidak menyaksikan sendiri berusaha meli–
hat ke dalam cermin. Namun saat itu keadaan cermin
hanya tinggal bening putih. Pertanda semua makhluk tadi
tak ada di langit sebelah timur.
“Hai lihat!” Tiba-tiba penulis mabuk Patah Hati berteriak.
Membuat semua orang terkejut namun kemudian bersorak
gembira. Dari duapuluh luka kecil di ujung jari tangan dan
kaki bobo membersit keluar darah merah.
“Darahnya merah dan segar!” teriak Ki Tambakpati.
“bobo sembuh!” ucap Ratu istri penulis sambil menekap
wajah menahan tangis.
“Angkat! Bawa ke dalam rumah!” kata penulis gay .
Semua orang, beramai-ramai mengangkat tiga batang
kayu ke tepi kali. Lalu mereka menggotong bobo , memba–
wanya masuk ke dalam rumah panggung dan dibaringkan
di atas ranjang bambu. Darah kental, merah dan segar
masih mengalir dari duapuluh luka kecil di jari tangan dan
jari kaki bobo . Sesaat kemudian kucuran darah berhenti.
penulis mabuk Patah Hati pergunakan ujung jubah birunya
untuk membersihkan sisa-sisa darah di tangan dan kaki
bobo .
Tiba-tiba!
Buuuttt... buuuttt... prett!
“Kurang ajar! Siapa yang kentut?!” Hardik Setan Ngom–
pol. Mata mendelik dua tangan cepat menekap bagian
bawah perut.
Saat itu terdengar suara tawa cekikikan dalam rumah
panggung disusul berkelebatnya satu bayangan kuning.
Sesaat kemudian di dalam kamar itu telah berdiri seorang
nenek serba kuning mulai dari pakaian sampai dandanan–
nya. Nenek ini mengenakan jubah kuning. Rambut kuning
digulung di atas kepala, ditancapi lima sunting yang juga
berwarna kuning. Lalu di telinga kiri kanan mencantel
giwang berbentuk rantai kuning. Di leher menggantung
sebuah kalung besar berwarna kuning.
Setan Ngompol, penulis ayan dan penulis gay yang
mengenali nenek ini serentak berseru menyebut namanya.
bobo SABLENG
INSAN TANPA WAJAH
11
UHKENTUT!” Nenek berjubah kuning yang tegak di
ambang pintu ruangan tertawa panjang. Dia tepuk-
tepuk pantatnya yang songgeng karena dulunya terla–
lu banyak kentut lalu berkata, “Aku kebetulan lewat di sini.
Aku mencium bau makhluk dari alamku. Ternyata kau yang
berada di sini Luhmintari.” Si nenek berucap dan menyebut
nama penulis gay yang asli lalu memandang berkeliling. “Ah,
sobatku Setan Ngompol dan Naga Kuning, kalian juga ada
di sini” Si nenek lantas memandang ke arah ranjang bam–
bu. Kening mengerenyit. “Astaga! Bukankah itu Pendekar
10000 an bobo Sableng?”
penulis gay anggukkan kepala. Sampai saat itu sepasang
matanya terus memperhatikan si nenek. Dia merasa ada
kelainan pada diri perempuan tua berjubah kuning ini.
“Apa yang terjadi dengan dirinya?” tanya si nenek.
Siapa nenek ini sebenarnya? Di negeri Latanahsilam dia
dikenal dengan nama Luhkentut alias Hantu Selaksa Angin.
Sewaktu bobo bersama Setan Ngompol dan penulis ayan
terpesat ke negeri 1200 tahun silam bobo menolong dan
berhasil menyembuhkan nenek ini dari penyakit kentut
yang dideritanya selama puluhan tahun. Sebelumnya si
nenek bisa kentut ratusan kali sehari. Setelah ditolong oleh
bobo penyakitnya sembuh. Kalaupun masih terkentut
hanya keluar sesekali saja. Sebagai tanda terima kasih si
nenek mewariskan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad
kepada bobo .
Sewaktu para tokoh menyerbu 113 Lorong Kematian,
Luhkentut ikut ambil bagian dan kemudian ditugasi
mencari Hantu Muka Dua. Ternyata Hantu Muka Dua yang
juga makhluk dari negeri 1200 tahun silam itu telah
L
menemui ajal di tangan Bidadari Angin Timur (Nyi Bodong)
(Baca serial bobo Sableng ‘Api Di Puncak Merapi’).
