Selasa, 11 Februari 2025

bobo sedih 3



 lah gentayangan cekakak-cekikik 

membuat hal-hal tidak karuan!” 

Luhrembulan lagi-lagi tersenyum. Kali ini dia tidak 

menjawab bentakan Ratu istri penulis . Tubuhnya kepulkan 

asap ungu. Lalu sosoknya berubah menyeramkan. Wajah 

yang tadi cantik kini berubah menjadi seperti burung gagak 

hitam. Mulut dan hidung jadi satu berbentuk paruh panjang 

dan bengkok. Sepasang mata kecil menonjol keluar tanpa 

alis. Tubuh bagus yang tadi dibalut pakaian ungu kini ber–

ubah menjadi sehelai jubah terbuat dari jerami kering. 

Makhluk ini buka lebar-lebar paruh panjangnya, menge–

luarkan suara menguik panjang lalu, desss! Didahului 

suara letupan serta kepulan asap hitam tubuhnya lenyap 

dari pemandangan. 

Semua orang yang ada di tempat itu kini sama 

memandang pada penulis gay . Ratu istri penulis  pegang lengan 

gadis ini lalu bertanya. “Siapa makhluk tadi?” 

“Dia makhluk dari alamku yang selama ini mengikutiku. 

Berusaha menggagalkan setiap apa yang aku lakukan. 

Bahkan berniat hendak mencelakai diriku. Aku, aku tidak 

menyalahkan kalau dia sangat membenci diriku. Kini dia 

juga membenci dirimu...” 

“Mengapa?!” tanya Ratu istri penulis . “Karena bobo ? Apa 

benar bobo  telah menjadi suaminya?” 

“Gadis itu bernama Luhrembulan. Ujud aslinya adalah 

bentuk burung gagak tadi. Nama sebenarnya Hantu Santet 

Laknat. Dia berada dalam keadaan seperti itu karena ada 

kutukan turun temurun atas diri moyang dan keturu–

nannya. Di alamku dia merupakan seorang teramat jahat. 

Ketika bobo  terpesat ke sana, dia jatuh cinta pada bobo . Dia 

minta bantuan seorang juru kawin, nenek bernama Lama–

hila, agar dia dikawinkan dengan bobo . Perkawinan dengan 

manusia seperti bobo  merupakan satu-satunya cara untuk 

membebaskan dirinya dari kutukan itu...” (Baca serial bobo  

Sableng di Negeri Latanahsilam mulai dari ‘Bola-bola Iblis’ 

 

s/d ‘Istana Kebahagiaan’). 

“Ah...” Ratu istri penulis  keluarkan suara tercekat sambil 

pegangi leher yang putih bagus. Dia ingat akan nasib 

dirinya. Dia juga pernah mengalami hal seperti itu, menjadi 

makhluk setengah ikan setengah manusia. bobo lah yang 

menolong melepas dirinya dari kutukan itu hingga dia 

memiliki ujud manusia sempurna (Baca serial bobo  Sableng 

berjudul ‘Wasiat Iblis’ s/d ‘Kiamat di Pangandaran’). 

“Ada apa?” tanya penulis gay  pada Ratu istri penulis . 

“Tidak... tidak ada apa-apa. Lanjutkan ceritamu.” 

penulis gay  berpaling pada Setan Ngompol. “Kek, kau 

tahu kejadian kawinnya bobo  dengan Luhrembulan alias 

Hantu Santet Laknat. Karena kau bersama penulis ayan 

ikut terpesat ke Latanahsilam.” 

Setan Ngompol manggut-manggut lalu berkata, “Saha–

batku muda, lanjutkan saja ceritamu. Biar para sahabat di 

sini semua tahu.” 

“Perkawinan bobo  dengan Luhrembulan tidak sah. 

Karena bobo  ditipu. Diberi minuman yang membuat dia 

lupa pikiran. bobo  dibawa ke Bukit Batu Kawin. Dalam 

keadaan tidak sadar juru kawin Lamahila menikahkan bobo  

dengan Luhrembulan.” 

“Kalau aku tidak salah menyirap berita...” kata Setan 

Ngompol pula. “Hanya beberapa saat setelah berlang–

sungnya perkawinan, Bukit Batu Kawin dilanda badai. 

Semua orang terpencar. Sebelum bobo  kembali ke tanah 

Jawa aku tidak tahu apakah bobo  pernah bertemu lagi 

dengan Luhrembulan di Latanahsilam.” 

penulis gay  yang di Latanahsilam bernama Luhmintari 

lanjutkan kisahnya. “Waktu Istana Kebahagiaan hancur, 

hampir semua tokoh di Latanahsilam terpesat ke tanah 

Jawa, termasuk diriku. Juga Luhrembulan. Dia pasti men–

cari bobo . Sekaligus ingin mencelakai diriku karena dia 

merasa aku hendak merampas pendekar yang dianggap–

nya sudah jadi suaminya itu...” 

Sewaktu penulis gay  selesai dengan ceritanya keadaan di 

tempat itu menjadi sunyi. Ki Tambakpati tiba-tiba ingat 

 

sesuatu, “Ketika gadis itu terbujur di tanah, aku melihat 

tiga kembang kenanga menancap di keningnya.” 

“Kembang kematian itu yang melumpuhkannya. Sera–

ngan kami berdua nyaris tak berbekas...” kata penulis gay  

pula. Dia menatap ke langit. “Bunga, kau tidak putus-

putusnya menolong kami. Aku dan para sahabat sangat 

berterima kasih.” 

“Apakah gadis aneh tadi itu akan muncul lagi 

mengganggumu?” bertanya Setan Ngompol pada penulis gay . 

“Pasti Kek, tapi kali ini dia akan tenggelam di alamnya 

dalam waktu cukup lama. Paling tidak seratus hari lebih...” 

Menjawab penulis gay . 

“Apa tidak ada kekuatan yang bisa membuatnya teng–

gelam selama-lamanya?” bertanya Ki Tambakpati. 

“Biji damar,” ucap penulis gay . “Itu buah pantangan yang 

bisa melumpuhkan kami orang-orang perempuan dari 

Latanahsilam...” 

“Ah, kalau bijiku bisa dipakai memoles dan melum–

puhkan gadis tadi, pasti aku berikan!” Kata Setan Ngompol 

pula yang lalu ditepuk punggungnya oleh Ratu istri penulis . 

Kakek ini tertawa gelak-gelak sambil terkencing-kencing. 

Sementara penulis gay  tampak senyum-senyum. 

“Kantong menyanmu yang disengat tawon masih 

bengkak. Bau pesing pula! Mana bisa jadi alat pelumpuh!” 

kata Ki Tambakpati. 

Tiba-tiba tempat itu dibisingi oleh suara lenguh sapi. 

Semua orang terkejut. Setan Ngompol memaki panjang 

pendek menahan kencingnya yang mau terpancar. 

“Hai! Ke mana bocah bernama Kudin itu?” tiba-tiba Ki 

Tambakpati bertanya. “Kudin!” Si kakek berteriak 

memanggil. 

Dari balik pohon besar Kudin keluar dengan wajah 

tampak pucat. Rupanya apa yang terjadi di tempat itu 

membuat anak ini ketakutan dan sembunyi di balik pohon. 

“Kudin, kau sudah siap menolong memeras susu sapi 

itu?” tanya Ratu istri penulis . Si bocah mengangguk. Ratu 

istri penulis  menatap ke atas atap rumah panggung. “Kurasa 

 

mangkuk tanah itu sudah kering. Sudah bisa dipakai untuk 

menampung susu.” Lalu Ratu istri penulis  melesat ke atas atap 

rumah mengambil mangkuk tanah yang memang ternyata 

telah kering dan menjadi keras. 

“Kakek berdua, kalau madu sudah siap, sebaiknya 

mulai saja mengurut bobo ,” kata penulis gay . 

“Pasti akan segera kami lakukan. Tapi kami berdua 

juga ingin tahu apa yang hendak kalian lakukan dengan 

susu sapi itu.” Jawab Ki Tambakpati. 

“Kalian tidak akan meminum susu sapi itu, bukan? 

Nanti kalian bisa jadi gembrot! Ha... ha... ha!” Setan 

Ngompol tertawa dan mancurkan air kencingnya. 

“Kalau kau suka, kau boleh meneguknya langsung dari 

puting susu sapi betina itu Kek!” kata Ratu istri penulis  sambil 

tertawa. Dia tuntun Kudin mendekati sapi lalu letakkan 

mangkuk tanah di bawah perut binatang itu. 

“Ayo peras yang banyak. Sampai mangkuk itu penuh 

dengan susu.” Kata Ratu istri penulis  sementara penulis gay  

jongkok di samping si bocah. 

Cekatan sekali Kudin memeras susu sapi. Tangannya 

naik turun tiada henti. Susu sapi mengucur deras. Sebentar 

saja mangkuk tanah sudah penuh. 

“Sahabat, kau sekarang tinggal menuruti apa yang ada 

dalam Kitab Seribu Pengobatan,” kata Ratu istri penulis  pada 

penulis gay . 

“Susu dalam mangkuk ini harus diaduk agar tanah 

merah di dalamnya leleh menyatu. Lalu susu diembunkan 

semalam suntuk. Mulai dari matahari tenggelam sampai 

besok fajar menyingsing. Sekarang biar susu ini disimpan 

dulu dalam rumah.” Kata penulis gay  lalu mendahului tiga 

orang itu masuk ke dalam rumah. Namun di tangga kayu 

gadis cantik dari negeri 1200 tahun silam ini hentikan 

langkah dan berbalik, memandang berkeliling. 

“Bocah itu... Sapi tadi...” ucap penulis gay . 

Semua orang ikut memutar tubuh. Kudin dan sapi putih 

ternyata tak ada lagi di tempat itu. 

“Sahabat kita Bunga pasti sudah mengembalikan sapi 

 

dan anak itu ke tempatnya semula di sawah,” kata Ratu 

istri penulis  pula. 

“Sahabatku Bunga, aku... kami benar-benar sangat 

berterima kasih padamu.” Ucap penulis gay  sambil mem–

bungkukkan tubuhnya. 

Sampai di dalam rumah Ratu istri penulis  dan penulis gay  

memasukkan cairan jahe ke dalam mulut bobo , mengurut 

bagian dada dan leher sang pendekar hingga air jahe bisa 

tertelan. Sementara itu Ki Tambakpati dan Setan Ngompol 

mengurut sekujur tubuh bobo  dengan madu hangat. 

Pada saat matahari tenggelam, penulis gay  mengambil 

susu dalam mangkuk tanah lalu membawa dan meletak–

kannya di atas atap rumah. 

Malam itu sambil terus mengobati bobo  semua orang 

bersikap waspada berjaga-jaga. Bukan mustahil akan 

muncul lagi gangguan dari makhluk-makhluk yang tidak 

suka melihat kesembuhan Pendekar 10000 an  dan juga kesem–

buhan penulis gay . Sesekali penulis gay  dan Ratu istri penulis  naik 

ke atas atap untuk melihat susu dalam mangkuk tanah 

serta memperhatikan keadaan sekitar rumah panggung. 

“Aku tidak mengawatirkan Luhrembulan alias Hantu 

Santet Laknat. Dia tidak akan muncul sampai seratus hari 

di muka. Yang aku takutkan adalah makhluk yang kita lihat 

dalam cermin. Manusia tak berwajah itu.” Kata penulis gay . 

“Aku akan berjaga-jaga di sini...” kata Ratu istri penulis  pula 

sambil terapkan ilmu Menembus Pandang untuk menjajagi 

keadaan sekitar rumah panggung. “Kau masuklah ke 

dalam rumah. Bantu dua kakek itu mengobati bobo .” 

“Biar aku saja yang di sini. Kau yang masuk ke rumah,” 

jawab penulis gay  pula. 

Ratu istri penulis  tersenyum. “Kalau begitu biar aku mene–

manimu dulu di sini. Pertemuan semacam ini jarang bisa 

kita lakukan. Saat ini kita bisa berbagi cerita dan penga–

laman. Aku ingin sekali mendengar cerita tentang negeri 

asalmu Latanahsilam. Negeri seribu duaratus tahun silam 

itu.” 

“Banyak memang yang bisa aku ceritakan padamu” 

 

jawab penulis gay . “Tapi setelah itu rasanya sangat penting 

untuk membicarakan sakitnya bobo . Kita tahu kalau jalan 

darahnya bisa disembuhkan masih ada penyakit yang 

mendekam di tubuhnya. Dia kehilangan kejantanannya...” 

Larut malam puas bercakap-cakap kedua gadis itu 

masuk ke dalam rumah. Mereka tak bisa memicingkan 

mata. Ki Tambakpati dan Setan Ngompol masih menguruti 

bobo  walau jelas tampak terkantuk-kantuk. Sampai fajar 

menyingsing keadaan aman-aman saja, tidak terjadi apa-

apa. 

Begitu langit di ufuk timur tampak terang, Ratu istri penulis  

memberi isyarat pada penulis gay . Kedua gadis cantik ini 

keluar dari rumah lalu melesat naik ke atas atap rumah. 

Begitu sampai di atap, mereka terbelalak kaget dan sama-

sama keluarkan seruan tertahan. Mangkuk berisi susu sapi 

tak ada lagi di atas atap! 

“Kurang ajar! Siapa yang mencuri mangkuk!” teriak 

Ratu istri penulis  marah. “Semalam suntuk kita berjaga-jaga. 

Kita tidak mendengar suara apa-apa yang mencurigakan.” 

penulis gay  pegang tangan gadis itu, menarik nafas dalam 

dan berkata. “Mungkin belum saatnya aku mendapat 

kesembuhan. Aku pasrah...” 

Ratu istri penulis  tetap penasaran. Dia memandang 

berkeliling. Terapkan ilmu Menembus Pandang. Dia tidak 

melihat ada orang yang sembunyi sekitar halaman. Dia 

perhatikan setiap pohon, tidak ada makhluk yang mende–

kam. Gadis bermata biru ini akhirnya keluarkan cermin 

saktinya. 

“Dengan cermin sakti ini masakan tidak tembus!” kata 

Ratu istri penulis  pula. 

“Aku khawatir ini lagi-lagi pekerjaan makhluk tanpa 

wajah!” ujar penulis gay . 

Tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. Datangnya 

dari kolong rumah panggung. Sesaat kemudian melesat 

satu bayangan hitam. Sosok ini kemudian telah berdiri di 

atas atap, di hadapan Ratu istri penulis  dan penulis gay . 

 

bobo  SABLENG 

INSAN TANPA WAJAH 

 

9

 

 

 

AHABAT berdua, apa kalian mencari ini?” Sosok hitam 

bertanya. 

“Naga Kuning!” Ratu istri penulis  berteriak. “Bocah nakal! 

Apa yang kau lakukan?! Yang kau pegang itu bukan benda 

sembarangan! Awas tumpah!” Sementara penulis gay  berdiri 

memperhatikan sambil geleng-geleng kepala. 

Sosok yang berdiri di atas atap di depan dua gadis 

cantik itu adalah seorang bocah berambut jabrik, menge–

nakan pakaian hitam bergambar naga bergelung di bagian 

dada. Dia bukan lain adalah penulis ayan alias gubug penulis  

alias Kiai Paus Samudera Biru. 

“Naga Kuning! Lekas serahkan mangkuk itu padaku!” 

berkata penulis gay . 

penulis ayan serahkan mangkuk susu pada penulis gay . 

Ratu istri penulis  yang masih belum puas bertanya, “Kau 

menyelinap, kau mengambil mangkuk berisi susu itu. Apa 

penulis ayan betulan?! Atau makhluk jejadian yang me–

nyamar diri?!” tanya Ratu istri penulis  sambil alirkan tenaga 

dalam ke tangan kanan siap untuk lepaskan pukulan sakti. 

“Bocah seperti aku mana ada yang palsu,” jawab Naga 

Kuning sambil senyum-senyum seenaknya. Lalu dia mene–

rangkan, “Aku mendengar kabar sobatku Pendekar 10000 an  

ditangkap orang-orang kerajaan. Aku menyelidik dan sam–

pai ke sini. Kulihat rumah sepi-sepi saja. Di atas atap ada 

benda ini. Ketika aku ambil ternyata berisi susu dingin 

sejuk. Kebetulan aku haus...” 

“Astaga! Jadi susu itu sudah kau minum?” tanya 

penulis gay  tercekat. 

“Lancang dan rakus!” hardik Ratu istri penulis  penuh 

gemas. 

 

penulis ayan tertawa sambil usap-usap perutnya. 

penulis gay  jadi jengkel. Ratu istri penulis  tambah kesal. Dia 

membentak. “Jawab pertanyaan kami! Kau minum susu 

dalam mangkuk itu? Hai! Kau datang sendirian atau 

dengan siapa?!” 

“Tadinya aku memang mau minum susu ini. Keliha–

tannya enak sekali. Tapi, tapi tak jadi kulakukan. Sebenar–

nya aku mau menyelamatkan susu dalam mangkuk ini.” 

“Apa maksudmu?” tanya penulis gay . 

“Aku disuruh untuk mengambil mangkuk ini dan 

menunggu di sini. Tadi aku sembunyi di kolong rumah. 

Waktu melihat kalian berdua aku naik ke atap sini.” 

“Siapa yang menyuruhmu mengambil dan menunggu di 

sini? Kau datang dengan siapa?!” bentak Ratu istri penulis . 

“penulis mabuk  Patah Hati...” jawab Naga Kuning. 

“Hemm... Nenek kekasihmu itu. Mana dia?” tanya Ratu 

istri penulis . 

“Ada di kali... Lagi kencing!” jawab si bocah berambut 

jabrik yang ujud aslinya adalah seorang kakek sakti berusia 

hampir 120 tahun dan dikenal dengan panggilan Kiai Paus 

Samudera Biru. 

“Mengapa nenek itu menyuruhmu mengambil mangkuk 

berisi susu ini?” tanya penulis gay  pula. 

penulis ayan menggeleng. “Aku tidak tahu. Aku hanya 

menurut perintahnya saja...” 

“Serahkan mangkuk berisi susu itu padaku!” kata 

penulis gay . Setelah menerima mangkuk tanah dari Naga 

Kuning penulis gay  lalu berkata pada Ratu istri penulis . “Hari 

semakin terang. Kurasa sebaiknya pengobatan aku laku–

kan sekarang juga sesuai petunjuk dalam Kitab Seribu 

Pengobatan. Kita tidak punya banyak waktu. Kita harus 

cepat-cepat menolong bobo . Biar pengobatan aku lakukan 

sekarang di atas atap ini!” 

Ratu istri penulis  mengangguk dan kerahkan ilmu Menem–

bus Pandang untuk mengawasi keadaan sekitar rumah. 

penulis gay  memutar tubuh, menghadap ke arah matahari 

tenggelam yaitu sesuai dengan apa yang tertulis dalam 

 

Kitab Seribu Pengobatan. Perlahan-lahan dia angkat 

mangkuk ke atas kepala. Siap untuk diguyurkan ke 

wajahnya yang terkelupas cacat di bagian kiri. Tiba-tiba 

satu bayangan biru berkelebat menyusul suara teriakan. 

“Tahan! Jangan guyur kepalamu dengan cairan dalam 

mangkuk!” 

Semua orang yang ada di atas atap sama terkejut. Di 

halaman rumah panggung berdiri sosok seorang nenek 

berjubah biru, rambut kelabu wajah seram angker. Sepuluh 

kuku jari tangannya panjang hitam. Nenek ini memberi 

isyarat dengan lambaian tangan agar semua orang turun 

ke tanah. 

“Nek, ada apa ini?!” teriak Ratu istri penulis  dari atas atap. 

Dia telah mengenali nenek di bawah sana yang bukan lain 

adalah penulis mabuk  Patah Hati. 

“Turun saja ke sini! Nanti kalian akan lihat sendiri!” 

jawab si nenek. 

penulis ayan melesat turun lebih dulu. Akhirnya 

penulis gay  dan Ratu istri penulis  ikutan turun ke tanah. Si nenek 

membungkuk sedikit, melihat dan membaui cairan yang 

ada dalam mangkuk tanah yang dipegang penulis gay . 

Saat itu mendengar suara orang bicara di halaman dan 

di atas atap rumah Ki Tambakpati dan Setan Ngompol 

segera keluar. Mereka terheran-heran melihat si bocah dan 

si nenek ada di situ. penulis mabuk  Patah Hati yang sudah 

kenal pada Setan Ngompol kedipkan matanya, tersenyum 

sedikit lalu kembali membungkuk, mencium dan memper–

hatikan cairan dalam mangkuk. 

“Susu sapi...” ucap si nenek perlahan. Dia menatap 

wajah sebelah kiri penulis gay  yang tampak merah menge–

lupas. 

“Kau akan pergunakan susu itu untuk mengobati luka 

di wajahmu. Betul?” bertanya penulis mabuk  Patah Hati. 

penulis gay  mengangguk. 