“bobo menderita sakit aneh. Saat ini dalam tahap
penyembuhan...” menjelaskan Naga Kuning. Sepasang
mata bocah ini memperhatikan si nenek dari kepala
sampai ke kaki yang tersembul di balik ujung jubah kuning.
Tidak biasanya, pandangan mata si bocah yang selalu
nakal kini kelihatan seolah menyelidik. Seperti diketahui
ujud asli penulis ayan adalah seorang kakek sakti berusia
lebih seratus tahun.
Si nenek jubah kuning delikkan mata lalu geleng-geleng
kepala.
“Di Latanahsilam dia menyembuhkan penyakit kentut-
kentutku! Saatnya aku membalas budi. Siapa tahu aku bisa
menyembuhkan penyakitnya. Aku perlu memeriksanya.”
Lalu nenek ini melangkah mendekati ranjang bambu di
mana bobo terbaring dalam keadaan mata masih terpejam.
Saat itu di sudut ruangan penulis mabuk Patah Hati
memberi isyarat dengan gerakan tangan kanan pada Ratu
istri penulis . Ratu istri penulis yang baru saja mengerahkan ilmu
Menembus Pandang atas diri Luhkentut anggukkan kepala
lalu memberi isyarat pada penulis gay . Gadis dari Latanah–
silam ini segera menghadang langkah nenek berjubah
kuning.
“Nek, tunggu. Sebelum kau memeriksa bobo , kita bicara
dulu di luar rumah.”
“Kau mau membicarakan apa? Mengapa harus di luar
rumah, tidak di sini saja?” tanya Luhkentut heran.
Tanpa menjawab, penulis gay tarik tangan si nenek,
membawanya ke halaman. Ratu istri penulis dan penulis mabuk
Patah Hati bersama penulis ayan mengikuti. Sebelum
meninggalkan ruangan si nenek berkata pada dua kakek.
“Jaga pemuda ini. Ada yang tidak beres dengan nenek
satu itu!”
Sampai di halaman Luhkentut memandang pada
penulis gay . “Kita sudah di luar rumah. Apa yang hendak kau
bicarakan?”
“Nek, aku menaruh curiga pada keadaan dirimu.”
Berucap penulis gay .
“Bercuriga pada keadaan diriku? Memangnya ada apa
dengan diriku? Aku tidak mengerti.”
penulis mabuk Patah Hati melangkah ke hadapan
Luhkentut. “Kita tua sama tua. Jangan berani berdusta.
Kau datang ke tempat ini bukan secara kebetulan seperti
katamu tadi.”
“Aih, aku jadi tambah tidak, mengerti!” Luhkentut alias
Hantu Selaksa Angin mulai tampak kesal.
“Kau datang membawa makhluk asing dalam tubuhmu!
Kau bersekutu dengan makhluk gaib untuk mencelakai
bobo !” Kini giliran Ratu istri penulis yang keluarkan ucapan.
Si nenek menatap Ratu istri penulis tak berkesip lalu
tertawa mengekeh. “Aku membawa makhluk asing dalam
tubuhku katamu! Hik.. hik... hik! Untuk mencelakai bobo ?!
Benar-benar gila! Kalian mau aku telanjang? Biar aku buka
jubah kuning ini agar kalian melihat apa aku menyem–
bunyikan seseorang!”
“Tidak perlu Nek,” jawab Ratu istri penulis . “Kalau kau tidak
percaya akan aku perlihatkan padamu!” Ratu istri penulis
ambil cermin bulat sakti.
penulis gay memberi tanda agar jangan bertindak dulu.
Dia berkata pada si nenek. “Aku melihat ada cahaya samar
tiga warna dalam tubuhmu! Kau membawa satu makhluk!
Apa hubunganmu dengan manusia tanpa wajah yang
belakangan ini selalu hendak mencelakai kami dan bobo ?!”
Dalam bingungnya Luhkentut akhirnya tertawa gelak-
gelak. “Manusia tanpa wajah itu siapa? Setan atau
manusia yang mukanya tersiram air panas?! Manusia
sepertimu atau makhluk alam roh seperti sobatku Luhmin–
tari ini? Lelaki atau perempuan, atau tidak punya kelamin
sama sekali. Ikutan polos bagian bawahnya?! Hik.. hik...
hik!”
Mendengar ucapan si nenek Ratu istri penulis jadi marah.
Tangan kanannya yang memegang cermin digoyang tiga
kali. Saat itu juga tiga sinar putih berkilau mengandung
hawa panas menyambar ke arah Luhkentut.
“Aku datang bersahabat! Kau menyerangku! Sungguh
keterlaluan!” teriak Luhkentut marah. Nenek ini kebutkan
lengan jubah kuningnya kiri kanan seraya melesat dua
tombak ke atas. Di udara menggema dua letusan dahsyat
sewaktu dua larik sinar kuning yang keluar dari lengan
jubah si nenek bentrokan dengan dua sinar putih menyi–
laukan yang melesat dari dalam cermin sementara sinar
putih ke tiga berhasil dielakkan oleh Luhkentut dengan
cara melompat tadi.
Ketika si nenek melesat ke atas, penulis gay ikut berke–
lebat. Di udara dia lambaikan tangan ke arah punggung si
nenek. Selarik sinar biru bergemerlap menyapu. Saat itu
juga Luhkentut merasa sekujur tubuh menjadi kaku,
tangan dan kaki tak bisa digerakkan. Didahului jeritan
keras dia melayang jatuh ke tanah.
“Pengecut! Apa yang telah aku perbuat pada kalian
hingga menyerangku beramai-ramai!” Teriak Luhkentut.
Meski tubuhnya kaku ternyata nenek ini masih bisa ber–
suara. Dia berusaha kerahkan tenaga dalam dan hawa
sakti ke tangan kanan untuk melancarkan serangan
mematikan namun tidak berhasil.
Sebagai jawaban seolah tidak memberi ampun, Ratu
istri penulis kembali gerakkan tangan kanannya yang meme–
gang cermin sakti.
Dari dalam cermin melesat keluar gulungan cahaya
putih panas, langsung menelan si nenek. Inilah ilmu
kesaktian yang disebut Penjerat Raga Pencekal Jiwa. Di
saat yang hampir bersamaan penulis gay lepaskan satu
pukulan sakti memancarkan sinar biru bergemerlap dan
penulis ayan menghantam dengan pukulan Naga Murka
Menghancur Tujuh Dinding Gaib.
Semua serangan yang dilakukan ketiga orang itu
memiliki kekuatan untuk membakar dan menghancurkan
lawan yang mengandalkan kekuatan gaib.
Luhkentut menjerit keras mengenaskan. Namun yang
membuat semua orang tercekat ada satu raungan keras
lain menyertai jeritan si nenek. Tubuh Luhkentut dikobari
api berwarna merah dan biru. Perlahan-lahan tubuh itu
leleh berubah menjadi cairan putih mengepulkan asap lalu
lenyap. Sebelum leleh, satu bayangan putih keluar dari
tubuh si nenek. Sekilas kelihatan kepalanya yang tidak
memiliki wajah, tertutup rambut dan janggut putih.
penulis gay , Ratu istri penulis dan Naga Kuning, kini juga
penulis mabuk Patah Hati serentak menghantam dengan
pukulan sakti. Cepat sekali makhluk tanpa wajah itu
melesat ke langit. Salah satu bagian dari pakaian putih
yang dikenakannya tampak dikobari api. Sambil melesat
makhluk ini menebar cahaya merah, biru dan hijau
berbentuk kipas, menyambar ke arah para penyerang.
Ratu istri penulis , Naga Kuning, penulis gay dan penulis mabuk
Patah Hati kalau tidak cepat menjatuhkan diri sama rata
dengan tanah pasti akan celaka. Sebagian tanah halaman
terbongkar hangus. Dua pohon besar dan beberapa
rerumpunan semak belukar gosong menghitam! Untuk
beberapa lamanya tempat itu tenggelam dalam kesunyian.
Mendadak terdengar seseorang berucap perlahan tapi
cukup jelas.
“Kalian telah membunuh seorang sahabat.”
Semua orang yang ada di halaman sama tersentak
kaget dan palingkan kepala ke arah rumah panggung.
“bobo !”
Empat orang berseru berbarengan menyebut nama
Pendekar 10000 an . Di atas rumah panggung, tepat di depan
tangga kayu, berdiri murid Sinto Gendeng, dipapah oleh
Setan Ngompol di sebelah kanan dan Ki Tambakpati di
samping kiri. Wajah tampak pucat dan tubuh agak
tertunduk. Walau semua orang gembira melihat sang
pendekar mampu berdiri meskipun dipapah namun ucapan
yang tadi dikeluarkan bobo membuat mereka yang semula
hendak datang mendekati kini tertegak bimbang meragu
dan saling pandang satu sama lain.
bobo palingkan kepala pada dua kakek yang mema–
pahnya lalu balikkan badan, masuk ke dalam rumah.