“Susu itu mengandung racun!” 

Ucapan si nenek membuat penulis gay  dan Ratu istri penulis  

terkejut. Ki Tambakpati melongo sedang Setan Ngompol 

 

cepat-cepat tekap bagian bawah perutnya. 

“Racun dari mana? Siapa yang memasukkan ke dalam 

susu? Bagaimana mungkin! Kami berjaga-jaga semalam 

suntuk. Tidak ada seorangpun mendekati tempat ini!” Kata 

penulis gay  sambil memperhatikan susu dalam mangkuk lalu 

memandang pada si nenek. 

“Racun itu dikirim dari jauh...” kata penulis mabuk  Patah 

Hati pula. “Kalau kalian tidak percaya lihat apa yang akan 

aku lakukan. Aku akan membersihkan racun dalam susu. 

Kalau sudah bersih, kau boleh pergunakan susu itu untuk 

mengobati luka di wajahmu. Pegang kuat-kuat mangkuk itu 

dan lihat...” 

penulis mabuk  Patah Hati kembangkan dua telapak 

tangan, sepuluh jari ditukikkan ke arah susu dalam mang–

kuk. Mulut berkomat-kamit membaca mantera. Tak lama 

kemudian susu dalam mangkuk tampak bergejolak seperti 

mendidih. Lalu mengepul asap hitam. Dengan sepuluh 

kuku jarinya si nenek sedot asap hitam itu. Ketika gejolak 

air susu di dalam mangkuk berhenti, penulis mabuk  Patah Hati 

mundur tujuh langkah. Mulut masih berkomat-kamit. Dia 

berhenti di dekat serumpun semak belukar. Tangan kanan 

diulurkan. Tangan kiri meremas pergelangan tangan 

kanan. Saat itu juga dari lima ujung jari si nenek mengucur 

keluar cairan hitam pekat berkilat, menebar bau busuk. 

Ganti tangan kanan meremas tangan kiri. Cairan hitam 

kembali mengucur. Begitu cairan hitam menyentuh semak 

belukar, tumbuhan ini serta merta berubah gosong hitam 

lalu rontok ke tanah disertai kepulan asap dan bau luar 

biasa busuk, membuat beberapa orang yang ada di tempat 

itu jadi mual berusaha menahan muntah. 

penulis mabuk  Patah Hati melangkah mendekati penulis gay  

yang tegak dengan muka pucat. “Sahabatku muda. Kalau 

susu itu tadi sampai membasahi kepalamu, kulitmu akan 

jadi gosong seumur hidup, rambut di kepalamu akan 

rontok. Dicari ke manapun tak ada obat penyembuhnya.” 

“Nek, aku sangat berterima kasih. Kalau bukan kau 

yang menolong hidupku akan celaka seumur-umur. Nek, 

 

kau berbuat baik padaku, padahal kita baru sekali bertemu 

sewaktu kau muncul di Gedung Kadipaten Losari. Kita 

bahkan tidak sempat saling menyapa.” 

penulis mabuk  Patah Hati tersenyum mendengar ucapan 

penulis gay . “Siapapun sahabat Pendekar 10000 an  adalah saha–

batku juga...” Si nenek pegang bahu gadis dari Latanah–

silam ini lalu berkata. “Susu itu sudah bersih. Tak ada lagi 

racun di dalamnya. Silahkan kau mengobati diri...” 

penulis gay  sekali lagi mengucapkan terima kasih lalu 

memutar tubuh dan wajah menghadap ke arah matahari 

tenggelam. Dua tangan yang memegangi mangkuk berisi 

susu di angkat di atas kepala. Sesuai dengan petunjuk 

dalam Kitab Seribu Pengobatan sambil mengguyurkan 

susu ke atas kepalanya, penulis gay  melafatkan kata-kata: 

Manusia berasal dari tanah. Tanah pula yang akan 

menjadi pengobat. Manusia memulai hidup dengan air 

susu. Air susu pula yang akan menjadi pengobat. Tuhan 

Maha Kuasa Maha Penyembuh. 

Susu putih susu sapi di dalam mangkuk diguyur mem–

basahi kepala, wajah dan sebagian tubuh penulis gay  sebe–

lah atas. Saat itu juga di langit kelihatan kilatan cahaya tiga 

warna merah, biru dan hijau. penulis mabuk  Patah Hati yang 

pertama sekali melihat kilatan cahaya itu langsung han–

tamkan dua tangan ke atas. Sepuluh kuku jari mencuat 

lebih panjang, berubah dari hitam menjadi merah. Sepuluh 

larik cahaya merah kemudian melesat ke arah kilatan 

cahaya tiga warna di langit, Ilmu Kuku Api! 

Blaar... blaarr... blaar! 

Satu kekuatan gaib menerpa si nenek, membuatnya 

terhuyung dan buru-buru dipegang oleh Ratu istri penulis . Di 

langit cahaya tiga warna lenyap tanpa bekas. 

“Luar biasa! Kekuatan gaib itu luar biasa kuat dan 

jahat!” kata penulis mabuk  Patah Hati sambil pegangi dadanya 

yang berdebar keras. 

“Dari cahaya tiga warna itu aku yakin lagi-lagi manusia 

tanpa wajah itu yang punya pekerjaan!” ucap Ratu istri penulis . 

penulis mabuk  menatap wajah penulis gay  dan tersenyum. 

 

“Cacat di wajahnya lenyap. Kau sudah sembuh!” 

penulis gay  terpekik. Ratu istri penulis  berseru gembira. Ki 

Tambakpati mengucap berulang kali sedang Setan Ngom–

pol tertawa girang sambil pegangi bagian bawah celananya. 

“Sungguh luar biasa! Kau benar-benar sembuh!” Kata 

Ratu istri penulis  lalu ambil cermin sakti dan diberikan pada 

penulis gay . Gadis dari negeri Latanahsilam ini perhatikan 

wajahnya di dalam cermin. Matanya langsung berkaca-

kaca. Luka cacat di wajahnya sebelah kiri benar-benar 

telah lenyap. 

“Racun yang ada di dalam susu itu adalah racun ular 

jahat yang cuma hidup di gurun pasir.” Menerangkan si 

nenek. 

penulis gay  peluk penulis mabuk  Patah Hati lalu merangkul 

Ratu istri penulis . Ketiga orang ini larut dalam rasa haru serta 

gembira. 

“Aku tidak kebagian dipeluk?” penulis ayan keluarkan 

ucapan. 

penulis mabuk  Patah Hati jewer telinga kiri anak ini. 

“Bocah rakus. Untung kau tidak menenggak susu itu. Kalau 

sampai kau tenggak saat ini tubuhmu sudah gosong men–

jadi jerangkong hitam!” 

“Aduh Nek, ampun. Suaakiittt” Jerit Naga Kuning. Tapi 

begitu jeweran dilepas anak ini tertawa gelak-gelak. 

penulis gay  kemudian berkata. “Saatnya kita menangani 

bobo . Mudah-mudahan dia mendapatkan kesembuhan pagi 

ini.” 

Semua orang masuk ke dalam rumah panggung. Yang 

pertama sekali bergerak adalah Ratu istri penulis . Dengan 

tangan agak gemetar gadis sakti dari laut selatan ini 

menotok urat besar di pangkal leher bobo  untuk melepas 

jalan suara. 

Kleekk! 

Tidak seperti biasanya, totokan mengeluarkan suara 

aneh. Ratu istri penulis  sendiri merasa dua jari tangan yang 

dipergunakan untuk menotok panas bergetar. Agaknya 

masih ada kekuatan gaib berusaha mencegah penyembu–

 

han yang dilakukan atas diri sang pendekar. Semua orang 

menunggu penuh tegang. 

Tiba-tiba dari tenggorokan Pendekar 10000 an  keluar suara 

mengorok, keras dan panjang. Suara mengorok berhenti. 

Mulut bobo  terbuka lebar. Semua orang jadi bertambah 

tegang. Tak ada suara teriakan keluar dari mulut itu. Bah–

kan mulut yang terbuka lebar perlahan-lahan menutup 

kembali. Sepasang mata yang sebelumnya terus-terusan 

nyalang dan hanya kelihatan putih kini mengatup terpejam. 

“Dia tidak keluarkan jeritan. Apakah berarti jalan 

darahnya sudah pulih...?” bisik Ki Tambakpati. 

“Mudah-mudahan begitu,” menyahuti Ratu istri penulis . 

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Setan 

Ngompol, tak lupa menekap perabotannya dengan dua 

tangan. 

“Kita harus mengikuti petunjuk Kitab Seribu Pengo–

batan berikutnya. Kita harus membawa bobo  ke kali dan 

mengapungkannya.” Ucap penulis gay . 

bobo  lalu diangkat dari ranjahg bambu, dipindah ke atas 

tiga batang kayu yang sudah disiapkan Setan Ngompol dan 

Ki Tambakpati. Lalu batang kayu itu beramai-ramai digo–

tong dan dimasukkan ke dalam Kali Progo dengan kepala 

menghadap ke arah datangnya arus air kali. Tiga utas tali 

dipakai untuk mengikat batang kayu ke pepohonan kecil di 

tepi kali. Setan Ngompol, Naga Kuning, Ki Tambakpati 

berendam di dalam air memegangi batang kayu. Gondo–

ruwo Patah Hati, Ratu istri penulis  dan penulis gay  berjaga-jaga di 

tebing kali. Mereka menunggu sampai matahari mencapai 

titik tertingginya yaitu saat di mana sepuluh jari tangan dan 

sepuluh jari kaki bobo  harus ditusuk sampai mengeluarkan 

darah. 

Menunggu dari pagi sampai saat sang surya mencapai 

titik tertingginya terasa sangat lama. Apalagi disertai 

perasaan tegang. Suasana di kali terasa sunyi. Sesekali 

kesunyian dipecah oleh suara kicau dan terpaan sayap 

burung yang terbang dari pohon ke pohon. Air kali yang 

datang dari hulu membasahi sebagian kepala dan tubuh 

 

bobo . Di dalam kali Setan Ngompol entah sudah berapa kali 

kucurkan air kencing. Sekujur tubuhnya mulai terasa dingin 

sementara mata yang belok kelihatan redup terkantuk-

kantuk. 

“Kek, kau naiklah ke sini. Biar aku yang menggantikan.” 

Kata penulis mabuk  Patah Hati. Lalu tanpa menunggu jawa–

ban orang si nenek masuk ke dalam kali. Belum sempat 

Setan Ngompol naik ke darat tiba-tiba dari hilir terdengar 

suara menderu. Di permukaan kali kelihatan dua benda 

coklat panjang berjajar meluncur cepat ke arah di mana 

orang-orang itu berada. 