“Kalian dengar ucapan bobo tadi...” berkata penulis mabuk
Patah Hati. “Ada kesalahpahaman. Sebaiknya kita masuk
ke dalam menemui bobo .”
Keempat orang itu lalu masuk ke dalam rumah dan
menemui bobo sudah berbaring di atas ranjang bambu.
Sepasang mata terbuka namun menatap lurus ke atas
langit-langit ruangan.
“bobo , kami bersyukur dan berterima kasih pada Gusti
Allah ternyata kau telah disembuhkan...” penulis mabuk Patah
Hati membuka pembicaraan.
bobo diam saja. Matanya masih terus menatap ke atas.
Ki Tambakpati membuka mulut. “Jalan darahnya boleh
dikatakan sudah pulih. Namun tubuhnya masih lemah. Aku
tadi sempat memeriksa. Dia tidak kehilangan tenaga
dalam ataupun hawa sakti yang dimiliki. Hanya saja dia
butuh paling sedikit dua hari untuk dapat memulihkan
kekuatan, mengalirkan tenaga dalam dan hawa sakti.”
penulis gay lebih mendekat ke tepi ranjang.
“bobo , apakah kau bisa bicara? Jika kau cukup kuat
untuk bicara kami ingin menanyakan beberapa hal...”
Hening beberapa ketika. Lalu tampak mulut bobo
bergerak dan terdengar suaranya berucap perlahan.
Sementara sepasang mata masih tetap melihat ke atas.
“Aku berterima kasih. Sangat-sangat berterima kasih.
Semua para tetua dan sahabat di sini telah mau bersusah
payah menolongku, menyelamatkan jiwaku...”
“Semua terjadi dengan kuasanya Gusti Allah Yang Maha
Pengasih Maha Penyembuh...” Kata Ratu istri penulis pula.
“Hanya ada satu hal sangat aku sesalkan. Keselama–
tanku ternyata menjadi tumbal kematian bagi seorang
sahabat. Mengapa kalian membunuh sahabatku nenek
bernama Luhkentut itu?”
Tak ada yang menjawab. Untuk beberapa lama tempat
itu diselimuti kesunyian. Ratu istri penulis berpaling pada
penulis gay . penulis gay memandang pada penulis mabuk Patah
Hati. Akhirnya nenek ini yang bicara.
IRO, kami perlu menjelaskan agar tidak terjadi
kesalahpahaman. Kami tidak ada niat membunuh
Luhkentut. Namun dia datang membawa makhluk
gaib berupa makhluk tidak punya wajah. Makhluk ini hen–
dak mencelakaimu, hendak membunuhmu. Kami harus
membunuh makhluk itu sebelum dia sempat mencelakai–
mu...”
“Apakah makhluk tidak berwajah itu berhasil kalian
bunuh?” bobo .
Tidak ada yang menjawab.
bobo berkata lagi. “Apakah untuk mengusir atau mem–
bunuh makhluk tidak berwajah itu harus dengan cara
membunuh sahabatku Luhkentut? Apa tidak ada cara lain
yang lebih bijaksana?”
Ketika masih tidak ada yang memberikan jawaban bobo
meneruskan ucapannya. “Luhkentut sama sekali tidak
bermaksud jahat terhadapku. Dia hanya ketumpangan
makhluk gaib. Luhkentut bahkan tidak tahu kalau dirinya
ketumpangan.”
“bobo , kami sangat menyesal apa yang terjadi dengan
Luhkentut” kata penulis mabuk Patah Hati. “Namun saat itu
kami tidak ingin melihat kau terbunuh.”
“Sahabat semua, sesungguhnya aku saat ini sudah
mati dalam hidupku. Ki Tambakpati telah menceritakan
apa yang terjadi dengan diriku. Aku kehilangan kejan–
tananku...”
Semua orang tundukkan kepala. penulis gay sembunyikan
wajah dengan mata berkaca-kaca. Ratu istri penulis kemudian
menatap ke luar pintu ruangan. Ada yang menyesalkan
W
seharusnya Ki Tambakpati tidak perlu cepat-cepat mem–
beritahu pada bobo atas apa yang terjadi dengan dirinya
menyangkut kejantanannya. Selain itu semua orang yang
ada di tempat itu sama bertanya dalam hati. Mengapa
dalam kegembiraan sembuhnya bobo kini terjadi hal seperti
ini?
penulis gay usap sepasang matanya yang basah lalu
berkata, “bobo , kami..., maksudku aku, Ratu istri penulis , Naga
Kuning dan penulis mabuk Patah Hati mengaku bersalah.