“Buaya!” teriak Naga Kuning. 

“Ada dua ekor!” penulis mabuk  Patah Hati ikut berteriak. 

Ratu istri penulis  yang duduk di tepi kali melompat bangkit. 

“penulis gay , kau yang kiri aku yang kanan!” Teriak sang ratu. 

“Aku mencium sesuatu! Ini bukan buaya sungguhan!” 

teriak penulis gay . 

 

bobo  SABLENG 

INSAN TANPA WAJAH 

 

10

 

 

 

EMUA orang yang ada di dalam dan di pinggir kali 

menjadi geger. Ratu istri penulis  dan penulis gay  bertindak 

cepat. Keduanya serentak melesat ke tengah kali. 

Dua tangan lepaskan pukulan sakti. Ratu istri penulis  meng–

hantam buaya di sebelah kanan dengan pukulan ganas 

bernama Pedang Inti Samudera. Dari tangan kanan si 

gadis mencuat sinar biru sepanjang satu tombak mem–

bentuk pedang. Ketika sinar biru menghantam, buaya 

keluarkan suara lolongan seperti anjing meraung. Kepala 

binatang ini terbabat putus. Tak ada darah mengalir! Begitu 

suara raungan lenyap, buaya itu juga ikut sirna! 

“penulis gay  benar! Ini makhluk jejadian!” ucap Ratu 

istri penulis  dengan tengkuk dingin. 

Sementara itu penulis gay  yang menghadapi buaya kedua 

menghajar binatang jejadian ini dengan pukulan yang 

memancarkan cahaya biru bergemerlap. Tapi buaya 

jejadian yang satu ini bersikap lebih waspada. Agaknya dia 

mengetahui apa yang terjadi dengan temannya. Dengan 

cepat binatang ini menyelinap ke bawah air. Pukulan yang 

dilepas penulis gay  hanya mengenai tempat kosong. Air Kali 

Progo muncrat setinggi dua tombak. Tanah dan lumpur di 

dasar kali terbongkar berhamburan ke udara. Di lain saat 

buaya tadi muncul kembali dan tahu-tahu sudah berada di 

samping bobo  yang tergeletak di atas tiga batang kayu 

dengan mulut menganga siap melahap! penulis gay  dan Ratu 

istri penulis  tersentak kaget. Untuk menolong dengan melan–

carkan serangan mereka merasa khawatir karena kedua–

nya berada pada kedudukan menghadap ke arah bobo . 

Ditambah lagi buaya coklat besar sudah berjarak sangat 

dekat dengan bobo  hingga setiap pukulan yang dilancarkan 

 

bisa saja mengenai Pendekar 10000 an . Ki Tambakpati dan 

Setan Ngompol dalam keterkejutan mereka tidak sempat 

berbuat apa. penulis ayan cepat kerahkan tenaga dalam 

untuk melepas pukulan Naga Murka Menjebol Bumi. 

Namun bocah sakti ini tidak bisa bertindak leluasa karena 

dia berada di sisi lain kali dan terhalang sosok bobo  

sementara di seberang sana ada Ratu istri penulis  dan 

penulis gay . Sekali serangannya meleset, kalau tidak bobo , 

salah satu dari dua gadis itu akan celaka! 

Pada saat yang sangat menentukan itu, penulis mabuk  

Patah Hati yang baru saja mencebur dan berada di dalam 

kali keluarkan bentakan keras. Tangan kanan menghan–

tam ke arah kepala buaya yang telah membuka mulutnya 

lebar-lebar untuk melahap tubuh Pendekar 10000 an . 

Selarik sinar merah bercampur biru bergulung seperti 

sebuah batu besar, menghajar kepala buaya jejadian 

dengan telak. Pukulan Batu Naroko! Seperti buaya tadi 

binatang yang satu ini keluarkan suara menyerupai anjing 

meraung. Kepala hancur, tubuh menggelepar-gelepar lalu 

tenggelam ke dalam air dan lenyap. 

“Keji dan jahat sekali!” ucap penulis gay  setengah 

menyumpah. “Kekuatan gaib masih terus berusaha meng–

halangi kita menyelamatkan bobo !” 

“Kurasa aku perlu minta bantuan Nyai Roro Kidul untuk 

memagari tempat ini,” berkata Ratu istri penulis . “Aku khawatir 

makhluk celaka berkekuatan gaib membawa ilmu hitam 

kembali berusaha menghalangi. Padahal ini adalah taha–

pan akhir usaha kita menyelamatkan bobo . Sekali gagal, 

bencana besar akan menimpa bobo !” 

Habis berkata begitu Ratu istri penulis  melompat ke tebing 

kali di mana terdapat sebuah batang kayu besar tergeletak 

tumbang. Dia duduk di atas tumbangan pohon ini, pejam–

kan mata, kaki bersila dan dua tangan diletakkan di atas 

dada. 

Tak lama kemudian terdengar Setan Ngompol berseru 

sambil pegangi bagian bawah perut. “Hai, mengapa udara 

mendadak mendung?” 

 

Ki Tambakpati menepuk bahu sahabatnya ini. “Tenang 

saja. Jangan banyak bicara. Ratu istri penulis  tengah melaku–

kan sesuatu.” 

Saat itu memang udara mendadak agak gelap, langit 

yang tadi cerah berubah mendung. Arus air kali seolah tak 

bergerak, angin tidak terasa bertiup. Keadaan sunyi senyap 

seperti malam hari di pekuburan. Tiba-tiba dari arah timur 

tampak sepuluh titik bercahaya biru, bergerak ke arah kali 

di mana orang-orang itu berada. Saat demi saat titik itu 

membesar dan ternyata adalah sepuluh ujung tombak. 

Masing-masing tombak dipegang oleh seorang gadis cantik 

berambut hitam panjang tergerai, mengenakan pakaian 

hitam ketat dengan potongan rendah di bagian dada serta 

belahan tinggi sampai ke pangkal paha di bagian sisi kiri 

kanan. 

“Bidadari turun ke bumi...!” ucap Setan Ngompol 

dengan mata melotot dan pegangi bagian bawah perut 

yang terasa kedut-kedut. “Pasti mereka hendak menolong 

bobo . Ah, aku juga kepingin sakit kalau yang mengobati 

bidadari cantik seperti itu...” 

“Sobatku, kau kakek bangkotan yang masih mata 

keranjang rupanya,” kata Ki Tambakpati. Saat itu keduanya 

dan juga penulis ayan serta penulis mabuk  Patah Hati masih 

berada di dalam kali. “Jangan bicara sembarangan. Itu 

adalah pasukannya Nyai Roro Kidul yang akan menjaga 

tempat ini.” 

Sepuluh gadis pembawa tombak bercahaya mengapung 

di udara mengelilingi Ratu istri penulis . Mereka membungkuk 

memberi penghormatan. 

Perlahan-lahan Ratu istri penulis  turunkan dua tangan yang 

sejak tadi diletakkan di dada. Mulutnya berucap, mata 

masih terpejam. “Terima kasih kalian sudah datang. Dua di 

sudut timur. Dua di sudut barat. Dua di sudut utara. Dua di 

sudut selatan. Dua di tengah antara empat sudut.” 

Dalam gerakan menyamai kecepatan kejapan mata, 

sepuluh gadis cantik yang membawa tombak bercahaya, 

sepasang demi sepasang melesat ke lima penjuru yang 

 

disebutkan Ratu istri penulis . Di lima titik ini mereka melepas 

pegangan pada tombak. Walau dilepas setiap tombak 

tetap berdiri lurus, hanya saja perlahan-lahan bentuknya 

menjadi samar, cahaya meredup dan akhirnya lenyap dari 

pandangan mata. Sepuluh gadis cantik kembali berkumpul 

mengelilingi Ratu istri penulis . 

“Terima kasih kalian sudah melaksanakan tugas 

dengan baik. Kalian boleh kembali ke laut selatan. Bila 

tugas sudah selesai sepuluh tombak akan pulang ke 

tempat asalnya. Kalian tak usah menjemput. Salam hormat 

dan terima kasihku untuk Junjungan Nyai Roro Kidul.” 

Sepuluh gadis membungkuk lalu satu per satu melesat 

ke langit dan lenyap dari pemandangan. Saat itu juga 

udara yang tadi mendung kini berubah terang benderang 

kembali. 

“Ah, mereka pergi semua...” kata Setan Ngompol seolah 

kecewa oleh lenyapnya pemandangan indah tadi. 

Di atas tumbangan pohon Ratu istri penulis  buka kedua 

matanya. Dia menatap ke arah lima titik lalu bangkit 

berdiri, mendatangi orang-orang yang ada di kali. 

“Para sahabat, tempat ini sudah dipagari. Kita 

menunggu sampai tengah hari tepat.” 

“Apa yang akan terjadi pada tengah hari tepat?” 

bertanya penulis mabuk  Patah Hati yang memang tidak tahu 

kelanjutan cara pengobatan atas diri bobo . 

penulis gay  lalu menjelaskan. “Sesuai petunjuk Kitab 

Seribu Pengobatan, tepat tengah hari nanti sepuluh jari 

tangan dan sepuluh jari kaki bobo  harus ditusuk dengan 

benda tajam sampai keluar darah. Jika darah mengucur 

dan warnanya merah segar berarti dia telah sembuh dari 

penyakitnya...” 

penulis mabuk  Patah Hati geleng-geleng kepala. Sambil 

menggeleng matanya menatap wajah Pendekar 10000 an . Ada 

rasa iba di wajahnya yang angker. Nenek ini lantas ingat 

kejadian beberapa waktu lalu, ketika dia ikut dengan bobo  

dan para tokoh silat menghancurkan 113 Lorong Kematian 

yang jadi markas manusia pocong pimpinan Pangeran 

 

Matahari. Saat itu bobo  terlibat bentrokan pukulan sakti 

dengan Ketua Barisan Pocong 113 Lorong Kematian. bobo  

terpental, coba ditolong oleh penulis mabuk  Patah Hati. 

Keduanya jatuh bergulingan di tanah. Secara tak sengaja 

sewaktu bergulingan bibir mereka saling bertempelan. Saat 

itu juga ujud si nenek berubah menjadi sosok seorang 

gadis cantik, memeluk dan menciumi bobo . Memang ujud 

asli penulis mabuk  Patah Hati sebenarnya adalah seorang 

gadis cantik jelita bernama Ning Intan Lestari. Si nenek 

melarang bobo  menyeka bibirnya. Malah berkata. “Dengar 

ada satu rahasia dalam diriku yang bisa menyesakkan 

dada jika tidak aku katakan padamu. Kalau saja aku tidak 

keburu jatuh cinta pada bocah berambut jabrik itu, kaulah 

jadi penggantinya.” Celakanya ketika si nenek mencium 

Pendekar 10000 an , Dewa Tuak yang berada tak jauh dari 

tempat itu sempat melihat! penulis mabuk  Patah Hati tarik 

nafas panjang dan usap bibirnya (Baca serial bobo  Sableng 

berjudul ‘Kematian Kedua’). 

“Siapa yang akan menusuk jari tangan dan kaki bobo ?” 

penulis gay  bertanya sambil memandang berkeliling. 

“Nek, kau saja yang melakukan,” kata Ratu istri penulis . 

“Kukumu panjang-panjang. Kita tidak perlu mencari alat 

lagi. Harap kau mau membantu...” 

penulis mabuk  Patah Hati mengangguk. Dia merasa ber–

syukur diberi kesempatan menolong pemuda yang diam-

diam dicintainya itu. penulis gay  kemudian menunjukkan 

bagian mana dari jari tangan dan kaki bobo  yang harus 

ditusuk. penulis mabuk  Patah Hati menusuk sepuluh jari 

tangan dan sepuluh jari kaki bobo , semua di bagian ujung 

jari. 

Setelah menunggu cukup lama tidak terjadi apa-apa, 

yaitu tidak ada darah yang mengucur keluar dari luka kecil 

bekas tusukan kuku baik pada sepuluh jari tangan maupun 

sepuluh jari kaki, penulis gay  menatap ke arah Ratu istri penulis . 

Dua gadis ini sama-sama menunjukkan rasa cemas. Setan 

Ngompol dan Ki Tambakpati terdiam tegang. penulis ayan 

memandang ke langit sebelah timur lalu membisikkan 

 

sesuatu pada penulis mabuk  Patah Hati sambil menunjuk ke 

arah timur. Selanjutnya nenek ini pegang lengan Ratu 

istri penulis  seraya berkata. 

“Aku rasa ada yang menghalangi. Lihat di arah timur 

ada cahaya biru berkelap-kelip.” 

Ratu istri penulis  cepat menatap ke arah langit sebelah 

timur. Di arah itu tampak dua cahaya biru berkedap-kedip. 

“Kau benar Nek. Dua tombak biru pemagar tempat ini 

di arah timur memberi tanda. Ada yang berusaha masuk! 

Satu kekuatan gaib! Aku mohon kita semua sama-sama 

lepaskan pukulan sakti ke arah timur!” 

Kecuali Ki Tambakpati yang memang tidak memiliki 

pukulan sakti, semua orang segera kerahkan tenaga dalam 

dan siapkan pukulan sakti terhebat yang mereka miliki. 

Masing-masing mengerahkan tenaga dalam penuh. 

Jangankan manusia atau makhluk gaib, gubug penulis pun rasa-

rasanya jika dihantam bersama-sama seperti itu akan 

hancur berantakan. 

“Kek” kata Ratu istri penulis  pada Setan Ngompol. “Kau tak 

usah ikut menyerang. Lindungi bobo !” 

“Tunggu dulu, aku melihat sesuatu di arah timur!” 

Berkata penulis gay . “Ada dua sosok samar sedang berkelahi 

di atas sana. Satu berpakaian putih, satu mengenakan 

pakaian hitam. Ratu istri penulis  coba kau selidiki. Keluarkan 

cermin saktimu!” 

Ratu istri penulis  cepat keluarkan cermin sakti. Serta-merta 

di dalam cermin terlihat seorang berselempang kain putih, 

berambut dan berjanggut panjang putih dengan wajah 

polos tengah berkelahi hebat melawan seorang pemuda 

gagah. Si pemuda mengenakan pakaian serba hitam, 

memelihara kumis, janggut dan cambang bawuk. Dari 

jalannya perkelahian kelihatan pemuda ini terdesak dan 

beberapa kali jatuh tersungkur. Makhluk tidak berwajah 

mempergunakan sebatang tongkat bercahaya kuning 

sebagai senjata ampuh. 

Ratu istri penulis  menerangkan apa yang dilihatnya dalam 

cermin. 

 

“Manusia tanpa wajah itu! Dia hendak menembus 

melewati pagar gaib pengaman. Pemuda berpakaian hitam 

berusaha mencegah tapi kalah ilmu. Dia akan segera 

dimusnahkan oleh manusia tanpa wajah. Tapi tunggu 

dulu... Bunga! Bunga muncul membantu pemuda berpa–

kaian hitam. Puluhan kembang kenanga melesat dari 

tangannya, membuat manusia tanpa wajah terpaksa 

mundur. Makhluk jahat ini membalikkan diri, melesat ke 

langit. Lari!” 

Di langit tampak tiga cahaya, merah, biru dan hijau 

berkiblat lalu lenyap. 

penulis gay  dan beberapa orang lainnya yang merasa 

tidak puas kalau tidak menyaksikan sendiri berusaha meli–

hat ke dalam cermin. Namun saat itu keadaan cermin 

hanya tinggal bening putih. Pertanda semua makhluk tadi 

tak ada di langit sebelah timur. 

“Hai lihat!” Tiba-tiba penulis mabuk  Patah Hati berteriak. 

Membuat semua orang terkejut namun kemudian bersorak 

gembira. Dari duapuluh luka kecil di ujung jari tangan dan 

kaki bobo  membersit keluar darah merah. 

“Darahnya merah dan segar!” teriak Ki Tambakpati. 

“bobo  sembuh!” ucap Ratu istri penulis  sambil menekap 

wajah menahan tangis. 

“Angkat! Bawa ke dalam rumah!” kata penulis gay . 

Semua orang, beramai-ramai mengangkat tiga batang 

kayu ke tepi kali. Lalu mereka menggotong bobo , memba–

wanya masuk ke dalam rumah panggung dan dibaringkan 

di atas ranjang bambu. Darah kental, merah dan segar 

masih mengalir dari duapuluh luka kecil di jari tangan dan 

jari kaki bobo . Sesaat kemudian kucuran darah berhenti. 

penulis mabuk  Patah Hati pergunakan ujung jubah birunya 

untuk membersihkan sisa-sisa darah di tangan dan kaki 

bobo . 

Tiba-tiba! 

Buuuttt... buuuttt... prett! 

“Kurang ajar! Siapa yang kentut?!” Hardik Setan Ngom–

pol. Mata mendelik dua tangan cepat menekap bagian 

 

bawah perut. 

Saat itu terdengar suara tawa cekikikan dalam rumah 

panggung disusul berkelebatnya satu bayangan kuning. 

Sesaat kemudian di dalam kamar itu telah berdiri seorang 

nenek serba kuning mulai dari pakaian sampai dandanan–

nya. Nenek ini mengenakan jubah kuning. Rambut kuning 

digulung di atas kepala, ditancapi lima sunting yang juga 

berwarna kuning. Lalu di telinga kiri kanan mencantel 

giwang berbentuk rantai kuning. Di leher menggantung 

sebuah kalung besar berwarna kuning. 

Setan Ngompol, penulis ayan dan penulis gay  yang 

mengenali nenek ini serentak berseru menyebut namanya. 

 

bobo  SABLENG 

INSAN TANPA WAJAH 

 

11

 

 

 

UHKENTUT!” Nenek berjubah kuning yang tegak di 

ambang pintu ruangan tertawa panjang. Dia tepuk-

tepuk pantatnya yang songgeng karena dulunya terla–

lu banyak kentut lalu berkata, “Aku kebetulan lewat di sini. 

Aku mencium bau makhluk dari alamku. Ternyata kau yang 

berada di sini Luhmintari.” Si nenek berucap dan menyebut 

nama penulis gay  yang asli lalu memandang berkeliling. “Ah, 

sobatku Setan Ngompol dan Naga Kuning, kalian juga ada 

di sini” Si nenek lantas memandang ke arah ranjang bam–

bu. Kening mengerenyit. “Astaga! Bukankah itu Pendekar 

10000 an  bobo  Sableng?” 

penulis gay  anggukkan kepala. Sampai saat itu sepasang 

matanya terus memperhatikan si nenek. Dia merasa ada 

kelainan pada diri perempuan tua berjubah kuning ini. 

“Apa yang terjadi dengan dirinya?” tanya si nenek. 

Siapa nenek ini sebenarnya? Di negeri Latanahsilam dia 

dikenal dengan nama Luhkentut alias Hantu Selaksa Angin. 

Sewaktu bobo  bersama Setan Ngompol dan penulis ayan 

terpesat ke negeri 1200 tahun silam bobo  menolong dan 

berhasil menyembuhkan nenek ini dari penyakit kentut 

yang dideritanya selama puluhan tahun. Sebelumnya si 

nenek bisa kentut ratusan kali sehari. Setelah ditolong oleh 

bobo  penyakitnya sembuh. Kalaupun masih terkentut 

hanya keluar sesekali saja. Sebagai tanda terima kasih si 

nenek mewariskan ilmu Menahan Darah Memindah Jazad 

kepada bobo . 

Sewaktu para tokoh menyerbu 113 Lorong Kematian, 

Luhkentut ikut ambil bagian dan kemudian ditugasi 

mencari Hantu Muka Dua. Ternyata Hantu Muka Dua yang 

juga makhluk dari negeri 1200 tahun silam itu telah 

L

 

menemui ajal di tangan Bidadari Angin Timur (Nyi Bodong) 

(Baca serial bobo  Sableng ‘Api Di Puncak Merapi’). 

“bobo  menderita sakit aneh. Saat ini dalam tahap 

penyembuhan...” menjelaskan Naga Kuning. Sepasang 

mata bocah ini memperhatikan si nenek dari kepala 

sampai ke kaki yang tersembul di balik ujung jubah kuning. 

Tidak biasanya, pandangan mata si bocah yang selalu 

nakal kini kelihatan seolah menyelidik. Seperti diketahui 

ujud asli penulis ayan adalah seorang kakek sakti berusia 

lebih seratus tahun. 

Si nenek jubah kuning delikkan mata lalu geleng-geleng 

kepala. 

“Di Latanahsilam dia menyembuhkan penyakit kentut-

kentutku! Saatnya aku membalas budi. Siapa tahu aku bisa 

menyembuhkan penyakitnya. Aku perlu memeriksanya.” 

Lalu nenek ini melangkah mendekati ranjang bambu di 

mana bobo  terbaring dalam keadaan mata masih terpejam. 