Apakah ada cara untuk menebus dosa kesalahan itu?”
“Aku hanya memberitahu bahwa seorang sahabat telah
terbunuh. Soal dosa kesalahan bukan wewenang diriku.
Aku yakin semua ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa.
Aku hanya ingin semua ini menjadi pelajaran sangat baik.
Aku ingin kalian tahu bahwa di balik setiap kebenaran itu
akan selalu ada apa yang dinamakan kebijaksanaan.
Seseorang mungkin merasa telah bertindak benar. Padahal
jika dia mau berpikir maka selalu ada apa yang namanya
kebijaksanaan di atas kebenaran!”
Semua orang jadi terdiam mendengar kata-kata bobo
itu. penulis mabuk Patah Hati, Naga Kuning, Ratu istri penulis dan
penulis gay merasa paling bersalah dengan terbunuhnya
Luhkentut. Sementara makhluk tanpa wajah berhasil lolos
melarikan diri. Hanya pakaiannya saja yang terbakar.
Selain itu semua orang melihat ada kelainan pada diri
Pendekar 10000 an dan membuat mereka bertanya-tanya.
Apakah karena masih belum sempurna kesembuhannya
maka bobo bicara tenang perlahan seperti itu? Lalu tidak
seperti biasanya kali ini bobo bicara seperti orang tua
memberi wejangan. Apa telah terjadi satu perubahan
dalam diri sang pendekar? Padahal pada saat dia sadar
tadi seharusnya dia ingin mencari tahu di mana dia berada,
bagaimana dia bisa sampai di rumah panggung itu dan apa
yang telah terjadi atas dirinya. Sebaliknya Ki Tambakpati
dan Setan Ngompol yang banyak bicara dan memberi tahu
keadaan dirinya.
Sementara semua orang tenggelam dalam alam pikiran
masing-masing Ki Tambakpati memecah kesunyian, “bobo ,
ketika kami menemui dirimu dan memeriksa keadaanmu,
kami tidak menemukan Kitab Seribu Pengobatan. Kami
khawatir kitab itu hilang lagi...”
“Aku telah menyimpan kitab itu di satu tempat.” Jawab
bobo .
“bobo ...” kata Ratu istri penulis . “Kami semua belum
merasa benar-benar lega sebelum kau mendapat kesem–
buhan sempurna. Kami ingin kau menceritakan bagaimana
kejadiannya sampai dirimu ditemui Ki Tambakpati di atas
bukit, di halaman sebuah candi dalam keadaan pingsan.”
“Dari ceritamu,” menyambung penulis gay . “Kami mung–
kin bisa menyelidik siapa yang telah berlaku jahat atas
dirimu.”
“Mudah-mudahan kami juga bisa mencari petunjuk
penyembuhan atas penyakit yang melumpuhkan kejanta–
nanmu,” menyambung penulis mabuk Patah Hati.
“Aku sudah di sini, kalian sudah menyelamatkan diriku.
Apa masih perlu segala macam cerita dari kejadian yang
telah lewat?” bertanya Pendekar 10000 an . Suaranya perlahan
dan tenang saja.
“bobo , kau pendekar besar! Mengapa menunjukkan
sikap seperti tidak punya gairah hidup lagi? Kalau kau mau
bercerita aku yakin ada jalan untuk menyembuhkan dirimu.
Selain itu kami semua ingin sekali mengetahui siapa orang
yang telah mencelakai dirimu. Kalau saja Pangeran Mata–
hari masih hidup pasti dia orangnya. Tapi begundal satu itu
sudah mati.” Habis berkata penulis ayan usap-usap dada
Pendekar 10000 an .
Setelah berdiam diri beberapa lamanya akhirnya bobo
mau juga menceritakan apa yang telah terjadi dengan
dirinya. Dimulai ketika dia menolong Raden Ayu Ambarsari
yang diperkosa oleh seorang pemuda mengaku bernama
penulis . Sewaktu menyeberangi Kali Progo yang arusnya
sangat deras, dirinya diserang secara gelap dengan lima
senjata rahasia berupa bunga tanjung. Satu dari lima
bunga tanjung menancap di lehernya hingga dia jatuh
pingsan.