Saat itu di sudut ruangan penulis mabuk  Patah Hati 

memberi isyarat dengan gerakan tangan kanan pada Ratu 

istri penulis . Ratu istri penulis  yang baru saja mengerahkan ilmu 

Menembus Pandang atas diri Luhkentut anggukkan kepala 

lalu memberi isyarat pada penulis gay . Gadis dari Latanah–

silam ini segera menghadang langkah nenek berjubah 

kuning. 

“Nek, tunggu. Sebelum kau memeriksa bobo , kita bicara 

dulu di luar rumah.” 

“Kau mau membicarakan apa? Mengapa harus di luar 

rumah, tidak di sini saja?” tanya Luhkentut heran. 

Tanpa menjawab, penulis gay  tarik tangan si nenek, 

membawanya ke halaman. Ratu istri penulis  dan penulis mabuk  

Patah Hati bersama penulis ayan mengikuti. Sebelum 

meninggalkan ruangan si nenek berkata pada dua kakek. 

“Jaga pemuda ini. Ada yang tidak beres dengan nenek 

satu itu!” 

Sampai di halaman Luhkentut memandang pada 

penulis gay . “Kita sudah di luar rumah. Apa yang hendak kau 

bicarakan?” 

 

“Nek, aku menaruh curiga pada keadaan dirimu.” 

Berucap penulis gay . 

“Bercuriga pada keadaan diriku? Memangnya ada apa 

dengan diriku? Aku tidak mengerti.” 

penulis mabuk  Patah Hati melangkah ke hadapan 

Luhkentut. “Kita tua sama tua. Jangan berani berdusta. 

Kau datang ke tempat ini bukan secara kebetulan seperti 

katamu tadi.” 

“Aih, aku jadi tambah tidak, mengerti!” Luhkentut alias 

Hantu Selaksa Angin mulai tampak kesal. 

“Kau datang membawa makhluk asing dalam tubuhmu! 

Kau bersekutu dengan makhluk gaib untuk mencelakai 

bobo !” Kini giliran Ratu istri penulis  yang keluarkan ucapan. 

Si nenek menatap Ratu istri penulis  tak berkesip lalu 

tertawa mengekeh. “Aku membawa makhluk asing dalam 

tubuhku katamu! Hik.. hik... hik! Untuk mencelakai bobo ?! 

Benar-benar gila! Kalian mau aku telanjang? Biar aku buka 

jubah kuning ini agar kalian melihat apa aku menyem–

bunyikan seseorang!” 

“Tidak perlu Nek,” jawab Ratu istri penulis . “Kalau kau tidak 

percaya akan aku perlihatkan padamu!” Ratu istri penulis  

ambil cermin bulat sakti. 

penulis gay  memberi tanda agar jangan bertindak dulu. 

Dia berkata pada si nenek. “Aku melihat ada cahaya samar 

tiga warna dalam tubuhmu! Kau membawa satu makhluk! 

Apa hubunganmu dengan manusia tanpa wajah yang 

belakangan ini selalu hendak mencelakai kami dan bobo ?!” 

Dalam bingungnya Luhkentut akhirnya tertawa gelak-

gelak. “Manusia tanpa wajah itu siapa? Setan atau 

manusia yang mukanya tersiram air panas?! Manusia 

sepertimu atau makhluk alam roh seperti sobatku Luhmin–

tari ini? Lelaki atau perempuan, atau tidak punya kelamin 

sama sekali. Ikutan polos bagian bawahnya?! Hik.. hik... 

hik!” 

Mendengar ucapan si nenek Ratu istri penulis  jadi marah. 

Tangan kanannya yang memegang cermin digoyang tiga 

kali. Saat itu juga tiga sinar putih berkilau mengandung 

 

hawa panas menyambar ke arah Luhkentut. 

“Aku datang bersahabat! Kau menyerangku! Sungguh 

keterlaluan!” teriak Luhkentut marah. Nenek ini kebutkan 

lengan jubah kuningnya kiri kanan seraya melesat dua 

tombak ke atas. Di udara menggema dua letusan dahsyat 

sewaktu dua larik sinar kuning yang keluar dari lengan 

jubah si nenek bentrokan dengan dua sinar putih menyi–

laukan yang melesat dari dalam cermin sementara sinar 

putih ke tiga berhasil dielakkan oleh Luhkentut dengan 

cara melompat tadi. 

Ketika si nenek melesat ke atas, penulis gay  ikut berke–

lebat. Di udara dia lambaikan tangan ke arah punggung si 

nenek. Selarik sinar biru bergemerlap menyapu. Saat itu 

juga Luhkentut merasa sekujur tubuh menjadi kaku, 

tangan dan kaki tak bisa digerakkan. Didahului jeritan 

keras dia melayang jatuh ke tanah. 

“Pengecut! Apa yang telah aku perbuat pada kalian 

hingga menyerangku beramai-ramai!” Teriak Luhkentut. 

Meski tubuhnya kaku ternyata nenek ini masih bisa ber–

suara. Dia berusaha kerahkan tenaga dalam dan hawa 

sakti ke tangan kanan untuk melancarkan serangan 

mematikan namun tidak berhasil. 

Sebagai jawaban seolah tidak memberi ampun, Ratu 

istri penulis  kembali gerakkan tangan kanannya yang meme–

gang cermin sakti. 

Dari dalam cermin melesat keluar gulungan cahaya 

putih panas, langsung menelan si nenek. Inilah ilmu 

kesaktian yang disebut Penjerat Raga Pencekal Jiwa. Di 

saat yang hampir bersamaan penulis gay  lepaskan satu 

pukulan sakti memancarkan sinar biru bergemerlap dan 

penulis ayan menghantam dengan pukulan Naga Murka 

Menghancur Tujuh Dinding Gaib. 

Semua serangan yang dilakukan ketiga orang itu 

memiliki kekuatan untuk membakar dan menghancurkan 

lawan yang mengandalkan kekuatan gaib. 

Luhkentut menjerit keras mengenaskan. Namun yang 

membuat semua orang tercekat ada satu raungan keras 

 

lain menyertai jeritan si nenek. Tubuh Luhkentut dikobari 

api berwarna merah dan biru. Perlahan-lahan tubuh itu 

leleh berubah menjadi cairan putih mengepulkan asap lalu 

lenyap. Sebelum leleh, satu bayangan putih keluar dari 

tubuh si nenek. Sekilas kelihatan kepalanya yang tidak 

memiliki wajah, tertutup rambut dan janggut putih. 

penulis gay , Ratu istri penulis  dan Naga Kuning, kini juga 

penulis mabuk  Patah Hati serentak menghantam dengan 

pukulan sakti. Cepat sekali makhluk tanpa wajah itu 

melesat ke langit. Salah satu bagian dari pakaian putih 

yang dikenakannya tampak dikobari api. Sambil melesat 

makhluk ini menebar cahaya merah, biru dan hijau 

berbentuk kipas, menyambar ke arah para penyerang. 

Ratu istri penulis , Naga Kuning, penulis gay  dan penulis mabuk  

Patah Hati kalau tidak cepat menjatuhkan diri sama rata 

dengan tanah pasti akan celaka. Sebagian tanah halaman 

terbongkar hangus. Dua pohon besar dan beberapa 

rerumpunan semak belukar gosong menghitam! Untuk 

beberapa lamanya tempat itu tenggelam dalam kesunyian. 

Mendadak terdengar seseorang berucap perlahan tapi 

cukup jelas. 

“Kalian telah membunuh seorang sahabat.” 

Semua orang yang ada di halaman sama tersentak 

kaget dan palingkan kepala ke arah rumah panggung. 

“bobo !” 

Empat orang berseru berbarengan menyebut nama 

Pendekar 10000 an . Di atas rumah panggung, tepat di depan 

tangga kayu, berdiri murid Sinto Gendeng, dipapah oleh 

Setan Ngompol di sebelah kanan dan Ki Tambakpati di 

samping kiri. Wajah tampak pucat dan tubuh agak 

tertunduk. Walau semua orang gembira melihat sang 

pendekar mampu berdiri meskipun dipapah namun ucapan 

yang tadi dikeluarkan bobo  membuat mereka yang semula 

hendak datang mendekati kini tertegak bimbang meragu 

dan saling pandang satu sama lain. 

bobo  palingkan kepala pada dua kakek yang mema–

pahnya lalu balikkan badan, masuk ke dalam rumah. 

 

“Kalian dengar ucapan bobo  tadi...” berkata penulis mabuk  

Patah Hati. “Ada kesalahpahaman. Sebaiknya kita masuk 

ke dalam menemui bobo .” 

Keempat orang itu lalu masuk ke dalam rumah dan 

menemui bobo  sudah berbaring di atas ranjang bambu. 

Sepasang mata terbuka namun menatap lurus ke atas 

langit-langit ruangan. 

“bobo , kami bersyukur dan berterima kasih pada Gusti 

Allah ternyata kau telah disembuhkan...” penulis mabuk  Patah 

Hati membuka pembicaraan. 

bobo  diam saja. Matanya masih terus menatap ke atas. 

Ki Tambakpati membuka mulut. “Jalan darahnya boleh 

dikatakan sudah pulih. Namun tubuhnya masih lemah. Aku 

tadi sempat memeriksa. Dia tidak kehilangan tenaga 

dalam ataupun hawa sakti yang dimiliki. Hanya saja dia 

butuh paling sedikit dua hari untuk dapat memulihkan 

kekuatan, mengalirkan tenaga dalam dan hawa sakti.” 

penulis gay  lebih mendekat ke tepi ranjang. 

“bobo , apakah kau bisa bicara? Jika kau cukup kuat 

untuk bicara kami ingin menanyakan beberapa hal...” 

Hening beberapa ketika. Lalu tampak mulut bobo  

bergerak dan terdengar suaranya berucap perlahan. 

Sementara sepasang mata masih tetap melihat ke atas. 

“Aku berterima kasih. Sangat-sangat berterima kasih. 

Semua para tetua dan sahabat di sini telah mau bersusah 

payah menolongku, menyelamatkan jiwaku...” 

“Semua terjadi dengan kuasanya Gusti Allah Yang Maha 

Pengasih Maha Penyembuh...” Kata Ratu istri penulis  pula. 

“Hanya ada satu hal sangat aku sesalkan. Keselama–

tanku ternyata menjadi tumbal kematian bagi seorang 

sahabat. Mengapa kalian membunuh sahabatku nenek 

bernama Luhkentut itu?” 

Tak ada yang menjawab. Untuk beberapa lama tempat 

itu diselimuti kesunyian. Ratu istri penulis  berpaling pada 

penulis gay . penulis gay  memandang pada penulis mabuk  Patah 

Hati. Akhirnya nenek ini yang bicara. 