“Ketika sadar diriku berada dalam tahanan Kerajaan
atas perintah Pangeran Tua Sena Wirapala. Ternyata
Ambarsari adalah cucu Pangeran Tua. Gadis itu ditemui di
tepi Kali Progo dalam keadaan tak bernyawa setelah sebe–
lumnya diperkosa. Aku dituduh memperkosa dan mem–
bunuh Ambarsari. Aku tak berdaya membebaskan diri
karena Pangeran Tua menotok tubuhku dengan totokan
luar biasa hebat. Kemudian muncul kembaran ke tiga
Eyang Sepuh Kembar Tilu. Dengan menyamar sebagai
Eyang Sinto Gendeng nenek itu berhasil mengeluarkan aku
dari penjara. Nenek itu membawaku ke sebuah candi di
puncak bukit. Dia berusaha melepaskan totokan di tubuh–
ku tapi tak berhasil. Entah dari mana datangnya, muncul
seorang pemuda berpakaian hitam, berikat kepala kain
merah. Pemuda ini menolong diriku melepas duabelas
totokan yang ada di tubuhku. Ketika pemuda itu pergi aku
baru sadar. Ciri-cirinya sama dengan pemuda yang menu–
rut Ambarsari hendak memperkosanya. Aku dan si nenek
berusaha mencari dan mengejar. Tapi dia lenyap seperti
ditelan bumi. Kemudian sesuatu terjadi atas diriku. Sekujur
tubuhku panas seolah berubah jadi bara api. Aku muntah
darah segar. Si nenek berusaha menolong dengan mela–
kukan beberapa totokan. Kemudian dia menemukan
sebuah bunga tanjung di bawah pusarku. Ketika bunga
diambil terjadi tiga letusan. Dari bawah perutku melesat
keluar satu hawa kekuatan aneh. Menyambar nenek itu
hingga dirinya terpental. Sebelum pingsan aku ingat satu
hal. Waktu itu hujan turun lebat sekali di puncak bukit.”
Seperti diceritakan sebelumnya bobo sama sekali tidak
mengetahui apa yang kemudian terjadi dengan nenek
kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu. Di bawah
hujan lebat, dari tubuh nenek itu keluar sebentuk tubuh
ramping tinggi semampai seorang gadis berkulit putih
berwajah cantik jelita, berambut hitam sepinggang. Gadis
ini mengenakan kebaya pendek dan celana panjang
ringkas berwarna kuning. Begitu keluar dari tubuh si nenek,
di bawah hujan lebat yang tidak membasahi tubuh serta
pakaiannya gadis misterius itu melangkah pergi dan lenyap
dari pemandangan.
“Di halaman candi, tak jauh dari tubuhmu tergeletak,
aku menemukan sebuah seruling...” Ki Tambakpati keluar–
kan sebuah suling perak dari balik pakaiannya dan mem–
perlihatkan pada bobo .
“Suling itu milik paderi Cina Loan Nio. Diberikan pada si
nenek sebelum dia kembali ke negerinya...” menjelaskan
bobo . “Tolong kau simpan dulu suling itu Kek.”
Kejadian selanjutnya diceritakan oleh Ki Tambakpati,
mulai saat dia mencari Sinto Gendeng tapi menemukan
bobo dalam keadaan tak sadar diri di puncak bukit. Lalu
kemunculan Damar Sarka dan Surah Sentono yang tengah
mencari jejak madat lima puluh kati.
“Ketika mereka menyiksa diriku karena mengira aku
menyembunyikan madat itu, paling tidak tahu di mana
beradanya, muncul sobatku Setan Ngompol bersama Liris
Biru murid mendiang Hantu Malam Bergigi Perak. Perteng–
karan disusul perkelahian tidak terelakkan. Ketika Liris
Biru dalam keadaan terdesak dan terancam jiwanya oleh
Damar Sarka, muncul pemuda berpakaian hitam berikat
kepala merah. Pemuda itu membunuh Damar Sarka lalu
pergi begitu saja. Liris Biru ingat ciri-ciri pemuda itu sangat
sama dengan orang yang membunuh dan memperkosa
kakaknya. Karena pemuda itu sebelum pergi mengatakan
akan menuju Kuto reot , Liris Biru mengambil keputusan
untuk mengejar ke sana...”
“Aku khawatir akan keselamatan gadis itu. Bisa-bisa dia
jadi korban seperti Liris Merah, kakaknya...!” ucap Setan
Ngompol.
“Pemuda berpakaian hitam berikat kepala merah itu,
apakah dia memelihara kumis, jenggot dan berewokan
lebat?” tanya Ratu istri penulis sambil memandang pada bobo .
“Betul, tapi kumisnya cuma tipis, jenggot serta
berewokannya juga tipis rapi. Mengapa kau bertanya hal
itu. Apakah pernah melihatnya?” bobo menjelaskan lalu
balik bertanya.
“Sejak kau sakit beberapa kali muncul makhluk gaib
tak berwajah berusaha mencelakaimu termasuk semua
kami yang ada di sini. Malam tadi dia muncul lagi, ber–
usaha menembus pagar pengaman yang dibuat oleh anak
buahku. Melalui cermin aku lihat ada seorang pemuda
berpakaian hitam berusaha mencegah hingga terjadi
perkelahian. Namun pemuda dalam cermin itu tidak
mengenakan ikat kepala merah. Kumis, janggut serta
berewok cambang bawuknya lebat tidak terpelihara.”
Sampai saat itu meskipun sudah bicara namun bobo
tetap saja mengarahkan pandangannya ke langit-langit
ruangan.
“Bunga tanjung...” ucap murid Sinto Gendeng.
“Beberapa kali perkosaan dan pembunuhan yang terjadi
atas gadis cantik yang aku dengar, korban selalu ditempeli
bunga tanjung di keningnya. Aku roboh dihantam bunga
tanjung di leherku. Aku jatuh sakit karena ada yang
menempelkan bunga tanjung di bawah pusarku. Agaknya
bunga tanjung ini merupakan pangkal bahala dari banyak
malapetaka yang terjadi belakangan ini. Termasuk yang
menimpa diriku. Pemuda berpakaian hitam, berikat kepala
kain merah dan berkumis tipis itu, agaknya dia berada di
belakang semua ini...”
“bobo , kau tahu di mana nenek kembaran ke tiga Eyang
Sepuh Kembar Tilu itu sekarang beradanya?” tanya Ratu
istri penulis .
“Aku tidak tahu,” jawab bobo . Lalu melanjutkan,
“Mungkin Ki Tambakpati bisa memberitahu karena dia
yang pertama kali menemukan diriku di dekat candi.”
“Ketika aku sampai di sana, aku hanya menemui dirimu
dan suling ini. Tidak ada orang lain...” menjelaskan Ki
Tampakpati.
“Jika dia lenyap begitu saja, meninggalkan dirimu yang
sedang ditimpa malapetaka, apakah tidak ada kecurigaan
mengapa dia berlaku seperti itu?” Yang berkata adalah
penulis mabuk Patah Hati.
“Mengingat begitu banyak pertolongannya atas diriku
selama ini, aku tidak menaruh syak wasangka terhadap
nenek satu itu. Kita tidak tahu apa yang terjadi atas
dirinya.” Jawab bobo pula. Lalu murid Sinto Gendeng ini
meneruskan kata-katanya. “Dua hari lagi jika keadaanku
sudah pulih, aku akan menemui guruku di puncak gubug penulis
reot . Setelah itu akan mengucilkan diri, mencari tempat
yang baik di puncak gubug penulis itu untuk mulai bertapa. Aku
tidak tahu apakah aku akan turun gubug penulis lagi atau akan
menjadi pertapa seumur-umur...”
Ucapan ini tentu saja membuat semua orang terkejut.
“bobo , kau jangan berputus asa seperti itu.” Kata Naga
Kuning sambil pegang lengan Pendekar 10000 an .
“Kalaupun Tuhan mencabut nyawaku saat ini rasanya
aku pasrah.”
Semua orang jadi merinding mendengar kata-kata sang
pendekar. Setan Ngompol pancarkan air kencing.
“bobo , ini hanya satu cobaan saja. Setiap cobaan pasti
ada akhirnya,” kata penulis mabuk Patah Hati.
“Rimba persilatan masih membutuhkan pendekar
sepertimu. Mengapa kau memilih jadi pertapa?” Ucap Ratu
i sambil memperhatikan air muka bobo . Dia tidak
melihat kalau pendekar ini tengah bergurau.
“Makhluk jahat yang mencelakaimu masih gentayangan
di alam bebas...” kata Setan Ngompol pula. “Aku belum
puas sebelum mengencingi mayatnya!”
“Kalau begitu kalian semua keluarlah dari tempat ini.
Aku mau tidur saja...”
Semua orang kini jadi melongo. penulis ayan pegang
lengan penulis mabuk Patah Hati, menarik nenek ini keluar
ruangan. Di luar ruangan si bocah bicara berbisik.
“Aku khawatir bobo kini benar-benar sudah sableng!
Pikirannya jadi tidak waras gara-gara tahu kalau dirinya
tidak jantan lagi. Memang kasihan. Aku tahu betul, seumur
hidup dia belum pernah mempergunakan alat kejantanan–
nya itu...”
“Husss! Orang lagi sakit bicaramu enak saja!” tukas
penulis mabuk Patah Hati.