 


 

 

IRO, kami perlu menjelaskan agar tidak terjadi 

kesalahpahaman. Kami tidak ada niat membunuh 

Luhkentut. Namun dia datang membawa makhluk 

gaib berupa makhluk tidak punya wajah. Makhluk ini hen–

dak mencelakaimu, hendak membunuhmu. Kami harus 

membunuh makhluk itu sebelum dia sempat mencelakai–

mu...” 

“Apakah makhluk tidak berwajah itu berhasil kalian 

bunuh?” bobo . 

Tidak ada yang menjawab. 

bobo  berkata lagi. “Apakah untuk mengusir atau mem–

bunuh makhluk tidak berwajah itu harus dengan cara 

membunuh sahabatku Luhkentut? Apa tidak ada cara lain 

yang lebih bijaksana?” 

Ketika masih tidak ada yang memberikan jawaban bobo  

meneruskan ucapannya. “Luhkentut sama sekali tidak 

bermaksud jahat terhadapku. Dia hanya ketumpangan 

makhluk gaib. Luhkentut bahkan tidak tahu kalau dirinya 

ketumpangan.” 

“bobo , kami sangat menyesal apa yang terjadi dengan 

Luhkentut” kata penulis mabuk  Patah Hati. “Namun saat itu 

kami tidak ingin melihat kau terbunuh.” 

“Sahabat semua, sesungguhnya aku saat ini sudah 

mati dalam hidupku. Ki Tambakpati telah menceritakan 

apa yang terjadi dengan diriku. Aku kehilangan kejan–

tananku...” 

Semua orang tundukkan kepala. penulis gay  sembunyikan 

wajah dengan mata berkaca-kaca. Ratu istri penulis  kemudian 

menatap ke luar pintu ruangan. Ada yang menyesalkan 

W

 

 

seharusnya Ki Tambakpati tidak perlu cepat-cepat mem–

beritahu pada bobo  atas apa yang terjadi dengan dirinya 

menyangkut kejantanannya. Selain itu semua orang yang 

ada di tempat itu sama bertanya dalam hati. Mengapa 

dalam kegembiraan sembuhnya bobo  kini terjadi hal seperti 

ini? 

penulis gay  usap sepasang matanya yang basah lalu 

berkata, “bobo , kami..., maksudku aku, Ratu istri penulis , Naga 

Kuning dan penulis mabuk  Patah Hati mengaku bersalah. 

Apakah ada cara untuk menebus dosa kesalahan itu?” 

“Aku hanya memberitahu bahwa seorang sahabat telah 

terbunuh. Soal dosa kesalahan bukan wewenang diriku. 

Aku yakin semua ini adalah kehendak Yang Maha Kuasa. 

Aku hanya ingin semua ini menjadi pelajaran sangat baik. 

Aku ingin kalian tahu bahwa di balik setiap kebenaran itu 

akan selalu ada apa yang dinamakan kebijaksanaan. 

Seseorang mungkin merasa telah bertindak benar. Padahal 

jika dia mau berpikir maka selalu ada apa yang namanya 

kebijaksanaan di atas kebenaran!” 

Semua orang jadi terdiam mendengar kata-kata bobo  

itu. penulis mabuk  Patah Hati, Naga Kuning, Ratu istri penulis  dan 

penulis gay  merasa paling bersalah dengan terbunuhnya 

Luhkentut. Sementara makhluk tanpa wajah berhasil lolos 

melarikan diri. Hanya pakaiannya saja yang terbakar. 

Selain itu semua orang melihat ada kelainan pada diri 

Pendekar 10000 an  dan membuat mereka bertanya-tanya. 

Apakah karena masih belum sempurna kesembuhannya 

maka bobo  bicara tenang perlahan seperti itu? Lalu tidak 

seperti biasanya kali ini bobo  bicara seperti orang tua 

memberi wejangan. Apa telah terjadi satu perubahan 

dalam diri sang pendekar? Padahal pada saat dia sadar 

tadi seharusnya dia ingin mencari tahu di mana dia berada, 

bagaimana dia bisa sampai di rumah panggung itu dan apa 

yang telah terjadi atas dirinya. Sebaliknya Ki Tambakpati 

dan Setan Ngompol yang banyak bicara dan memberi tahu 

keadaan dirinya. 

Sementara semua orang tenggelam dalam alam pikiran 

 

 

masing-masing Ki Tambakpati memecah kesunyian, “bobo , 

ketika kami menemui dirimu dan memeriksa keadaanmu, 

kami tidak menemukan Kitab Seribu Pengobatan. Kami 

khawatir kitab itu hilang lagi...” 

“Aku telah menyimpan kitab itu di satu tempat.” Jawab 

bobo . 

“bobo ...” kata Ratu istri penulis . “Kami semua belum 

merasa benar-benar lega sebelum kau mendapat kesem–

buhan sempurna. Kami ingin kau menceritakan bagaimana 

kejadiannya sampai dirimu ditemui Ki Tambakpati di atas 

bukit, di halaman sebuah candi dalam keadaan pingsan.” 

“Dari ceritamu,” menyambung penulis gay . “Kami mung–

kin bisa menyelidik siapa yang telah berlaku jahat atas 

dirimu.” 

“Mudah-mudahan kami juga bisa mencari petunjuk 

penyembuhan atas penyakit yang melumpuhkan kejanta–

nanmu,” menyambung penulis mabuk  Patah Hati. 

“Aku sudah di sini, kalian sudah menyelamatkan diriku. 

Apa masih perlu segala macam cerita dari kejadian yang 

telah lewat?” bertanya Pendekar 10000 an . Suaranya perlahan 

dan tenang saja. 

“bobo , kau pendekar besar! Mengapa menunjukkan 

sikap seperti tidak punya gairah hidup lagi? Kalau kau mau 

bercerita aku yakin ada jalan untuk menyembuhkan dirimu. 

Selain itu kami semua ingin sekali mengetahui siapa orang 

yang telah mencelakai dirimu. Kalau saja Pangeran Mata–

hari masih hidup pasti dia orangnya. Tapi begundal satu itu 

sudah mati.” Habis berkata penulis ayan usap-usap dada 

Pendekar 10000 an . 

Setelah berdiam diri beberapa lamanya akhirnya bobo  

mau juga menceritakan apa yang telah terjadi dengan 

dirinya. Dimulai ketika dia menolong Raden Ayu Ambarsari 

yang diperkosa oleh seorang pemuda mengaku bernama 

penulis . Sewaktu menyeberangi Kali Progo yang arusnya 

sangat deras, dirinya diserang secara gelap dengan lima 

senjata rahasia berupa bunga tanjung. Satu dari lima 

bunga tanjung menancap di lehernya hingga dia jatuh 

 

 

pingsan. 

“Ketika sadar diriku berada dalam tahanan Kerajaan 

atas perintah Pangeran Tua Sena Wirapala. Ternyata 

Ambarsari adalah cucu Pangeran Tua. Gadis itu ditemui di 

tepi Kali Progo dalam keadaan tak bernyawa setelah sebe–

lumnya diperkosa. Aku dituduh memperkosa dan mem–

bunuh Ambarsari. Aku tak berdaya membebaskan diri 

karena Pangeran Tua menotok tubuhku dengan totokan 

luar biasa hebat. Kemudian muncul kembaran ke tiga 

Eyang Sepuh Kembar Tilu. Dengan menyamar sebagai 

Eyang Sinto Gendeng nenek itu berhasil mengeluarkan aku 

dari penjara. Nenek itu membawaku ke sebuah candi di 

puncak bukit. Dia berusaha melepaskan totokan di tubuh–

ku tapi tak berhasil. Entah dari mana datangnya, muncul 

seorang pemuda berpakaian hitam, berikat kepala kain 

merah. Pemuda ini menolong diriku melepas duabelas 

totokan yang ada di tubuhku. Ketika pemuda itu pergi aku 

baru sadar. Ciri-cirinya sama dengan pemuda yang menu–

rut Ambarsari hendak memperkosanya. Aku dan si nenek 

berusaha mencari dan mengejar. Tapi dia lenyap seperti 

ditelan bumi. Kemudian sesuatu terjadi atas diriku. Sekujur 

tubuhku panas seolah berubah jadi bara api. Aku muntah 

darah segar. Si nenek berusaha menolong dengan mela–

kukan beberapa totokan. Kemudian dia menemukan 

sebuah bunga tanjung di bawah pusarku. Ketika bunga 

diambil terjadi tiga letusan. Dari bawah perutku melesat 

keluar satu hawa kekuatan aneh. Menyambar nenek itu 

hingga dirinya terpental. Sebelum pingsan aku ingat satu 

hal. Waktu itu hujan turun lebat sekali di puncak bukit.” 

Seperti diceritakan sebelumnya bobo  sama sekali tidak 

mengetahui apa yang kemudian terjadi dengan nenek 

kembaran ke tiga Eyang Sepuh Kembar Tilu. Di bawah 

hujan lebat, dari tubuh nenek itu keluar sebentuk tubuh 

ramping tinggi semampai seorang gadis berkulit putih 

berwajah cantik jelita, berambut hitam sepinggang. Gadis 

ini mengenakan kebaya pendek dan celana panjang 

ringkas berwarna kuning. Begitu keluar dari tubuh si nenek, 

 

 

di bawah hujan lebat yang tidak membasahi tubuh serta 

pakaiannya gadis misterius itu melangkah pergi dan lenyap 

dari pemandangan. 

“Di halaman candi, tak jauh dari tubuhmu tergeletak, 

aku menemukan sebuah seruling...” Ki Tambakpati keluar–

kan sebuah suling perak dari balik pakaiannya dan mem–

perlihatkan pada bobo . 

“Suling itu milik paderi Cina Loan Nio. Diberikan pada si 

nenek sebelum dia kembali ke negerinya...” menjelaskan 

bobo . “Tolong kau simpan dulu suling itu Kek.” 

Kejadian selanjutnya diceritakan oleh Ki Tambakpati, 

mulai saat dia mencari Sinto Gendeng tapi menemukan 

bobo  dalam keadaan tak sadar diri di puncak bukit. Lalu 

kemunculan Damar Sarka dan Surah Sentono yang tengah 

mencari jejak madat lima puluh kati. 

“Ketika mereka menyiksa diriku karena mengira aku 

menyembunyikan madat itu, paling tidak tahu di mana 

beradanya, muncul sobatku Setan Ngompol bersama Liris 

Biru murid mendiang Hantu Malam Bergigi Perak. Perteng–

karan disusul perkelahian tidak terelakkan. Ketika Liris 

Biru dalam keadaan terdesak dan terancam jiwanya oleh 

Damar Sarka, muncul pemuda berpakaian hitam berikat 

kepala merah. Pemuda itu membunuh Damar Sarka lalu 

pergi begitu saja. Liris Biru ingat ciri-ciri pemuda itu sangat 

sama dengan orang yang membunuh dan memperkosa 

kakaknya. Karena pemuda itu sebelum pergi mengatakan 

akan menuju Kuto reot , Liris Biru mengambil keputusan 

untuk mengejar ke sana...” 

“Aku khawatir akan keselamatan gadis itu. Bisa-bisa dia 

jadi korban seperti Liris Merah, kakaknya...!” ucap Setan 

Ngompol. 

“Pemuda berpakaian hitam berikat kepala merah itu, 

apakah dia memelihara kumis, jenggot dan berewokan 

lebat?” tanya Ratu istri penulis  sambil memandang pada bobo . 

“Betul, tapi kumisnya cuma tipis, jenggot serta 

berewokannya juga tipis rapi. Mengapa kau bertanya hal 

itu. Apakah pernah melihatnya?” bobo  menjelaskan lalu 

 

 

balik bertanya. 

“Sejak kau sakit beberapa kali muncul makhluk gaib 

tak berwajah berusaha mencelakaimu termasuk semua 

kami yang ada di sini. Malam tadi dia muncul lagi, ber–

usaha menembus pagar pengaman yang dibuat oleh anak 

buahku. Melalui cermin aku lihat ada seorang pemuda 

berpakaian hitam berusaha mencegah hingga terjadi 

perkelahian. Namun pemuda dalam cermin itu tidak 

mengenakan ikat kepala merah. Kumis, janggut serta 

berewok cambang bawuknya lebat tidak terpelihara.” 

Sampai saat itu meskipun sudah bicara namun bobo  

tetap saja mengarahkan pandangannya ke langit-langit 

ruangan. 

“Bunga tanjung...” ucap murid Sinto Gendeng. 

“Beberapa kali perkosaan dan pembunuhan yang terjadi 

atas gadis cantik yang aku dengar, korban selalu ditempeli 

bunga tanjung di keningnya. Aku roboh dihantam bunga 

tanjung di leherku. Aku jatuh sakit karena ada yang 

menempelkan bunga tanjung di bawah pusarku. Agaknya 

bunga tanjung ini merupakan pangkal bahala dari banyak 

malapetaka yang terjadi belakangan ini. Termasuk yang 

menimpa diriku. Pemuda berpakaian hitam, berikat kepala 

kain merah dan berkumis tipis itu, agaknya dia berada di 

belakang semua ini...” 

“bobo , kau tahu di mana nenek kembaran ke tiga Eyang 

Sepuh Kembar Tilu itu sekarang beradanya?” tanya Ratu 

istri penulis . 

“Aku tidak tahu,” jawab bobo . Lalu melanjutkan, 

“Mungkin Ki Tambakpati bisa memberitahu karena dia 

yang pertama kali menemukan diriku di dekat candi.” 

“Ketika aku sampai di sana, aku hanya menemui dirimu 

dan suling ini. Tidak ada orang lain...” menjelaskan Ki 

Tampakpati. 

“Jika dia lenyap begitu saja, meninggalkan dirimu yang 

sedang ditimpa malapetaka, apakah tidak ada kecurigaan 

mengapa dia berlaku seperti itu?” Yang berkata adalah 

penulis mabuk  Patah Hati. 

 

 

“Mengingat begitu banyak pertolongannya atas diriku 

selama ini, aku tidak menaruh syak wasangka terhadap 

nenek satu itu. Kita tidak tahu apa yang terjadi atas 

dirinya.” Jawab bobo  pula. Lalu murid Sinto Gendeng ini 

meneruskan kata-katanya. “Dua hari lagi jika keadaanku 

sudah pulih, aku akan menemui guruku di puncak gubug penulis  

reot . Setelah itu akan mengucilkan diri, mencari tempat 

yang baik di puncak gubug penulis  itu untuk mulai bertapa. Aku 

tidak tahu apakah aku akan turun gubug penulis  lagi atau akan 

menjadi pertapa seumur-umur...” 

Ucapan ini tentu saja membuat semua orang terkejut. 

“bobo , kau jangan berputus asa seperti itu.” Kata Naga 

Kuning sambil pegang lengan Pendekar 10000 an . 

“Kalaupun Tuhan mencabut nyawaku saat ini rasanya 

aku pasrah.” 

Semua orang jadi merinding mendengar kata-kata sang 

pendekar. Setan Ngompol pancarkan air kencing. 

“bobo , ini hanya satu cobaan saja. Setiap cobaan pasti 

ada akhirnya,” kata penulis mabuk  Patah Hati. 

“Rimba persilatan masih membutuhkan pendekar 

sepertimu. Mengapa kau memilih jadi pertapa?” Ucap Ratu 

i sambil memperhatikan air muka bobo . Dia tidak 

melihat kalau pendekar ini tengah bergurau. 

“Makhluk jahat yang mencelakaimu masih gentayangan 

di alam bebas...” kata Setan Ngompol pula. “Aku belum 

puas sebelum mengencingi mayatnya!” 

“Kalau begitu kalian semua keluarlah dari tempat ini. 

Aku mau tidur saja...” 

Semua orang kini jadi melongo. penulis ayan pegang 

lengan penulis mabuk  Patah Hati, menarik nenek ini keluar 

ruangan. Di luar ruangan si bocah bicara berbisik. 

“Aku khawatir bobo  kini benar-benar sudah sableng! 

Pikirannya jadi tidak waras gara-gara tahu kalau dirinya 

tidak jantan lagi. Memang kasihan. Aku tahu betul, seumur 

hidup dia belum pernah mempergunakan alat kejantanan–

nya itu...” 

“Husss! Orang lagi sakit bicaramu enak saja!” tukas 

 

 

penulis mabuk  Patah Hati. 

“Aku bicara apa adanya!” jawab Naga Kuning. “Kalau 

aku jadi dia akan aku coba dan buktikan dulu. Akan kuper–

gunakan dulu anuku. Apa benar aku kehilangan kejan–

tananku!” 

“Anak geblek! Kau yang sudah berubah sableng!” maki 

penulis mabuk  Patah Hati lalu puntir telinga kiri Naga Kuning. 

Tapi diam-diam si nenek berpikir dan bertanya-tanya dalam 

hati. Ucapan penulis ayan bisa juga betul. Bagaimana Ki 

Tambakpati dan Setan Ngompol tahu kalau bobo  benar-

benar telah kehilangan kejantanannya. “Hal itu memang 

harus dibuktikan. Kejantanan bobo  harus diuji...” kata si 

nenek dalam hati sambil senyum-senyum. 

“Hai, ada apa kau mesem-mesem?” bertanya Naga 

Kuning sambil usap-usap kupingnya yang barusan dijewer 

dan masih terasa pedas. “Pasti ada pikiran kotor dalam 

otakmu!” 

“Huss! Diam saja kau!” bentak penulis mabuk  Patah Hati. 

Malam itu hujan turun lebat sekali mencurah bumi. 

Udara dingin bukan kepalang. Mungkin karena keletihan, 

semua orang yang ada di dalam rumah panggung kepu–

lasan. Dini hari penulis mabuk  Patah Hati terjaga lalu mem–

bangunkan Naga Kuning. 

“Hatiku terasa tidak enak,” kata si nenek. Ketika 

keduanya memasuki ruangan di mana bobo  berada, mere–

ka dapatkan pendekar itu tak ada lagi di atas ranjang 

bambu. Seisi rumah panggung menjadi heboh. 

Ratu istri penulis  memandang berkeliling. 

“Tidak semua kita berada di tempat ini. Mana Pur–

nama?” Ucapan gadis bermata biru itu membuat sadar 

semua orang kalau penulis gay  memang tidak ada di tempat 

itu. 

“Kurang ajar! Gadis alam roh itu melarikan bobo . Paling 

tidak membujuknya meninggalkan tempat ini! Jauh sebe–

lumnya aku sudah menduga gadis satu ini berhati culas!” 

penulis mabuk  Patah Hati keluarkan suara keras. 

Ratu istri penulis  ambil cermin sakti. Tenaga dalam dike–

 

 

rahkan ke mata. Dua tangan yang memegang cermin 

bergetar. 

“Aku melihat bayangan bobo . Di arah barat. Samar 

tanda sudah jauh sekali meninggalkan tempat ini.” 

“Kau juga melihat gadis alam roh bernama penulis gay  

itu?” tanya penulis mabuk  Patah Hati. 

Ratu istri penulis  goyang-goyangkan cermin sakti. Lalu 

menggelengkan kepala. “Tidak tampak orang lain. Hanya 

bobo ...” 

“Gadis culas itu pasti menggunakan ilmu kesaktiannya 

untuk menangkal agar tidak terlihat dalam cermin.” 

“Kita harus mengejar bobo . Mungkin dia dalam perjala–

nan menuju gubug penulis  reot  menemui gurunya. Kita harus 

mencegahnya untuk menjadi pertapa. Sebenarnya aku juga 

harus menuju ke sana karena ada pesan dari Kiai reot  

Tapa Pamungkas untuk menemuinya.” 

“Aku khawatir...” penulis ayan tidak meneruskan uca–

pannya, tapi melihat dulu pada penulis mabuk  Patah Hati. 

“Kau khawatir apa?” sentak si nenek. 

“Aku khawatir bobo  diajak pergi oleh penulis gay  untuk 

menguji kejantanannya...” ucap penulis ayan pula. 

“Anak edan!” maki penulis mabuk  Patah Hati lalu jambak 

rambut jabrik Naga Kuning. Sementara anak ini meringis 

dan mengeluh kesakitan Setan Ngompol kucurkan air 

kencing habis-habisan! Ki Tambakpati cuma bisa senyum-

senyum dan Ratu istri penulis  kelihatan merah rona wajahnya. 

“Bisa jadi, bisa jadi! Bisa jadi apa yang dikatakan Naga 

Kuning betul.” membatin penulis mabuk  Patah Hati dengan 

tubuh merinding karena cemburu. 

“Nek...” ujar Naga Kuning. 

“Apa?!” tanya penulis mabuk  Patah Hati agak jengkel. 

“Kalau kau..., apa kau mau menguji keampuhan 

perabotannya bobo ?” 

“Anak setan!” Damprat si nenek sambil mencubit 

pinggang penulis ayan hingga anak ini melintir kesakitan.