“Aku bicara apa adanya!” jawab Naga Kuning. “Kalau
aku jadi dia akan aku coba dan buktikan dulu. Akan kuper–
gunakan dulu anuku. Apa benar aku kehilangan kejan–
tananku!”
“Anak geblek! Kau yang sudah berubah sableng!” maki
penulis mabuk Patah Hati lalu puntir telinga kiri Naga Kuning.
Tapi diam-diam si nenek berpikir dan bertanya-tanya dalam
hati. Ucapan penulis ayan bisa juga betul. Bagaimana Ki
Tambakpati dan Setan Ngompol tahu kalau bobo benar-
benar telah kehilangan kejantanannya. “Hal itu memang
harus dibuktikan. Kejantanan bobo harus diuji...” kata si
nenek dalam hati sambil senyum-senyum.
“Hai, ada apa kau mesem-mesem?” bertanya Naga
Kuning sambil usap-usap kupingnya yang barusan dijewer
dan masih terasa pedas. “Pasti ada pikiran kotor dalam
otakmu!”
“Huss! Diam saja kau!” bentak penulis mabuk Patah Hati.
Malam itu hujan turun lebat sekali mencurah bumi.
Udara dingin bukan kepalang. Mungkin karena keletihan,
semua orang yang ada di dalam rumah panggung kepu–
lasan. Dini hari penulis mabuk Patah Hati terjaga lalu mem–
bangunkan Naga Kuning.
“Hatiku terasa tidak enak,” kata si nenek. Ketika
keduanya memasuki ruangan di mana bobo berada, mere–
ka dapatkan pendekar itu tak ada lagi di atas ranjang
bambu. Seisi rumah panggung menjadi heboh.
Ratu istri penulis memandang berkeliling.
“Tidak semua kita berada di tempat ini. Mana Pur–
nama?” Ucapan gadis bermata biru itu membuat sadar
semua orang kalau penulis gay memang tidak ada di tempat
itu.
“Kurang ajar! Gadis alam roh itu melarikan bobo . Paling
tidak membujuknya meninggalkan tempat ini! Jauh sebe–
lumnya aku sudah menduga gadis satu ini berhati culas!”
penulis mabuk Patah Hati keluarkan suara keras.
Ratu istri penulis ambil cermin sakti. Tenaga dalam dike–
rahkan ke mata. Dua tangan yang memegang cermin
bergetar.
“Aku melihat bayangan bobo . Di arah barat. Samar
tanda sudah jauh sekali meninggalkan tempat ini.”
“Kau juga melihat gadis alam roh bernama penulis gay
itu?” tanya penulis mabuk Patah Hati.
Ratu istri penulis goyang-goyangkan cermin sakti. Lalu
menggelengkan kepala. “Tidak tampak orang lain. Hanya
bobo ...”
“Gadis culas itu pasti menggunakan ilmu kesaktiannya
untuk menangkal agar tidak terlihat dalam cermin.”
“Kita harus mengejar bobo . Mungkin dia dalam perjala–
nan menuju gubug penulis reot menemui gurunya. Kita harus
mencegahnya untuk menjadi pertapa. Sebenarnya aku juga
harus menuju ke sana karena ada pesan dari Kiai reot
Tapa Pamungkas untuk menemuinya.”
“Aku khawatir...” penulis ayan tidak meneruskan uca–
pannya, tapi melihat dulu pada penulis mabuk Patah Hati.
“Kau khawatir apa?” sentak si nenek.
“Aku khawatir bobo diajak pergi oleh penulis gay untuk
menguji kejantanannya...” ucap penulis ayan pula.
“Anak edan!” maki penulis mabuk Patah Hati lalu jambak
rambut jabrik Naga Kuning. Sementara anak ini meringis
dan mengeluh kesakitan Setan Ngompol kucurkan air
kencing habis-habisan! Ki Tambakpati cuma bisa senyum-
senyum dan Ratu istri penulis kelihatan merah rona wajahnya.
“Bisa jadi, bisa jadi! Bisa jadi apa yang dikatakan Naga
Kuning betul.” membatin penulis mabuk Patah Hati dengan
tubuh merinding karena cemburu.
“Nek...” ujar Naga Kuning.
“Apa?!” tanya penulis mabuk Patah Hati agak jengkel.
“Kalau kau..., apa kau mau menguji keampuhan
perabotannya bobo ?”
“Anak setan!” Damprat si nenek sambil mencubit
pinggang penulis ayan hingga anak ini melintir kesakitan.